on 4.30.2013

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925. dia merupakan anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo, Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap dirinya sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus Sekolah Dasar yang dijalaninya di bawah pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak Mastoer, menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP).

Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya atas biaya ibunya. Biaya pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal di ujian praktik. Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura-pura sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum nilai-nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak pernah ia terima. kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka.

Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, 
dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan yang bahkan masih jamak menghinggapi kehidupan para penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. Sementara ia masih hidup tak menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga stan yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut. Setiap hari ia berlama-lama menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga. Bahkan sampai ketika Presiden Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan bercanda ia gambarkan adegan itu sebagai "buaya kedahuluan buaya." Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri yang selalu tetap setia mendampinginya dalam segala suka duka mereka sampai sekarang.

Biografi Pramoedya Ananta Toer
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Biografi Pramoedya Ananta ToerPada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram. Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.

Biografi Pramoedya Ananta Toer
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram. Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Penghargaan
  • Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
  • Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
  • Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
  • Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
  • UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996
  • Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
  • Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
  • Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
  • New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
  • Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
  • The Norwegian Authors Union, 2004
  • Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004
Lain-lain
  • Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
  • Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
  • Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
  • Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
  • Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
  • International PEN English Center Award, Inggris, 1992
  • International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999
on 4.08.2013

Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer*

oleh Goenawan Mohamad
Seandainya ada Mandela di sini. Bung Pram, saya sering mengatakan itu, dan mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika Selatan, menyelamatkan manusia dari abad ke-20. Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 adalah zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler membunuh jutaan Yahudi karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta “kontrarevolusioner” karena sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim ini membersihkan sekian juta penduduk karena “demokrasi pancasila” tak memungkinkan adanya orang komunis (dan/atau “ekstrim” lainnya) di sudut manapun.
Rencana besar, cita-cita mutlak, dan mengalirkan darah. Manusia menjadi penakluk. Ia menaklukkan yang berbeda, yang lain, agar dirinya jadi subjek.
Mandela bertahun-tahun di penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan rekonsiliasi dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si objek jadi sang subjek.
Tiap korban yang mengerti rasa sakit yang sangat tak akan mengulangi sakit itu bahkan kepada musuhnya yang terganas. Ia.akan menghabisi batas antara subjek dan objek. Makna “rekonsiliasi” di Afrika Selatan punya analogi dengan impian Marx: karena proletariat tertindas, kelas ini berjuang agar setelah kapitalisme ambruk, segala kelas sosial pun hilang. Proletariat tak akan mengakhiri sejarah dengan berkuasa, melainkan menghapuskan kekuasaan, pangkal lahirnya korban-korban. Sejarah adalah sejarah penebusan kemerdekaan. Utopia itu tak terlaksana, tapi tiap utopia mengandung sesuatu yang berharga. Begitu ia menang, Mandela membongkar kembali tindak sewenang-wenang para petugas rezim apartheid yang menindasnya (dan juga tindak sewenang-wenang pejuang kemerdekaan pendukung Mandela sendiri). Proses itu mirip “pengakuan dosa” di depan publik.
Kemudian: pertalian kembali. Mandela menunjukkan, bahwa pembebasan yang sebenarnya adalah pembebasan bagi semua pihak. Bung Pram, saya ragu apakah Bung akan setuju dengan asas itu. Bung menolak ide “rekonsiliasi”, seperti Bung nyatakan dalam wawancara dengan Forum Keadilan 26 Maret 2000 pekan lalu. Bung menolak permintaan maaf dari Gus Dur. “Gampang amat!”, kata Bung. Saya kira, di sini Bung keliru.
Ada beberapa kenalan, yang seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di antaranya dalam keadaan yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung. Saya juga sedih, karena Bung telah bersuara parau ketidak-adilan. Justru ketika berbicara untuk keadilan. Bung terutama tak adil terhadap Gus Dur. Bagi seseorang dalam posisi Gus Dur, (Presiden Republik Indonesia, pemimpin NU, tokoh Islam, yang tumbuh dalam masa Orde Baru), meminta maaf kepada para korban kesewenang-wenangan 1965 berarti membongkar tiga belenggu yang gelap dan berat di pikiran banyak orang Indonesia.
Belenggu pertama adalah kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan umatnya sebagai kubu yang suci. Dengan meminta maaf, Gus Dur memberi isyarat bahwa klaim kesucian itu tak bisa dipertahankan, dan tak usah. Tiap klaim kesucian bisa jadi awal pembersihan dan kesewenang-wenangan. Dengan meminta maaf, diakui bahwa dalam peristiwa di tahun 1965 sejumlah besar orang NU, juga orang Islam lain – juga orang Hindu di Bali dan orang Kristen di Jawa Tengah – telah terlibat dalam sebuah kekejaman. Mengakui ini dan meminta maaf sungguh bukan perkara gampang. Bung Pram toh tahu tak setiap orang sanggup melakukan hal itu. Mungkin juga Bung sendiri tidak akan.
Dengan meminta maaf Gus Dur juga membongkar belenggu tahayul selama hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, isteri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar di tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu. Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak.
Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak. Tak banyak tokoh politik yang berbuat demikian, Bung Pram. Tak gampang untuk seperti itu. Gus Dur juga telah membongkar belenggu ”teori” tua ini: bahwa PKI selamanya berbahaya. Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal 1965. Ia juga hendak menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk mempelajari Marxisme-Leninisme. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah masa lampau yang menjauh, gagal—juga di Rusia dan Cina. Memekikkan terus “bahaya komunis” adalah menyembunyikan kenyataan bahwa PKI jauh lebih mudah patah dalam perlawanannya dibandingkan dengan gerakan Darul Islam.
Siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur tidak. Ia sering salah, tapi ada hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin masa lalu tak jadi sebuah liang perangkap. Ia memang bukan Mandela yang pernah dirantai. Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf. Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka, dengan trauma, tapi juga harapan. Dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban yang baru.
Begitu sulitkah Bung menerima prinsip itu? Karena masa lalu seakan-akan menutup pintu ke masa depan? Sekali lagi: siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu.
Tapi mungkin juga Bung hanya bisa melihat korban sebagai perpanjangan diri sendiri. Seakan di luar sana tak mungkin ada. Dalam wawancara, Bung menyatakan setuju bila orang-orang yang tak sepaham dengan Revolusi disingkirkan (ini di masa “Demokrasi Terpimpin” 1959-1965, ketika sejumlah suratkabar dibrangus, sejumlah buku & film & musik dilarang, sejumlah orang dipenjarakan). Bung mengakui ini semua melanggar hak asasi. Dan Bung punya argumen: waktu itu “Perang Dingin” dan Indonesia dalam bahaya. Tapi kekuasaan apa yang berhak menentukan ada “bahaya” atau tidak? Dan jika adanya ”bahaya” bisa menjadi dalih penindasan, Soeharto pun menjadi benar. Ia juga dulu mengumumkan Indonesia terancam bahaya (”komunis”) di Perang Dingin, maka rezimnya pun membunuh, membuang, dan mencopot entah berapa ribu orang dari jabatan. Dan pengadilan dibungkam. Bung memang menambahkan: ingat, pelanggaran hak asasi waktu Bung Karno tak seburuk dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Mochtar Lubis, korban Demokrasi Terpimpin, tak dikurung di Pulau Buru, tapi di Jawa. Memang ada perbedaan. Tapi adakah peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya? Di mana ukurannya, bila di masa yang sama, apalagi di masa yang berbeda, ada yang ditembak mati, ada yang disiksa, ada yang di sel, ada yang di pulau?
Dalam sejarah kesewenang-wenangan, semua korban akhirnya diciptakan setara, biarpun berbeda. Suatu hari dalam kehidupan Pramudya Ananta Toer di Pulau Buru setara terkutuknya dengan suatu hari dalam kehidupan Ivan Denisovich dalam sebuah gulag Stalin. Tak bisa ada hierarki dalam korban, sebagaimana mustahil ada hierarki kesengsaraan.
Saya kira ini penting dikemukakan. Di zaman ketika sang korban dengan mudah dianggap suci, seorang yang merasa lebih ”tinggi” derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak jadi maha hakim terakhir. Tapi seperti setiap klaim kesucian, di sini pun bisa datang kesewenang-wenangan. Mandela tahu itu. Gus Dur mungkin juga tahu itu. Keduanya merendahkan hati. Saya pernah mengharapkan Bung akan bersikap sama. Saya pernah harapkan ini, Bung Pram: bukan sekedar keadilan dan hukum yang adil yang harus dibangun, tapi di arus bawahnya, kebencian pun lepas, dan kemudian hilang, tenggelam. Saya tak tahu masih bisakah saya berharap.
* Tulisan GM ini dimuat di Majalah Tempo 3-9 April 2000, dan dimuat ulang dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2004).
——————-

Saya Bukan Nelson Mandela


(Tanggapan buat Goenawan Mohamad)
oleh Pramoedya Ananta Toer
Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.
Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat. Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa-basi.
Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunyai lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.
Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi.
Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.
Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.
Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf. Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya.
Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.
Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orde Baru.
Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak. Saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri.
Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya.
tulisan ini saya ambil dari boemipoetra.wordpress.com ]
on 4.06.2013
di sebuah toko kenangan. aku baru saja membeli lipatan kaos kaki yang terpaksa aku sukai. diantaranya ada gambar wajah kamu pada mata kakinya. aku hampir lupa kalau kamu memang dipersiapkan menjadi kaos kaki untuk sepatuku nanti. maka aku masukkan kau dalam daftar utang belanjaku malam ini.

di sebuah toko kenangan. aku masuk dengan beberapa angan dan harapan. bertemu dengan tamu yang serupa denganku. perupa yang tahu bagaimana lekuk tubuh yang basah oleh bahasa syarat yang mengisyaratkan harga pada hidup. sayangnya, toko ini terlalu sepi untuk disemat ramai.

baru saja aku mencoba kaos kaki bergambar wajahmu ini di hadapan cermin jujur. aku menemukan banyak mata yang selalu menguntit pilihanku. merapikan dan merekatkan karet sisa yang membusa di kakiku. cermin menasehatiku tentang pilihan, "jangan main-main dengan hidupmu" katanya sambil mencekungkan dirinya. di saat yang sama aku menemukan bayangan lain diriku di dalamnya. setelah cekung, sang cermin menjadi cembung yang aneh. aku semakin gila. semakin banyak aku dalam bayangan yang sama.

kaos kaki itu seharga diri. aku membelinya dengan cukup utung dan segenap genggam harap. sebelum keluar dari pintu belakang, aku sempatkan berjabat erat dengan cermin jujur. ternyata memang hidup bukan permainan. apa lagi soal kalah dan menang.

sesambil pulang, kaos kaki bergambar wajahmu yang baru saja aku lunasi dengan utang bertanya, mengapa kamu memilihku?
di pikiranku, ada usaha untuk menjawab, namun diam adalah jawaban paling bijak. aku tahu untuk membeli kaos kaki yang lebih mahal tentu sulit. namun aku tidak ingin membuat kaos kaki baruku kecewa dengan alasan satu-satuku itu. maka sepanjang jalan aku hanya tersenyum kepadanya dan sesekali membacakan dia prosa jatuh cinta yang belum lengkap.

setiba di rumah, kaos kaki baruku kembali bertanya, mengapa kamu membeliku, sementara kamu belum punya sepatunya?
kali ini aku menjawabnya, karena kamu berarti untuk kesendirianku nanti. kaos kaki baruku tidak cukup mengerti, aku jelaskan sekali lagi tentang apa itu arti dan apa itu makna. dia hanya mempermainkan gambar wajahmu yang diam dengan seribu tatap tanpa kedip.

besok aku akan menjadi kamu, kataku sebelum mematikan lampu kamar tidurku yang berwarna kuning redup. aku ingin menjadi kamu saja dan berharap ada sepasang sepatu yang akan datang menemaniku.

kaos kakiku, kita senasib di kamar ini.
aku kemudian mengajak dia tidur di sisiku dan membiarkan dia jatuh cinta dengan kesendirian ini.
sebenarnya, karena di kaos kaki itu ada wajah kamu saja maka aku paksakan untuk sebaring denganku. aku kemudian mengecupnya tepat di bagian wajahmu.

akhir puisi ini aku menularkan beberapa kaos kaki dalam dirimu.
dan aku sepatu yang berjalan kearah entah.
: kita jodoh yang memanggal takdir -


on 4.04.2013
semakin itu pelukan, semakin itu pulang. banyak pertemuan yang diakhiri dengan pelukan, namun setelah itu ternyata pulang dengan pelukan yang lain.

semakin itu temu, semakin itu pisah. banyak pertemuan yang seharusnya dipisahkan, entah jarak atau memang.

semakin itu rindu, semakin itu benci. banyak kerinduan yang berakhir benci, waktu memang hakim paling adil.

sementara itu -
di tempat paling kiri, banyak yang berusaha mencari diri. mencari kata-kata yang hilang oleh cumbu api cemburu. hidup selalu menyoal pada penerimaan.
on 4.02.2013
kepada kawan-kawan mahasiswa yang masih hidup
yang masih setia memperjuangkan hak-haknya


kepada kawan-kawan mahasiswa yang masih hidup
yang masih setia melawan ketertekanan hak-haknya

kami bukan preman yang perlu dipanggilkan satpam-satpam penjilat kemudian diusir - sirna
kami bukan bajingan kampus yang perlu dibuatkan komisi disiplin agar jinak dan tidak bersuara - mati

perjuangan tidak selamanya atas nama mahasiswa
sebab perjuangan adalah cara kita untuk bertahan dari penggusuran-penggusuran kaum buruhrokrat

kita yang berbaris disini
bersuara lebih kuat dari tekanan yang kalian berikan
tidak akan pernah padam

jangan diam
jangan biarkan suaramu dibungkam kawan
nasib kita ditentukan hari ini
cepat atau lambat
jika ini semua terus dibiarkan
maka esok hari, di kampus ini akan kita temua kerumunan kambing yang dengan mudah dicocoki hidungnya oleh tuan yang sebenarnya kecoa-kecoa yang licik picik.

jika ini dibiarkan
maka esok hari akan lahir kambing-kambing pintar yang hanya tahu mengunyah rumput-rumput kering
tidak tahu harus bagaimana
aaaaaaaaaaaaaargghh

bersatulah mahasiswa
apakah kita akan dengan bangga berbicara tentang keadilan
sementara untuk keluar dari tekanan kecoa-kecoa licik ini saja susah

(dibacakan dihadapan mahasiswa pada panggung ekspresi Aksi Mahasiswa Untuk Keadilan fakultas sastra unhas dan harus berurusan dengan satpam-satpam kamupus yang penjilat)

4.30.2013

Lebih Dekat dengan Pramoedya

Diposting oleh Unknown di 08.41 0 komentar

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 6 Februari 1925. dia merupakan anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo, Pram kecil malah tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tak naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap dirinya sebagai anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus Sekolah Dasar yang dijalaninya di bawah pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak Mastoer, menolak mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP).

Ia pun melanjutkan pendidikan di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya atas biaya ibunya. Biaya pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal di ujian praktik. Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura-pura sibuk di samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum nilai-nilai Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak pernah ia terima. kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mute's Soliloquy: A Memoir

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka.

Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'. Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, 
dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Kisah asmara Pram juga tidak lepas dari pengaruh realitas kemiskinan yang bahkan masih jamak menghinggapi kehidupan para penulis dan seniman masa kini. Perkawinan pertamanya berakhir dengan perceraian dan diusirnya Pram dari rumah mertuanya karena hasil yang ia peroleh dari menulis yang belum menentu tak dapat menafkahi keluarganya. Sementara ia masih hidup tak menentu, suatu hari, meski tak memiliki uang sepeser pun, ia mengunjungi sebuah pameran buku pertama di Indonesia dan melihat salah seorang wanita penjaga stan yang menarik perhatiannya. Ia pun nekad datang dan berkenalan dengan wanita yang ternyata bernama Maemunah tersebut. Setiap hari ia berlama-lama menemani Maemunah duduk di stan itu layaknya seorang penjaga. Bahkan sampai ketika Presiden Soekarno juga mengunjungi dan melihat gadisnya tersebut, dengan bercanda ia gambarkan adegan itu sebagai "buaya kedahuluan buaya." Keteguhan dan pendekatannya pun membawa hasil, Maemunah terbukti adalah istri yang selalu tetap setia mendampinginya dalam segala suka duka mereka sampai sekarang.

Biografi Pramoedya Ananta Toer
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Biografi Pramoedya Ananta ToerPada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram. Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.

Biografi Pramoedya Ananta Toer
Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram. Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Penghargaan
  • Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
  • Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
  • Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
  • Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
  • UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996
  • Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
  • Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
  • Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
  • New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
  • Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
  • The Norwegian Authors Union, 2004
  • Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004
Lain-lain
  • Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
  • Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
  • Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
  • Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
  • Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
  • International PEN English Center Award, Inggris, 1992
  • International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999

4.08.2013

Goenawan Mohamad vs Pramoedya Ananta Toer

Diposting oleh Unknown di 07.54 0 komentar

Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer*

oleh Goenawan Mohamad
Seandainya ada Mandela di sini. Bung Pram, saya sering mengatakan itu, dan mungkin mulai membuat orang jemu. Tapi Mandela, di Afrika Selatan, menyelamatkan manusia dari abad ke-20. Tiap zaman punya gilanya sendiri. Abad ke-20 adalah zaman rencana besar dengan pembinasaan besar. Hitler membunuh jutaan Yahudi karena Jerman harus jadi awal Eropa yang bersih dari ras yang tak dikehendaki. Stalin dan Mao dan Pol Pot membinasakan sekian juta “kontrarevolusioner” karena sosialisme harus berdiri. Kemudian Orde Baru: rezim ini membersihkan sekian juta penduduk karena “demokrasi pancasila” tak memungkinkan adanya orang komunis (dan/atau “ekstrim” lainnya) di sudut manapun.
Rencana besar, cita-cita mutlak, dan mengalirkan darah. Manusia menjadi penakluk. Ia menaklukkan yang berbeda, yang lain, agar dirinya jadi subjek.
Mandela bertahun-tahun di penjara, orang hitam Afrika Selatan bertahun-tahun ditindas, tapi kemudian ketika ia menang, ia membuktikan bahwa abad ke-20 tak sepenuhnya benar: manusia ternyata bisa untuk tak jadi penakluk. Ia menawarkan rekonsiliasi dengan bekas musuh. Ia tak membalikkan posisi dari si objek jadi sang subjek.
Tiap korban yang mengerti rasa sakit yang sangat tak akan mengulangi sakit itu bahkan kepada musuhnya yang terganas. Ia.akan menghabisi batas antara subjek dan objek. Makna “rekonsiliasi” di Afrika Selatan punya analogi dengan impian Marx: karena proletariat tertindas, kelas ini berjuang agar setelah kapitalisme ambruk, segala kelas sosial pun hilang. Proletariat tak akan mengakhiri sejarah dengan berkuasa, melainkan menghapuskan kekuasaan, pangkal lahirnya korban-korban. Sejarah adalah sejarah penebusan kemerdekaan. Utopia itu tak terlaksana, tapi tiap utopia mengandung sesuatu yang berharga. Begitu ia menang, Mandela membongkar kembali tindak sewenang-wenang para petugas rezim apartheid yang menindasnya (dan juga tindak sewenang-wenang pejuang kemerdekaan pendukung Mandela sendiri). Proses itu mirip “pengakuan dosa” di depan publik.
Kemudian: pertalian kembali. Mandela menunjukkan, bahwa pembebasan yang sebenarnya adalah pembebasan bagi semua pihak. Bung Pram, saya ragu apakah Bung akan setuju dengan asas itu. Bung menolak ide “rekonsiliasi”, seperti Bung nyatakan dalam wawancara dengan Forum Keadilan 26 Maret 2000 pekan lalu. Bung menolak permintaan maaf dari Gus Dur. “Gampang amat!”, kata Bung. Saya kira, di sini Bung keliru.
Ada beberapa kenalan, yang seperti Bung, juga pernah disekap di Pulau Buru, di antaranya dalam keadaan yang lebih buruk. Mereka sedih oleh pernyataan Bung. Saya juga sedih, karena Bung telah bersuara parau ketidak-adilan. Justru ketika berbicara untuk keadilan. Bung terutama tak adil terhadap Gus Dur. Bagi seseorang dalam posisi Gus Dur, (Presiden Republik Indonesia, pemimpin NU, tokoh Islam, yang tumbuh dalam masa Orde Baru), meminta maaf kepada para korban kesewenang-wenangan 1965 berarti membongkar tiga belenggu yang gelap dan berat di pikiran banyak orang Indonesia.
Belenggu pertama adalah kebiasaan seorang pemimpin umat untuk memperlakukan umatnya sebagai kubu yang suci. Dengan meminta maaf, Gus Dur memberi isyarat bahwa klaim kesucian itu tak bisa dipertahankan, dan tak usah. Tiap klaim kesucian bisa jadi awal pembersihan dan kesewenang-wenangan. Dengan meminta maaf, diakui bahwa dalam peristiwa di tahun 1965 sejumlah besar orang NU, juga orang Islam lain – juga orang Hindu di Bali dan orang Kristen di Jawa Tengah – telah terlibat dalam sebuah kekejaman. Mengakui ini dan meminta maaf sungguh bukan perkara gampang. Bung Pram toh tahu tak setiap orang sanggup melakukan hal itu. Mungkin juga Bung sendiri tidak akan.
Dengan meminta maaf Gus Dur juga membongkar belenggu tahayul selama hampir seperempat abad: bahwa tiap orang PKI, juga tiap anak, isteri, suaminya, layak dibunuh atau disingkirkan. Gus Dur mencampakkan sebuah sikap yang tak mau bertanya lagi: adilkah yang terjadi sejak 1965 itu? Seandainya pun pimpinan PKI bersalah besar di tahun 1965, toh tetap amat lalim hukuman yang dikenakan kepada tiap orang, juga sanak keluarganya, yang terpaut biarpun tak langsung dengan partai itu. Kita ingat kekejaman purba: sebuah kota dikalahkan dan setiap warganya dibantai atau diperbudak.
Gus Dur agaknya tak menginginkan kezaliman itu. Ia, sebagai presiden, membiarkan dirinya dipotret duduk mesra dekat Iba, putri D.N. Aidit, yang hampir seumur hidupnya jadi pelarian yang tanpa paspor di Eropa. Dalam adegan itu ada gugatan: bersalahkah Iba hanya karena ia anak Ketua PKI? Jawaban Gus Dur: tidak. Tak banyak tokoh politik yang berbuat demikian, Bung Pram. Tak gampang untuk seperti itu. Gus Dur juga telah membongkar belenggu ”teori” tua ini: bahwa PKI selamanya berbahaya. Ia bukan saja minta maaf kepada para korban pembasmian massal 1965. Ia juga hendak menghapuskan larangan resmi bagi orang Indonesia untuk mempelajari Marxisme-Leninisme. Ia seperti menegaskan bahwa komunisme adalah masa lampau yang menjauh, gagal—juga di Rusia dan Cina. Memekikkan terus “bahaya komunis” adalah menyembunyikan kenyataan bahwa PKI jauh lebih mudah patah dalam perlawanannya dibandingkan dengan gerakan Darul Islam.
Siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu. Gus Dur tidak. Ia sering salah, tapi ada hal-hal pelik yang ia tempuh karena ia ingin masa lalu tak jadi sebuah liang perangkap. Ia memang bukan Mandela yang pernah dirantai. Tapi seorang korban yang memaafkan sama nilainya dengan seorang bukan-korban yang meminta maaf. Maaf bukanlah penghapusan dosa. Maaf justru penegasan adanya dosa. Dan dari tiap penegasan dosa, hidup pun berangkat lagi, dengan luka, dengan trauma, tapi juga harapan. Dendam mengandung unsur rasa keadilan, tapi ada yang membedakan dendam dari keadilan. Dalam tiap dendam menunggu giliran seorang korban yang baru.
Begitu sulitkah Bung menerima prinsip itu? Karena masa lalu seakan-akan menutup pintu ke masa depan? Sekali lagi: siapa yang menghentikan masa lalu, akan dihentikan oleh masa lalu.
Tapi mungkin juga Bung hanya bisa melihat korban sebagai perpanjangan diri sendiri. Seakan di luar sana tak mungkin ada. Dalam wawancara, Bung menyatakan setuju bila orang-orang yang tak sepaham dengan Revolusi disingkirkan (ini di masa “Demokrasi Terpimpin” 1959-1965, ketika sejumlah suratkabar dibrangus, sejumlah buku & film & musik dilarang, sejumlah orang dipenjarakan). Bung mengakui ini semua melanggar hak asasi. Dan Bung punya argumen: waktu itu “Perang Dingin” dan Indonesia dalam bahaya. Tapi kekuasaan apa yang berhak menentukan ada “bahaya” atau tidak? Dan jika adanya ”bahaya” bisa menjadi dalih penindasan, Soeharto pun menjadi benar. Ia juga dulu mengumumkan Indonesia terancam bahaya (”komunis”) di Perang Dingin, maka rezimnya pun membunuh, membuang, dan mencopot entah berapa ribu orang dari jabatan. Dan pengadilan dibungkam. Bung memang menambahkan: ingat, pelanggaran hak asasi waktu Bung Karno tak seburuk dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Mochtar Lubis, korban Demokrasi Terpimpin, tak dikurung di Pulau Buru, tapi di Jawa. Memang ada perbedaan. Tapi adakah peringkat penderitaan? Bagaimana membandingkannya? Di mana ukurannya, bila di masa yang sama, apalagi di masa yang berbeda, ada yang ditembak mati, ada yang disiksa, ada yang di sel, ada yang di pulau?
Dalam sejarah kesewenang-wenangan, semua korban akhirnya diciptakan setara, biarpun berbeda. Suatu hari dalam kehidupan Pramudya Ananta Toer di Pulau Buru setara terkutuknya dengan suatu hari dalam kehidupan Ivan Denisovich dalam sebuah gulag Stalin. Tak bisa ada hierarki dalam korban, sebagaimana mustahil ada hierarki kesengsaraan.
Saya kira ini penting dikemukakan. Di zaman ketika sang korban dengan mudah dianggap suci, seorang yang merasa lebih ”tinggi” derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak jadi maha hakim terakhir. Tapi seperti setiap klaim kesucian, di sini pun bisa datang kesewenang-wenangan. Mandela tahu itu. Gus Dur mungkin juga tahu itu. Keduanya merendahkan hati. Saya pernah mengharapkan Bung akan bersikap sama. Saya pernah harapkan ini, Bung Pram: bukan sekedar keadilan dan hukum yang adil yang harus dibangun, tapi di arus bawahnya, kebencian pun lepas, dan kemudian hilang, tenggelam. Saya tak tahu masih bisakah saya berharap.
* Tulisan GM ini dimuat di Majalah Tempo 3-9 April 2000, dan dimuat ulang dalam buku Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2004).
——————-

Saya Bukan Nelson Mandela


(Tanggapan buat Goenawan Mohamad)
oleh Pramoedya Ananta Toer
Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan. Dia berharap saya menerima permintaan maaf yang diungkapkan Presiden Abdurrahman Wahid (Tempo, 9 April 2000), seperti Mandela memaafkan rezim kulit putih yang telah menindas bangsanya, bahkan memenjarakannya. Saya sangat menghormati Mandela. Tapi saya bukan dia, dan tidak ingin menjadi dia.
Di Afrika Selatan penindasan dan diskriminasi dilakukan oleh kulit putih terhadap kulit hitam. Putih melawan hitam, seperti Belanda melawan Indonesia. Mudah. Apa yang terjadi di Indonesia tidak sesederhana itu: kulit cokelat menindas kulit cokelat. Lebih dari itu, saya menganggap permintaan maaf Gus Dur dan idenya tentang rekonsiliasi cuma basa-basi. Dan gampang amat meminta maaf setelah semua yang terjadi itu. Saya tidak memerlukan basa-basi.
Gus Dur pertama-tama harus menjelaskan dia berbicara atas nama siapa. Mengapa harus dia yang mengatakannya? Kalau dia mewakili suatu kelompok, NU misalnya, kenapa dia berbicara sebagai presiden? Dan jika dia bicara sebagai presiden, kenapa lembaga-lembaga negara dilewatinya begitu saja? Sekalipun dalam kapasitasnya sebagai presiden, Gus Dur tidak bisa meminta maaf. Negara ini mempunyai lembaga-lembaga perwakilan, dan biarkan lembaga negara seperti DPR dan MPR mengatakannya. Bukan Gus Dur yang harus mengatakan itu.
Yang saya inginkan adalah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa-basi.
Saya tidak mudah memaafkan orang karena sudah terlampau pahit menjadi orang Indonesia. Buku-buku saya menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah lanjutan di Amerika, tapi di Indonesia dilarang. Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan. Keluarga saya mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu anak saya pernah melerai perkelahian di sekolah, tapi ketika tahu bapaknya tapol justru dikeroyok. Istri saya berjualan untuk bertahan hidup, tapi selalu direcoki setelah tahu saya tapol. Bahkan sampai ketua RT tidak mau membuatkan KTP. Rumah saya di Rawamangun Utara dirampas dan diduduki militer, sampai sekarang. Buku dan naskah karya-karya saya dibakar.
Basa-basi baik saja, tapi hanya basa-basi. Selanjutnya mau apa? Maukah negara mengganti kerugian orang-orang seperti saya? Negara mungkin harus berutang lagi untuk menebus mengganti semua yang saya miliki.
Minta maaf saja tidak cukup. Dirikan dan tegakkan hukum. Semuanya mesti lewat hukum. Jadikan itu keputusan DPR dan MPR. Tidak bisa begitu saja basa-basi minta maaf. Tidak pernah ada pengadilan terhadap saya sebelum dijebloskan ke Buru. Semua menganggap saya sebagai barang mainan. Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan, sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya.
Ketika dibebaskan 14 tahun lalu, saya menerima surat keterangan bahwa saya tidak terlibat G30S-PKI. Namun, setelah itu tidak ada tindakan apa-apa. Dalam buku saya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang terbit pada 1990 juga terdapat daftar 40 tapol yang dibunuh Angkatan Darat. Tapi tidak pernah pula ada tindakan.
Saya sudah kehilangan kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur. Dia, seperti juga Goenawan Mohamad, adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim. Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme. Mereka semua ikut bertanggung jawab atas penderitaan yang saya alami. Mereka ikut bertanggung jawab atas pembunuhan-pembunuhan Orde Baru.
Goenawan mungkin mengira saya pendendam dan mengalami sakit hati yang mendalam. Tidak. Saya justru sangat kasihan dengan penguasa yang sangat rendah budayanya, termasuk merampas semua yang dimiliki bangsanya sendiri.
Saya sudah memberikan semuanya kepada Indonesia. Umur, kesehatan, masa muda sampai setua ini. Sekarang saya tidak bisa menulis-baca lagi. Dalam hitungan hari, minggu, atau bulan mungkin saya akan mati, karena penyempitan pembuluh darah jantung. Basa-basi tak lagi bisa menghibur saya.
tulisan ini saya ambil dari boemipoetra.wordpress.com ]

4.06.2013

sepatu-sepatu untuk kaos kakiku

Diposting oleh Unknown di 10.28 0 komentar
di sebuah toko kenangan. aku baru saja membeli lipatan kaos kaki yang terpaksa aku sukai. diantaranya ada gambar wajah kamu pada mata kakinya. aku hampir lupa kalau kamu memang dipersiapkan menjadi kaos kaki untuk sepatuku nanti. maka aku masukkan kau dalam daftar utang belanjaku malam ini.

di sebuah toko kenangan. aku masuk dengan beberapa angan dan harapan. bertemu dengan tamu yang serupa denganku. perupa yang tahu bagaimana lekuk tubuh yang basah oleh bahasa syarat yang mengisyaratkan harga pada hidup. sayangnya, toko ini terlalu sepi untuk disemat ramai.

baru saja aku mencoba kaos kaki bergambar wajahmu ini di hadapan cermin jujur. aku menemukan banyak mata yang selalu menguntit pilihanku. merapikan dan merekatkan karet sisa yang membusa di kakiku. cermin menasehatiku tentang pilihan, "jangan main-main dengan hidupmu" katanya sambil mencekungkan dirinya. di saat yang sama aku menemukan bayangan lain diriku di dalamnya. setelah cekung, sang cermin menjadi cembung yang aneh. aku semakin gila. semakin banyak aku dalam bayangan yang sama.

kaos kaki itu seharga diri. aku membelinya dengan cukup utung dan segenap genggam harap. sebelum keluar dari pintu belakang, aku sempatkan berjabat erat dengan cermin jujur. ternyata memang hidup bukan permainan. apa lagi soal kalah dan menang.

sesambil pulang, kaos kaki bergambar wajahmu yang baru saja aku lunasi dengan utang bertanya, mengapa kamu memilihku?
di pikiranku, ada usaha untuk menjawab, namun diam adalah jawaban paling bijak. aku tahu untuk membeli kaos kaki yang lebih mahal tentu sulit. namun aku tidak ingin membuat kaos kaki baruku kecewa dengan alasan satu-satuku itu. maka sepanjang jalan aku hanya tersenyum kepadanya dan sesekali membacakan dia prosa jatuh cinta yang belum lengkap.

setiba di rumah, kaos kaki baruku kembali bertanya, mengapa kamu membeliku, sementara kamu belum punya sepatunya?
kali ini aku menjawabnya, karena kamu berarti untuk kesendirianku nanti. kaos kaki baruku tidak cukup mengerti, aku jelaskan sekali lagi tentang apa itu arti dan apa itu makna. dia hanya mempermainkan gambar wajahmu yang diam dengan seribu tatap tanpa kedip.

besok aku akan menjadi kamu, kataku sebelum mematikan lampu kamar tidurku yang berwarna kuning redup. aku ingin menjadi kamu saja dan berharap ada sepasang sepatu yang akan datang menemaniku.

kaos kakiku, kita senasib di kamar ini.
aku kemudian mengajak dia tidur di sisiku dan membiarkan dia jatuh cinta dengan kesendirian ini.
sebenarnya, karena di kaos kaki itu ada wajah kamu saja maka aku paksakan untuk sebaring denganku. aku kemudian mengecupnya tepat di bagian wajahmu.

akhir puisi ini aku menularkan beberapa kaos kaki dalam dirimu.
dan aku sepatu yang berjalan kearah entah.
: kita jodoh yang memanggal takdir -


4.04.2013

Di Tempat Paling Kiri

Diposting oleh Unknown di 09.41 0 komentar
semakin itu pelukan, semakin itu pulang. banyak pertemuan yang diakhiri dengan pelukan, namun setelah itu ternyata pulang dengan pelukan yang lain.

semakin itu temu, semakin itu pisah. banyak pertemuan yang seharusnya dipisahkan, entah jarak atau memang.

semakin itu rindu, semakin itu benci. banyak kerinduan yang berakhir benci, waktu memang hakim paling adil.

sementara itu -
di tempat paling kiri, banyak yang berusaha mencari diri. mencari kata-kata yang hilang oleh cumbu api cemburu. hidup selalu menyoal pada penerimaan.

4.02.2013

Kita yang Berbaris Di Sini

Diposting oleh Unknown di 08.33 0 komentar
kepada kawan-kawan mahasiswa yang masih hidup
yang masih setia memperjuangkan hak-haknya


kepada kawan-kawan mahasiswa yang masih hidup
yang masih setia melawan ketertekanan hak-haknya

kami bukan preman yang perlu dipanggilkan satpam-satpam penjilat kemudian diusir - sirna
kami bukan bajingan kampus yang perlu dibuatkan komisi disiplin agar jinak dan tidak bersuara - mati

perjuangan tidak selamanya atas nama mahasiswa
sebab perjuangan adalah cara kita untuk bertahan dari penggusuran-penggusuran kaum buruhrokrat

kita yang berbaris disini
bersuara lebih kuat dari tekanan yang kalian berikan
tidak akan pernah padam

jangan diam
jangan biarkan suaramu dibungkam kawan
nasib kita ditentukan hari ini
cepat atau lambat
jika ini semua terus dibiarkan
maka esok hari, di kampus ini akan kita temua kerumunan kambing yang dengan mudah dicocoki hidungnya oleh tuan yang sebenarnya kecoa-kecoa yang licik picik.

jika ini dibiarkan
maka esok hari akan lahir kambing-kambing pintar yang hanya tahu mengunyah rumput-rumput kering
tidak tahu harus bagaimana
aaaaaaaaaaaaaargghh

bersatulah mahasiswa
apakah kita akan dengan bangga berbicara tentang keadilan
sementara untuk keluar dari tekanan kecoa-kecoa licik ini saja susah

(dibacakan dihadapan mahasiswa pada panggung ekspresi Aksi Mahasiswa Untuk Keadilan fakultas sastra unhas dan harus berurusan dengan satpam-satpam kamupus yang penjilat)