on 2.28.2014
Enam puluh hari sebelum kiamat tiba
Isa turun ke bumi - ah, mungkin Yesus, Sangkala, atau Bagong
terserah, tidak penting siapa gerangan
katanya, ia bertugas membantah mata satu
dan menolong orang-orang dari fitnah menyesatkan

Kita pernah berpelukan di sebuah bukit
pohon akasia rimbun berdiri tegak, ia ikhlas mematahkan daunnya
kemudian kita menyulamnya menjadi ranjang
di hadapan paus agung yang berdoa kepada kepada hari minggu
kita bercinta dengan puas, juga buas

Setelah tak bisa lagi mengucapkan sepatah kata
dengan gigimu yang tajam, kau runcingkan sebuah tangkai
menusuk kemaluanku dan menikam jantungmu
kita baring, berdua, dengan mata pejam
kau tahu, pada bagian ini, aku merasa lebih romantis dari kisah manapun
termasuk, romeo dan juliet
setelah kematian kita, akasia tegak itu meleleh menjadi selimut
menutup tubuh telanjang kita

Dajjal yang bertugas mewakili tuhan untuk memfitnah manusia,
tiba di hadapan kita
dengan mata satunya, ia menyihir tubuhmu menjadi pohon akasia baru
dan ia rampingkan tubuhku lalu menjadikannya akar untukmu
ia mengabarkan kepada khalayak ramai
tentang kisah dua orang pezina yang dihukum tuhan di atas bukit
lalu, penyelamat yang aku lupa namanya itu, mendatangi kita
ia berdoa kepada tuhan
atas nama cinta, aku meminta kepadamu
janganlah tibakan kiamat buat mereka berdua

Tuhan kemudian menyehatkan tubuh kita dari kematian
tapi, kisah yang panjang ini harus kau akhiri
kau pergi bersama dajjal itu, sedangkan aku, membangun rumah di atas bukit
mungkin, penyelamat itu suka membuat orang-orang menyendiri

dan aku tahu, selamat yang sebenarnya adalah kiamat
on 2.26.2014
Hal-hal yang kau cari, tak selalu ada padaku
“aku adalah ruang kosong berisi udara”
orang-orang senang singgah padaku
sekadar merokok, atau mencari angin
lalu pergi, menjadi pelukannya masing-masing

Aku rendah, yang melihatmu tinggi
satu atau dua waktu, mungkin aku akan menyelam
semakin dalam
dan kau akan terbang, melangit
semakin tinggi

Hal yang aku butuhkan terikat di daun waktu
ia akan gugur, tepat saat aku memelukmu
maka aku memilih, tak melatih tanganku, memeluk apapun

Jika kau sempat
rampoklah hal baik dariku
ia tak aku butuhkan lagi
kelak, setelah aku mengisi diri
dan kau belajar rendah hati
mungkin kau memerlukannya
menjaring udara di ruang kosong
sambil membaca ulang baris pertama

hingga kau menemukan kalimat ini, kembali 
on 2.21.2014
Ia membalas suratku
setelah sebelumnya, saat melihatnya, hanya berwajah kayu
dan lebih banyak digunakan
sebagai kertas cakaran, saat ujian matematika

Pagi itu, pelajaran Biologi, tentang alat reproduksi
guruku yang seksi dan montok menjelaskan dengan wajah merah
kami semua bertanya, polos, dan bermaksud ingin tahu
kecuali aku, yang sedari tadi menunggu,
dengan wajah merah dan sekali-kali menghela nafas panjang
“jangan-jangan, ia hanya menggunakannya menggambar alat reproduksi” gumamku

Aku menyimpannya di laci meja
dengan batangan coklat dan buku puisi Chairil Anwar - aku mencurinya dari rak buku kakakku
aku berharap, ia menemukan dan membacanya
seperti detektif Conan, berharap orang dewasa berhenti menganggapnya anak kecil
selalu ingin terlihat dewasa

Ia membalas suratku
berita di koran minggu tentang matahari mendadak menjadi bencong
dan bulan yang kini homoseksual
di dapur, kakakku marah karena buku kesayangan dari pacarnya hilang
dan ayahku yang curiga uang di saku celananya raib menjadi coklat
juga, tentang gosip hidupnya kembali Bunda Teresa
terasa tidak penting lagi
di dalam kamar, lagu I’m Your Man milik Leonard Cohen mengalun
aku berjoget dengan angka merah di rapor sekolahku
aduh, ia membalas suratku
Di atas bukit, tempat ayahmu meninggikan nisan dan merendahkan tubuh
merpati terbang, rendah, diam-diam mematuk cahaya bulan
seorang perempuan, berjalan, tegak menuju makam
melapak karpet, bersila, dan menyisir rambutnya hingga gugur
helai demi helai
waktu berlari perlahan, meski gesit, terasa lama sekali
seperti tawa Ismail, saat ingin disembelih Ibrahim
lambat dan menipu

Saya pernah membangun rumah di kaki bukit
tapi pinokio meminjam pintu dan jendelanya
melengkapi lengan dan kaki kayunya, kata Gepetto
sayangnya, dalam kisah ini, peri biru adalah pembohong,
mahir menyulap kejahatan
pinokio tak pernah hidup, pintu dan jendela itu kini benar-benar hilang
benar-benar mati

Dalam puisi ini
merpati terbang itu kini berubah menjadi puluhan lengan yang memeluk makam ayahmu
dan aku adalah pinokio
kayu, mencintaimu, dan hanya sisa pintu, juga jendela
sedang peri biru itu adalah puisi ini
yang mewakili kalimat terakhir pada bait pertama

Bakarlah tubuhku, kayu yang bukan pembohong, meski hidung ini memang panjang
abunya kau tabur di makam ayahmu
semoga ia mengizinkanku mencintaimu

Dan tolong, sampaikan salamku pada perempuan di bait pertama
ia adalah jelmaan bulan, yang telah mengumpulkan kayu-kayu
agar Gepetto tahu, bahwa setiap orang butuh cinta
meskipun itu tinggi dan penuh rahasia
on 2.18.2014
Tujuh jam yang lalu – kurang lebih
terakhir kali kita berhubungan
hanya lewat media sosial
yang akhir-akhir ini jarang aku manfaatkan

Buku-buku dan belajar menulis
mengurangi jarak kita menjadi jauh
hape pintarmu cukup menjadi bukti
kita hanya menghabiskan tekanan jari dengan ucapan selamat pagi yang hampa
lalu aku kembali tidur
dan kau sibuk menelponku agar mengikuti mata kuliah leksikografi yang membosankan

Bintang kuning membawa kita pada haleluyah
dan hal-hal yang mengusik perasaan
puisi itu memang tentang betapa aku merasa menjadi benalu
setidaknya, hanya menghabiskan waktumu
untuk memperhatikan juga mempertahankan seorang lelaki yang tidak pantas mendapatkannya

Puisi ini bangun, dengan kata-katanya sendiri
untuk menidurkanku yang akhir-akhir ini rumit dengan banyak hal-hal sederhana


Selamat, kau baru saja menemukan kekasih baru yang juga mencintaimu
on 2.17.2014
Kepada suratku yang pernah kau baca tepat di sampingku yang sedang sembunyi di balik daun telingamu

Suatu hari, di kamarmu, kau sedang telanjang
tanpa ketuk, tanpa salam, aku masuk lewat cela pintumu
baring, membujurkan tubuh diantara guling putih dan tumpukan pakaian kotor
kau sedang menyelesaikan puisi ini

Kamar hening, Leonard Cohen dan lembut Haleluyah terdengar, pelan, berulang-ulang
saat kau sadar ada orang lain di kamar ini - dan aku mulai tahu kau terusik keberadaanku,
aku menyuling tubuhku menjadi air dan berjalan keluar lewat jendela.
jatuh di taman rumahmu
tepat di pot bunga kamboja
memilih menetap, tak beranjak

Tahun bergerak lambat
suatu malam yang gelisah, gigimu sakit dan kau tidak bisa tertidur
kau meludah di jendela, tepat mengenai punggungku yang telungkup
kau sadar, aku masih air yang pernah menyelinap ke kamarmu
tak pergi
tak mati

Lama, aku mengusik dirimu, diam-diam
aku ingat kisah pada lagu di bait kedua

“Raja Daud melihat Betseba, istri Uria, mandi, tubuhnya montok, dan telanjang
ia kemudian ingin bercinta dengannya
lalu menyuruh Uria pergi ke medan perang dan akhirnya terbunuh”

Aku bertahun-tahun mematikan rasa nyamanmu, seandainya kau tahu
dan saat aku telah pergi, kau masih merasa aku mungkin sedang bersembunyi di laci menjamu, di bawah ranjangmu, atau di dalam behamu.

Ah, maafkan aku Uria – aku begitu hijau melihat pelangi cinta
juga terima kasihku milik Leonard Cohen, kau membuatku tahu
jatuh cinta itu hal sederhana yang istimewa
dan kita tak perlu menjelma menjadi tuhan
on 2.16.2014
Tubuhmu baru saja bau tanah
hingga sepasang mata menahan anak panah
sekali kedip, pengincar hatimu patah
kata orang, dia peziarah dari musim langit
tapi, kau tidak butuh peziarah, rupanya
lalu mininggalkannya sendiri

Kini, kau lebih banyak menghabiskan waktu di dapur milik cemburuku
orang-orang mulai senang memberi nasehat
“jangan bermain api, jika tidak ingin terbakar”
pepatah yang mirip kisah kita itu mungkin benar - tapi mungkin juga salah

Jutaan tahun yang lalu, seorang lelaki gagal dilahap api
semenjak itu, saya percaya, ada api yang bertugas untuk menyejukkan
setidaknya, Ibrahim tidak mati dalam pembakaran Raja Namrud

Alasanmu meninggalkan peziarah itu kini disapa ayah oleh anak-anakmu
sedang aku, peziarah yang kau tinggalkan itu, baru berpikir menyelesaikan puisi ini
jangan baca dari bait kedua, sebab, mungkin kau hanya menjadikan
kisah Ibrahim sebagai mitos
tapi yakinlah, aku masih bait pertama yang setia
mengunjungi masa lalu kita

meski hanya mendapatkan patahan anak panah
on 2.15.2014
Aku menulis puisi ini saat kau sedang marah – aku hampir tidak mengenalmu
usahaku memadamkan api selalu gagal
kau tahu mengapa?
karena api hanya padam, ketika ia sudah tidak dibutuhkan
begitulah elak api, saat dituduh tak setia

Kemarin, di sebuah cafe yang tidak sunyi, aku membaca ramai puisi untukmu
ada lilin, menyala, sendiri, di mejamu
semakin dekat puisiku, semakin redup cahayanya
ia mungkin tahu, bahwa setiap kejujuran membutuhkan ketidakjujuran
entah, siapa yang mahir berbohong

“kita mungkin gagal memahami cinta
jika hanya mengandalkannya – kembalilah ke baris ketiga”

Bahkan, cupid yang bodoh itu selalu gagal memaknai cinta
kata seorang lelaki yang baru saja sadar, ia tidak dicintai kekasihnya

“saya tidak bisa menlanjutkan puisi ini
winter lady milik leonard cohen ternyata lebih jujur mengatakan dirinya
aku kalah, aku salah“


aku memang selalu menjadi baris kedua dalam puisi ini
on 2.13.2014

Pernah, sekali, seumur hidupku
aku mencintaimu
sejak itu, aku selalu gagal membuat sajak yang cantik untukmu – juga yang ini
pula, selalu berhasil tak mati
sampai tuhan, bosan memanggilku, pulang
dan aku mulai marah tiap tuhan menyebut namaku, berkali-kali

“kepada makam: kau tak pernah rela seorang lelaki yang kau cintai mati
meninggalkanmu, dan kau harus jatuh cinta lagi”

Masa lampau, kau begitu hebat membayangkan
cinta yang kita pikul adalah beban buruk yang gembira
menjelma menjadi twitter, pengeras suara, macet, atau apapun yang kita tak suka

Katamu, aku kekasih terbaik
seperti melihat bianglala, hanya karena kita di bumi
sedang hujan tipis, cahaya matahari, dan garis warna menyimpan rahasia
masing-masing tak pernah jujur kepada manusia
apakah memang mereka diciptakan untuk menipu mata kita
atau manusia memang senang menipu dirinya sendiri dengan keindahan
aku takut, kau sebenarnya hanya tertipu
kepada bianglala - juga diriku

Dalam sajak ini
aku ingin menjadi kata kedua pada bagian judul
lalu memasukkan makam dan bianglala ke ruang makan kita
menyantapnya menjadi tawa
aku ingin kau jujur melihatku
dari tempatku dan semua yang ada padaku
sebab kita hanya dapat berbohong semasa hidup

aku takut, kau memanfaatkannya untukku.
on 2.11.2014
Seperti mimpi buruk yang kerap datang terlambat
kau mempercayakan tidurmu pada kasur yang lembut
dibuat dari ratusan bulir keringat yang tidak kau kenal
“ia mengorbankan tidurnya agar kau senantiasa bahagia,
memaksa tubuhnya bekerja agar kau bisa beristirahat dengan nyaman”

Mimpi buruk itu kumpulan kantuk yang ditahan para pekerja
kali ini, dalam mimpimu, kau melihat puluhan juta gergaji
masuk ke dalam kepalamu yang sempit
memotong besar-besar otak kecilmu
gergaji itu mendorong biji matamu keluar, mirip pemain bola sodok
sengaja memasukkan bola besar ke dalam lubang kecil agar menjadi pememang
semakin kaumerasa ketakutan, semakin bahagia mimpi burukmu

Kau sangat mencintai tidur
sebab, hanya itu salah satu waktu yang dapat kau nikmati
-          tentu, selain bercinta dengan bosmu di kantor,
dan melayani suami orang yang istrinya juga sedang melayani orang lain

Meskipun mimpimu sangat buruk
kau tidak ingin terbangun dan memaksa tidurmu untuk betah
bertahan menutup matamu
sepejam-pejamnya, sekuat-kuatnya

Esok paginya, kau mandi dan kembali bekerja seperti biasa
yang terbayang di kepalamu hanya gaya seperti apa lagi yang akan bosmu gunakan hari ini
untuk memperkosa hari-hari indahmu

tapi, hari itu kau menolak
kau melepas seragam dan berjalan menuju gudang tua
tempat orang-orang menyucikan dirinya menjadi muda


Selamat, kau baru saja sadar dari mimpi burukmu
on 2.10.2014
Sebuah lagu terputar. Dengan senang hati, aku mendengarnya. Suara Pramoedya Ananta Toer mengawali lagu, “Pram adalah Pram. Pram adalah Pram.” Kalimat sederhana tapi membuatnya banyak menderita.
Pram kerap dituding sebagai komunis - juga PKI. Tapi, melalui lagu Catastrope yang berjudul Elegi Untuk Pramoedya Ananta Toer, kita diajak mengenal siapa Pram sebenarnya.
Jika membaca buku sejarah atau beberapa pranala yang ada di internet, kita akan mendapatkan beberapa informasi tentang Pram. Diantaranya, dia adalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), berhaluan komunis, dan pernah dipenjara belasan tahun pada masa Orde Baru.
Itu bukan lagi masalah yang perlu kita debatkan, toh masih ada ribuan orang yang juga bernasib sama dengan Pram. Dan sampai sekarang, belum ada pernyataan resmi negara untuk mengakui bahwa itu adalah kesalahan terindah yang pernah dilakukannya. Keji.

***

            Pramoedya Ananta Toer memang tidak bisa lagi dipisahkan dengan karyanya. Melintasi zaman dan terus bergerak menyadarkan banyak orang akan pentingnya mengetahui sejarah.
Seperti kebanyakan orang, kita kadang meletakkan Pram – juga karyanya, sebagai alternatif untuk mengenal sastra dan sejarah Indonesia. Ini membuat karya Pram seperti anak yang tidak diharapkan lahir, namun ternyata, pada masanya, ia berhasil menciptakan sebuah hegemoni.
Kerap kali, saya mendengar ungkapan dari teman-teman yang juga suka membaca karya Pram “buku itu tidak bagus, mending kamu baca Bumi Manusia, atau Anak Semua Bangsa, karya Pram”. Itu seperti ungkapan pemerintah, “beralihlah dari bensin bersubsidi ke pertamax.” Sama-sama menjadikan karya Pram dan pertamax sebagai alternatif.
Membuat orang tahu betapa pentingnya membaca karya Pram, bukan perkerjaan yang mudah, tapi juga tidak sulit. Seperti halnya orang tua yang menghegemoni anaknya dengan ungkapan, surga ada di telapak kaki ibu. Itu membuat banyak anak merasa harus berbakti lebih giat kepada ibu, jika ingin masuk surga.

***

            Saat diskusi mengenai Pram di halaman Kedai Buku Jenny, seorang teman mengatakan, bahwa pembaca Pram itu bukan hanya kalangan mahasiswa sastra, aktivis, atau orang-orang yang memang suka dengan Pram, tapi juga, mahasiswa ekonomi, hukum, bahkan kedokteran. Cukup beragam. Itu artinya, bahwa pembaca Pram sebenarnya cukup banyak, dan tidak bisa lagi dikatakan bacaan alternatif.
            Tapi, sampai sekarang, masih ada orang yang senang memperkenalkan karya Pram sebagai alternatif, seperti yang teman saya lakukan saat melihat temannya membaca teenlit, menyuruhnya untuk beralih membaca karya Pram.
            Sebagai pembaca, kita bukan diktator yang berkuasa memaksa orang lain membaca apa yang kita suka. Cukup memperkenalkan apa kenikmatan dan manfaat membaca Pram. Toh, sampai sekarang, orang-orang lebih senang membeli bensin bersubsidi, dari pada pertamax. Selain harganya murah, kita memang lebih senang menikmati subsidi. Begitupun dengan membaca, kita sebaiknya menikmati apa yang kita gemari. Bukan yang apa orang banyak baca. 

Selamat mencintai Pram – juga selamat ulang tahun kepadanya.
Kau senang menumbuhkan dirimu sendiri
menjadi puluhan pucuk surat yang manja
seperti deretan pelangi
setelah hujan, basah, dan hanya di langit

Katamu, kau suka mengunjungi rumah pesulap
melihatnya menipu matamu, menghabiskan waktumu, dan membantumu menjadi ajaib
simsalabim!

Tubuhmu sengaja menjadi pohon
membuahkan sakit hati
kau memang pendendam yang sopan
seolah mengerti perihal memutuskan
kapan waktu yang tepat menggugurkan daun, mematahkan ranting, dan memeluk tanah
mengizinkan sekelompok burung menyangkar
merawat anak-anaknya menjadi puluhan hal yang tak lazim kau lihat

Sebagai pohon, tubuhmu selalu bergetah setelah terluka
tahukah kau mengapa aku senang menyuburkan pohon di halamanku,
membuatnya terluka dan banyak meminum air sumur yang pernah kita gunakan membasuhi tubuh dan membasahi subuh
aku hendak mengundang dirimu untuk tumbuh
kembali menjadi pucuk surat yang manja
on 2.07.2014
Hujan jatuh. seorang kekasih kuyup di bawah langit
tubuhnya mencair, menjadi air seni, air sungai, luapan banjir, bensin, kuah bakso, juga darah
ia jatuh ke tanah, menggigil dan tak bisa lagi mengatakan
“aku mencintaimu” – tapi ia telah menghabiskan ribuan kata yang sama untukmu
ia tidak membiarkan siapapun menolongnya, kecuali kata
yang bibirmu tidak pernah menampungnya, juga menyimpannya
untuk seorang yang sedang meminta pertolongan kepada hujan

Kau mungkin kian dengki, wajahmu memerah, kesetanan sambil berkata
“aku juga mencintaimu, bodoh.
tapi aku sungguh membenci hujan, tempat kau kuyup
lihatlah, betapa menjijikkannya dirimu.”
tapi, di dalam engganmu yang raksasa, kau berbisik untuk telingamu sendiri
“sungguh, hujan juga membuatku semakin mencintaimu, semakin menginginkanmu. sangat”

Seperti belajar memahami perkataan orang-orang suci
mereka menyampaikannya dengan sederhana, berhutan, dan membunuh
kita mudah memahami, tapi lebih mudah tersesat di rimbunnya, hati-hati terbunuh

Kau memilih tidak pernah mengatakan perasaanmu
sedang gigil itu adalah panggilan telpon yang berdering, terus menerus.
ia butuh “halo”, bukan “tut, tut, tut,”
apa lagi, nomor yang anda hubungi sedang sibuk dengan orang lain, atau berada di luar jangkauan perasaanmu, tolong tinggalkan ia. mohon.

Seperti yang kau tulis dalam surat yang tidak pernah kau kirim kepadanya
kau juga mencintainya, tapi mata siapa yang bisa menjangkau laci mejamu
juga kobaran api, yang mengabukan kertas-kertas suratmu

ingat, aku pernah mengirim merapati ke rumahmu?
di sayap kirinya, aku menyimpan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang belum kau sampaikan kepadaku
bertanyalah kepadanya. ia baik hati dan juga bisa pergi kapan saja.


Makassar – Februari 2014
on 2.06.2014
Pintu masuk ke dalam tubuhmu terbentuk dari ribuan bingkai
tempat tubuhku kau pajang
terpasung 

“tersalip dengan luka di tubuh
kawat duri melingkari kepala
ia kesakitan, tapi tak meronta
tubuh berdarah, merah, dan bergetar”

Kau menjadikan siksaan sebagai arsip candaan
tintamu mata, kau menulis kemarahan dengan bahagia
mencambukku dengan campakan yang berbunga
sedang aku memeluk tubuhmu dengan cara menikmati kesakitan. sendiri

“Aku adalah tubuh terpasung yang tak pernah lelah
mencintaimu dengan tangan terpaku dan kepala berkawat duri”

Aku pelukan yang tak pernah kauizinkan
menyentuh longgar tubuhmu
sementara lenganku dengan setia terpaku
lebih dalam. sangat dalam. melekat di tubuhmu. tiap waktu.

Kau mengutukku tanpa sadar, seperti dongeng dari Ibu yang anaknya menjadi batu
tapi kebencian memang terbuat dari pelukan - jika kepalamu terus memikirnya, kau sulit melepasnya,
kini aku siapkan sebuah palung raksasa, pukullah hal buruk dalam tubuhku
semoga kau tidak – atau sedang – menyakiti dirimu sendiri.

Makassar - Februari 2014

2.28.2014

Kun!

Diposting oleh Unknown di 06.47 0 komentar
Enam puluh hari sebelum kiamat tiba
Isa turun ke bumi - ah, mungkin Yesus, Sangkala, atau Bagong
terserah, tidak penting siapa gerangan
katanya, ia bertugas membantah mata satu
dan menolong orang-orang dari fitnah menyesatkan

Kita pernah berpelukan di sebuah bukit
pohon akasia rimbun berdiri tegak, ia ikhlas mematahkan daunnya
kemudian kita menyulamnya menjadi ranjang
di hadapan paus agung yang berdoa kepada kepada hari minggu
kita bercinta dengan puas, juga buas

Setelah tak bisa lagi mengucapkan sepatah kata
dengan gigimu yang tajam, kau runcingkan sebuah tangkai
menusuk kemaluanku dan menikam jantungmu
kita baring, berdua, dengan mata pejam
kau tahu, pada bagian ini, aku merasa lebih romantis dari kisah manapun
termasuk, romeo dan juliet
setelah kematian kita, akasia tegak itu meleleh menjadi selimut
menutup tubuh telanjang kita

Dajjal yang bertugas mewakili tuhan untuk memfitnah manusia,
tiba di hadapan kita
dengan mata satunya, ia menyihir tubuhmu menjadi pohon akasia baru
dan ia rampingkan tubuhku lalu menjadikannya akar untukmu
ia mengabarkan kepada khalayak ramai
tentang kisah dua orang pezina yang dihukum tuhan di atas bukit
lalu, penyelamat yang aku lupa namanya itu, mendatangi kita
ia berdoa kepada tuhan
atas nama cinta, aku meminta kepadamu
janganlah tibakan kiamat buat mereka berdua

Tuhan kemudian menyehatkan tubuh kita dari kematian
tapi, kisah yang panjang ini harus kau akhiri
kau pergi bersama dajjal itu, sedangkan aku, membangun rumah di atas bukit
mungkin, penyelamat itu suka membuat orang-orang menyendiri

dan aku tahu, selamat yang sebenarnya adalah kiamat

2.26.2014

Ruang Kosong dan Hal-hal yang Kau Inginkan

Diposting oleh Unknown di 08.04 0 komentar
Hal-hal yang kau cari, tak selalu ada padaku
“aku adalah ruang kosong berisi udara”
orang-orang senang singgah padaku
sekadar merokok, atau mencari angin
lalu pergi, menjadi pelukannya masing-masing

Aku rendah, yang melihatmu tinggi
satu atau dua waktu, mungkin aku akan menyelam
semakin dalam
dan kau akan terbang, melangit
semakin tinggi

Hal yang aku butuhkan terikat di daun waktu
ia akan gugur, tepat saat aku memelukmu
maka aku memilih, tak melatih tanganku, memeluk apapun

Jika kau sempat
rampoklah hal baik dariku
ia tak aku butuhkan lagi
kelak, setelah aku mengisi diri
dan kau belajar rendah hati
mungkin kau memerlukannya
menjaring udara di ruang kosong
sambil membaca ulang baris pertama

hingga kau menemukan kalimat ini, kembali 

2.21.2014

I'm Your Man, Conan. dan Mungkin Karena Coklat, atau Chairil Anwar

Diposting oleh Unknown di 20.39 0 komentar
Ia membalas suratku
setelah sebelumnya, saat melihatnya, hanya berwajah kayu
dan lebih banyak digunakan
sebagai kertas cakaran, saat ujian matematika

Pagi itu, pelajaran Biologi, tentang alat reproduksi
guruku yang seksi dan montok menjelaskan dengan wajah merah
kami semua bertanya, polos, dan bermaksud ingin tahu
kecuali aku, yang sedari tadi menunggu,
dengan wajah merah dan sekali-kali menghela nafas panjang
“jangan-jangan, ia hanya menggunakannya menggambar alat reproduksi” gumamku

Aku menyimpannya di laci meja
dengan batangan coklat dan buku puisi Chairil Anwar - aku mencurinya dari rak buku kakakku
aku berharap, ia menemukan dan membacanya
seperti detektif Conan, berharap orang dewasa berhenti menganggapnya anak kecil
selalu ingin terlihat dewasa

Ia membalas suratku
berita di koran minggu tentang matahari mendadak menjadi bencong
dan bulan yang kini homoseksual
di dapur, kakakku marah karena buku kesayangan dari pacarnya hilang
dan ayahku yang curiga uang di saku celananya raib menjadi coklat
juga, tentang gosip hidupnya kembali Bunda Teresa
terasa tidak penting lagi
di dalam kamar, lagu I’m Your Man milik Leonard Cohen mengalun
aku berjoget dengan angka merah di rapor sekolahku
aduh, ia membalas suratku

Pinokio dan Kisah yang Ganjil

Diposting oleh Unknown di 05.48 0 komentar
Di atas bukit, tempat ayahmu meninggikan nisan dan merendahkan tubuh
merpati terbang, rendah, diam-diam mematuk cahaya bulan
seorang perempuan, berjalan, tegak menuju makam
melapak karpet, bersila, dan menyisir rambutnya hingga gugur
helai demi helai
waktu berlari perlahan, meski gesit, terasa lama sekali
seperti tawa Ismail, saat ingin disembelih Ibrahim
lambat dan menipu

Saya pernah membangun rumah di kaki bukit
tapi pinokio meminjam pintu dan jendelanya
melengkapi lengan dan kaki kayunya, kata Gepetto
sayangnya, dalam kisah ini, peri biru adalah pembohong,
mahir menyulap kejahatan
pinokio tak pernah hidup, pintu dan jendela itu kini benar-benar hilang
benar-benar mati

Dalam puisi ini
merpati terbang itu kini berubah menjadi puluhan lengan yang memeluk makam ayahmu
dan aku adalah pinokio
kayu, mencintaimu, dan hanya sisa pintu, juga jendela
sedang peri biru itu adalah puisi ini
yang mewakili kalimat terakhir pada bait pertama

Bakarlah tubuhku, kayu yang bukan pembohong, meski hidung ini memang panjang
abunya kau tabur di makam ayahmu
semoga ia mengizinkanku mencintaimu

Dan tolong, sampaikan salamku pada perempuan di bait pertama
ia adalah jelmaan bulan, yang telah mengumpulkan kayu-kayu
agar Gepetto tahu, bahwa setiap orang butuh cinta
meskipun itu tinggi dan penuh rahasia

2.18.2014

Tutup Buku

Diposting oleh Unknown di 07.05 0 komentar
Tujuh jam yang lalu – kurang lebih
terakhir kali kita berhubungan
hanya lewat media sosial
yang akhir-akhir ini jarang aku manfaatkan

Buku-buku dan belajar menulis
mengurangi jarak kita menjadi jauh
hape pintarmu cukup menjadi bukti
kita hanya menghabiskan tekanan jari dengan ucapan selamat pagi yang hampa
lalu aku kembali tidur
dan kau sibuk menelponku agar mengikuti mata kuliah leksikografi yang membosankan

Bintang kuning membawa kita pada haleluyah
dan hal-hal yang mengusik perasaan
puisi itu memang tentang betapa aku merasa menjadi benalu
setidaknya, hanya menghabiskan waktumu
untuk memperhatikan juga mempertahankan seorang lelaki yang tidak pantas mendapatkannya

Puisi ini bangun, dengan kata-katanya sendiri
untuk menidurkanku yang akhir-akhir ini rumit dengan banyak hal-hal sederhana


Selamat, kau baru saja menemukan kekasih baru yang juga mencintaimu

2.17.2014

Haleluyah dan Aku yang Senang Mengusikmu Diam-diam

Diposting oleh Unknown di 21.03 0 komentar
Kepada suratku yang pernah kau baca tepat di sampingku yang sedang sembunyi di balik daun telingamu

Suatu hari, di kamarmu, kau sedang telanjang
tanpa ketuk, tanpa salam, aku masuk lewat cela pintumu
baring, membujurkan tubuh diantara guling putih dan tumpukan pakaian kotor
kau sedang menyelesaikan puisi ini

Kamar hening, Leonard Cohen dan lembut Haleluyah terdengar, pelan, berulang-ulang
saat kau sadar ada orang lain di kamar ini - dan aku mulai tahu kau terusik keberadaanku,
aku menyuling tubuhku menjadi air dan berjalan keluar lewat jendela.
jatuh di taman rumahmu
tepat di pot bunga kamboja
memilih menetap, tak beranjak

Tahun bergerak lambat
suatu malam yang gelisah, gigimu sakit dan kau tidak bisa tertidur
kau meludah di jendela, tepat mengenai punggungku yang telungkup
kau sadar, aku masih air yang pernah menyelinap ke kamarmu
tak pergi
tak mati

Lama, aku mengusik dirimu, diam-diam
aku ingat kisah pada lagu di bait kedua

“Raja Daud melihat Betseba, istri Uria, mandi, tubuhnya montok, dan telanjang
ia kemudian ingin bercinta dengannya
lalu menyuruh Uria pergi ke medan perang dan akhirnya terbunuh”

Aku bertahun-tahun mematikan rasa nyamanmu, seandainya kau tahu
dan saat aku telah pergi, kau masih merasa aku mungkin sedang bersembunyi di laci menjamu, di bawah ranjangmu, atau di dalam behamu.

Ah, maafkan aku Uria – aku begitu hijau melihat pelangi cinta
juga terima kasihku milik Leonard Cohen, kau membuatku tahu
jatuh cinta itu hal sederhana yang istimewa
dan kita tak perlu menjelma menjadi tuhan

2.16.2014

Peziarah dan Anak Panah

Diposting oleh Unknown di 05.00 0 komentar
Tubuhmu baru saja bau tanah
hingga sepasang mata menahan anak panah
sekali kedip, pengincar hatimu patah
kata orang, dia peziarah dari musim langit
tapi, kau tidak butuh peziarah, rupanya
lalu mininggalkannya sendiri

Kini, kau lebih banyak menghabiskan waktu di dapur milik cemburuku
orang-orang mulai senang memberi nasehat
“jangan bermain api, jika tidak ingin terbakar”
pepatah yang mirip kisah kita itu mungkin benar - tapi mungkin juga salah

Jutaan tahun yang lalu, seorang lelaki gagal dilahap api
semenjak itu, saya percaya, ada api yang bertugas untuk menyejukkan
setidaknya, Ibrahim tidak mati dalam pembakaran Raja Namrud

Alasanmu meninggalkan peziarah itu kini disapa ayah oleh anak-anakmu
sedang aku, peziarah yang kau tinggalkan itu, baru berpikir menyelesaikan puisi ini
jangan baca dari bait kedua, sebab, mungkin kau hanya menjadikan
kisah Ibrahim sebagai mitos
tapi yakinlah, aku masih bait pertama yang setia
mengunjungi masa lalu kita

meski hanya mendapatkan patahan anak panah

2.15.2014

Winter Lady dan Keinginanku Bertanya kepada Leonard Cohen

Diposting oleh Unknown di 06.15 0 komentar
Aku menulis puisi ini saat kau sedang marah – aku hampir tidak mengenalmu
usahaku memadamkan api selalu gagal
kau tahu mengapa?
karena api hanya padam, ketika ia sudah tidak dibutuhkan
begitulah elak api, saat dituduh tak setia

Kemarin, di sebuah cafe yang tidak sunyi, aku membaca ramai puisi untukmu
ada lilin, menyala, sendiri, di mejamu
semakin dekat puisiku, semakin redup cahayanya
ia mungkin tahu, bahwa setiap kejujuran membutuhkan ketidakjujuran
entah, siapa yang mahir berbohong

“kita mungkin gagal memahami cinta
jika hanya mengandalkannya – kembalilah ke baris ketiga”

Bahkan, cupid yang bodoh itu selalu gagal memaknai cinta
kata seorang lelaki yang baru saja sadar, ia tidak dicintai kekasihnya

“saya tidak bisa menlanjutkan puisi ini
winter lady milik leonard cohen ternyata lebih jujur mengatakan dirinya
aku kalah, aku salah“


aku memang selalu menjadi baris kedua dalam puisi ini

2.13.2014

Bianglala, Rumah, dan Perempuan yang Enggan Jatuh Cinta Kepada Makam

Diposting oleh Unknown di 20.33 0 komentar

Pernah, sekali, seumur hidupku
aku mencintaimu
sejak itu, aku selalu gagal membuat sajak yang cantik untukmu – juga yang ini
pula, selalu berhasil tak mati
sampai tuhan, bosan memanggilku, pulang
dan aku mulai marah tiap tuhan menyebut namaku, berkali-kali

“kepada makam: kau tak pernah rela seorang lelaki yang kau cintai mati
meninggalkanmu, dan kau harus jatuh cinta lagi”

Masa lampau, kau begitu hebat membayangkan
cinta yang kita pikul adalah beban buruk yang gembira
menjelma menjadi twitter, pengeras suara, macet, atau apapun yang kita tak suka

Katamu, aku kekasih terbaik
seperti melihat bianglala, hanya karena kita di bumi
sedang hujan tipis, cahaya matahari, dan garis warna menyimpan rahasia
masing-masing tak pernah jujur kepada manusia
apakah memang mereka diciptakan untuk menipu mata kita
atau manusia memang senang menipu dirinya sendiri dengan keindahan
aku takut, kau sebenarnya hanya tertipu
kepada bianglala - juga diriku

Dalam sajak ini
aku ingin menjadi kata kedua pada bagian judul
lalu memasukkan makam dan bianglala ke ruang makan kita
menyantapnya menjadi tawa
aku ingin kau jujur melihatku
dari tempatku dan semua yang ada padaku
sebab kita hanya dapat berbohong semasa hidup

aku takut, kau memanfaatkannya untukku.

2.11.2014

Pegawai Bank dan Mimpi Buruk Nakal yang Menyadarkanmu

Diposting oleh Unknown di 02.01 0 komentar
Seperti mimpi buruk yang kerap datang terlambat
kau mempercayakan tidurmu pada kasur yang lembut
dibuat dari ratusan bulir keringat yang tidak kau kenal
“ia mengorbankan tidurnya agar kau senantiasa bahagia,
memaksa tubuhnya bekerja agar kau bisa beristirahat dengan nyaman”

Mimpi buruk itu kumpulan kantuk yang ditahan para pekerja
kali ini, dalam mimpimu, kau melihat puluhan juta gergaji
masuk ke dalam kepalamu yang sempit
memotong besar-besar otak kecilmu
gergaji itu mendorong biji matamu keluar, mirip pemain bola sodok
sengaja memasukkan bola besar ke dalam lubang kecil agar menjadi pememang
semakin kaumerasa ketakutan, semakin bahagia mimpi burukmu

Kau sangat mencintai tidur
sebab, hanya itu salah satu waktu yang dapat kau nikmati
-          tentu, selain bercinta dengan bosmu di kantor,
dan melayani suami orang yang istrinya juga sedang melayani orang lain

Meskipun mimpimu sangat buruk
kau tidak ingin terbangun dan memaksa tidurmu untuk betah
bertahan menutup matamu
sepejam-pejamnya, sekuat-kuatnya

Esok paginya, kau mandi dan kembali bekerja seperti biasa
yang terbayang di kepalamu hanya gaya seperti apa lagi yang akan bosmu gunakan hari ini
untuk memperkosa hari-hari indahmu

tapi, hari itu kau menolak
kau melepas seragam dan berjalan menuju gudang tua
tempat orang-orang menyucikan dirinya menjadi muda


Selamat, kau baru saja sadar dari mimpi burukmu

2.10.2014

Pramoedya Ananta Toer dan Kegemaran Orang-orang Menikmati Bensin Bersubsidi

Diposting oleh Unknown di 23.35 0 komentar
Sebuah lagu terputar. Dengan senang hati, aku mendengarnya. Suara Pramoedya Ananta Toer mengawali lagu, “Pram adalah Pram. Pram adalah Pram.” Kalimat sederhana tapi membuatnya banyak menderita.
Pram kerap dituding sebagai komunis - juga PKI. Tapi, melalui lagu Catastrope yang berjudul Elegi Untuk Pramoedya Ananta Toer, kita diajak mengenal siapa Pram sebenarnya.
Jika membaca buku sejarah atau beberapa pranala yang ada di internet, kita akan mendapatkan beberapa informasi tentang Pram. Diantaranya, dia adalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), berhaluan komunis, dan pernah dipenjara belasan tahun pada masa Orde Baru.
Itu bukan lagi masalah yang perlu kita debatkan, toh masih ada ribuan orang yang juga bernasib sama dengan Pram. Dan sampai sekarang, belum ada pernyataan resmi negara untuk mengakui bahwa itu adalah kesalahan terindah yang pernah dilakukannya. Keji.

***

            Pramoedya Ananta Toer memang tidak bisa lagi dipisahkan dengan karyanya. Melintasi zaman dan terus bergerak menyadarkan banyak orang akan pentingnya mengetahui sejarah.
Seperti kebanyakan orang, kita kadang meletakkan Pram – juga karyanya, sebagai alternatif untuk mengenal sastra dan sejarah Indonesia. Ini membuat karya Pram seperti anak yang tidak diharapkan lahir, namun ternyata, pada masanya, ia berhasil menciptakan sebuah hegemoni.
Kerap kali, saya mendengar ungkapan dari teman-teman yang juga suka membaca karya Pram “buku itu tidak bagus, mending kamu baca Bumi Manusia, atau Anak Semua Bangsa, karya Pram”. Itu seperti ungkapan pemerintah, “beralihlah dari bensin bersubsidi ke pertamax.” Sama-sama menjadikan karya Pram dan pertamax sebagai alternatif.
Membuat orang tahu betapa pentingnya membaca karya Pram, bukan perkerjaan yang mudah, tapi juga tidak sulit. Seperti halnya orang tua yang menghegemoni anaknya dengan ungkapan, surga ada di telapak kaki ibu. Itu membuat banyak anak merasa harus berbakti lebih giat kepada ibu, jika ingin masuk surga.

***

            Saat diskusi mengenai Pram di halaman Kedai Buku Jenny, seorang teman mengatakan, bahwa pembaca Pram itu bukan hanya kalangan mahasiswa sastra, aktivis, atau orang-orang yang memang suka dengan Pram, tapi juga, mahasiswa ekonomi, hukum, bahkan kedokteran. Cukup beragam. Itu artinya, bahwa pembaca Pram sebenarnya cukup banyak, dan tidak bisa lagi dikatakan bacaan alternatif.
            Tapi, sampai sekarang, masih ada orang yang senang memperkenalkan karya Pram sebagai alternatif, seperti yang teman saya lakukan saat melihat temannya membaca teenlit, menyuruhnya untuk beralih membaca karya Pram.
            Sebagai pembaca, kita bukan diktator yang berkuasa memaksa orang lain membaca apa yang kita suka. Cukup memperkenalkan apa kenikmatan dan manfaat membaca Pram. Toh, sampai sekarang, orang-orang lebih senang membeli bensin bersubsidi, dari pada pertamax. Selain harganya murah, kita memang lebih senang menikmati subsidi. Begitupun dengan membaca, kita sebaiknya menikmati apa yang kita gemari. Bukan yang apa orang banyak baca. 

Selamat mencintai Pram – juga selamat ulang tahun kepadanya.

Pucuk Surat, Tubuh Pohon, dan Pesulap yang Mahir Menyamarkan Lukamu

Diposting oleh Unknown di 04.36 0 komentar
Kau senang menumbuhkan dirimu sendiri
menjadi puluhan pucuk surat yang manja
seperti deretan pelangi
setelah hujan, basah, dan hanya di langit

Katamu, kau suka mengunjungi rumah pesulap
melihatnya menipu matamu, menghabiskan waktumu, dan membantumu menjadi ajaib
simsalabim!

Tubuhmu sengaja menjadi pohon
membuahkan sakit hati
kau memang pendendam yang sopan
seolah mengerti perihal memutuskan
kapan waktu yang tepat menggugurkan daun, mematahkan ranting, dan memeluk tanah
mengizinkan sekelompok burung menyangkar
merawat anak-anaknya menjadi puluhan hal yang tak lazim kau lihat

Sebagai pohon, tubuhmu selalu bergetah setelah terluka
tahukah kau mengapa aku senang menyuburkan pohon di halamanku,
membuatnya terluka dan banyak meminum air sumur yang pernah kita gunakan membasuhi tubuh dan membasahi subuh
aku hendak mengundang dirimu untuk tumbuh
kembali menjadi pucuk surat yang manja

2.07.2014

Perkara Hujan, Orang-orang Suci, dan Gagang Telpon yang Menyakitkan

Diposting oleh Unknown di 21.50 0 komentar
Hujan jatuh. seorang kekasih kuyup di bawah langit
tubuhnya mencair, menjadi air seni, air sungai, luapan banjir, bensin, kuah bakso, juga darah
ia jatuh ke tanah, menggigil dan tak bisa lagi mengatakan
“aku mencintaimu” – tapi ia telah menghabiskan ribuan kata yang sama untukmu
ia tidak membiarkan siapapun menolongnya, kecuali kata
yang bibirmu tidak pernah menampungnya, juga menyimpannya
untuk seorang yang sedang meminta pertolongan kepada hujan

Kau mungkin kian dengki, wajahmu memerah, kesetanan sambil berkata
“aku juga mencintaimu, bodoh.
tapi aku sungguh membenci hujan, tempat kau kuyup
lihatlah, betapa menjijikkannya dirimu.”
tapi, di dalam engganmu yang raksasa, kau berbisik untuk telingamu sendiri
“sungguh, hujan juga membuatku semakin mencintaimu, semakin menginginkanmu. sangat”

Seperti belajar memahami perkataan orang-orang suci
mereka menyampaikannya dengan sederhana, berhutan, dan membunuh
kita mudah memahami, tapi lebih mudah tersesat di rimbunnya, hati-hati terbunuh

Kau memilih tidak pernah mengatakan perasaanmu
sedang gigil itu adalah panggilan telpon yang berdering, terus menerus.
ia butuh “halo”, bukan “tut, tut, tut,”
apa lagi, nomor yang anda hubungi sedang sibuk dengan orang lain, atau berada di luar jangkauan perasaanmu, tolong tinggalkan ia. mohon.

Seperti yang kau tulis dalam surat yang tidak pernah kau kirim kepadanya
kau juga mencintainya, tapi mata siapa yang bisa menjangkau laci mejamu
juga kobaran api, yang mengabukan kertas-kertas suratmu

ingat, aku pernah mengirim merapati ke rumahmu?
di sayap kirinya, aku menyimpan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang belum kau sampaikan kepadaku
bertanyalah kepadanya. ia baik hati dan juga bisa pergi kapan saja.


Makassar – Februari 2014

2.06.2014

Kelak, Bencilah Aku dengan Membiarkan Tubuhku Memelukmu

Diposting oleh Unknown di 08.05 1 komentar
Pintu masuk ke dalam tubuhmu terbentuk dari ribuan bingkai
tempat tubuhku kau pajang
terpasung 

“tersalip dengan luka di tubuh
kawat duri melingkari kepala
ia kesakitan, tapi tak meronta
tubuh berdarah, merah, dan bergetar”

Kau menjadikan siksaan sebagai arsip candaan
tintamu mata, kau menulis kemarahan dengan bahagia
mencambukku dengan campakan yang berbunga
sedang aku memeluk tubuhmu dengan cara menikmati kesakitan. sendiri

“Aku adalah tubuh terpasung yang tak pernah lelah
mencintaimu dengan tangan terpaku dan kepala berkawat duri”

Aku pelukan yang tak pernah kauizinkan
menyentuh longgar tubuhmu
sementara lenganku dengan setia terpaku
lebih dalam. sangat dalam. melekat di tubuhmu. tiap waktu.

Kau mengutukku tanpa sadar, seperti dongeng dari Ibu yang anaknya menjadi batu
tapi kebencian memang terbuat dari pelukan - jika kepalamu terus memikirnya, kau sulit melepasnya,
kini aku siapkan sebuah palung raksasa, pukullah hal buruk dalam tubuhku
semoga kau tidak – atau sedang – menyakiti dirimu sendiri.

Makassar - Februari 2014