on 5.18.2014
Di musium sunyi
kutemukan patung The Poet
tak lagi sungkawa memikirkan sajak
-    atau baju, atau dagu, atau lagu, atau kekasih
tubuhnya kini berpiama
hendak tidur di atas tubuh Maryam, katanya

Tangan yang dulu menopang dagu kini bergerak kaku
ia pandai mengacung kelingking
sambil mengonar senyum, ia sopan berkata The Thinker
lalu menjulurkan lidah
seolah paham kita derita yang patuh pada kitab purba

Di tahun akhirnya sebagai patung
Auguste Rodin baru, mengubahnya menjadi badut
dengan wajah topeng kayu, menyimpan senyum enigma palsu

The Poet mengakhiri diri
ia benturkan kepalanya ke kaki
perutnya retak, terburai seluruh bahagia
yang sembunyi di balik wajah masam
di usianya yang kini ribuan lampau

-          The Poet, patung lelaki yang termenung dan telanjang
memikirkan puisinya, karya Auguste Rodin
on 5.17.2014
Di tubuh Monalisa
ada sebidang tanah lapang di dadanya yang bukit
aku menjadi pohon yang tumbuh terlalu tumbang
kau memberi warna hijau pelangi pada rimbun daun
di buahnya, kau menambah warna cemas
buah itu jatuh, menimpa letak tangan Monalisa
yang sedang menyembunyikan duka di telapak tangannya
dan diam-diam hendak mengubahnya menjadi batu

“Sejak kau jatuh cinta pada hal-hal yang tua
aku tinggal di dada itu
bermukim sebagai pohon yang akarnya terbawa kuas pelukis”

Seorang lelaki muda
dengan lembut membuka baju Monalisa
hendak menemukan segala yang pergi, juga hilang dari dirinya
tapi ia hanya menemukan amuk dan dada lelaki yang penuh
bekas cupang yang masih merah luka

“Aku mati dalam bencana warna yang dahsyat
di bawah wajah perempuan yang tersenyum melihat kekasihnya
di sebuah bibir sedang bercinta dengan lukisan lain”
on 5.09.2014
Kau boleh percaya bahwa aku mungkin tidak mencintaimu, tapi kau harus yakin aku tidak akan meninggalkanmu.

Ini adalah kalimat yang tidak sempat kau dengar karena selalu terburu-buru mematikan panggilan teleponku. Masih kulekatkan gagang ini di kuping kiriku, sementara kau dengan paksa menekan tombol yang mampu menyulap jarak kita menjadi tiada. Seperti bunyi peringatan saat kapal ingin berlayar, nyaring, panjang, dan tak mengenal kata tunggu.

Benar katamu, cinta memang selalu membawa orang ke padang kembara. Mengajar kita menjadi pengelana. Kini aku harus menyiapkan perbekalan yang tidak sanggup kuterka cukup tidaknya. Perjalanan kali ini banyak memakan waktu, perasaan, juga angin. Namun belum juga cukup rasanya aku mengenalmu, kecuali seseorang yang selalu terburu-buru mematikan teleponku. Karena alasan itu pula, aku akhirnya menulis namamu di teleponku dengan sebutan, Pembunuh Harapan.

Sejak kau mulai memikirkan rumah besar dengan semua hal mewah, kupandangi dalam-dalam diriku. Tak sebuihpun yang layak kauperjuangkan. Aku memang bukan lelaki dari negeri emas yang akan menguningkan kehidupanmu. Sungguh, satu-satunya hal yang kumewahkan dalam hidupku adalah, caraku mencintaimu. Sederhana, apa adanya, dan selalu sadar diri.

Seminggu terakhir ini, kita bahkan tak pernah saling bertukar kabar. Kau kini menemukan persembunyian bersama orang lain, sedangkan aku selalu lari mengejar namamu yang diterbangkan angin kesuatu tempat istimewa yang tidak mungkin kukunjungi. Dengan terpaksa dan terluka, aku kembali merayakan kesendirianku.


Di sebuah jalan raya sebelum kita benar terpisah. Salamanya. Aku meneleponmu dan berharap kau dapat mendengar kalimat pembuka puisi ini kuucapkan sekali lagi. Sayangnya, seseorang yang tidak kukenal menjawab panggilanku, rekam suara anda setelah nada berikut. Aku menunggu berjam-jam, kuhabiskan seluruh perbekalanku disini. Namun nada berikut itu tak pernah ada. Tak pernah kau kehendaki.
on 5.05.2014
1/
Seorang lelaki yang tidak kau kenal sedang membenci dirinya, juga masa lalu yang ia ternakkan di dalam padang kembara. Ia berharap suatu kapan, dari ibunya, lahir jutaan palu-palu yang siap menghantam kepalanya. Menewaskan semua kebosanan yang ia benci. Seperti kata penyair, hidup adalah kesepian masing-masing. Ia memeluk tubuhnya, berusaha memberikan pencahayaan terang. Entah kuning, merah, atau bayangan ayahnya. Ia selalu percaya, tubuh ini adalah musibah.

Ia datang kepada seorang perempuan dengan menelanjangkan tubuh. Rajah mawar menancap tepat di dada kirinya. Ia berharap dapat memberimu bunga yang tak mungkin layu ini. Jangan kau merahkan lagi marah, katanya sambil menyerahkan senjata. Ia berharap kau menembaknya. Tapi aku bukan kaum vandal yang tega membunuh, juga bukan malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa, katamu.

Ia memang ingin mati di tangan perempuan itu. Ia habiskan separuh hidupnya untuk menemukan alasan mati di hadapanmu. Katanya, kesendirian memang perlu dicuri dari orang yang paling kau cintai.

Kisah itu mengingatkanku pada Clavo, lelaki yang hidup di abad pertengahan. Ia rela mati di ranjang kekasihnya. Sambil memegang tengkuknya, ia meneguk racun paling manis saat kekasihnya tidur. Ia mati dalam pelukan perempuan yang paling ia cintai.

2/
Sejak perempuan itu tak ingin membunuhnya, ia memilih hidup sebagai penjaga makam. Menyiasati kesendiriannya dengan melihat nisan-nisan yang berjejer seperti lintasan kereta. Mengantar orang-orang ketujuannya masing-masing.


Lelaki itu juga percaya bahwa ia memiliki tujuan. Namun seperti pepatah, jangan bermain api jika tidak ingin terbakar. Lelaki itu menggali makamnya sendiri. Tak ada nisan, kafan, ataupun papan. Ia masukkan tubuhnya ke dalam lubang dengan lukisan wajah perempuan itu sebagai temannya. Percayalah, dunia akan berakhir dengan kesia-siaan. Ia kemudian mati dalam dirinya sendiri. Matilah sebenar-benarnya mati.

5.18.2014

Memahat Sajak

Diposting oleh Unknown di 10.43 0 komentar
Di musium sunyi
kutemukan patung The Poet
tak lagi sungkawa memikirkan sajak
-    atau baju, atau dagu, atau lagu, atau kekasih
tubuhnya kini berpiama
hendak tidur di atas tubuh Maryam, katanya

Tangan yang dulu menopang dagu kini bergerak kaku
ia pandai mengacung kelingking
sambil mengonar senyum, ia sopan berkata The Thinker
lalu menjulurkan lidah
seolah paham kita derita yang patuh pada kitab purba

Di tahun akhirnya sebagai patung
Auguste Rodin baru, mengubahnya menjadi badut
dengan wajah topeng kayu, menyimpan senyum enigma palsu

The Poet mengakhiri diri
ia benturkan kepalanya ke kaki
perutnya retak, terburai seluruh bahagia
yang sembunyi di balik wajah masam
di usianya yang kini ribuan lampau

-          The Poet, patung lelaki yang termenung dan telanjang
memikirkan puisinya, karya Auguste Rodin

5.17.2014

Melukis Sajak

Diposting oleh Unknown di 01.55 0 komentar
Di tubuh Monalisa
ada sebidang tanah lapang di dadanya yang bukit
aku menjadi pohon yang tumbuh terlalu tumbang
kau memberi warna hijau pelangi pada rimbun daun
di buahnya, kau menambah warna cemas
buah itu jatuh, menimpa letak tangan Monalisa
yang sedang menyembunyikan duka di telapak tangannya
dan diam-diam hendak mengubahnya menjadi batu

“Sejak kau jatuh cinta pada hal-hal yang tua
aku tinggal di dada itu
bermukim sebagai pohon yang akarnya terbawa kuas pelukis”

Seorang lelaki muda
dengan lembut membuka baju Monalisa
hendak menemukan segala yang pergi, juga hilang dari dirinya
tapi ia hanya menemukan amuk dan dada lelaki yang penuh
bekas cupang yang masih merah luka

“Aku mati dalam bencana warna yang dahsyat
di bawah wajah perempuan yang tersenyum melihat kekasihnya
di sebuah bibir sedang bercinta dengan lukisan lain”

5.09.2014

Pembunuh Harapan dan Nada Berikut

Diposting oleh Unknown di 02.55 0 komentar
Kau boleh percaya bahwa aku mungkin tidak mencintaimu, tapi kau harus yakin aku tidak akan meninggalkanmu.

Ini adalah kalimat yang tidak sempat kau dengar karena selalu terburu-buru mematikan panggilan teleponku. Masih kulekatkan gagang ini di kuping kiriku, sementara kau dengan paksa menekan tombol yang mampu menyulap jarak kita menjadi tiada. Seperti bunyi peringatan saat kapal ingin berlayar, nyaring, panjang, dan tak mengenal kata tunggu.

Benar katamu, cinta memang selalu membawa orang ke padang kembara. Mengajar kita menjadi pengelana. Kini aku harus menyiapkan perbekalan yang tidak sanggup kuterka cukup tidaknya. Perjalanan kali ini banyak memakan waktu, perasaan, juga angin. Namun belum juga cukup rasanya aku mengenalmu, kecuali seseorang yang selalu terburu-buru mematikan teleponku. Karena alasan itu pula, aku akhirnya menulis namamu di teleponku dengan sebutan, Pembunuh Harapan.

Sejak kau mulai memikirkan rumah besar dengan semua hal mewah, kupandangi dalam-dalam diriku. Tak sebuihpun yang layak kauperjuangkan. Aku memang bukan lelaki dari negeri emas yang akan menguningkan kehidupanmu. Sungguh, satu-satunya hal yang kumewahkan dalam hidupku adalah, caraku mencintaimu. Sederhana, apa adanya, dan selalu sadar diri.

Seminggu terakhir ini, kita bahkan tak pernah saling bertukar kabar. Kau kini menemukan persembunyian bersama orang lain, sedangkan aku selalu lari mengejar namamu yang diterbangkan angin kesuatu tempat istimewa yang tidak mungkin kukunjungi. Dengan terpaksa dan terluka, aku kembali merayakan kesendirianku.


Di sebuah jalan raya sebelum kita benar terpisah. Salamanya. Aku meneleponmu dan berharap kau dapat mendengar kalimat pembuka puisi ini kuucapkan sekali lagi. Sayangnya, seseorang yang tidak kukenal menjawab panggilanku, rekam suara anda setelah nada berikut. Aku menunggu berjam-jam, kuhabiskan seluruh perbekalanku disini. Namun nada berikut itu tak pernah ada. Tak pernah kau kehendaki.

5.05.2014

Rajah

Diposting oleh Unknown di 03.40 0 komentar
1/
Seorang lelaki yang tidak kau kenal sedang membenci dirinya, juga masa lalu yang ia ternakkan di dalam padang kembara. Ia berharap suatu kapan, dari ibunya, lahir jutaan palu-palu yang siap menghantam kepalanya. Menewaskan semua kebosanan yang ia benci. Seperti kata penyair, hidup adalah kesepian masing-masing. Ia memeluk tubuhnya, berusaha memberikan pencahayaan terang. Entah kuning, merah, atau bayangan ayahnya. Ia selalu percaya, tubuh ini adalah musibah.

Ia datang kepada seorang perempuan dengan menelanjangkan tubuh. Rajah mawar menancap tepat di dada kirinya. Ia berharap dapat memberimu bunga yang tak mungkin layu ini. Jangan kau merahkan lagi marah, katanya sambil menyerahkan senjata. Ia berharap kau menembaknya. Tapi aku bukan kaum vandal yang tega membunuh, juga bukan malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa, katamu.

Ia memang ingin mati di tangan perempuan itu. Ia habiskan separuh hidupnya untuk menemukan alasan mati di hadapanmu. Katanya, kesendirian memang perlu dicuri dari orang yang paling kau cintai.

Kisah itu mengingatkanku pada Clavo, lelaki yang hidup di abad pertengahan. Ia rela mati di ranjang kekasihnya. Sambil memegang tengkuknya, ia meneguk racun paling manis saat kekasihnya tidur. Ia mati dalam pelukan perempuan yang paling ia cintai.

2/
Sejak perempuan itu tak ingin membunuhnya, ia memilih hidup sebagai penjaga makam. Menyiasati kesendiriannya dengan melihat nisan-nisan yang berjejer seperti lintasan kereta. Mengantar orang-orang ketujuannya masing-masing.


Lelaki itu juga percaya bahwa ia memiliki tujuan. Namun seperti pepatah, jangan bermain api jika tidak ingin terbakar. Lelaki itu menggali makamnya sendiri. Tak ada nisan, kafan, ataupun papan. Ia masukkan tubuhnya ke dalam lubang dengan lukisan wajah perempuan itu sebagai temannya. Percayalah, dunia akan berakhir dengan kesia-siaan. Ia kemudian mati dalam dirinya sendiri. Matilah sebenar-benarnya mati.