on 5.17.2015


Membaca kisah yang tertuang dalam Illiad dan Odyssey, La Galigo, Aeneid atau Ramayana dan Mahabharata adalah upaya manusia untuk pulang ke dalam dirinya. Benturan narasi dan sejarah yang tidak bisa manusia tolak.
Meskipun telah dipisah ribuan tahun, tapi dengan adanya budaya literasi, memungkinkan kita untuk bertemu dengan Hanoman, Sawerigading, Aeneid, atau Agamemnon. Pertemuan yang terjadi dalam kisah-kisah yang terus dipelihara hingga saat ini.
Kisah itu mendarah dalam daging ingatan kita. Selain tuturan kisah, keindahan kalimat pada beberapa naskah epos tadi adalah untaian kata yang kita kenal saat ini sebagai puisi. Ini menunjukkan bahwa puisi telah ada sejak dulu. Mengandung nilai sejarah, selalu membumi, dan hidup di tengah masyarakat.
Nilai yang terkandung dalam puisi inilah yang terus manusia lanjutkan. Dibuatlah puisi-puisi baru. Terus menerus, tanpa angka pasti. Tidak ada data yang menunjukkan berapa jumlah puisi yang dibuat karena manusia merasakan kecewa, patah hati, penindasan, ketidakadilan dan beberapa keresahan lain yang terjadi di negara ini. Selain karena beberapa puisi sifatnya pribadi, mungkin memang tidak penting mengetahui jumlahnya.
Yang terpenting adalah puisi selalu ada dan tidak pernah berhenti dibuat manusia. Sebab menulis puisi adalah proses pembingkaian ingatan agar dapat bertahan dan pecahan sejarahnya masih dapat ditemukan generasi setelahnya.
Maka tidak salah jika saya menyimpulkan secara sepihak bahwa puisi adalah peristiwa yang terperangkap dalam narasi. Kisah yang diceritakan menggunakan kalimat indah, penuh makna, memiliki nubuat, dan berangkat dari pengalaman penyairnya.

***
Jauh sebelum 7 Alasan Mencela Diriku yang ditulis Kahlil Ghibran, manusia telah menjadikan puisi sebagai penguat spritual yang menjaga kesakralan suatu keyakinan. Pun dalam kitab suci, baik Injil, Tripitaka, Al-Quran, atau Talmud mengandung kisah yang ditulis dengan kalimat-kalimat indah.
Jika ada yang menyebut bahwa puisi sanggup mengubah hidup seseorang, maka saya sepakat. Bukan karena keindahan kata-kata atau anggapan kesucian yang dilekatkan padanya, tapi karena di dalamnya termaktub kisah yang mengandung kekuatan.
Kekuatan ini sering juga disebut sebagai pengalaman literasi. Pengalaman yang semua orang bisa dapatkan dengan mudah dan murah. Bergantung sebarapa tekun kita membaca dan memahami narasi pada sebuah teks puisi.
Penyebab perubahan itu karena kisah yang ditulis di dalam puisi mengandung pengalaman. Dan karena pengalaman adalah guru yang terbaik, maka tidak salah jika ia memiliki kekuatan untuk mengubah pandangan dan perilaku manusia.
Senada dengan hasil penelitian Dr. C. Edward Coffey - peneliti dari Henry Ford Health System, yang berhasil membuktikan bahwa dengan membaca, seseorang terhindar dari penyakit demensia. Demensia merupakan penyakit yang merusak jaringan otak. Seseorang yang terkena demensia dipastikan mengalami kepikunan.
Maka secara medis, pengetahuan, dan spritual, membaca dapat membantu manusia untuk hidup lebih sehat.
***
Salah satu berita menarik belakangan ini adalah aksi jual diri yang dilakukan pelajar sekolah menengah pertama di salah satu sekolah negeri di kota Makassar. Setelah berdiskusi dengan salah seorang kawan perihal peristiwa ini, ia menyimpulkan bahwa penyebab utamanya adalah moral. Menurutnya, moral siswi itu harus dibenahi dan agama adalah jalan keluarnya.
Tapi simpulan teman saya berbeda dari pengakuan seorang siswi yang berhasil diwawancarai salah satu media lokal di Makassar. Menurut pengakuannya, ia menjual diri karena membutuhkan uang untuk membeli parfum. Tentu, parfum tidak boleh dilihat sekadar pengharum tubuh, tapi sebagai benda yang memiliki nilai ekonomi.
Beli membeli ini menunjukkan jika persoalan uang dapat memperpendek akal seseorang dalam melakukan sesuatu. Maka saya menduga bahwa masalah utamanya bukan karena moral, tapi desakan ekonomi.
Lantas siapa yang harus kita mintai pertanggungjawaban? Pemuka agama, orang tua, guru, iklan yang menawarkan parfum, atau Jokowi yang senang manaikturunkan harga bahan bakar minyak?
Melihat peran puisi selama ini – sebagai instrumen yang mampu memperkuat religiositas, penyampai pesan, dan pelanjut kisah, maka puisi bisa dijadikan sebagai jalan keluar. Saya hanya berharap puisi belum kehilangan kekuatannya. Meskipun ada kesangsian untuk mengatakan bahwa dengan sastra, persoalan jual diri ini bisa selesai.
Pendidikan agama yang sudah diajarkan sejak sekolah dasar toh tidak membuat kita menjadi lebih bermoral. Sebab agama selalu bertumpu pada benar dan salah. Padahal, banyak persoalan di dunia ini yang hidup ditengah-tengah ruang kemungkinan. Ruang yang hanya bisa kita pahami setelah keluar dari dunia ideal yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran. Itulah ruang ketidakjelasan. Ruang di mana segalanya berpeluang untuk benar.

5.17.2015

Tuhan Terpenjara di Nerekanya Sendiri

Diposting oleh Unknown di 02.09 5 komentar


Membaca kisah yang tertuang dalam Illiad dan Odyssey, La Galigo, Aeneid atau Ramayana dan Mahabharata adalah upaya manusia untuk pulang ke dalam dirinya. Benturan narasi dan sejarah yang tidak bisa manusia tolak.
Meskipun telah dipisah ribuan tahun, tapi dengan adanya budaya literasi, memungkinkan kita untuk bertemu dengan Hanoman, Sawerigading, Aeneid, atau Agamemnon. Pertemuan yang terjadi dalam kisah-kisah yang terus dipelihara hingga saat ini.
Kisah itu mendarah dalam daging ingatan kita. Selain tuturan kisah, keindahan kalimat pada beberapa naskah epos tadi adalah untaian kata yang kita kenal saat ini sebagai puisi. Ini menunjukkan bahwa puisi telah ada sejak dulu. Mengandung nilai sejarah, selalu membumi, dan hidup di tengah masyarakat.
Nilai yang terkandung dalam puisi inilah yang terus manusia lanjutkan. Dibuatlah puisi-puisi baru. Terus menerus, tanpa angka pasti. Tidak ada data yang menunjukkan berapa jumlah puisi yang dibuat karena manusia merasakan kecewa, patah hati, penindasan, ketidakadilan dan beberapa keresahan lain yang terjadi di negara ini. Selain karena beberapa puisi sifatnya pribadi, mungkin memang tidak penting mengetahui jumlahnya.
Yang terpenting adalah puisi selalu ada dan tidak pernah berhenti dibuat manusia. Sebab menulis puisi adalah proses pembingkaian ingatan agar dapat bertahan dan pecahan sejarahnya masih dapat ditemukan generasi setelahnya.
Maka tidak salah jika saya menyimpulkan secara sepihak bahwa puisi adalah peristiwa yang terperangkap dalam narasi. Kisah yang diceritakan menggunakan kalimat indah, penuh makna, memiliki nubuat, dan berangkat dari pengalaman penyairnya.

***
Jauh sebelum 7 Alasan Mencela Diriku yang ditulis Kahlil Ghibran, manusia telah menjadikan puisi sebagai penguat spritual yang menjaga kesakralan suatu keyakinan. Pun dalam kitab suci, baik Injil, Tripitaka, Al-Quran, atau Talmud mengandung kisah yang ditulis dengan kalimat-kalimat indah.
Jika ada yang menyebut bahwa puisi sanggup mengubah hidup seseorang, maka saya sepakat. Bukan karena keindahan kata-kata atau anggapan kesucian yang dilekatkan padanya, tapi karena di dalamnya termaktub kisah yang mengandung kekuatan.
Kekuatan ini sering juga disebut sebagai pengalaman literasi. Pengalaman yang semua orang bisa dapatkan dengan mudah dan murah. Bergantung sebarapa tekun kita membaca dan memahami narasi pada sebuah teks puisi.
Penyebab perubahan itu karena kisah yang ditulis di dalam puisi mengandung pengalaman. Dan karena pengalaman adalah guru yang terbaik, maka tidak salah jika ia memiliki kekuatan untuk mengubah pandangan dan perilaku manusia.
Senada dengan hasil penelitian Dr. C. Edward Coffey - peneliti dari Henry Ford Health System, yang berhasil membuktikan bahwa dengan membaca, seseorang terhindar dari penyakit demensia. Demensia merupakan penyakit yang merusak jaringan otak. Seseorang yang terkena demensia dipastikan mengalami kepikunan.
Maka secara medis, pengetahuan, dan spritual, membaca dapat membantu manusia untuk hidup lebih sehat.
***
Salah satu berita menarik belakangan ini adalah aksi jual diri yang dilakukan pelajar sekolah menengah pertama di salah satu sekolah negeri di kota Makassar. Setelah berdiskusi dengan salah seorang kawan perihal peristiwa ini, ia menyimpulkan bahwa penyebab utamanya adalah moral. Menurutnya, moral siswi itu harus dibenahi dan agama adalah jalan keluarnya.
Tapi simpulan teman saya berbeda dari pengakuan seorang siswi yang berhasil diwawancarai salah satu media lokal di Makassar. Menurut pengakuannya, ia menjual diri karena membutuhkan uang untuk membeli parfum. Tentu, parfum tidak boleh dilihat sekadar pengharum tubuh, tapi sebagai benda yang memiliki nilai ekonomi.
Beli membeli ini menunjukkan jika persoalan uang dapat memperpendek akal seseorang dalam melakukan sesuatu. Maka saya menduga bahwa masalah utamanya bukan karena moral, tapi desakan ekonomi.
Lantas siapa yang harus kita mintai pertanggungjawaban? Pemuka agama, orang tua, guru, iklan yang menawarkan parfum, atau Jokowi yang senang manaikturunkan harga bahan bakar minyak?
Melihat peran puisi selama ini – sebagai instrumen yang mampu memperkuat religiositas, penyampai pesan, dan pelanjut kisah, maka puisi bisa dijadikan sebagai jalan keluar. Saya hanya berharap puisi belum kehilangan kekuatannya. Meskipun ada kesangsian untuk mengatakan bahwa dengan sastra, persoalan jual diri ini bisa selesai.
Pendidikan agama yang sudah diajarkan sejak sekolah dasar toh tidak membuat kita menjadi lebih bermoral. Sebab agama selalu bertumpu pada benar dan salah. Padahal, banyak persoalan di dunia ini yang hidup ditengah-tengah ruang kemungkinan. Ruang yang hanya bisa kita pahami setelah keluar dari dunia ideal yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran. Itulah ruang ketidakjelasan. Ruang di mana segalanya berpeluang untuk benar.