Makassar, 1510 M
Pagi yang cerah di dalam Istana Kerajaan Gowa. Di taman belakang sang Raja Agung Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna berbincang dengan permaisuri tentang anak bayi yang baru dia lahirkan sementara dayang kerajaan tak hentinya mengipas dan menyuguhkan buah segar di hadapannya. Angin sejuk berhembus menembus batas sadarnya. Tentram. Tiba-tiba Daeng Sangkilang, penasehat raja datang menghadap untuk melaporkan tentang kekacauan yang terjadi di wilayahnya. Saat itu tanah gowa ibarat rimba tak bertuan. Orang-orang saling adu kekuatan untuk membuktikan kehebatannya dan akhirnya orang lemah tersingkir dari kehidupan. Sang raja begitu kaget mendengar laporan Daeng Sangkilang.
Raja memerintahkan kepada Daeng Mattawang sebagai komandan tu barania untuk turun menenangkan kekacauan tersebut. Ia diberikan waktu seminggu untuk membuat wilayah ini kembali tenang. Namun seminggu kemudian Daeng Mattawang datang menghadap pada sang raja dan mengutarakan keadaan yang sebenarnya.
“Sangat sulit Karaeng. Kondisi rakyat sungguh diluar batas kewajaran. Mereka bertarung layaknya binatang. Saling membunuh satu sama lain. Kata Daeng Mattawang ciut dihadapan raja karena kegagalannya mengembalikan suasana wilayah kerajaan ini.
Sang raja berdiri dari singgasananya. Menatap jauh kedepan. Matawang agak takut melihat murka rajanya. Ia menunggu titah apa yang akan diberikan lagi kepadanya. Sang raja kemudian mencabut badik dari warangkanya dan mengacungkan ke langit.
“Hari ini aku bersumpah atas nama ayahku bahwa kerajaan ini akan kembali seperti dulu lagi jika tidak aku akan mati ditiang pancung. Setelah mengucapkan janjinya sang raja kemudian memerintahkan Daeng Mattawang untuk menyiapkan kudanya. Sang raja akan turun tangan sendiri. Namun Sangkilang menyarankan agar raja tetap disini. Biarkan pasukan tu barania patampulo yang menenangkan wilayah ini. Pasukan yang telah di latih khusus untuk menjadi duta perang kerajaan Gowa. Namun ternyata tekad sang raja untuk turun tangan dalam masalah ini sudah bulat. Raja bersama pasukan tu barania patampulo menyisir setiap wilayah yang diyakini sering terjadi kerusuhan namun ternyata itu juga tak membuahkan hasil apapun.
Kondisi ini terus berlanjut. Orang yang merasa kuat terus mencari lawan sepadan untuk membuktikan siapa yang lebih kuat diantara mereka. Sang raja kemudian mengatur strategi. Dibuatlah sebuah sayembara berhadiah permaisuri cantik dan mengundang semua pendekar untuk ikut bertarung. Ternyata sayembara ini di dengar oleh Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang mulai dari wilayah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Mereka mengutus juga para jagoannya untuk ikut sayembara yang diadakan sang raja. Rivalitas Bate Salapang memang selalu mengundang perselisihan. Strategi ini memang berhasil meredam kekacauan. Berkat kecerdasan Karaeng Tumapa'risi' Kallonna melihat celah kemungkin untuk mengembalikkan suasana kerajaan meskipun hari-hari selanjutnya masih terdengar berita perkelahian di wilayahnya namun tidak seperti dulu lagi.
Sampai pada sutu hari di pagi yang buta. Wilayah kerajaan Gowa dihantam hujan deras disertai petir yang menyambar tanpa henti. Peristiwa ini berlangsung selama tujuh hari dan mengakibatkan banjir di beberapa wilayah kerajaan Gowa. Dan di hari ke delapan, petir akhirnya berhenti berkilat-kilat dan hujan hanya bersisa pelangi dan gerimis seperti benang halus yang jatuh dari langit. Sawah nan luas tergenang sisa air hujan. Saat bersamaan ratusan rakyat Gowa tiba-tiba menyaksikan timbulnya tujuh gundukan tanah di tengah hamparan tersebut. Tujuh orang bergaun kuning keemas-emasan pun muncul sesaat lalu menghilang di tengah gerimis. Yang tersisa kemudian hanya tujuh gundukan tanah berbau harum.
Semenjak saat itu rakyat Gowa mempercayai bahwa mereka adalah tomanurung yang dikirimkan oleh Tuhan untuk negeri mereka. Kehadiran tujuh orang yang disebut sebagai Karaeng Angngerang Bosi. Jadilah Raja Karaeng Tumapa'risi' Kallonna yang ikut menyaksikan kejadian itu kemudian menjadikannya sebagai sawah kerajaan. Jadilah nama Kanrobosi diberikan pada sawah itu. Kanro berarti anugerah yang Maha Kuasa dan bosi berarti hujan atau bisa juga bermakna kelimpahan.
Malam harinya Karaeng Tumapa'risi' Kallonna bermimpi bahwa kelak akan kembali terjadi kerusuhan yang luar biasa di wilayahnya. Ketujuh tokoh tersebut akan turun lagi ke bumi suatu ketika nanti. Dan di tengah hamparan sawah itu berbinar tujuh cahaya. Namun, seperti kedatangan mereka semula, akan ada pula kondisi tak menentu yang mendahuluinya. Keesokan harinya Karaeng Tumapa'risi' Kallonna memanggil Daeng Sangkilang untuk menafsirkan mimpinya. Ternyata itu benar. Bahwa kelak akan ada suasana tak menentu. Ditulislah dalam lontara : jarangji na kongkong sikokko na sitindang, ganca-gancamo cera’. “Hanya kuda (yang merupakan simbol penguasa) dan anjing (sebagai simbol penentu kebijakan), saling gigit dan tendang hingga akhirnya terjadi pertumpahan darah,”
Di saat banjir darah itulah, di Karebosi akan muncul secara tiba-tiba tujuh Balla` Lompoa atau istana yang bentuknya serupa. Uniknya, bukan hanya bangunannya yang sama, tapi fisik, roman wajah, perilaku, dan kharisma penghuni istana juga bak pinang dibelah dua. Tapi di antara tujuh tokoh itu ada yang memiliki kharisma paling kuat. Tokoh itulah yang nanti akan jadi pemimpin utama dan menunjuk orang-orang yang dianggap bisa memulihkan keadaan pada saat itu. Tokoh itu merupakan penyeimbang antara 7 lapis langit dan 7 lapis bumi, lanjut Daeng Sangkilang memberitahukan hasil tafsiran sang raja.
--> Berlanjut
Pagi yang cerah di dalam Istana Kerajaan Gowa. Di taman belakang sang Raja Agung Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna berbincang dengan permaisuri tentang anak bayi yang baru dia lahirkan sementara dayang kerajaan tak hentinya mengipas dan menyuguhkan buah segar di hadapannya. Angin sejuk berhembus menembus batas sadarnya. Tentram. Tiba-tiba Daeng Sangkilang, penasehat raja datang menghadap untuk melaporkan tentang kekacauan yang terjadi di wilayahnya. Saat itu tanah gowa ibarat rimba tak bertuan. Orang-orang saling adu kekuatan untuk membuktikan kehebatannya dan akhirnya orang lemah tersingkir dari kehidupan. Sang raja begitu kaget mendengar laporan Daeng Sangkilang.
Raja memerintahkan kepada Daeng Mattawang sebagai komandan tu barania untuk turun menenangkan kekacauan tersebut. Ia diberikan waktu seminggu untuk membuat wilayah ini kembali tenang. Namun seminggu kemudian Daeng Mattawang datang menghadap pada sang raja dan mengutarakan keadaan yang sebenarnya.
“Sangat sulit Karaeng. Kondisi rakyat sungguh diluar batas kewajaran. Mereka bertarung layaknya binatang. Saling membunuh satu sama lain. Kata Daeng Mattawang ciut dihadapan raja karena kegagalannya mengembalikan suasana wilayah kerajaan ini.
Sang raja berdiri dari singgasananya. Menatap jauh kedepan. Matawang agak takut melihat murka rajanya. Ia menunggu titah apa yang akan diberikan lagi kepadanya. Sang raja kemudian mencabut badik dari warangkanya dan mengacungkan ke langit.
“Hari ini aku bersumpah atas nama ayahku bahwa kerajaan ini akan kembali seperti dulu lagi jika tidak aku akan mati ditiang pancung. Setelah mengucapkan janjinya sang raja kemudian memerintahkan Daeng Mattawang untuk menyiapkan kudanya. Sang raja akan turun tangan sendiri. Namun Sangkilang menyarankan agar raja tetap disini. Biarkan pasukan tu barania patampulo yang menenangkan wilayah ini. Pasukan yang telah di latih khusus untuk menjadi duta perang kerajaan Gowa. Namun ternyata tekad sang raja untuk turun tangan dalam masalah ini sudah bulat. Raja bersama pasukan tu barania patampulo menyisir setiap wilayah yang diyakini sering terjadi kerusuhan namun ternyata itu juga tak membuahkan hasil apapun.
Kondisi ini terus berlanjut. Orang yang merasa kuat terus mencari lawan sepadan untuk membuktikan siapa yang lebih kuat diantara mereka. Sang raja kemudian mengatur strategi. Dibuatlah sebuah sayembara berhadiah permaisuri cantik dan mengundang semua pendekar untuk ikut bertarung. Ternyata sayembara ini di dengar oleh Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang mulai dari wilayah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Mereka mengutus juga para jagoannya untuk ikut sayembara yang diadakan sang raja. Rivalitas Bate Salapang memang selalu mengundang perselisihan. Strategi ini memang berhasil meredam kekacauan. Berkat kecerdasan Karaeng Tumapa'risi' Kallonna melihat celah kemungkin untuk mengembalikkan suasana kerajaan meskipun hari-hari selanjutnya masih terdengar berita perkelahian di wilayahnya namun tidak seperti dulu lagi.
Sampai pada sutu hari di pagi yang buta. Wilayah kerajaan Gowa dihantam hujan deras disertai petir yang menyambar tanpa henti. Peristiwa ini berlangsung selama tujuh hari dan mengakibatkan banjir di beberapa wilayah kerajaan Gowa. Dan di hari ke delapan, petir akhirnya berhenti berkilat-kilat dan hujan hanya bersisa pelangi dan gerimis seperti benang halus yang jatuh dari langit. Sawah nan luas tergenang sisa air hujan. Saat bersamaan ratusan rakyat Gowa tiba-tiba menyaksikan timbulnya tujuh gundukan tanah di tengah hamparan tersebut. Tujuh orang bergaun kuning keemas-emasan pun muncul sesaat lalu menghilang di tengah gerimis. Yang tersisa kemudian hanya tujuh gundukan tanah berbau harum.
Semenjak saat itu rakyat Gowa mempercayai bahwa mereka adalah tomanurung yang dikirimkan oleh Tuhan untuk negeri mereka. Kehadiran tujuh orang yang disebut sebagai Karaeng Angngerang Bosi. Jadilah Raja Karaeng Tumapa'risi' Kallonna yang ikut menyaksikan kejadian itu kemudian menjadikannya sebagai sawah kerajaan. Jadilah nama Kanrobosi diberikan pada sawah itu. Kanro berarti anugerah yang Maha Kuasa dan bosi berarti hujan atau bisa juga bermakna kelimpahan.
Malam harinya Karaeng Tumapa'risi' Kallonna bermimpi bahwa kelak akan kembali terjadi kerusuhan yang luar biasa di wilayahnya. Ketujuh tokoh tersebut akan turun lagi ke bumi suatu ketika nanti. Dan di tengah hamparan sawah itu berbinar tujuh cahaya. Namun, seperti kedatangan mereka semula, akan ada pula kondisi tak menentu yang mendahuluinya. Keesokan harinya Karaeng Tumapa'risi' Kallonna memanggil Daeng Sangkilang untuk menafsirkan mimpinya. Ternyata itu benar. Bahwa kelak akan ada suasana tak menentu. Ditulislah dalam lontara : jarangji na kongkong sikokko na sitindang, ganca-gancamo cera’. “Hanya kuda (yang merupakan simbol penguasa) dan anjing (sebagai simbol penentu kebijakan), saling gigit dan tendang hingga akhirnya terjadi pertumpahan darah,”
Di saat banjir darah itulah, di Karebosi akan muncul secara tiba-tiba tujuh Balla` Lompoa atau istana yang bentuknya serupa. Uniknya, bukan hanya bangunannya yang sama, tapi fisik, roman wajah, perilaku, dan kharisma penghuni istana juga bak pinang dibelah dua. Tapi di antara tujuh tokoh itu ada yang memiliki kharisma paling kuat. Tokoh itulah yang nanti akan jadi pemimpin utama dan menunjuk orang-orang yang dianggap bisa memulihkan keadaan pada saat itu. Tokoh itu merupakan penyeimbang antara 7 lapis langit dan 7 lapis bumi, lanjut Daeng Sangkilang memberitahukan hasil tafsiran sang raja.
--> Berlanjut
Langganan:
Postingan (Atom)
3.29.2012
Kisah Senja yang Dipecundangi
3.01.2012
Kanrobosi
Makassar, 1510 M
Pagi yang cerah di dalam Istana Kerajaan Gowa. Di taman belakang sang Raja Agung Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna berbincang dengan permaisuri tentang anak bayi yang baru dia lahirkan sementara dayang kerajaan tak hentinya mengipas dan menyuguhkan buah segar di hadapannya. Angin sejuk berhembus menembus batas sadarnya. Tentram. Tiba-tiba Daeng Sangkilang, penasehat raja datang menghadap untuk melaporkan tentang kekacauan yang terjadi di wilayahnya. Saat itu tanah gowa ibarat rimba tak bertuan. Orang-orang saling adu kekuatan untuk membuktikan kehebatannya dan akhirnya orang lemah tersingkir dari kehidupan. Sang raja begitu kaget mendengar laporan Daeng Sangkilang.
Raja memerintahkan kepada Daeng Mattawang sebagai komandan tu barania untuk turun menenangkan kekacauan tersebut. Ia diberikan waktu seminggu untuk membuat wilayah ini kembali tenang. Namun seminggu kemudian Daeng Mattawang datang menghadap pada sang raja dan mengutarakan keadaan yang sebenarnya.
“Sangat sulit Karaeng. Kondisi rakyat sungguh diluar batas kewajaran. Mereka bertarung layaknya binatang. Saling membunuh satu sama lain. Kata Daeng Mattawang ciut dihadapan raja karena kegagalannya mengembalikan suasana wilayah kerajaan ini.
Sang raja berdiri dari singgasananya. Menatap jauh kedepan. Matawang agak takut melihat murka rajanya. Ia menunggu titah apa yang akan diberikan lagi kepadanya. Sang raja kemudian mencabut badik dari warangkanya dan mengacungkan ke langit.
“Hari ini aku bersumpah atas nama ayahku bahwa kerajaan ini akan kembali seperti dulu lagi jika tidak aku akan mati ditiang pancung. Setelah mengucapkan janjinya sang raja kemudian memerintahkan Daeng Mattawang untuk menyiapkan kudanya. Sang raja akan turun tangan sendiri. Namun Sangkilang menyarankan agar raja tetap disini. Biarkan pasukan tu barania patampulo yang menenangkan wilayah ini. Pasukan yang telah di latih khusus untuk menjadi duta perang kerajaan Gowa. Namun ternyata tekad sang raja untuk turun tangan dalam masalah ini sudah bulat. Raja bersama pasukan tu barania patampulo menyisir setiap wilayah yang diyakini sering terjadi kerusuhan namun ternyata itu juga tak membuahkan hasil apapun.
Kondisi ini terus berlanjut. Orang yang merasa kuat terus mencari lawan sepadan untuk membuktikan siapa yang lebih kuat diantara mereka. Sang raja kemudian mengatur strategi. Dibuatlah sebuah sayembara berhadiah permaisuri cantik dan mengundang semua pendekar untuk ikut bertarung. Ternyata sayembara ini di dengar oleh Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang mulai dari wilayah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Mereka mengutus juga para jagoannya untuk ikut sayembara yang diadakan sang raja. Rivalitas Bate Salapang memang selalu mengundang perselisihan. Strategi ini memang berhasil meredam kekacauan. Berkat kecerdasan Karaeng Tumapa'risi' Kallonna melihat celah kemungkin untuk mengembalikkan suasana kerajaan meskipun hari-hari selanjutnya masih terdengar berita perkelahian di wilayahnya namun tidak seperti dulu lagi.
Sampai pada sutu hari di pagi yang buta. Wilayah kerajaan Gowa dihantam hujan deras disertai petir yang menyambar tanpa henti. Peristiwa ini berlangsung selama tujuh hari dan mengakibatkan banjir di beberapa wilayah kerajaan Gowa. Dan di hari ke delapan, petir akhirnya berhenti berkilat-kilat dan hujan hanya bersisa pelangi dan gerimis seperti benang halus yang jatuh dari langit. Sawah nan luas tergenang sisa air hujan. Saat bersamaan ratusan rakyat Gowa tiba-tiba menyaksikan timbulnya tujuh gundukan tanah di tengah hamparan tersebut. Tujuh orang bergaun kuning keemas-emasan pun muncul sesaat lalu menghilang di tengah gerimis. Yang tersisa kemudian hanya tujuh gundukan tanah berbau harum.
Semenjak saat itu rakyat Gowa mempercayai bahwa mereka adalah tomanurung yang dikirimkan oleh Tuhan untuk negeri mereka. Kehadiran tujuh orang yang disebut sebagai Karaeng Angngerang Bosi. Jadilah Raja Karaeng Tumapa'risi' Kallonna yang ikut menyaksikan kejadian itu kemudian menjadikannya sebagai sawah kerajaan. Jadilah nama Kanrobosi diberikan pada sawah itu. Kanro berarti anugerah yang Maha Kuasa dan bosi berarti hujan atau bisa juga bermakna kelimpahan.
Malam harinya Karaeng Tumapa'risi' Kallonna bermimpi bahwa kelak akan kembali terjadi kerusuhan yang luar biasa di wilayahnya. Ketujuh tokoh tersebut akan turun lagi ke bumi suatu ketika nanti. Dan di tengah hamparan sawah itu berbinar tujuh cahaya. Namun, seperti kedatangan mereka semula, akan ada pula kondisi tak menentu yang mendahuluinya. Keesokan harinya Karaeng Tumapa'risi' Kallonna memanggil Daeng Sangkilang untuk menafsirkan mimpinya. Ternyata itu benar. Bahwa kelak akan ada suasana tak menentu. Ditulislah dalam lontara : jarangji na kongkong sikokko na sitindang, ganca-gancamo cera’. “Hanya kuda (yang merupakan simbol penguasa) dan anjing (sebagai simbol penentu kebijakan), saling gigit dan tendang hingga akhirnya terjadi pertumpahan darah,”
Di saat banjir darah itulah, di Karebosi akan muncul secara tiba-tiba tujuh Balla` Lompoa atau istana yang bentuknya serupa. Uniknya, bukan hanya bangunannya yang sama, tapi fisik, roman wajah, perilaku, dan kharisma penghuni istana juga bak pinang dibelah dua. Tapi di antara tujuh tokoh itu ada yang memiliki kharisma paling kuat. Tokoh itulah yang nanti akan jadi pemimpin utama dan menunjuk orang-orang yang dianggap bisa memulihkan keadaan pada saat itu. Tokoh itu merupakan penyeimbang antara 7 lapis langit dan 7 lapis bumi, lanjut Daeng Sangkilang memberitahukan hasil tafsiran sang raja.
--> Berlanjut
Pagi yang cerah di dalam Istana Kerajaan Gowa. Di taman belakang sang Raja Agung Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna berbincang dengan permaisuri tentang anak bayi yang baru dia lahirkan sementara dayang kerajaan tak hentinya mengipas dan menyuguhkan buah segar di hadapannya. Angin sejuk berhembus menembus batas sadarnya. Tentram. Tiba-tiba Daeng Sangkilang, penasehat raja datang menghadap untuk melaporkan tentang kekacauan yang terjadi di wilayahnya. Saat itu tanah gowa ibarat rimba tak bertuan. Orang-orang saling adu kekuatan untuk membuktikan kehebatannya dan akhirnya orang lemah tersingkir dari kehidupan. Sang raja begitu kaget mendengar laporan Daeng Sangkilang.
Raja memerintahkan kepada Daeng Mattawang sebagai komandan tu barania untuk turun menenangkan kekacauan tersebut. Ia diberikan waktu seminggu untuk membuat wilayah ini kembali tenang. Namun seminggu kemudian Daeng Mattawang datang menghadap pada sang raja dan mengutarakan keadaan yang sebenarnya.
“Sangat sulit Karaeng. Kondisi rakyat sungguh diluar batas kewajaran. Mereka bertarung layaknya binatang. Saling membunuh satu sama lain. Kata Daeng Mattawang ciut dihadapan raja karena kegagalannya mengembalikan suasana wilayah kerajaan ini.
Sang raja berdiri dari singgasananya. Menatap jauh kedepan. Matawang agak takut melihat murka rajanya. Ia menunggu titah apa yang akan diberikan lagi kepadanya. Sang raja kemudian mencabut badik dari warangkanya dan mengacungkan ke langit.
“Hari ini aku bersumpah atas nama ayahku bahwa kerajaan ini akan kembali seperti dulu lagi jika tidak aku akan mati ditiang pancung. Setelah mengucapkan janjinya sang raja kemudian memerintahkan Daeng Mattawang untuk menyiapkan kudanya. Sang raja akan turun tangan sendiri. Namun Sangkilang menyarankan agar raja tetap disini. Biarkan pasukan tu barania patampulo yang menenangkan wilayah ini. Pasukan yang telah di latih khusus untuk menjadi duta perang kerajaan Gowa. Namun ternyata tekad sang raja untuk turun tangan dalam masalah ini sudah bulat. Raja bersama pasukan tu barania patampulo menyisir setiap wilayah yang diyakini sering terjadi kerusuhan namun ternyata itu juga tak membuahkan hasil apapun.
Kondisi ini terus berlanjut. Orang yang merasa kuat terus mencari lawan sepadan untuk membuktikan siapa yang lebih kuat diantara mereka. Sang raja kemudian mengatur strategi. Dibuatlah sebuah sayembara berhadiah permaisuri cantik dan mengundang semua pendekar untuk ikut bertarung. Ternyata sayembara ini di dengar oleh Bate Selapang atau Kasuwiyang Salapang mulai dari wilayah Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agang Jekne, Bissei, Kalling dan Serro. Mereka mengutus juga para jagoannya untuk ikut sayembara yang diadakan sang raja. Rivalitas Bate Salapang memang selalu mengundang perselisihan. Strategi ini memang berhasil meredam kekacauan. Berkat kecerdasan Karaeng Tumapa'risi' Kallonna melihat celah kemungkin untuk mengembalikkan suasana kerajaan meskipun hari-hari selanjutnya masih terdengar berita perkelahian di wilayahnya namun tidak seperti dulu lagi.
Sampai pada sutu hari di pagi yang buta. Wilayah kerajaan Gowa dihantam hujan deras disertai petir yang menyambar tanpa henti. Peristiwa ini berlangsung selama tujuh hari dan mengakibatkan banjir di beberapa wilayah kerajaan Gowa. Dan di hari ke delapan, petir akhirnya berhenti berkilat-kilat dan hujan hanya bersisa pelangi dan gerimis seperti benang halus yang jatuh dari langit. Sawah nan luas tergenang sisa air hujan. Saat bersamaan ratusan rakyat Gowa tiba-tiba menyaksikan timbulnya tujuh gundukan tanah di tengah hamparan tersebut. Tujuh orang bergaun kuning keemas-emasan pun muncul sesaat lalu menghilang di tengah gerimis. Yang tersisa kemudian hanya tujuh gundukan tanah berbau harum.
Semenjak saat itu rakyat Gowa mempercayai bahwa mereka adalah tomanurung yang dikirimkan oleh Tuhan untuk negeri mereka. Kehadiran tujuh orang yang disebut sebagai Karaeng Angngerang Bosi. Jadilah Raja Karaeng Tumapa'risi' Kallonna yang ikut menyaksikan kejadian itu kemudian menjadikannya sebagai sawah kerajaan. Jadilah nama Kanrobosi diberikan pada sawah itu. Kanro berarti anugerah yang Maha Kuasa dan bosi berarti hujan atau bisa juga bermakna kelimpahan.
Malam harinya Karaeng Tumapa'risi' Kallonna bermimpi bahwa kelak akan kembali terjadi kerusuhan yang luar biasa di wilayahnya. Ketujuh tokoh tersebut akan turun lagi ke bumi suatu ketika nanti. Dan di tengah hamparan sawah itu berbinar tujuh cahaya. Namun, seperti kedatangan mereka semula, akan ada pula kondisi tak menentu yang mendahuluinya. Keesokan harinya Karaeng Tumapa'risi' Kallonna memanggil Daeng Sangkilang untuk menafsirkan mimpinya. Ternyata itu benar. Bahwa kelak akan ada suasana tak menentu. Ditulislah dalam lontara : jarangji na kongkong sikokko na sitindang, ganca-gancamo cera’. “Hanya kuda (yang merupakan simbol penguasa) dan anjing (sebagai simbol penentu kebijakan), saling gigit dan tendang hingga akhirnya terjadi pertumpahan darah,”
Di saat banjir darah itulah, di Karebosi akan muncul secara tiba-tiba tujuh Balla` Lompoa atau istana yang bentuknya serupa. Uniknya, bukan hanya bangunannya yang sama, tapi fisik, roman wajah, perilaku, dan kharisma penghuni istana juga bak pinang dibelah dua. Tapi di antara tujuh tokoh itu ada yang memiliki kharisma paling kuat. Tokoh itulah yang nanti akan jadi pemimpin utama dan menunjuk orang-orang yang dianggap bisa memulihkan keadaan pada saat itu. Tokoh itu merupakan penyeimbang antara 7 lapis langit dan 7 lapis bumi, lanjut Daeng Sangkilang memberitahukan hasil tafsiran sang raja.
--> Berlanjut
Langganan:
Postingan (Atom)