Pengertian Semiotika
Semiotika berasal dari
kata Yunani, yaitu: semeion yang berarti tanda. Dalam pandangan
Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang
keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai
wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model
dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh
praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga
dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda
itu sendiri (Piliang,1998:262)
Semiotika adalah ilmu
yang mempelajari tentang suatu tanda (sign). Dalam ilmu komunikasi ”tanda”
merupakan sebuah interaksi makna yang disampaikan kepada orang lain melalui
tanda-tanda. Dalam berkomunikasi tidak hanya dengan bahasa lisan saja namun
dengan tanda tersebut juga dapat berkomunikasi. Ada atau tidaknya peristiwa,
struktur yang ditemukan dalan sesuatu, suatu kebiasaan semua itu dapat disebut
tanda. Sebuah bendera, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan,
gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, rambut uban, lirikan mata dan banyak
lainnya, semua itu dianggap suatu tanda (Zoezt, 1993:18).
Dalam semiologi,
penerima atau pembaca pesan, dipandang memiliki peran yang aktif, dibandingkan
dalam paradigma transmisi di mana mereka dianggap pasif. Semiologi lebih suka
memilih istilah “pembaca” untuk komunikan, karena “pembaca” pada dasarnya aktif
dalam menciptakan pemaknaan teks atau tanda (sign) dengan membawa pengalaman,
sikap, emosi terhadap teks atau tanda tersebut (Fiske, 1990).
Semiotika menurut
Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles
Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika
secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce
di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce
filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).
Teori Semiotika Menurut Ferdinand
de Sausure
Teori Semiotik ini
dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik
dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda
(signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui
wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap
melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung didalam karya
arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan
petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotika
signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam
sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial
diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure,
tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda,
dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.
Dalam berkomunikasi,
seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain
akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut
“referent”. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk
signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai
referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan.
Contoh: ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat
maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut
Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat dipisahkan,
seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur, 2006).
Saussure mengembangkan
bahasa sebagai suatu sistim tanda. Semiotik dikenal sebagai disiplin yang
mengkaji tanda, proses menanda dan proses menandai. Bahasa adalah sebuah jenis
tanda tertentu. Dengan demikian dapat dipahami jika ada hubungan antara
linguistik dan semiotik. Saussure menggunakan kata ‘semiologi’ yang mempunyai
pengertian sama dengan semiotika pada aliran Pierce. Kata Semiotics memiliki
rival utama, kata semiology. Kedua kata ini kemudian digunakan untuk
mengidentifikasikan adanya dua tradisi dari semiotik. Tradisi linguistik
menunjukkan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan nama-nama Saussure sampai
Hjelmslev dan Barthes yang menggunakan istilah semiologi. Sedang yang
menggunakan teori umum tentang tanda-tanda dalam tradisi yang dikaitkan dengan
nama-nama Pierce dan Morris menggunakan istilah semiotics. Kata Semiotika
kemudian diterima sebagai sinonim dari kata semiologi (Istanto, 2000).
Ahli-ahli semiotika
dari aliran Saussure menggunakan istilah-istilah pinjaman dari linguistik. Pada
masa sesudah Saussure, teori linguistik yang paling banyak menandai studi
semiotik adalah teori Hjelmslev, seorang strukturalist Denmark. Pengaruh itu
tampak terutama dalam ‘semiologi komunikasi’. Teori ini merupakan pendekatan
kaum semiotika yang hanya memperhatikan tanda-tanda yang disertai maksud
(signal) yang digunakan dengan sadar oleh mereka yang mengirimkannya (si
pengirim) dan mereka yang menerimanya (si penerima). Para ahli semiotika ini
tidak berpegang pada makna primer (denotasi) tanda yang disampaikan, melainkan
berusaha untuk mendapatkan makna sekunder (konotasi) (Istanto, 2000).
Menurut Saussure, tanda
mempunyai dua entitas, yaitu signifier (signifiant/wahana tanda/penanda/yang
mengutarakan/simbol) dan signified (signifie/makna/petanda/yang
diutarakan/thought of reference). Tanda menurut Saussure adalah kombinasi dari
sebuah konsep dan sebuah sound-image yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan
antara signifier dan signified adalah arbitrary (mana suka). Tidak ada hubungan
logis yang pasti diantara keduanya, yang mana membuat teks atau tanda menjadi
menarik dan juga problematik pada saat yang bersamaan (Berger, 1998: 7-8).
Pemikiran Saussure juga
mempunyai gaung yang kuat dalam rumpun ilmu-ilmu sosial budaya secara umum dan
akhirnya menjadi sumber ilham bagi sebuah paham pemikiran yang dinamakan
strukturalisme. Prinsip-prinsip linguistik Saussure dapat disederhanakan
kedalam butir-butir pemahaman sebagai sebagai berikut :
1. Bahasa
adalah sebuaha fakta sosial.
2. Sebagai
fakta sosial, bahasa bersifat laten, bahasa bukanlah gejala-gejala permukaan
melainkan sebagai kaidah-kaidah yang menentukan gejala-gejala permukaan, yang
disebut sengai langue. Langue tersebut termanifestasikan sebagai parole, yakni
tindakan berbahasa atau tuturan secara individual.
3. Bahasa
adalah suatu sistem atau struktul tanda-tanda. Karena itu, bahasa mempunyai
satuan-satuan yang bertingkat-tingkat, mulai dari fonem, morfem, klimat, hingga
wacana.
4. Unsur-unsur
dalam setiap tingkatan tersebut saling menjalin melalui cara tertentu yang
disebut dengan hubungan paradigmatik dan sintakmatik.
5. Relasi
atau hubungan-hubungan antara unsur dan tingkatan itulah yang sesungguhnya
membangun suatu bahasa. Relasi menentuka nilai, makna, pengertian dari setiap
unsur dalam bangunan bahasa secara keseluruhan.
6. Untuk
memperoleh pengetahuan tentang bahasa yang prinsip-prinsipnya yang telah
disebut diatas, bahasa dapat dikaji melalui suatu pendekatan sikronik, yakni
pengkajian bahasa yang membatasi fenomena bahasa pada satu waktu tertentu,
tidak meninjau bahasa dalam perkembangan dari waktu ke waktu (diakronis).
Teori Semiotika Menurut Pierce
Menurut Peirce kata
‘semiotika’, kata yang sudah digunakan sejak abad kedelapan belas oleh ahli filsafat
Jerman Lambert, merupakan sinonim kata logika. Logika harus mempelajari
bagaimana orang bernalar. Penalaran, menurut hipotesis Pierce yang mendasar
dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir,
berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh
alam semesta. Semiotika bagi Pierce adalah suatu tindakan (action), pengaruh
(influence) atau kerja sama tiga subyek yaitu tanda (sign), obyek (object) dan
interpretan (interpretant).
Charles Sanders Peirce
(Zoest, 1992), ahli filsafat dan tokoh terkemuka dalam semiotika modern Amerika
menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia
hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Tanda yang dimaksud dapat berupa
tanda visual yang bersifat non-verbal, maupun yang bersifat verbal.
Menurut Peirce (dalam
Hoed,1992) tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa
pengalaman, pikiran, gagasan atau perasaan. Jika sesuatu, misalnya A adalah
asap hitam yang mengepul di kejauhan, maka ia dapat mewakili B, yaitu misalnya
sebuah kebakaran (pengalaman). Tanda semacam itu dapat disebut sebagai indeks;
yakni antara A dan B ada keterkaitan (contiguity). Sebuah foto atau gambar
adalah tanda yang disebut ikon. Foto mewakili suatu kenyataan tertentu atas
dasar kemiripan atau similarity (foto Angelina Jolie, mewakili orang yang
bersangkutan, jadi merupakan suatu pengalaman). Tanda juga bisa berupa lambang,
jika hubungan antara tanda itu dengan yang diwakilinya didasarkan pada
perjanjian (convention), misalnya lampu merah yang mewakili “larangan
(gagasan)” berdasarkan perjanjian yang ada dalam masyarakat. Burung Dara sudah
diyakini sebagai tanda atau lambang perdamaian; burung Dara tidak begitu saja
bisa diganti dengan burung atau hewan yang lain, dan seterusnya.
0 komentar:
Posting Komentar