Kematian adalah sebuah
perjumpaan antara yang ada dan tiada. Perkara yang seringkali sulit diterima
tapi selalu kita rayakan dengan cara yang berbeda. Pertanyaan kemana perginya
mereka yang mati adalah dasar bagi pertanyaan serupa; kemana datangnya mereka
yang hidup?
Kematian dan kehidupan
selalu berada dalam rumah yang sama. Hanya dipisah kamar dan cahaya lampu. Kita
seringkali menggambarkan kematian dengan sempurna sehingga lupa jika kehidupan
ini sebenarnya adalah perlombaan yang tak pernah dimenangkan oleh siapapun.
Setiap manusia kemudian
menciptakan tuhan dalam kepalanya. Tempat mereka berlindung dari ancaman dan
ketakutan. Disusunlah kitab suci sebagai pedoman yang mengatur manusia mulai
dari cara masuk hingga keluar rumah. Dikaranglah doa agar bisa dimunajatkan
sebagai usaha terakhir manusia untuk menunjukkan keberserahandirinya.
Nasib dan takdir
terlihat seperti ketentuan utuh yang hanya boleh digugat oleh pemuka agama.
Dirawatlah mitos tentang seseorang yang mampu menghidupkan orang yang telah
mati atau hikayat tentang orang yang datang dari kematian selalu dipelihara
agar keesaan tuhan kian kokoh dan tak tertandingi.
Seperti itulah gambaran sederhana bagaimana
manusia mendogmakan sesuatu. Tidak ada ruang bagi keraguan. Bela membela
kepentingan menjadi juru kunci keselamatan. Memilih menjadi abu-abu hanya
mendorong kita meletakkan ketakutan pada puncuk yang lebih esa dari tuhan. Itu
penyakit dan berbahaya.
***
"Di
mana ada kehidupan, di situ pasti ada kematian. Mati itu mudah; hiduplah yang
sulit. Semakin berat kehidupan yang dihadapi, semakin kuat keinginan untuk
bertahan. Dan semakin besar ketakutan untuk mati, semakin besar pula perjuangan
untuk terus hidup."
Kalimat
di atas adalah pesan Mo Yan yang entah saya temukan di mana. Peraih Nobel Sastra
tahun 2012 itu berusaha memahami bagaimana kematian dan kehidupan berjalan
dalam setapak yang sama dan dalam ruang yang lebih luas.
Kematian
dan kehidupan melibatkan banyak hal. Bukan hanya tentang mati dan lahir.
Berbagai elemen dalam hidup ini bisa merasakan hal yang sama. Ilmu pengetahuan salah
satunya yang dapat dijadikan contoh abadi bagaimana orang-orang saling bunuh-membunuh
pemikiran demi lahirnya satu pengetahuan baru.
Hukum
materialisme dialektik dapat merumuskan bagaimana pertentangan ini memegang
kendali. Tesa dan antitesa adalah suami istri yang melahirkan anak yang bernama
sintesa. Sintesa kemudian dijadikan generasi mutakhir. Entah kapan tapi selalu
ada kelompok yang meletakkan sintesa sebagai tesa. Kemudian oleh kelompok lain,
dicarilah antitesanya. Hingga kembali lahir sintesa.
Pola
segitiga ini adalah dahaga yang selalu membutuhkan air minum tapi tak pernah
benar-benar usai apa lagi selesai. Memperlihatkan pada kita bahwa kematian
selalu digantikan oleh kehidupan.
***
Entah bagaimana caranya agar
kematian dan kehidupan dapat dipisahkan. Tapi upaya ini tidak pernah berhasil.
Keduanya selalu ada dan berjalan beriringan pada setapak yang sama. Kita hanya
tak tahu sedang mengikuti jejak langkah yang mana.
Apa yang terjadi pada Saut
Situmorang adalah cuplikan bagimana bunuh membunuh ilmu pengetahuan itu
terjadi. Perang pengetahuan di negara kita ini entah dapat digolongkan
berkembang atau tertahan.
Polemik ini dimulai ketika buku 33
Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang diinisiasi oleh Fatin Hamama
diterbitkan. Beberapa pegiat sastra keberatan karena nama Danny JA masuk
sebagai tokoh sastra paling berpengaruh dan disandingkan dengan Chairil Anwar
dan Pramoedya Ananta Toer. Muncullah kritikan dan kecaman serta aksi penolakan
oleh beberapa kalangan. Salah satunya adalah Saut Situmorang yang mengkritik
lewat satus facebook dan twitter-nya serta dalam berbagai forum
diskusi.
Berawal
dari puisi dan berakhir di kantor polisi. Itulah mungkin kalimat sederhana yang
dapat digunakan untuk menggambarkan kisah Saut Situmorang yang dipolisikan oleh
Fatin Hamama – Alumni Al-Azhar, Kairo yang disebut-sebut sebagai perantara
Danny JA. Dengan tuduhan pencemaran nama baik dan melanggar UU ITE.
Peradaban Barat pernah merasakan hal
yang sama. Pada masa kegelapan atau dark
ages antara tahun 325 sampai 1300 M terjadi pemerkosaan keyakinan dan
pembunuhan intelektual oleh kalangan agamawan. Dengan dalih demi terjaganya
sakralitas agama. Moral kemudian menjadi tuhan yang lebih Tuhan.
Memasuki
pertengahan tahun 2015, kita masih saling bunuh membunuh keyakinan dan
intelektual. Masih memperdebatkan hal yang di Barat telah selasai ratusan tahun
lalu. Yassalam!