“Saya pikir Liddle dan ilmuwan asing yang mendalami Indonesia berkutat dengan isi, sementara kaum terpelajar Indonesia bersolek dengan bungkus. Mereka berpikir seluruh, sedangkan kita berpikir separuh. Jadilah kita manusia separuh, hanya berperan sebagai bungkus-bungkus, dan itu sudah dimulai sejak di pikiran, ketika kita berbahasa." – Salomo Simanungkalit.
Gagasan di atas, secara sederhana,
coba menyandarkan realita berbahasa kita pada sesuatu yang disebut Albert
Einsten sebagai reality is merely an
illusion. Istilah ini merujuk pada keadaan di mana realitas menjadi sinonim
kepalsuan.
Stasiun televesi dan ruang diskusi
menjadi tempat terbaik untuk melihat bagaimana gagapnya kita dalam berbahasa. Mari
memperhatikan petikan wawancara artis Indonesia dan bandingkan dengan jumpa
pers pelatih sepak bola di liga Inggris. Tanpa bermaksud menganggap pelatih
lebih baik dari artis. Dalam konteks penggunaan bahasa, saya merasa peramu
sepakbola memang nampaknya lebih jujur dan berani.
Mengutip komentar Jose Mourinho
ketika dipecat oleh Chelsea FC, “Saya siap menjalaninya, untuk mengatasinya,
karena saya punya kematangan dan pengalaman. Tapi saya membayangkan, bila hal
seperti ini terjadi di awal, mungkin karier saya akan lebih baik.” Bandingkan
dengan pernyataan Saipul Jamil saat diminta menjelaskan kronologi kasus
pencabulan yang menimpanya "Dan saya khilaf, Pak. Enggak ada maksud ke sana. Itu pun terjadi sekali aja."
Bahasa yang dipilih Mourinho
memiliki gairah penerimaan atas pemecatan dan semangat untuk bangkit kembali, sementara bahasa yang dipilih Saipul Jamil,
terbaca jika dia tidak menerima tuduhan pencabulan tersebut, meskipun telah
terbukti bersalah.
Ini hanya penggambaran kecil dari
perbandingan dua tokoh, namun tampaknya, bakat-bakat ketidakmapanan kita berbahasa
dengan dalam dan terang memang dimulai sejak di pikiran. Atau mungkin pemilihan
bahasa kita memang tidak pernah dipikirkan terlebih dahulu.
Persoalan seluruh dan separuh
menjadi hal yang disinggung Salomo dengan serius. Pikiran yang patah atau logika
yang mudah disangkal. Pembahasan dalam ruang-ruang diskusi sebatas ranah
permukaan dan tidak menyelami pusat permasalahan. Barangkali tulisan ini juga,
demikian adanya, hanya membahas persoalan-persoalan remeh yang tidak penting
untuk diketahui.
Saya sendiri takut, bahasa bukan
lagi alat untuk menjelaskan sebuah persoalan. Bahasa bukan lagi hasil pemikiran
yang memiliki kedalaman, tapi menjadi kebohongan-kebohongan yang dibiarkan terus
berbicara. Pada titik tertentu, kita lebih percaya hal yang heboh dan kosong
dari pada kalimat sederhana yang berterus terang.
Apa yang kita ucapkan adalah
bahasa, dan semua kata yang dipilih seharusnya melalui tahap pikiran. Namun
bila di dalam sana, segala sesuatunya patah dan terbelah, maka tidak ada hal
yang dapat selesai tanpa menderita gangguan.
Untuk menjelaskan cara mengatasi
kelaparan, maka kita berbicara tentang bagaimana menjatuhkan sebuah rezim.
Untuk menghentikan ketergantungan terhadap media sosial, maka kita berhenti
menggunakan internet. Untuk membiarkan anak-anak mudah diatur, maka mereka
diberikan telepon cerdas yang berisi permainan-permainan.
Semua solusi yang kita berikan
adalah hasil pemikiran yang patah. Itu menyebabkan hal yang kita anggap
penyelesaian justru bertindak sebagai penyamaran, permukaan yang tidak akan
pernah membawa pemikiran kita untuk tenggelam ke inti masalah.
Penggambaran realitas oleh Einsten
telah merasuki sistem kebahasaan kita. Bahasa hanyalah ilusi belaka. Segala
kepalsuan dan hal-hal yang tidak kita pahami tersembunyi di dalamnya. Kita
menggunakan bahasa dan berharap dapat menjelaskan jika kita adalah orang yang cerdas
yang paham persoalan.
Ilmu sintaksis dan pragmatik
akhirnya hanya menjelaskan tatanan kebahasaan dan dikelabui oleh semua ilusi
itu. Peletakan subjek dalam kalimat seolah berhasil menjawab siapa dan
peletakan objek dalam kalimat seolah sanggup menjawab bagaimana. Namun
nyatanya, siapa dan bagaimana itu tidak pernah kita kenal seutuhnya.
Menjadi pembungkus yang hanya
paham persoalan kulit. Terlebih jika ini menyangkut persoalan yang kita anggap
sanggup kuasai. Semacam sepasang kekasih yang seharusnya bisa menjaga perasaan,
namun salah seorang di antaranya justru berkhianat dan tetap merasa saling
menyayangi. Ajaib.
Pada akhirnya, kita harus kembali
membersihkan debu-debu dalam pikiran, mencoba menata kembali segala
permasalahan dari awal. Toh, kesanggupan berbahasa tidak menunjukkan bagaimana
kita menguasai sesuatu, tapi bagaimana kita jujur untuk melihat masalah. Dan
semoga, harapan saya, pendangan Salomo pada pembuka tulisan ini suatu saat akan
membalik dirinya sendiri.