Hari Keadilan
hari minggu adalah hari keadilan. aku menikmatinya
dengan berbaring di kamar sambil membaca puisi
di koran minggu. di meja, kopi toraja
yang ibu antarkan
masih hangat. jendela terbuka lebar tapi
tak cukup besar untuk
menjadi keindahan. pandanganku terhalauh
gedung-gedung tinggi yang menjulang. menjadi palang. menjadi halang.
“kota memang tak mengenal kata libur”
pukul sebelas kau datang membawa kabar. mengeluh tentang
kemacetan kota dan berita keonaran
dunia. aku ikut merasakan resahmu. rasa yang bahkan tak perlu kucemaskan saat berbaring,
menikmati pagi dengan kebebasan.
kau mengajakku keluar, menikmati sore di taman.
“sepertinya kita butuh berlibur dari semua kesibukan yang lembur”
cinta memang
selalu
punya pengecualian. ajakanmu kuterima. kita berdua menunggu hari menjadi senja.
lalu berjalan melawati pohon-pohon yang menggugurkan daunnya. meskipun kita tak
mengenal musim semi, tapi pohon-pohon ini punya cara untuk berbicara. ia
menyampaikan semua perasaannya lewat daun yang jatuh. sekali waktu ia
menumbangkan tubuhnya, agar orang-orang tahu rasanya di tanam lalu dilupakan.
saat tiba di taman. keramaian mempersembahkan semua hal yang
meresahkan. keriuhan
dan segala hal yang tak mengenal libur. suara orang-orang tertawa yang bahkan
lebih besar dari panggilan ibadah.
mereka seperti memaksa dirinya untuk terhibur. menertawakan hal yang bahkan
tidak humor.
“seperti itukah cara kita menikmati libur?”
kita
akhirnya hanya duduk berdua.
menunggu matahari
untuk libur dan berharap ia muncul
minggu depan,
agar kita punya waktu yang panjang untuk istirahat
“mungkin dengan begitu kita tahu cara untuk menikmati
hari libur”
Kutabahkan Semua Perih sebab Kutahu Cinta
adalah Luka
aku
datang dari jalan tanah yang sempit
jalan
yang tak pernah kau ingat
kau
adalah satu-satunya pengendara malam ini
dan
aku hanyalah rambu lalu lintas yang tak pernah
kau
patuhi
aku
datang dari jalan tanah yang sempit
sebuah
tempat yang tak pernah kau pijak
ingatanmu
jalan raya lengang bagi pengendara ugal
yang
senang menambah kecepatan
gedung-gedung
yang dihuni cinta kau lewatkan begitu saja
padahal
telah kuperindah segalanya
agar
kau tertarik untuk singgah
walau
sekadar menghabiskan beberapa hela nafas yang tak pernah kau jumlah
tapi
matamu selalu tertawa dengan kecepatan yang akan kau sesali
kelak,
setelah kau tiba di ujung jalan tanpa pilihan
Jalan Lain ke Kotamu
ketika
cinta yang kau perjuangkan tak lagi memiliki selera humor
larilah
ke dalam kota yang tak pernah tidur
kau
akan menemukan banyak kemungkinan untuk tertawa
melihat
cinta dirampas dan manusia memihak kepada dusta
orang-orang
membahak kisah-kisah setia
sementara
hati mereka telah patah
mereka juga senang
menuntut kesempurnaan cinta
sementara
tak menjaga dirinya dari pengkhianatan
kota
ini senang membuat kekacauan yang mereka harap dapat kendalikan
tapi
cinta hidup di luar semua itu
ia
berjalan di atas kemungkinan-kemungkinan
seperti hiburan yang senang menyembunyikan kesedihan
atau liburan yang kerap menyita kebahagiaan
“cinta
tak mengenal setia, tapi kita yang
mencintai tak boleh khianat”