Membaca kisah yang
tertuang dalam Illiad dan Odyssey, La Galigo, Aeneid atau Ramayana dan
Mahabharata adalah upaya manusia untuk pulang ke dalam dirinya. Benturan narasi
dan sejarah yang tidak bisa manusia tolak.
Meskipun telah dipisah
ribuan tahun, tapi dengan adanya budaya literasi, memungkinkan kita untuk
bertemu dengan Hanoman, Sawerigading, Aeneid, atau Agamemnon. Pertemuan yang
terjadi dalam kisah-kisah yang terus dipelihara hingga saat ini.
Kisah itu mendarah
dalam daging ingatan kita. Selain tuturan kisah, keindahan kalimat pada
beberapa naskah epos tadi adalah untaian kata yang kita kenal saat ini sebagai
puisi. Ini menunjukkan bahwa puisi telah ada sejak dulu. Mengandung nilai
sejarah, selalu membumi, dan hidup di tengah masyarakat.
Nilai yang terkandung
dalam puisi inilah yang terus manusia lanjutkan. Dibuatlah puisi-puisi baru.
Terus menerus, tanpa angka pasti. Tidak ada data yang menunjukkan berapa jumlah
puisi yang dibuat karena manusia merasakan kecewa, patah hati, penindasan,
ketidakadilan dan beberapa keresahan lain yang terjadi di negara ini. Selain
karena beberapa puisi sifatnya pribadi, mungkin memang tidak penting mengetahui
jumlahnya.
Yang terpenting adalah
puisi selalu ada dan tidak pernah berhenti dibuat manusia. Sebab menulis puisi
adalah proses pembingkaian ingatan agar dapat bertahan dan pecahan sejarahnya
masih dapat ditemukan generasi setelahnya.
Maka tidak salah jika
saya menyimpulkan secara sepihak bahwa puisi adalah peristiwa yang terperangkap
dalam narasi. Kisah yang diceritakan menggunakan kalimat indah, penuh makna, memiliki
nubuat, dan berangkat dari pengalaman penyairnya.
***
Jauh sebelum 7 Alasan Mencela Diriku yang ditulis
Kahlil Ghibran, manusia telah menjadikan puisi sebagai penguat spritual yang
menjaga kesakralan suatu keyakinan. Pun dalam kitab suci, baik Injil,
Tripitaka, Al-Quran, atau Talmud mengandung kisah yang ditulis dengan
kalimat-kalimat indah.
Jika ada yang menyebut
bahwa puisi sanggup mengubah hidup seseorang, maka saya sepakat. Bukan karena
keindahan kata-kata atau anggapan kesucian yang dilekatkan padanya, tapi karena
di dalamnya termaktub kisah yang mengandung kekuatan.
Kekuatan ini sering
juga disebut sebagai pengalaman literasi. Pengalaman yang semua orang bisa
dapatkan dengan mudah dan murah. Bergantung sebarapa tekun kita membaca dan
memahami narasi pada sebuah teks puisi.
Penyebab perubahan itu
karena kisah yang ditulis di dalam puisi mengandung pengalaman. Dan karena
pengalaman adalah guru yang terbaik, maka tidak salah jika ia memiliki kekuatan
untuk mengubah pandangan dan perilaku manusia.
Senada dengan hasil
penelitian Dr. C. Edward Coffey - peneliti dari Henry Ford Health System, yang berhasil membuktikan bahwa dengan
membaca, seseorang terhindar dari penyakit demensia. Demensia merupakan
penyakit yang merusak jaringan otak. Seseorang yang terkena demensia dipastikan
mengalami kepikunan.
Maka secara medis,
pengetahuan, dan spritual, membaca dapat membantu manusia untuk hidup lebih
sehat.
***
Salah satu berita
menarik belakangan ini adalah aksi jual diri yang dilakukan pelajar sekolah
menengah pertama di salah satu sekolah negeri di kota Makassar. Setelah
berdiskusi dengan salah seorang kawan perihal peristiwa ini, ia menyimpulkan
bahwa penyebab utamanya adalah moral. Menurutnya, moral siswi itu harus
dibenahi dan agama adalah jalan keluarnya.
Tapi simpulan teman
saya berbeda dari pengakuan seorang siswi yang berhasil diwawancarai salah satu
media lokal di Makassar. Menurut pengakuannya, ia menjual diri karena membutuhkan
uang untuk membeli parfum. Tentu, parfum tidak boleh dilihat sekadar pengharum
tubuh, tapi sebagai benda yang memiliki nilai ekonomi.
Beli membeli ini
menunjukkan jika persoalan uang dapat memperpendek akal seseorang dalam
melakukan sesuatu. Maka saya menduga bahwa masalah utamanya bukan karena moral,
tapi desakan ekonomi.
Lantas siapa yang harus
kita mintai pertanggungjawaban? Pemuka agama, orang tua, guru, iklan yang
menawarkan parfum, atau Jokowi yang senang manaikturunkan harga bahan bakar
minyak?
Melihat peran puisi
selama ini – sebagai instrumen yang mampu memperkuat religiositas, penyampai
pesan, dan pelanjut kisah, maka puisi bisa dijadikan sebagai jalan keluar. Saya
hanya berharap puisi belum kehilangan kekuatannya. Meskipun ada kesangsian
untuk mengatakan bahwa dengan sastra, persoalan jual diri ini bisa selesai.
Pendidikan agama yang
sudah diajarkan sejak sekolah dasar toh tidak membuat kita menjadi lebih
bermoral. Sebab agama selalu bertumpu pada benar dan salah. Padahal, banyak
persoalan di dunia ini yang hidup ditengah-tengah ruang kemungkinan. Ruang yang
hanya bisa kita pahami setelah keluar dari dunia ideal yang selama ini kita
yakini sebagai kebenaran. Itulah ruang ketidakjelasan. Ruang di mana segalanya
berpeluang untuk benar.