“Selama penderitaan datang dari manusia,
dia bukan bencana alam, dia pun pasti bisa dilawan oleh manusia.” ― Pramoedya
Ananta Toer, Child of All Nations
Di Pandora, tumbuhan itu bernama
Pohon Kehidupan. Secara fungsi, dia memiliki jalinan paling inti yang memadukan
manusia, tumbuhan, hewan, hingga sesuatu yang sifatnya makulat. Pohon itu menjadi
sumber kekuatan yang menghubungkan jiwa semua warga Pandora, melalui akar,
batang, daun, dan sulurnya.
Secara fisik, Pohon Kehidupan itu
berdiameter lebar, membutuhkan dua atau tiga lengan orang dewasa untuk bisa
memeluknya. Tubuhnya berotot dan tinggi semampai. Akarnya terpacak kokoh ke
dalam tanah. Batang dan sulurnya merambat ke semua tempat di Pandora. Seolah memiliki
mata untuk melihat ke mana lagi ia akan tumbuh menjulur.
Kisah pohon Kehidupan itu dituang
ke dalam film berjudul Avatar – tayang perdana pada penghujung tahun 2009. Film
yang disutradarai oleh James Cameron itu berkelakar tentang belahan semesta
lain yang ditinggali oleh suku Na’vi, bertubuh mirip manusia tapi bertingkah
sangat berbeda.
Sekilas, apa yang saya temukan
selama mengikuti kegiatan edutrip yang dilakukan Blue Forests di pulau
Pannikiang, antara Pohon Kehidupan di Pandora dan Mangrove di Pannikiang, memiliki
kemiripan, baik fisik maupun fungsi.
Di Pandora, masyarakat sadar
fungsi apa yang ditanggung oleh Pohon Kehidupan. Kesadaran itu yang membuatnya
menjaga lingkungan sekitar – hutan basah, rawa-rawa berlumpur, tepian sungai
dan bibir pantai, semua tempat dipenuhi Pohon Kehidupan.
Hingga suatu waktu, penjelajahan
manusia akhirnya tiba di sana. Mereka menemukan satu batu mulia yang sangat
berharga. Maka sebuah perusahaan tambang berencana melakukan invasi demi
menguasai batu mulia tersebut. Beruntung, warga lokal memiliki pengetahuan dan
kepandaian untuk mempertahankan tanahnya.
***
Manusia adalah kutukan bagi bumi
yang mereka cintai. Setiap mendirikan rumah dan membangun kehidupan, di sana
manusia akan menemukan tangannya berdarah karena merusak yang telah tertata indah
di atas tanah.
Demi nama ilmu pengetahuan, mereka
menebang pohon dan demi nama kemanusian, mereka kembali menanamnya. Pepohonan
yang tumbuh lagi tidak mengajarkan apa-apa, selain penjelasan bahwa kebodohan
tidak mampu menipu diri sendiri – bahkan jika itu adalah kawanan paling dungu
sekalipun.
Penjelmaan dari tuduhan saya
terhadap manusia di atas, pernah terjadi pada tahun 1960 hingga 1970-an di
salah satu pulau dengan hutan mangrove paling beragam di Sulawesi Selatan,
Pannikiang.
Kala itu, menurut Abu Nawar –
kepala dusun Pannikiang, banyak masyarakat menebang pohon mangrove dan mengubah
kayunya menjadi daya pembakar atau arang. Sikap masyarakat ini bukan tanpa
alasan, disebab sulitnya menemukan pohon selain mangrove dan akses ke darat
yang belum selaju sekarang, jadilah menebang pohonnya bukan pilihan, tapi
keharusan, jika ingin dapur tetap berasap. Simalakama.
Beruntung kemudian, tahun-tahun
selanjutnya, gas kian mudah didapatkan. Apakah masyarakat kemudian menjadi
sadar tentang bahaya dari merusak mangrove? Meski ini hanya penalaran tanpa
dasar yang kuat, sepertinya masyarakat saat itu belum hendak meninggalkan daya
pembakar tradisionalnya, hanya disebabkan alasan bahwa jauh lebih mudah menggunakan kompor gas.
Penalaran ini berangkat dari
pertanyaan, apakah saat itu semua masyarakat telah mengunakan kompor gas? Salah
seorang warga yang saat saya temui sedang duduk di teras rumahnya menjawab, belum.
Dia sendiri, di dapurnya, masih menggunakan dua jenis kompor, gas dan
tradisional.
Menurut cerita kepala dusun yang
kakeknya telah turut menjaga hidup dan kehidupan mangrove di pulau tersebut, Pannikiang
awalnya hanya gundakan pasir hidup yang kian waktu semakin membesar hingga
layak ditinggali oleh manusia. Lantas mengapa mangrove bisa ada di sina? Itu
disebabkan karena penyebaran secara alami. Ketika saya tanyakan kapan persisnya
peristiwa itu, beliau hanya tersenyum.
***
Pandora
dan Pannikiang adalah simbol bagaimana kehidupan manusia dan tumbuhan
seharusnya tidak dipisah dengan alasan apapun. Penyelarasan keduanya bukun
untuk menguntungkan satu pihak saja.
Konon, pohon Kehidupan tidak butuh
manusia untuk bertahan hidup tapi manusia butuh Pohon Kehidupan untuk tetap
disebut manusia? Mari berangkat dari pertanyaan ini untuk menghadirkan
kesadaran warga tentang pentingnya memelihara pohon Kehidupan di Pandora. Pertanyaan
itu seharusnya juga bisa digunakan untuk mangrove di Pannikiang – dan di
manapun tempat mangrove tumbuh.
Bertolak dari fakta bahwa banyak
daerah di Indonesia yang mangrovenya rusak dikarenakan ulah manusia – mulai dengan
alasan membuat tambak, membuka lahan pertanian, hingga tanah pemukiman. Selanjutnya
dampak apa saja yang ditimbulkan jika mangrove di suatu daerah rusak?
Mengingat bahwa mangrove adalah
ekosistem yang memiliki kemampuan menyerap karbon lebih banyak dan saat ini pemanasan
global terjadi dan berdampak di hampir seluruh belahan bumi, maka tidak ada
alasan untuk merusak mangrove. Terlebih hanya untuk membuka lahan tambak yang produktifitasnya
hanya bertahan 3-5 tahun.
Di Pannikiang, dengan tujuh belas
jenis mangrove, rusaknya ekosistem berarti habislah harapan bahwa pulau itu
tidak akan terkena abrasi. Lebih jauh lagi, penduduk akan kehilangan beberapa
manfaat langsung seperti, buah dari jenis mangrove tertentu bisa digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan kue atau obat tradisional.
Saya merasa bersyukur karena di
Pannikiang hanya ada 26 kepala keluarga. Di benak saya, seandainya ada 100-an lebih
kepala keluarga, mungkin habitat mangrove juga akan terancam. Meski belum ada
penjelasan secara mendalam, tapi itu terjadi di Pulau Tanakeke, Kabupaten
Takalar, jumlah penduduk yang mencapai ribuan, berdampak pada kebutuhan pada
pohon mangrove untuk membuat tiang perahu, balok rumah, atau sekadar kayu
bakar.
Tepatlah penjelasan Pramoedya
Ananta Toer pada pembuka tulisan ini. Perusakan mangrove adalah ulah manusia. Dan
karena itu ulah manusia, maka saheharusnya kita bisa melawan. Dengan cara apa? Salah
satunya adalah dengan mempelajari bagaimana cara kerja teman-teman di Blue Forests
dalam elindungi ekosistem, khusunya mangrove. Bukankah manusia memang adalah
kutukan bagi bumi yang mereka cintai?
2 komentar:
Ygdrasil, Mimameior, Lerau, Sakaki. Banyak nama dengan satu makna; Pohon Kehidupan. Artikelnya keren kak, saya suka.
As reported by Stanford Medical, It is really the one and ONLY reason women in this country live 10 years longer and weigh on average 19 KG lighter than us.
(And actually, it has absoloutely NOTHING to do with genetics or some hard exercise and really, EVERYTHING to around "how" they are eating.)
P.S, What I said is "HOW", not "WHAT"...
Click on this link to determine if this short test can help you decipher your true weight loss potential
Posting Komentar