Adam – seorang pemuda
dari kelompok Islam garis keras, bersama puluhan penduduk beragama nasrani terjebak
di gereja saat perang itu menghancurkan Kota Yursala. Suara tembakan, bom
meledak, dan teriakan orang-orang yang tidak bisa menyelamatkan diri terdengar
sangat nyaring.
Suara ketakutan dari
orang-orang di luar sana menggema hingga ke altar gereja. Mereka yang berhasil
sembunyi di dalam gereja juga terlihat menyimpan kesedihan, ketakutan, juga
kebencian. Perasaan itu bersatu dan melahirkan keputusasaan yang dalam.
Keadaan yang mencekam
ini membuat Pastor Costana berlari ke atas mimbar gereja. Ia menyerukan kepada
seluruh yang ada di ruangan ini untuk berdoa. Adam juga ikut berdoa. Berdoa
dengan cara nasrani, bukan karena ia takut dikeluarkan dari gereja. Tapi Adam
sadar bahwa perang ini tidak memandang agama apa. Maka ia berdoa kepada Tuhan
di hadapan patung Yesus dan Bunda Maria agar perang sipil antar kelompok
masyarakat dan pasukan pemberontak ini segera berakhir.
Setelah larut malam,
samar-samar Adam melihat Ghandi, teman sekolahnya dulu yang beragama Hindu, Dr.
Patra, seorang pengacara yang Atheis, dan Dini, penganut kepercayaan kuno di
Kota Yursala. Mereka semua berkumpul di gereja yang sama. Berdoa agar perang
ini segera usai.
***
Jangan cari kisah di
atas. Karena tidak akan ditemukan di novel, cerpen, apa lagi dikehidupan nyata.
Saya mengutipnya di sebuah diskusi kecil dengan seorang kawan. Kisah itu hanya
bayangan kami berdua.
Seperti biasa,
menjelang natal, selalu saja muncul perdebatan berulang. Di media sosial, di
televisi, di warung kopi, di ruang kuliah, bahkan di atas ranjang. Perihal
seorang muslim yang memberikan ucapan selamat natal kepada seorang kristiani.
Di Twitter, beberapa orang memenggal kalimat perkalimat dan mendadak menjadi
juru kebenaran. Juru kebenaran yang menyerukan agar seorang muslim tak
memberikan ucapan selamat natal.
Atau di Facebook, beberapa orang menyusun status
yang panjang. Mengutip kiri dan kanan apapun yang bisa digunakan sebagai
pembenaran agar tak seorangpun yang beragama islam berani mengucapkan selamat
natal.
Tapi saya kurang yakin
di antara mereka ada yang benar-benar kembali ke Alquran dan hadis. Mereka
hanya berlindung di belakang dogma keyakinan yang sangat picik. Dogma yang
seringkali mengurung kita pada perkara yang terlihat meyakinkan padahal
sebenarnya itu sangat meragukan.
Yang paling mengerikan,
beberapa hari yang lalu ada sekelompok mahasiswa yang mengaku beragama tapi melakukan pemboikotan perayaan natal di
fakultas sastra – ini terjadi di salah satu universitas negeri di Makasssar. Dengan
keadaan dan tekanan yang tentu sulit diterima, kegiatan khidmat itu akhirnya
dipindahkan keluar kampus.
Meskipun membahas
tulisan seperti ini terlalu rentan dan bisa menjadi pemantik sebuah konflik.
Tapi saya yakin, masih lebih banyak di antara kita yang beragama dan menjunjung
keberagaman sebagai pilar utama kehidupan. Masih banyak di antara kita yang
bisa menerima perbedaan. Bahkan Rasullullah SAW pernah mengatakan; Perbedaan
adalah rahmat.
Saya lahir dan besar di
pesantren tapi tidak sekalipun ada ajaran untuk bersikap intoleran terhadap
agama lain. Apa lagi sampai menghalangi saudara kita untuk beribadah. Tuhan
yang mana melarang agama lain untuk beribadah?
Ini bukan perkara siapa yang benar dan siapa
yang salah. Tapi perkara kita meletakkan Tuhan di mana saat melakukan pelarangan
orang lain untuk beribadah. Apakah Tuhan kita masih hidup jika sebagai hamba
menganggap Tuhannya yang paling benar?
Sikap-sikap arogan seperti
itu hanya dimiliki oleh pecundang sosial. Pecundang yang memiliki pembenaran
yang buta di dalam hatinya. Arogansi seperti itu lebih tepat disebut sebuah
ego. Ego yang juga dimiliki oleh para iblis.
***
Terkikisnya kemampuan
untuk hidup berdampingan dalam perbedaan adalah bukti jika kita adalah manusia
biasa. Manusia biasa yang dengan mudah dicuri oleh pemahaman yang sangat jauh
dari konsep kebudayaan kita.
Kita bisa belajar dari
sepasang kekasih yang menjalani kisah cinta tapi dalam banyak hal mereka
berbeda, tentu terasa hangat dan menggairahkan. Tak bermaksud berkhutbah, tapi
hidup di tengah perbedaan dan bisa menerima itu sebagai keindahan tentu terasa
menenangkan.
Saya
mengingat puisi Robert Frost – penyair asal Amerika Serikat, di hutan, kulihat
dua cabang jalan terbentang. Kuambil yang jarang dilalui orang. Dan itulah yang
membuat segala perbedaan.
Perbedaan itu memang tidak
menciptakan dirinya sendiri atau diciptakan oleh manusia. Tapi ia selalu ada.
Selelah apapun kita menghindarinya, ia hidup dalam bayang-bayang setiap benda
bernyawa ataupun tidak.
Siapa yang tahu, Tuhan
mungkin saja menciptakan banyak agama dan kepercayaan agar ia bisa disembah
dengan banyak cara. Agar kita bisa hidup dalam banyak rasa. Selamat hari natal.
dimuat di kolom Literasi Tempo 24/12/2014