Saat duduk menghabiskan
waktu di cafe dan melihat orang-orang datang dan pergi. Saya seperti masuk ke
dalam ruang yang wujudnya seperti taman di kepala saya. Taman bagi yang
membutuhkan sepi. Taman bagi yang membutuhkan keheningan sejenak dari riuhnya
kota.
Niat
awal menghabiskan waktu panjang untuk duduk sendiri terpaksa gagal. Rombongan
perempuan yang datang dan duduk di sebalah meja saya penyebabnya. Ternyata,
salah seorang di antara mereka adalah teman kecil saya. Tak ada alasan untuk
menolak bercerita panjang lebar dengan dia.
Menceritakan
segala hal yang menurut saya sangat mengganggu. Yang membahagiakan adalah
karena teman perempuan saya itu tidak berubah. Cara dia tersenyum belum hilang.
Kecerian masa kecilnya masih sama. Intinya, dia masih seperti gadis 8 tahun
yang saya kenal dulu. Setelah kehabisan bahan cerita, saya memilih duduk dan
bermain gawai. Sementara mereka berempat tampak tertawa, bahagia menceritakan
pengalamannya. Pengalaman yang terasa sangat asing dalam kepala saya.
Entah
kebetulan atau tidak, teman kecil saya itu membuat status di facebook – kami memang sudah lama
berteman di dunia maya, dan saya tanpa sengaja membacanya, kurang lebih redaksi
katanya seperti ini, “buat apa bahagia kalau hati terluka.”
Tanpa bermaksud memberi
tanggapan terhadap status facebook
teman saya. Yang mengherankan dan masih sulit berterima dalam kepala saya
adalah, bagaimana cara terlihat bahagia tapi di media sosial mengeluh tentang kedalaman
perasaan?
***
Salah satu lirik lagu
Ari Lasso - di dalam keramaian aku masih merasa sepi, memang ada benarnya.
Seseorang bisa saja merasa sepi di tengah keramaian. Dalam tulisan ini saya
lebih tertarik untuk menyebut hal itu sebagai karakter ganda. Di dunia nyata
seseorang bisa saja terlihat bahagia dengan banyak tertawa tapi di media sosial,
orang-orang mengeluhkan segala hal yang ia pendam. Ajaib.
Jika Ricard Rorty -
seorang filsuf dari Amerika Serikat, menjelaskan bahwa kebenaran adalah milik
dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada
kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula
kebenaran.
Apa yang benar adalah
apa yang disepakati oleh manusia sebagai kebenaran. Apa yang dilakukan oleh
teman saya mungkin saja benar bagi dirinya. Tapi amat mengganggu pikiran saya.
Benarkah bahwa dunia maya adalah dunia yang berdiri sendiri? Dunia yang
terpisah dari interaksi sosial yang kita bangun.
Sebagian dari kita
mungkin sepakat bahwa dunia nyata dan dunia maya memang harus dipisahkan. Sebagian
lagi mungkin meyakini bahwa keduanya saling berkaitan. Terserah. yang jelas kedua
dunia ini kita sepakati ada dan menjadi bukti eksistensi manusia.
***
Perasaan
kesepian adalah rasa universal yang dapat dirasakan oleh siapa saja. Sedangkan
absurditas adalah sintesa dari resio dan keajaiban. Kedua hal ini seringkali
mewarnai kehidupan kita. Terlibat pada banyak hal dalam proses menemukan
kesimpulan-kesimpulan dalam hidup ini.
Benarkah begitu sepi
dan absurd kehidupan manusia sehingga harus diwarnai dengan proses pelenyapan
melalui narasi dan cerita-cerita panjang tentang manusia itu sendiri. Bagaimana
mungkin seseorang bisa dengan mudah merasakan sepi ketika berada di suatu
tempat yang ramai. Bukankah tempat yang ramai adalah ruang yang kemungkinan
besar bersifat publik. Sedangkan kesepian adalah narasi seseorang dengan
dirinya sendiri. Narasi tunggal ini juga bersifat sangat pribadi. Sangat
privasi.
Ketangguhan manusia memanipulasi kesedihan
hanya akan berhenti ketika kita sadar bahwa tak ada satupun yang dapat kita
selamatkan. Termasuk diri sendiri. Dengan lahirnya begitu banyak tempat-tempat
yang bersifat publik. Maka semakin besar pelung manusia untuk masuk dan
menemukan ruang privasi di dalamnya.
Terlihat bahagia di
dunia nyata dan galau di dunia maya dapat kita masukkan sebagai salah satu penyakit
sosial. Penyakit yang mungkin saja tanpa sadar telah menjangkiti kita. Dalam
kasus ini, kisah teman saya bukanlah cerita tunggul. Mungkin di antara kita ada
yang pernah melakukan hal yang sama.
Kisah teman kecil yang saya tuliskan
di atas adalah pembenaran dari apa yang pernah disebut oleh David Hall – dalam
Tulisan R. A. Antonios, Ruang Publik dan Peran Penyair menurut Richard Rorty
“pencarian kesempurnaan privat”. Hal ini kemudian disebut sebagai proses pemberian
makna bagi keberadaan manusia. Meskipun harus diakui bahwa upaya ini tidak akan
pernah selesai. Tidak mungkin berakhir.Dimuat di kolom literasi Tempo 3/12/2014
0 komentar:
Posting Komentar