Hari ini saya sadar
bahwa mereka yang tersenyum dan tertawa adalah yang paling menderita. Karena
tawa bukan obat terbaik, itu juga merupakan penyamaran terbaik. Saya dan semua
orang seharusnya tau. – Unknown.
Meskipun sumber kalimat
ini tidak diketahui. Tapi saya percaya akan hal itu. Percaya bahwa mereka yang terlihat
banyak tertawa adalah yang paling banyak menyimpan kesedihan. Dan mereka yang
terlihat sedih, mungkin saja menyimpan banyak kebahagiaan di dalam dirinya.
Ini mengingatkan saya
dengan kisah hidup Jhon William Godward. Pelukis asal Inggris yang hidup di
akhir era Pre-Raphaelite. Tentu dalam
tulisan ini saya tidak akan membahas bagaimana ketenaran karya Godward atau
seperti apa proses ia berkesenian.
Beberapa sumber
menyebutkan bahwa Godward adalah orang yang cukup periang. Dan tertawa adalah
salah satu kebiasaannya.
Karya Godward yang
paling dikagumi dan dipuji dunia adalah Eighty
and Eighteen. Lukisan yang menggambarkan seorang perempuan muda yang cantik
duduk di atas sofa panjang bersama lelaki tua.
Tapi bagi saya sendiri,
karya paling agung dari Godward adalah kematiannya. Pada tahun 1922 ia akhirnya
memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri. Sebelum meninggal, ia menulis pesan
singkat; karena dunia ini tidak cukup luas baginya.
***
Semakin
banyak kita tertawa, semakin banyak kebohongan yang kita perlihatkan kepada
orang lain. Kalimat klise semacam, hidup ini terlalu singkat untuk disedihkan
atau badai pasti berlalu adalah ungkapan yang tidak berlaku bagi beberapa orang.
Silakan
bertanya pada Anita Ree – pelukis berkebangsaan Jerman yang berdarah Yahudi. Ia
memutuskan untuk menghukum orang-orang yang menghina dan melecehkan dirinya
dengan bunuh diri.
Atau
kepada Nicolas de Stael. Ia seorang pelukis berdarah Rusia. Pada tahun 1953 ia
mengalami depresi yang cukup berat dan memilih untuk mengisolasi dirinya di
Antibes – bagian selatan Prancis. Karena tidak kuat menghadapi tekanan dan
kekecewaan, dua tahun setelah itu ia akhirnya menerjungkan tubuhnya dari
studionya di lantai sebelas.
Atau
kepada Vincent van Gogh. Pelukis terkenal yang dikononka bunuh diri dengan cara
menembakkan peluru ke dadanya. Theo – saudara van Gogh juga mengatakan bahwa
van Gogh ingin mati setelah merasa kesedihannya tidak akan pernah berakhir.
Jika
mereka menjawab badai pasti berlalu. Mungkin ia tidak akan memilih bunuh diri.
Mungkin ia masih terus hidup dan menunggu kematiannya untuk datang. Tapi kematian seperti apa yang akan
mendatangi mereka?
Ketiga
orang ini - Ree, Nicolas, van Gogh,
adalah orang-orang yang dianggap karyanya mempengaruhi kesenian dunia. Karyanya
menuai banyak pujian. Bahkan hingga sekarang, nama mereka masih diingat. Tapi
sisi lain dari itu, mereka adalah orang yang menyimpan kesedihan yang mendalam.
Pujian dan kritikan terhadap karyanya tidak membuat hidupnya terus bahagia.
Pada akhirnya, mereka memilih cara kematiannya sendiri.
Kisah ini bukan cerita
amatir. Juga bukan hal yang terjadi tanpa melalui proses yang panjang. Bagi
sebagian orang, bunuh diri adalah cara terbaik untuk hidup lebih lama.
Setidaknya, sampai sekarang mereka masih dikenang. Bukan hanya karena karya
mereka memang layak untuk diingat, tapi juga kematiannya patut untuk kita
hormati.
***
Seandainya saya bunuh diri, tentu nasib
saya tidak akan seperti mereka. Yang ada mungkin orang-orang akan menyayangkan
dan menganggap saya gagal. Beberapa orang lagi tentu akan menjadikan saya pelajaran,
kamu jangan sebodoh dia.
Jika bunuh diri adalah
tindakan bodoh, maka Ariel – eks Peterpan, Ilham Arif Sirajudin, Andi Alfian
Mallarangeng, atau Angelina Sondakh juga bisa dianggap bunuh diri.
Tentu saya tidak akan
sepakat untuk membandingkan Ariel dengan Elliott Smith – penyanyi yang juga
mati bunuh diri, itu sama halnya mengabaikan perjuangan Elliott untuk membunuh
dirinya. Toh setelah skandalnya terbongkar banyak penggemar Ariel yang menganggapnya
telah mati – salah satunya saya.
***
Di
jalanan, saya kerap melihat kumpulan anak kecil yang mengamen. Mereka tertawa
seakan tidak ada lagi kesedihan yang patut untuk dipikirkan. Di televisi, acap
kali melihat Presiden Jokowi tersenyum, saya mengingat betapa negara ini memang
menyimpan kesedihan yang panjang. Atau para aktivis mahasiswa yang turun ke
jalan. Wajah mereka yang murung durja sambil menggunakan pengeras suara
mengabarkan betapa negara ini sedang darurat. Tapi apakah ia benar-benar sadar
bahwa kemacetan membawa beberapa kebahagian. Kebahagian bagi mereka yang punya
alasan untuk tidak berkantor, atau kampus yang akhirnya diliburkan, atau
sepasang kekasih yang memilih menghabiskan waktu di warung kopi sambil menunggu
kemacetan selesai.
Seperti
Jhon William Godward, saya berharap negara ini memilih untuk membunuh dirinya
sendiri. Agar kita menemukan cara untuk menghormati kematiannya. Bukankah
ungkapan, kadang kita baru merasakan kehilangan ketika yang kita cintai itu
telah pergi, memang benar. Setelah negara ini bunuh diri, kita semua mungkin
menemukan cara untuk bahagia.
dimuat di kolom Literasi 18/12/2014
dimuat di kolom Literasi 18/12/2014
0 komentar:
Posting Komentar