Salvador Dali adalah seorang pelukis surealis yang aneh.
Karyanya diagungkan karena memiliki daya imajinasi yang kuat. Pria yang
lahir pada tanggal 11 Mei 1904 di Spanyol ini juga dikenal sebagai pemelihara
kumis yang absurd. Ia membentuk kumisnya seperti pedang tipis yang melengkung
ke atas.
Jenghis Khan diartikan sebagai
kaisar semesta, julukan yang diberikan kepada Temujin – pemimpin militer Mongolia yang
berhasil menyatukan bangsa Mongol. Dia melakukan pembelantaraan kekaisaran
paling luas sepanjang sejarah manusia. Temujin juga terkenal dengan kumisnya. Bahkan
keberhasilannya membangun kekaisaran Mongolia menjadikan kumis lebat yang ia
miliki dilambangkan cerminan pria perkasa, kuat, dan berwibawa.
Riwayat kumis Salvador
Dali dan Jenghis Khan juga termaktub dalam diri Adolf Hitler, Charlie Chaplin,
Groucho Marx, dan Rolli Fingers. Mereka sederet pria yang menyimpan kisah
tentang kumisnya yang unik.
Dalam sejarahnya, kumis
kemudian menjadi simbol tekad dan kepercayaan diri seorang pria. Setidaknya
itulah pengakuan Salvador Dali tentang kumisnya. Kumis ini adalah dua penjaga yang berdiri tegak menjaga pintu masuk ke
dirinya yang sebenarnya.
***
Siapa yang pernah
membayangkan bahwa ditemukannya alat pencukur kumis berhasil menciptakan
industri dengan keuntungan sebesar US$ 1,1 Miliar. Fakta bahwa kumis menyimpan pengaruh
yang kuat dibuktian oleh Martin Luther King, Jr. Dia dikenang sebagai salah
satu pria Amerika berkumis yang paling berpengaruh dalam sejarah sebagaimana
dikemukakan American Mustache Institute.
Atau fakta lain yang
menyebutkan bahwa kumis memiliki daya magnetis. Itu membuat pria yang tekun memelihara
kumis akan menyentuh kumisnya 760 kali perhari. Tapi fakta paling dugal tentang
kumis datang dari India. Polisi di kota-kota besar India sering mendapat bonus
jika menumbuhkan kumis, karena kumis dianggap simbol kejantanan dan kekuasaan.
Yassalam.
Beberapa fakta di atas
tercatat dalam buku Allan Paterkin - dokter dan penulis yang berbasis di
Toronto, yang berjudul One Thousand Mustaches: A Cultural
History of the Mo.
***
Di
sebuah warung kopi, saya melihat gambar walikota terpajang di dinding – mungkin
sisa kampanye yang lupa dicabut atau sengaja dibiarkan oleh pemilik warung kopi
tersebut. Wajah walikota tersenyum dan tidak memiliki kumis. Saya penasaran dan
mencari tahu apakah memang walikota kita enggan menumbuhkan kumis atau hanya di
gambar itu saja.
Dengan bantuan
internet, saya menemukan banyak gambar wajah walikota - sama banyaknya dengan umbaran
keluhan masyarakat tentang keamanan dan kenyamanan. Gambar itu diambil dari berbagai
tempat dan aktivitas. Ada yang sedang serius berdoa, ada yang berwajah tegang
sambil mengangkat jari telunjuk, ada yang tersenyum santun penuh wibawa. Tapi satu
kesamaan dari gambar wajah walikota yang saya temukan, hampir semua tidak
berkumis.
Saya tidak menemukan undang-undang
yang menganjurkan walikota untuk memelihara kumis. Sama halnya ketika saya
mencari aturan apakah setiap pria harus menumbuhkan kumisnya.
Manusia
adalah animal symbolicum, demikian
Professor Ernst Cassirer – seorang filsuf Yahudi Jerman, menjelaskan tentang
manusia dan simbol. Menurut dia, gerak kehidupan dan kebudayaan tidak terlepas
dari eksistensi simbol dan pemaknaan terhadapnya. Dalam perkembangannya hampir
tidak mungkin masyarakat ada tanpa simbol-simbol.
Memelihara kumis
seperti merawat umur perjuangan. Kumis dapat dijadikan simbol pembelaan
terhadap sesuatu. Seperti yang dilakukan oleh The Beatles Pada tahun 1967,
mereka mengenakan kumis di sampul album yang kedelapan, Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band. Hal itu dilakukan untuk
menyembunyikan bibir bengkak Paul McCartney setelah terjatuh dari sepeda motor
tahun 1966.
***
Kebanyakan kota besar
di Indonesia, termasuk Makassar, tumbuh seperti anak durhaka yang panjang umur.
Gedung menjulang menghimpit rumah-rumah kecil kita, jalan memanjang
menghubungkan ketertinggalan yang memburu kemajuan semu, taman kota hilang,
kejahatan mengincar kita di mana-mana, polusi semakin memenuhi dada yang telah sesak
oleh harga bahan pokok yang mahal. Yang paling mengerikan adalah kenyataan
kalau kita hidup di tengah kota yang tak lagi mengenal keluh kita.
Laju perkembangan kota ini memang
mengerikan. Seperti lirik lagu Dialog Dini Hari yang berjudul Oksigen; Terbang melayang, ke awan, menghilang
Datang dan pergi sendiri, tak terkendali. Itulah kota kita. Tak terkendali!
Menyalahkan walikota
atas semua kemalangan ini tentu tidak bijak. Tapi menjadi walikota adalah
resiko. Dipaksa menerima beban adalah salah satu resiko yang menjadi tanggung
jawab walikota.
Saya membayangkan jika setiap
pria di kota ini bersatu menumbuhkan kumis sebagai simbol protes kepada
walikota. Protes agar pembangunan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Bukan keinginan pengembang kota yang datang membangun dan meninggalkan sampah
sosial yang tak bisa kita buang apa lagi mengolahnya menjadi manfaat.
Jadi, setiap melihat
kumis, walikota merasa bahwa pria itu bagian dari orang-orang yang berjuang
agar kota ini bisa tumbuh sehat. Setidaknya, itu memberi alasan bagi walikota untuk selalu mencukur kumisnya atau ia memilih ikut memanjangkan kumis.
termuat di Kolom Literasi Tempo Makassar 26/01/2015