“Di antara manusia,
hanya penyair, pendeta, dan prajutritlah yang agung. Lainnya hanya pantas
dicambuk.” kata Baudelaire – penyair berkebangsaan Prancis. Saya membayangkan
pasukan abadi Persia hidup kembali. Kali ini dengan mudah menginvasi negara yang
elit politiknya sibuk merebut kuasa. Pasukan ini dipimpin penyair dan pendeta
sebagai penasehatnya.
Entah
apa motivasi hidup Baudelaire menciptakan kalimat itu. Sekilas, terbaca amat
tragis. Sepertinya ada rahasia yang dibiarkan Baudelaire hidup dalam kalimat
itu. Alasan kuat yang mendorongnya memilih penyair, pendeta, dan prajurit
sebagai kelompok manusia agung.
Abad berganti. Tahun
berubah. Tapi tiga kategori manusia ini terus lahir sebagai penyambung sejarah.
Dalam masyarakat, hampir tidak mungkin kebudayaan bertahan tanpa adanya
penyair, pendeta, dan prajurit. Kita bahkan bisa pulang dan pergi melintasi
waktu karena keterlibatan tiga kategori manusia ini. Mereka tak pernah musnah
dan terus menulis sejarah dengan caranya masing-masing.
Peran mereka memiliki
pengaruh cukup kuat sebagai simbol yang mencerminkan komunitas sosial dari
masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang terus hidup sebagai penjaga kebenaran.
Dari mata merekalah kita bisa melihat keadilan itu hidup atau mati.
Baudelaire mungkin
memilih penyair, pendeta, dan prajurit sebagai kategori agung yang mewakili
klasifikasi manusia. Penyair mewakili kaum intelek, pendeta mewakili kaum
religius, dan prajurit mewakili rakyat jelata - kaum buruh dan pekerja.
***
Kisah Komisi
Pemberantasan Korupsi yang menghadapi serangan bertubi-tubi dari banyak pihak –
termasuk Polri, menjadi cerita paling romantis awal tahun ini. Bayangkan saja,
pemimpin KPK, Abraham Samad diserang dengan foto ranjang bersama seorang perempuan.
Adalah Zainal Taher, yang mengaku sahabat Abraham Samad sebagai juru gambar. Katanya,
ia mengabadikan momen itu di salah satu hotel mewah di Makassar pada kisaran februari
tahun 2007.
Terlepas foto itu asli
atau rekayasa, kisruh ini tidak boleh berakhir seperti kasus Widji Thukul
ataupun Munir – yang hingga saat ini belum jelas ujung pangkalnya.
Jika Abraham Samad terbukti
bersalah, para pembela institusi yang menetapkan Budi Gunawan
sebagai tersangka dugaan kepemilikan rekening tak wajar harus menerima
kenyataan. Selama keputusan itu memang benar. Pun sebaliknya, polisi tidak boleh
melibatkan dendam dalam menjalankan tugasnya. Sebab penjara bukan untuk orang
bersalah dibuktikan kesalahan, penjara untuk orang-orang berkuasa membuktikan
kekuasaan, kata Nassury Ibrahim dalam bukunya yang berjudul Dongeng Bapak.
Kita sudah jenuh
menghadapi ketidakjelasan. Negara mendidik kita untuk menjadi pengabai dan
membiarkan urusan negara menjadi tanggungan elit politik. Sialnya, yang akan
merasakan dampak terbesar dari apa yang elit politik lakukan adalah kita – para
rakyat jelata.
Masalah ini bukan tentang
permen yang direbut dari tangan anak kecil hingga ia menangis, atau perempuan
yang merelakan dirinya dicuri oleh lelaki lain dari pelukan kekasihnya sendiri.
Ini kisruh serius yang harus tuntas.
KPK masih punya banyak
kasus korupsi yang harus diusut dan diselesaikan. Jika ini berlarut, tentu berpengaruh
terhadap penyelesaian beberapa kasus korupsi. Para koruptor yang akan
diuntungkan dari kisruh yang sepertinya tidak mengenal usai dan semakin runyam.
Peran penyair, pendeta,
dan prajurit sangat dibutuhkan agar kisruh ini dapat diselesaikan. Jika masalah
ini menjadi layang-layang putus, saya mulai meragukan kalimat Badaulaire tersebut.
Sepertinya, semua manusia pantas dicambuk. Terlebih presiden, mungkin bukan
hukum cambuk lagi yang tepat untuk dirinya, tapi presiden harus dipancung ditiang
hukum sebagai pendaga.
***
Kita
sepertinya butuh Komisi Pemberantasan Masalah. Tanpa bermaksud untuk berpihak
pada kelompok manapun, tapi polisi tidak bisa lagi dipercaya sebagai pemecah
masalah dan KPK bukan lembaga yang dipimpin malaikat.
Saya
mengingat kalimat Pramoedya Ananta Toer – seorang penulis yang menjadi korban
negara yang salah urus, “Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan.
Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak
ada: keadilan.”
Menemukan
keadilan inilah yang menjadi tugas Komisi Pemberantasan Masalah. Dan ini hanya
bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar memiliki jiwa penyair, pendeta, dan
prajurit. Bukan penyair gadungan, pendeta yang hanya mengurus pahala dan dosa
manusia, atau prajurit yang hanya ikut perintah atasan.
Negara
tumbuh untuk dicintai dan rakyat berjuang membuktikan cintanya masing-masing.
Jika kisruh ini yang dianggap cara mencintai negara oleh KPK dan Polri – juga
orang-orang yang senang merawat kemurkaaan. Saya lebih memilih patah hati saja.
Termuat dalam Kolom Literasi Tempo Makassar 11/02/2015
0 komentar:
Posting Komentar