Merayakan kecemasan adalah upaya mencari arti kehidupan.
Kecemasan membuat seseorang bertindak. Bertindak agar kecemasannya dapat diredam.
Tindak tidak selamanya dilakukan dengan hal besar. Kadang tindakan yang sederhana
justru mampu meredam kecemasan yang hebat.
Kecemasan akan kehilangan orang yang dicintai
mendorong kita melakukan banyak hal agar ia tidak pergi. Kecemasan hidup
sendiri mendorong kita untuk mencintai seseorang agar punya teman hidup.
Kecemasan tak mampu membahagiakan orang yang kita cintai di tengah kesibukan
mendorong kita untuk meluangkan waktu bersama. Begitulah hukum kecemasan
berlaku.
Mantan Presiden Indonesia yang ketiga, BJ Habibie
punya cara unik untuk meredam kecemasannya – dalam hal kerjaan. Ia akan
membakar kertas-kertas bekas dan menatap gelora api yang membara. Pria
kelahiran Parepare itu mengaku mendapatkan energi postif setelah melihat
bakaran kertas berubah menjadi abu yang hitam dan kelam.
Semakin baik cara yang kita pilih untuk meredam
kecemasan dapat memperlihatkan secerdas apa dan sejauh mana kita menghormati
diri sendiri.
Tidak ada yang benar-benar mampu kita kuasasi selain
keingin-keinginan yang sangat absurd dari dalam diri. Keinginan ini cenderung
hadir karena adanya perasaan enggan kecewa. Kekecewaan yang mendalam akan
menimbulkan lebam kecemasan. Dan siapa yang hendak menanggung lebam kecemasan?
***
Ketakutan-ketakutan kecil dari dalam diri yang tidak
mampu kita terka letaknya akan menciptakan kecemasan-kecemasan baru. Kecemasan
ini tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Tapi jamur juga membagi dua
dirinya. Ada yang layak dimakan manusia dan ada yang berfungsi sebagai racun
berbahaya.
Silakan memilih ingin memakan jamur kecemasan yang
mana. Sejak manusia lahir hingga meninggal dunia, kecemasan selalu ada. Selalu
ada. Ia telah menjelma menjadi tanda lahir yang tidak pernah kita temukan di
tubuh mana ia membakas.
Sigmund Freud - pendiri aliran psikoanalisis dalam
bidang ilmu psikologi, meyakini bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik
antara dorongan-dorongan id dan desakan-desakan ego, dan superego. Dorongan ini
dapat merupakan ancaman bagi setiap individu karena berlawanan dengan
nilai-nilai personal dan sosial.
Dampak dari ancaman yang berlawanan dengan
nilai-nilai itu sanggup membuat kita menjadi seorang pemurung – meskipun beberapa
orang kemudian menyamarkan kemurungannya dengan memperbanyak tertawa.
Ada benarnya anggapan bahwa umur tidak dapat dijadikan
patokan apakah manusia itu telah bersikap dewasa atau belum. Selama tidak mampu
mengalahkan ancaman, selama itu pulalah kita hidup dalam bayangan.
Hidup sebagai bayangan tentu membutuhkan
keterampilan khusus. Karena dalam kegelapan, bayangan akan menghilang. Ia hanya
sanggup hidup di tengah terangnya dunia. Maka tidak perlu heran mengapa banyak
orang memilih menghabiskan waktunya di tempat-tempat ramai. Merasa aman ketika
melihat kumpulan orang yang senasib dengan dirinya. Karena itulah salah satu
cara meredam kecemasan.
***
Tali yang panjang dan terurai adalah kecemasan yang
tidak kita tahu di mana awal dan akhirnya. Tali itu membentang sepanjang mata
memandang dan hanya mampu dirasakan. Ia tidak dapat digenggam. Mirip seorang
perempuan yang hanya dapat kita cintai namun enggan dimiliki.
Apa yang kita lakukan setiap hari; kuliah, bekerja, patah
hati, makan, minum, bercinta, hingga tidak melakukan apapun adalah upaya untuk menelusuri
benang kecemasan. Kita menyembunyikan kecemasan dengan kecemasan yang lain.
Menumpuknya hingga mencapai batas zenit tertinggi dan akan menjadi longsor yang
menenggelamkan kita di titik nadir paling rendah.
Kecemasan bertindak seperti musuh dalam diri. Musuh
yang berdiri di suatu tempat yang tidak kita tahu letaknya. Ketika lengah, ia
akan menusukkan belati paling beracun tepat di jantung kita. Tidak sampai
membunuh, tapi sanggup memaksa kita untuk melakukan hal yang konyol dan
biasanya dikerjakan tanpa dasaran nalar lagi. Hal terburuk, karena bisa saja
mengantar kita ke tiang gantung atau tegukan racun.
Barangkali, di bangku-bangku sekolah perlu diajarkan
cara menghadapi kecemasan. Bukan anjuran menjadi manusia bermoral yang sabar
dan tabah. Sebab, persoalan moral akan kita jumpai setiap saat dan dapat kita
kerjakan dengan baik ketika mampu terlepas dari jerat kecemasan.
Tapi benarkah manusia mampu terlepas dari jerat
kecemasan? Menjawab pertanyaan ini mungkin sama sulitnya dengan menjawab pertanyaan
apakah Jokowi benar-benar memperjuangkan nasib rakyat Indonesia? Abracadabra!
0 komentar:
Posting Komentar