MARI
MENOLAK RUU PT
AWAL LAHIRNYA RUU PT
Jika melihat kondisi pendidikan yang ada
pada perguruan tinggi negeri maupun swasta di negara ini, rasanya wajar saja
jika ada oknum yang ingin agar RUU PT ini dapat terealisasi sebagai
undang-undang yang mengatur sistem perguruan tinggi. Selain menguntungkan pihak
mereka, pemerintah juga bisa dengan mudah mengurangi kenakalan oknum birokrasi
kampus yang sering melakukan kecurangan untuk menguntungkan lembaga
pendidikannya. Hal itu diakibatkan karena memang sistem yang kita anut terlalu bebas
dan penuh ororitas tiap perguruan tinggi. Toh tujuan utama dari perguruan
tinggi adalah mendidik mahasiswa, bukan untuk menguntungkan dosen, staf
pengajar, ataupun birokrasi kampus. Namun yang terjadi saat ini malah justru
sebaliknya, perguruan tinggi menjadi ladang “bisnis” yang aman dan terlindungi bagi
dosen dan birokrasi kampus apa lagi dengan kuatnya otoritas tiap kampus untuk
mengatur itu.
Awal lahirnya RUU PT ini diakibatkan
karena pemerintah seolah kewalahan untuk mengatur dan mengontrol adanya
indikasi penyimpangan-penyimpangan yang kerap terjadi di perguruan tinggi. Indikasi
penyimpangan itu, misalnya, ada PT yang membuat data fiktif demi perizinan
membuka jurusan. Sebagai contoh, pembukaan jurusan baru yang mewajibkan adanya 15
lulusan doctor yang bisa dengan mudah dimanipulasi oleh oknum. Pemerintah
akhirnya kehilangan akal. Belum lagi adanya kemungkinan
peredaran proposal penelitian fiktif demi mendapatkan uang semata. Dugaan itu
semakin dipertegas mengingat gaji guru, dosen, bahkan profesor cenderung masih
kecil. Masalah lainnya adalah mutasi staf pengajar, banyak dosen diketahui
bekerja di dua tempat sekaligus.
Hal-hal inilah sebenarnya yang ingin
dihindari juga menjadi dasar lahirnya RUU PT. Tujuannya sangat bagus, namun
sangat disayangkan karena mahasiswa nantinya akan dirugikan jika RUU PT ini
disahkan.
AKIBAT JIKA RUU PT DI SAHKAN
Ada dua kemungkinan jika RUU PT ini terealisasi
menjadi undang-undang;
1.
Jika RUU ini lolos menjadi undang-undang
maka hal positif yang dapat terjadi adalah mampu mengatasi "keliaran"
yang dilakukan di Perguruan Tinggi. Namun satu hal yang disayangkan karena RUU
ini bermuatan untuk “membeli” otoritas kampus dalam menjalankan tradisi
pendidikannya. Padahal sebenarnya untuk mengontrol dan mengendalikan PT hanya
perlu dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP), bukan melalui undang-undang
yang cenderung terlalu ketat. Pengendalian itu jangan sampai 'dibeli' dengan
uang. Pendidikan akhirnya seperti bisnis. Itu yang tidak boleh terjadi di dunia
pendidikan kita.
2.
Jika RUU PT ini disahkan maka statuta PT
akan dibeli oleh pihak luar dan mampu mencekik biaya pendidikan serta menumbuh
suburkan diskriminasi terhadap mereka yang memiliki potensi akademik rendah dan
kurang mampu tapi ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Otonomi yang lahir dari RUU PT ini dapat
dijadikan dasar hukum yang kuat untuk membuat universitas bekerja sama dengan
industri yang akhirnya industri itu membuka kafe, atau resto di berbagai sudut
kampus. Padahal semestinya pendidikan di perguruan tinggi itu menjadi kewajiban
pemerintah untuk membiayai.
Terlebih lagi setelah adanya kerja sama
internasional yang dirancang dalam WTO yang meliputi 12 sektor, di antaranya
sektor pendidikan. Dalam artian, kalangan asing sangat berkepentingan dan
memiliki akses yang terbuka untuk melakukan kerja sama antar-universitas dan
kerja sama itu kerja sama mirip `perdagangan`. Jika ini terjadi, tentu sangat
miris bagi pendidikan kita,
Karena itu, kita sebagai mahasiswa
jangan mendorong peran negara yang lebih besar dalam dunia pendidikan tinggi,
karena hal demikian hanya tepat untuk pendidikan dasar dan menengah, sedangkan
untuk pendidikan tinggi justru tidak tepat, sebab kontraproduktif dengan
semangat kritis dan otonomi yang dibangun dalam dunia kampus selama ini.
Kita dapat baca pada pasal 65 ayat (1)
secara utuh menyatakan “Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi
kinerja oleh Menteri kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan menerapkan
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan
hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu. Hal ini telah membuka ruang
untuk suatu PTN memiliki status badan hokum”.
Berikutnya, pasal 74 secara redaksional
menyatakan “PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki
potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa
dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20
persen dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua
program studi”.
Ketentuan tersebut telah membuka ruang
diskriminasi terhadap calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik rendah dan
tidak mampu, hal ini sangat bertentangan dengan cita - cita mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta menistakan keberadaan pendidikan itu sendiri yang
sejatinya membuat ‘si tidak tahu” menjadi “tahu” akan ilmu pengetahuan dan
lainnya.
Berikutnya, pasal 76 ayat (1) secara
utuh menyatakan “Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi
berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk
dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik”.
Hal ini menimbulkan ketidakpastian
hukum, karena peraturan akademik pada setiap Perguruan Tinggi tentunya dibentuk
sendiri-sendiri (tidak serentak) dan ruang untuk membedakan pemenuhan hak
mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi terbuka lebar. Karena peraturan
akademik dibentuk oleh senat universitas yang sejatinya berbeda-beda.
Pada pasal 90 sendiri menyatakan,
“Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bahwa dengan hadirnya ruang bagi
Perguruan Tinggi Asing untuk membuka ‘cabang’ di Indonesia akibat ketentuan
Pasal 90 tersebut, maka ini akan menimbulkan dampak terhadap swastanisasi
pendidikan tinggi di Indonesia.
Kelak kita bisa saja menjadi lulusan
Stanford University atau Harvard University namun tetap di Indonesia. Dalam
artian, kita akan ditanamkan tentang pendidiksn filsafat barat yang jelas itu
berbeda dengan filsafat timur yang selama ini kita aplikasikan dalam kehidupan.
Maka kelak kita akan menemukan generasi yang individualistik dan sangat egoisentris.
LANTAS APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?
Jalan satu-satunya adalah dengan tidak
membiarkan pemerintah atau lembaga lain untuk mengintervensi statuta perguruan
tinggi karena intervensi demikian justru akan menghambat kemajuan anak bangsa,
terutama mengenai pendidikan. Harusnya PT diberikan otonomi dan otonomi itu
berlandaskan kebutuhan mahasiswa karena ilmu pengetahuan takkan berkembang
tanpa otonomi. Dan itulah yang harus kita perjuangkan.
TOLAK
RUU PT