Sedikit
sejarah tokoh terdidik bangsa kita;
Bahwa mereka adalah kaum borjuis kecil yang
punya kesempatan belajar ke Belanda. Alasan politik etis waktu itu. Bung Hatta
yang nyatanya pro terhadap barat. Sutan Syahrir yang bahkan mengkhianati
kawannya sendiri, Amir Syarifuddin. Sunario Sastrowardoyo dan lain sebagainya.
Pemikiran merekalah yang berpinak terus menerus. Berarti juga kita tidak punya
pendidikan yang Indonesia. termasuk pendidikan karakter, sejarah, dan ideologi.
sebab semuanya itu telah digelapkan demi kepentingan kolonialisme, imprealisme,
juga kapitalisme. hal ini terus berkembang sampai saat sekarang.
Satu
pertanyaan, lantas bagaimana cara kita menemukan pendidikan yang betul-betul
Indonesia?
Kutipan diatas menarik untuk dikaji
karena menjadi perihal penting, kekinian bangsa Indonesia yang sedang menuju
arah pembangunan perlu pondasi pendidikan yang kuat dan merakyat. Pusat
pembangunan yang masih berkeliarah di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan
mungkin juga Sulawesi tentu sangat menghambat proses pemerataan pendidikan.
Sementara para kaum terdidik masih mencari rumusan jelas tentang metode
pendidikan kita. Wajar saja, sebab dari awal memang pembangunan bangsa indonesia
tidak pernah ditekankan mengenai metode pendidikan yang betul-betul Indonesia.
Negara kita kini lebih banyak berkutat
pada persoalan individu dan terkesan melupakan satu permasalahan sosial yang
sebenarnya menyerang kita diam-diam, yaitu kapitalisme global yang mencoba
terus masuk kesemua lini kenegaraanan kita. Dampaknya tentu akan semakin
menambah runyam permasalahan yang datang silih berganti menjenguk duka bangsa
yang tiada henti. Sikap individu ini akan menumbuh suburkan sikap kapitalisme,
salah satu sektor yang paling dirugikan dengan tumbuhnya kapitaslime dalam
sebuah negara adalah pendidikan.
Permasalahan yang terjadi dalam dunia
pendidikan di Indonesia semakin mencerminkan ketidakbijakan kaum-kaum terdidik
bangsa ini. Kasus penundaan Ujian Nasional 2013 dapat menjadi kiblat bukti
ketidakseriusan pemerintah untuk memajukan mutu pendidikan bangsa. Belum lagi
kekerasan akademik di kampus-kampus dan beberapa kasus pelecehan seks terhadap
siswi oleh gurunya sendiri dibeberapa daerah. Seperti kasus pelecehan seks yang
dilakukan oknum guru kepada siswinya di SMA 22 Utan Kayu, Matraman, Jakarta
Timur atau kasus skorsing dua mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang
mencoba mengkritik birokrasi kampusnya. Ini sebagaian kecil contoh buruk dalam
bilik dunia pendidikan kita. Sekali lagi ini adalah dampak dari tidak adanya
penanaman pendidikan moral yang mendalam kepada kaum terdidik di negara ini.
Usia pendidikan di Indonesia lebih tua
dari Negara Indonesia sendiri, namun kita harus menerima kenyataan bahwa
pendidikan di Indonesia hari ini ternyata bernasib sama dengan negaranya. Angka
korupsi seolah tidak ingin kalah oleh angka anak putus sekolah. Sebuah kenyatan
yang harus segera menjadi masa lalu kelam bangsa ini.
Pendidikan yang seharusnya menjadi
tombak dan pembuka jalan bagi Indonesia baru semestinya dikawal oleh semua
lapisan masyarakat. Namun yang nyata terasa bahwa jumlah anak jalanan yang
seharusnya berada di ruang sekolah seolah berimbang dengan jumlah sarjana yang
akhirnya menjadi pengangguran tetap. Sebuah fakta yang harus segera menjadi
opini belaka.
Masa depan bangsa ini ditentukan dari
seberapa serius pemerintah, kaum terdidik, dan orang tua mengawal keterjaminan
para anak-anak dan kaum wajib berpendidikan agar kelak bangsa ini tidak butuh
lagi otak-otak asing untuk mengotak-atik sumber daya alam kita. Kita harus
segara berjalan lebih cepat dari negara lain untuk mewujudkan masa depan yang
lebih nyata untuk masa depan bangsa Indonesia.
Sejarah tahun 1945 seharusnya menjadi
pelajaran yang penting bagi bangsa Indonesia. Jepang yang saat itu kalah dalam
perang dunia kedua dan menerima serangan bom pada tanggal 8 dan 9 Agustus tahun
1945 di kota Hirosima dan Nagasaki oleh sekutu, tapi nyatanya Jepang berhasil maju
lebih cepat dan berkembang lebih pesat dari negara di Asia lainnya dan sekarang
dapat dikatakan bahwa Jepang menjadi macan Asia. Salah satu sektor yang sangat
diperhatikan oleh jepang adalah pendidikan. Jangan heran ketika berkunjung ke
Negara Sakura itu anda mendapati anak SD, SMP, ataupun SMA memanfaatkan
waktunya untuk membaca di densha (kereta listrik). Konon kabarnya legenda
penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684. Sementara di
Indonesia waktu itu masih sibuk mengusir penjajah. Fakta ini tidak bisa
dijadikan perbandingan tapi setidaknya Indonesia perlu belajar dan mencobanya
dengan model Indonesia sendiri. pemerintah perlu merangsang minat baca sejak
dini terhadap siswa.
Sebuah pendidikan yang dicita-citakan
oleh Negara Indonesia adalah pendidikan yang merakyat. Nasib anak-anak tentang
pendidikan itu dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun kembali lagi
pada penerapannya, komersiliasi pendidikan nyatanya menjadi ancaman serius bagi
para kaum wajib berpindidikan. Dana pendidikan yang mahal bagi para kaum wajib
berpendidikan akan berdampak pada seberapa bisa orang tua menyekolahkan anaknya
setinggi mungkin. Kita juga dapat melihat bagaimana proyek Sekolah Berstandar
Internasional (RSBI) dibeberapa sekolah ternyata hanya menghambat pendidikan
kita. Gengsi dan nama besar sekolah akhirnya hanya bisa dihuni oleh kaum kaya
bangsa ini.
Angka kemiskinan seharusnya menjadi
pertimbangan pemerintah agar pendidikan di Negara ini dimurahkan, bahkan jika
bisa digratiskan. Anggaran 20 persen APBN nyatanya kebanyakan digunakan untuk
membayar gaji guru, dosen dan tunjangan mereka. Sementara para siswa harus
membayar mahal untuk modul dan seragam sekolah yang sebenarnya bisa tidak
diseragamkan itu.
Melihat kucuran dana yang disiapkan
pemerintah untuk kemajuan pendidikan, rasanya aneh jika hari ini pendidikan
kita masih rumit seperti ini, angka Rp. 286 trilyun yang disiapkan pemerintah
untuk kemajuan pendidikan nyatanya tidak terlalu berdampak pada angka anak
putus sekolah. Dana bos yang pada tahun 2011 sebesar 16 trilyun dan dinaikkan
pada tahun 2012 menjadi 23 trilyun nyatanya masih menyisahkan tugas yang besar
bagi kalangan terpelajar bangsa ini untuk serius mengelola masa depan bangsa
melalui pencerdasan generasinya.
Salah satu sektor yang harus segera
dibenahi adalah pendidikan dini. Pada usia dini perkembangan anak untuk
memperoleh proses pendidikan itu sangat tinggi. Periode ini adalah tahun-tahun
berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di
lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor,
kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50%
kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun,
80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika
anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004).
Hal ini berarti bahwa perkembangan yang
terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan
yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini
merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada
periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga
masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila
terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan usia dini dalam
bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat
sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pendidikan anak usia dini merupakan
pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumberdaya
manusia. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat
besar terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai
pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya.
Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003,
Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak usia
dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia (Direktorat
PAUD, 2004).
Apa kita masih harus bermasa bodoh
terhadap pendidikan dini di Negara Indonesia. Rasanya kasihan jika generasi
bangsa kita sejak dini dikerumuni oleh teknologi, salah satunya adalah internet
yang tidak kenal sekat antara dewasa dan kanak. Kembali lagi peranan orang tua
dan pemerintah untuk mendidik anak dengan bebas namun tetap terjaga sangat diharapkan.
Berikut ada beberapa fakta mencengangkan
tentang pendidikan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Education for All Global
Monitoring Report yang dirilis UNESCO pada tahun 2011.
1. Tingginya
Angka Anak Putus Sekolah
Berdasarkan laporan Education for All
Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus
sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan rendah. Indonesia berada di
peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index. Sementara,
laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang
putus sekolah.
Banyak faktor yang mempengaruhi
tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Namun faktor paling umum yang
dijumpai adalah tingginya biaya pendidikan yang membuat siswa tidak dapat
melanjutkan pendidikan dasar.
2.
54% Guru di Indonesia Tidak Memiliki Kualifikasi
yang Cukup untuk Mengajar
Guru merupakan ujung
tombak dalam meningkatkan kualitas pendidikan, dimana guru akan melakukan
interaksi landsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas.
Melalui proses belajar dan mengajar inilah berawalnya kualitas pendidikan.
Artinya, secara keseluruhan kualitas pendidikan berawal dari kualitas
pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di ruang kelas.
Secara kuantitas,
jumlah guru di Indonesia cukup memadai. Namun secara distribusi dan mutu, pada
umumnya masih rendah. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya
guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyaknya guru yang
mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan ini
cukup memprihatinkan, dengan prosentase lebih dari 50% di seluruh Indonesia.
Menurut data
Kemendiknas 2010 akses pendidikan di Indonesia masih perlu mendapat perhatian,
lebih dari 1,5 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah. Sementara
dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar terdapat lebih dari 54% guru
memiliki standar kualifikasi yang perlu ditingkatkan dan 13,19% bangunan
sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki.
Hal ini seharusnya
menjadi salah satu titik berat perbaikan sistem pendidikan di Indonesia,
mengingat semakin maju-nya suatu negara bermula dari pendidikan yang
berkualitas, pendidikan yang berkualitas bermuara dari pembelajaran yang berkualitas,
pembelajaran yang berkualitas dimulai dari pengajar yang berkualitas pula.
3.
Menurut Education Development
Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69
Berdasarkan data,
perkembangan pendidikan Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan
negara-negara berkembang lainnya. Menurut Education For All Global Monitoring
Report 2011 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahun dan berisi hasil
pemantauan pendidikan dunia, dari 127 negara, Education Development Index (EDI)
Indonesia berada pada posisi ke-69, dibandingkan Malaysia (65) dan Brunei (34).
4.
34% Sekolah di Indonesia Kekurangan Guru
Distribusi Guru
tidak merata. 21% sekolah di perkotaan kekurangan Guru. 37% sekolah di pedesaan
kekurangan Guru. 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan Guru dan 34%
sekolah di Indonesia yang kekurangan Guru. Sementara di banyak
daerah terjadi kelebihan Guru.
Sumber: Teacher Employment & Deployment, World Bank 2007
5.
Sebaran indeks kualitas Guru di Indonesia
setengah nilai maksimal indeks
Sebaran indeks kualitas
Guru di Indonesia setengah nilai maksimal indeks dimana nilai maksimal adalah
11.
Sumber: Analisis Data Guru 2009, Ditjen PMPTK 2009
Fakta diatas seharusnya menjadi
pelajaran penting bagi pemerintah untuk serius dalam mencerdaskan kualitas
pendidik dan anak bangsa sebagai terdidik. Belum lagi beberapa kebijakan pemerintah
tidak pro terhadap pendidikan merakyat dan akhirnya tidak dapat menjadi solusi
atas penentasan wajib belajar 9 tahun apalagi menjadi solusi bagi pendidikan
yang Indonesia.
Barangkali ada benarnya apa yang dikatan
Pramoedya Ananta Toer bahwa kita ini adalah bangsa budak, budak bagi bangsa
lain dan budak bagi negara sendiri. Berapa anggaran yang dihabiskan oleh
pemerintah untuk melakukan kunjungan kerja ke negara lain kemudian mempelajari
sistem pendidikan mereka dan menerapkannya di Indonesia. Nyatanya keadaan
pendidikan negara kita tidak juga bisa terlepas dari masalah pemerataan di
setiap daerah.
Melihat kekinian bangsa yang terus
berkutat pada krisis moral kiranya perlu rumusan tentang bagaimana agar bangsa
kita bisa terlepas dari persoalan ini. Korupsi terjadi karena krisis moral, pemerkosaan,
pembunuhan, ataupun ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan tugasnya
adalah dampak dari krisis moral. Maka hal mendasar yang perlu ditanamkan secara
dalam dan kuat pada metode pendidikan usia dini adalah tentang pendidikan moral
yang Indonesia.
Nampaknya inilah saat yang tepat untuk
Negara kita berbenah melalui sektor pendidikan. Bangsa kita tidak butuh teori
lengkap tentang perubahan ataupun tentang pergerakan. cukup mencerdaskan pemuda
dan ajarkan mereka tentang nilai pancasila dan jaminkan haknya lewat
undang-undang dasar serta hapuskan amandeman di era orde baru. Maka pergerakan
dan perubahan itu akan mereka rumuskan sendiri jalannya. Rasanya tidak ada
bangsa yang mau terus bodoh dan tertinggal.
0 komentar:
Posting Komentar