Jakarta, 1955
Akhir bulan Juli. Pagi
itu sedang cerah, musim penghujan masih jauh. Di lapangan Senayan Jakarta,
massa berkumpul untuk merayakan masuknya PKI sebagai empat partai besar di
Indonesia pada pemilu 1955. Ayah mengajak saya untuk datang di rapat akbar PKI.
Umur saya waktu itu kira-kira 5 tahun. Tidak banyak yang saya ingat, lapangan
penuh dengan warna merah dan umbul-umbul bergambarkan palu arit. Beberapa tahun
kemudian saya baru mengerti jika itu adalah lambang Partai Komunis Indonesia.
Lapangan sesak, di atas
panggung seorang sedang berpidato dengan penuh semangat. Siapa dia, saya tidak
tertarik ditambah waktu itu saya tidak mengerti apa isi pidatonya. Saya lebih
tertarik mendengar cerita Ayah saya dengan teman lamanya. Ayah saya sedang
sibuk mengenang perjuangan mereka ketika partai ini baru terbentuk. Belakangan
juga saya baru tahu jika ternyata orang yang sedang berpidato itu adalah D.N
Aidit, ketua PKI waktu itu.
Sepulang dari rapat
akbar itu, Ayah singgah di toko buku yang terletak di simpang jalan merpati
nomor 58. Membeli beberapa buku dan memasukkannya ke tas jinjing yang selalu ia
bawa kemanapun Ayah pergi. Ayah membonceng saya pulang dengan sepada. Satu hal
yang terus saya ingat, bahwa Ayah saya adalah salah satu jenis manusia pendiam
yang sangat ramah. Bahkan dengan anaknya sendiri, ayah selalu membatasi
kata-katanya.
Ayah cukup dikenal di
lingkungan tempat kami tinggal. Oh ya, saya hampir lupa mengisahkan tentang Ibu
saya. Ibu saya adalah aktivis di Gerwani. Setidaknya itu kata yang suka ibu
sebut ketika berkumpul dengan ibu-ibu yang sering bertandang ke rumah saya.
Saya bersaudara hanya dua orang. Kakak saya seorang perempuan yang kala itu
berumur 8 tahun.
Selain aktif di PKI, Ayah
saya juga berkantor di Lekra atau dikenal juga dengan Lembaga Kebudayaan
Rakyat. Saya beberapa kali dibawa oleh Ayah ke kantornya. Dari situlah saya
kenal beberapa teman Ayah yang sangat kritis dan anti imperialis, Pramoedya
Ananta Toer salah satunya. Saya termasuk anak yang selalu ingin tahu dan saya
lebih suka diajak ke kantor Ayah dari pada ikut pertemuan, apa lagi yang
semacam rapat akbar seperti di lapangan senayan tempo hari itu.
Di usia delapan tahun,
saya bisa membaca dan menulis. Itu membuat saya bisa tahu beberapa berita yang
bahkan orang tua tidak bisa membacanya. Anak sebaya saya waktu itu masih senang
bermain kelereng dan cangklok sedangkan saya sudah mulai gemar membaca
buku-buku dan koran. Di kantor ayah, saya senang karena bisa membaca dengan
puas beberapa tulisan dari teman ayah. Salah satu Koran yang sering saya baca
adalah Bintang Timur.
Keluarga saya hidup sangat
sederhana. Kakak perempuan saya beruntung, setidaknya ia bisa sekolah tidak
seperti anak perempuan yang lain. Sedangkan saya terus diajar otodidak oleh ibu
untuk menulis indah. Ayah suka dengan hewan, salah satu yang ayah pelihara
adalah kuda. Nama kuda itu djagal. Ayah sangat merawatnya dan menganggap kuda
kesayanggannya itu sebagai bagian dari keluarga kecil kami. Kebahagiaan ini berlangsung
sampai usia saya belasan tahun
***