(sebuah catatan tidak penting dari seorang yang
gila)
Masih akrab di mata penyimak berita,
kasus Andrea Hirata, seorang penulis buku trilogi Laskar Pelangi mengklaim
bahwa karyanya telah mendapat pengakuan international
best seller. Kemudian Damar Juniarto, seorang publisis membuat tulisan untuk
meng-cross check beberapa pernyataan Andrea
Hirata, diantaraanya adalah yang menyebutkan bahwa novelnya akan diterbitkan
ulang oleh Farrar, Straus, dan Girroux (FSG), penerbit internasional yang
menerbitkan buku-buku pemenang Nobel sastra. Hasilnya, menurut Damar Juniarto,
Laskar Pelangi diterbitkan oleh imprint FSG, yaitu Sarah Crichton Books.
Kedua, soal pernyataan Andrea bahwa
selama 100 tahun tidak ada karya anak bangsa yang mendunia. Hal ketiga yang
diverifikasi Damar adalah klaim international
best-seller untuk Laskar Pelangi. Menurutnya, dasar pencantuman label
“international best-seller” pada novel Laskar Pelangi tidak jelas.
Alih-alih meluruskan masalah, Andrea
Hirata bahkan berniat menggugat Damar Juniarto ke pihak berwajib. Tidak berhenti
sampai disitu, “kubu-kubu” Damar Juniarto kemudian membalas ancaman Andrea Hirata
dengan berbagai kritikan.
***
Contoh kasus di atas memang mengerikan
untuk menjadi bahan pembelajaran. Penulis mengambil contoh kasus di atas bukan
untuk mengungkit kejadian yang telah berlalu ataupun menghakimi Andrea Hirata dan
membela Damar Juniarto, tetapi penulis merasa bahwa perlu membuka ulang sebuah
permasalahan sebagai pembelajaran untuk menyikapi perbedaan dan menerima
kritikan.
Jika kita telaah kasus di atas, salah
satu pemicu orgasme pada masalah tersebut adalah, “kubu-kubu” yang saling
melancarkan serangan. Kubu-kubu inilah yang akhirnya saling melibatkan diri dan
menyulutkan ketidaksepahaman terhadap sebuah gagasan. Pada akhirnya, masalah
yang sebenarnya hanya perlu diselesaikan oleh dua orang malah semakin ramai dan
memperlihatkan betapa kita tidak bisa menerima sebuah perbedaan.
Dalam sejarahnya, kita sering dituding
sebagai manusia Indonesia yang bermental budak, tudingan ini terjadi akibat
lamanya nusantara kita dijajah oleh bangsa yang lebih terkontrol dan dapat
memanfaatkan peluang invasi terhadap suatu wilayah.
Untuk lepas dari mental tersebut
dibutuhkan pendidikan karakter yang mengakar dalam kepala setiap manusia Indonesia.
Tetapi bukan berarti bahwa kita juga mesti menolak untuk dikritik ataupun membalas
kritikan dengan ancaman. Melainkan dapat menerima kritikan sebagai suatu hal
yang membangun jati diri setiap manusia yang berkarya.
Penulis mengingat jawaban dari salah
seorang Kritikus Sastra dari Makassar (Alm) Ahyar Anwar dalam sebuah diskusi. Ia
melontarkan pernyataan “tugas anda sebagai penulis adalah menghasilkan karya
sastra, sedangkan tugas kritikus untuk mengkrtik karya sastra.” Dua hal berbeda
yang saling berhubungan erat.
Karya yang telah dikritik seharusnya
menjadi pelajaran terhadap karya itu sendiri, bukan terhadap penulisnya. Lantas
jika bukan penulisnya, bagaimana kritik itu hidup? kritik itu hidup karena
dituliskan, bukan karena dipertentangkan. Dalam uraian singkat, seorang penulis
yang karyanya dikritik tetaplah terus menghasilkan karya sastra. Penulis itu
sendirilah yang bisa memlih, apakah kritik itu diterima atau memilih menyimpannya
sebagai hal yang tidak penting selama proses berkaryanya. Itu manusiawi bagi
seorang yang dikritik dan bukan masalah yang mesti kita bawa kemana-mana.
Dalam melihat sebuah masalah, Emanuel Kant
berpendapat bahwa untuk mencapai kebenaran kita perlu mengkritisi Rasionalisme
dan Empirisme serta tidak boleh mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan
pengalaman) saja. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya
akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara
berfikir seperti ini. Karena itu, ia menawarkan sebuah konsep “Filsafat
Kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Ada benarnya,
sebab secara harfiah kata kritik memang berarti pemisahan, bukan pembeda.
***
Sikap anti kritik dan membela “karena
teman” inilah yang kemudian menjadi persoalan telak. Ditambah sikap segelintir
orang yang senang mempertautkan dirinya pada permasalahan yang orang lain
hadapi, lalu memberikan komentar yang malah semakin mempersulit posisi masalah
tersebut. Keganjilan inilah yang sepatutunya kita kaji sebagai pokok persoalan.
Alangkah konyolnya ketika sebuah
kritikan dibalas dengan ancaman. Meski jauh lebih konyol ketika kita membiarkan
ancaman itu hidup seperti sebuah dogma yang amat suci, bahkan kita sendiri tidak
bisa meredamnya. Menanam dendam sama halnya memupuk rerumputan di halaman rumah
yang nantinya akan menjalar lalu menjerat rumah kita sendiri. Berpisah bukan
berarti berbeda, dikritik bukan berarti dibenci.
0 komentar:
Posting Komentar