Kau boleh percaya bahwa aku mungkin
tidak mencintaimu, tapi kau harus yakin aku tidak akan meninggalkanmu.
Ini
adalah kalimat yang tidak sempat kau dengar karena selalu terburu-buru
mematikan panggilan teleponku. Masih kulekatkan gagang ini di kuping kiriku,
sementara kau dengan paksa menekan tombol yang mampu menyulap jarak kita
menjadi tiada. Seperti bunyi peringatan saat kapal ingin berlayar, nyaring,
panjang, dan tak mengenal kata tunggu.
Benar
katamu, cinta memang selalu membawa orang ke padang kembara. Mengajar kita
menjadi pengelana. Kini aku harus menyiapkan perbekalan yang tidak sanggup
kuterka cukup tidaknya. Perjalanan kali ini banyak memakan waktu, perasaan,
juga angin. Namun belum juga cukup rasanya aku mengenalmu, kecuali seseorang
yang selalu terburu-buru mematikan teleponku. Karena alasan itu pula, aku akhirnya
menulis namamu di teleponku dengan sebutan, Pembunuh Harapan.
Sejak
kau mulai memikirkan rumah besar dengan semua hal mewah, kupandangi dalam-dalam
diriku. Tak sebuihpun yang layak kauperjuangkan. Aku memang bukan lelaki dari
negeri emas yang akan menguningkan kehidupanmu. Sungguh, satu-satunya hal yang
kumewahkan dalam hidupku adalah, caraku mencintaimu. Sederhana, apa adanya, dan
selalu sadar diri.
Seminggu
terakhir ini, kita bahkan tak pernah saling bertukar kabar. Kau kini menemukan
persembunyian bersama orang lain, sedangkan aku selalu lari mengejar namamu yang
diterbangkan angin kesuatu tempat istimewa yang tidak mungkin kukunjungi. Dengan
terpaksa dan terluka, aku kembali merayakan kesendirianku.
Di
sebuah jalan raya sebelum kita benar terpisah. Salamanya. Aku meneleponmu dan berharap
kau dapat mendengar kalimat pembuka puisi ini kuucapkan sekali lagi. Sayangnya,
seseorang yang tidak kukenal menjawab panggilanku, rekam suara anda setelah nada berikut. Aku menunggu berjam-jam,
kuhabiskan seluruh perbekalanku disini. Namun nada berikut itu tak pernah ada. Tak
pernah kau kehendaki.
0 komentar:
Posting Komentar