1/
Seorang
lelaki yang tidak kau kenal sedang membenci dirinya, juga masa lalu yang ia
ternakkan di dalam padang kembara. Ia berharap suatu kapan, dari ibunya, lahir
jutaan palu-palu yang siap menghantam kepalanya. Menewaskan semua kebosanan
yang ia benci. Seperti kata penyair, hidup adalah kesepian masing-masing. Ia
memeluk tubuhnya, berusaha memberikan pencahayaan terang. Entah kuning, merah,
atau bayangan ayahnya. Ia selalu percaya, tubuh ini adalah musibah.
Ia
datang kepada seorang perempuan dengan menelanjangkan tubuh. Rajah mawar
menancap tepat di dada kirinya. Ia berharap dapat memberimu bunga yang tak
mungkin layu ini. Jangan kau merahkan lagi marah, katanya sambil menyerahkan
senjata. Ia berharap kau menembaknya. Tapi aku bukan kaum vandal yang tega
membunuh, juga bukan malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa, katamu.
Ia
memang ingin mati di tangan perempuan itu. Ia habiskan separuh hidupnya untuk
menemukan alasan mati di hadapanmu. Katanya, kesendirian memang perlu dicuri
dari orang yang paling kau cintai.
Kisah
itu mengingatkanku pada Clavo, lelaki yang hidup di abad pertengahan. Ia rela
mati di ranjang kekasihnya. Sambil memegang tengkuknya, ia meneguk racun paling
manis saat kekasihnya tidur. Ia mati dalam pelukan perempuan yang paling ia
cintai.
2/
Sejak
perempuan itu tak ingin membunuhnya, ia memilih hidup sebagai penjaga makam.
Menyiasati kesendiriannya dengan melihat nisan-nisan yang berjejer seperti
lintasan kereta. Mengantar orang-orang ketujuannya masing-masing.
Lelaki
itu juga percaya bahwa ia memiliki tujuan. Namun seperti pepatah, jangan
bermain api jika tidak ingin terbakar. Lelaki itu menggali makamnya sendiri.
Tak ada nisan, kafan, ataupun papan. Ia masukkan tubuhnya ke dalam lubang
dengan lukisan wajah perempuan itu sebagai temannya. Percayalah, dunia akan
berakhir dengan kesia-siaan. Ia kemudian mati dalam dirinya sendiri. Matilah sebenar-benarnya
mati.
0 komentar:
Posting Komentar