Tereliminasi dari
peradaban semacam hukuman bagi mereka yang tinggal di kota metropolitan. Kota
dengan kumpulan orang yang lebih bahagia melupakan dari pada dilupakan. Lebih
senang memiliki dari pada dimiliki. Lebih memilih dicintai dari pada mencintai.
Sialnya, kita terjebak di kota semacam itu.
Merasa kalah saing dan
terasing jika tidak memiliki telepon genggam yang cerdas, baju yang bermerek,
potongan rambut terbaru, atau terlibat hura-hara yang banyak digemari oleh
manusia lain. Padahal semua itu serupa puisi Sapardi Djoko Damono; yang fana
adalah waktu, kita abadi.
Kita seperti berburu di
hutan belantara. Memanah hewan apapun yang kita inginkan. Itulah kebuasan yang
manusia miliki. Kebuasan tersembunyi yang lebih buas dari hewan yang terlihat
paling buas. Sehingga kadang terlupakan, jika menyembunyikan sesuatu, kita
sebenarnya sedang membiarkan seseorang menemukannya.
Di sekolah dan bangku
perkuliahan kita hanya belajar untuk menyembunyikan kebuasan tersebut. Para
guru mendidik kita cara untuk sabar dan patuh. Para dosen menuntut kita untuk pintar
dan lebih bijak. Bukankah itu berangkat dari kesadaran bahwa manusia memang
memiliki sifat kebinatangan. Sifat tersembunyi dalam diri setiap orang yang
harus ditaklukkan.
***
Ruang
karoke, diskotik, rumah ibadah, atau gelanggang tinju adalah beberapa tempat
yang kadang dijadikan manusia sebagai hutan belantara. Hutan kebebasan untuk
mengeluarkan kebuasan.
Benarkah tempat karoke
adalah wahana hiburan? Bukankah itu lebih mirip penjara dalam bentuk yang lebih
bebas. Manusia bisa berteriak sambil bernyanyi. Memilih lagu tentang kekesalan
jiwanya atau emosi yang ia simpan menahun.
Cobalah perhatikan
mereka yang memilih diskotik sebagai tempat meluapkan emosi. Musik keras hanya
membantu kita untuk berhenti sejenak memikirkan masalah. Kerlip lampu yang
tiada henti membius mata kita hanyalah ilusi yang menenangkan pikiran. Toh,
setelah pulang dan berhadapan dengan tumpukan pekerjaan yang belum selesai,
kita akan memikirkannya lagi.
Atau rumah ibadah yang
kadang didatangi oleh manusia hanya untuk buang hajat, atau istirahat dari
penatnya perjalanan. Bahkan dengan perasaan yang tidak tentu, kita kadang
berdoa meminta agar Tuhan memudahkan semua hal yang susah.
Atau di gelanggang
tinju dan riuhan sporter yang berteriak mendukung petinju andalan mereka. Benarkah
mereka menikmati pertandingan itu? Atau hanya senang melampiaskan emosinya
melihat sepasang manusia saling memukul satu sama lain. Mereka mungkin
tersenyum dan penuh semangat bersorak. Tapi saya melihat mata mereka merah.
Wajah murung durja dan tangan mereka terkepal seakan ingin ikut memukul.
Kita sepertinya
kehabisan cara untuk menikmati hidup. Seakan kota ini telah berubah menjadi
deretan kalimat tuntutan. Milikilah ini! Jadilah itu! Bencilah ini! Cintailah
ini! Dan tanpa sadar, suatu saat kita mungkin akan mendengar kalimat tuntutan;
Bunuhlah dia!
Betapa kota ini telah
mengubah bayi-bayi tak berdosa menjadi manusia-manusia penuh derita. Kita hanya
tidak begitu pandai menyadari bahwa memiliki telpon genggam cerdas adalah
sebuah penderitaan, menggunakan pakaian mewah adalah penderitaan, juga menghadiri
kegiatan hura-hara adalah penderitaan. Penderitaan yang tidak akan sanggup kita
anggap penderitaan.
Ada benarnya yang
Pramoedya Ananta Toer pernah katakan, “Kehidupan ini seimbang, Tuan.
Barangsiapa hanya memandang pada keceriannya saja, dia orang gila. Barangsiapa
memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.”
Parahnya, kita bukan
tidak bisa menyeimbangkan kehidupan lagi, tapi kita tidak bisa melihat yang
mana penderitaan dan yang mana keceriaan.
***
Saya
membayangkan suatu kapan. Ketika semua hal sudah terlalu abstrak untuk
dijalani. Ketika semua manusia mulai merasa payah dalam menentukan seperti apa
hidup yang layak. Ketika kita sudah berani memilih nasib sendiri. Mulai belajar
membenci dan berkata tidak pada apa yang lama kita yakini sebagai kebenaran. Kita
akan keluar dari semua jerat itu dan membangun kota baru. Kota puisi.
Kota puisi adalah kota
di mana setiap orang bebas menentukan nasibnya sendiri. Bisa menjadi apa yang
ia inginkan tanpa harus takut tuduhan orang lain. Percayalah, tuduhan sosial
kepada seseorang jauh lebih penjara dari pada jeruji besi yang mengurung kita
bertahun-tahun.
Saya berharap suatu
saat tidak ada lagi orang yang dianggap aneh karena memanjangkan rambut. Seseorang
tidak dipandang sinis lagi ketika badannya dipenuhi rajah. Atau orang lain tidak
lagi protes ketika ada yang berani menyebut kata kontol sama indahnya dengan
menyebut kata Tuhan. Semoga!
termuat di Literasi Tempo 05/01/15
1 komentar:
Karena keegoisanlah kita menyebut diri kita manusia.
Posting Komentar