Tubuh di basuh air bungung barania
Terlecutlah semangat To Barania
Di medan Laga mengacungkan badik
Menebas setiap kalimat muslihat
Menumpahkan darah benci dari manusia
Meluluh lantakkan bumi Makassar dengan jiwa To Manurung
Ditabulah Tunrung Pakanjara
Berteriaklah To Barania
“Piadaki adaka Sari’battang”
Tanah Makassar telah di tenggelamkan zaman
Aru mengisyaratkan pembangkangan prajurit
Tak ada lagi Pohon Lontarak yang mencakar langit
Telah habis naluri Siri’ na Pacce
Kuda perang tak lagi bertenaga
Telah padam zamrud budaya Makassarku
Hilang sudah kesakralan Maudu Lompoa di Cikoang
Cerita tentang Ranggong Dg Romo tak bertuah lagi
Tanah Ko’mara’ tak terlirik
Pelaut Galesong tak lagi bernyali menggaris samudra bumi nan maha luas
Telah surut vakuola budaya Takalarku
Terasing di kampung sendiri
Suku Kajang di Butta Panrita Lopi tak lagi bertanah
Para pelaut Bira telah mematahkan layar Phinisinya
Terjelma dalam balutan warna-warna naturalis
Telah redup mozaik budaya Bulukumbaku
Losari yang masih tersisa dari lautmu hanya setetes panorama khas Makassar
Anging Mammiri tak lagi sepoi menyapa
Ombak tak kuat lagi sekedar menari di pesisir
Pelabuhan Paotere tak menarik lagi
Juku Ejaya kehilangan sirip untuk menggores lutan
Dermaga telah sepi dari kapal
Somba Opu yang telah patah dinding kemegahannya
Meninggalkan dongeng kepada anak cucu
Di sana pernah tercatat riwayat perjuangan
Kota Makassarmu telah mati
Kepada siapa kelak nanti akan aku ceritakan
Tentang indahnya tarian Pakarena yang diiringi petikan kecapi dan tabuhan ganrang
Nikmatnya Cucuru’ Bayao dalam Bosara
Saat pesta Accerak Kalompoang di Balla’ Lompoa
Kepada siapa kelak nanti akan aku ceritakan
Tentang kepiawaian gadis Bugis menenun lipa’ sa’be
Tiap pesta adat akan selalu aku kenakan
Serta Naskha Teater La Galigo yang hingga kini tak sempat aku pentaskan
Menyimpan sejuta cerita tentang nenek moyang Bugis-Makassar
Falsafah tentang A’bulo sibatang
Pemersatu dalam masyarakat
Sari’ battangku, Kepada siapa kelak nanti akan aku ceritakan
Jum’at 12 Februari 2010
Terlecutlah semangat To Barania
Di medan Laga mengacungkan badik
Menebas setiap kalimat muslihat
Menumpahkan darah benci dari manusia
Meluluh lantakkan bumi Makassar dengan jiwa To Manurung
Ditabulah Tunrung Pakanjara
Berteriaklah To Barania
“Piadaki adaka Sari’battang”
Tanah Makassar telah di tenggelamkan zaman
Aru mengisyaratkan pembangkangan prajurit
Tak ada lagi Pohon Lontarak yang mencakar langit
Telah habis naluri Siri’ na Pacce
Kuda perang tak lagi bertenaga
Telah padam zamrud budaya Makassarku
Hilang sudah kesakralan Maudu Lompoa di Cikoang
Cerita tentang Ranggong Dg Romo tak bertuah lagi
Tanah Ko’mara’ tak terlirik
Pelaut Galesong tak lagi bernyali menggaris samudra bumi nan maha luas
Telah surut vakuola budaya Takalarku
Terasing di kampung sendiri
Suku Kajang di Butta Panrita Lopi tak lagi bertanah
Para pelaut Bira telah mematahkan layar Phinisinya
Terjelma dalam balutan warna-warna naturalis
Telah redup mozaik budaya Bulukumbaku
Losari yang masih tersisa dari lautmu hanya setetes panorama khas Makassar
Anging Mammiri tak lagi sepoi menyapa
Ombak tak kuat lagi sekedar menari di pesisir
Pelabuhan Paotere tak menarik lagi
Juku Ejaya kehilangan sirip untuk menggores lutan
Dermaga telah sepi dari kapal
Somba Opu yang telah patah dinding kemegahannya
Meninggalkan dongeng kepada anak cucu
Di sana pernah tercatat riwayat perjuangan
Kota Makassarmu telah mati
Kepada siapa kelak nanti akan aku ceritakan
Tentang indahnya tarian Pakarena yang diiringi petikan kecapi dan tabuhan ganrang
Nikmatnya Cucuru’ Bayao dalam Bosara
Saat pesta Accerak Kalompoang di Balla’ Lompoa
Kepada siapa kelak nanti akan aku ceritakan
Tentang kepiawaian gadis Bugis menenun lipa’ sa’be
Tiap pesta adat akan selalu aku kenakan
Serta Naskha Teater La Galigo yang hingga kini tak sempat aku pentaskan
Menyimpan sejuta cerita tentang nenek moyang Bugis-Makassar
Falsafah tentang A’bulo sibatang
Pemersatu dalam masyarakat
Sari’ battangku, Kepada siapa kelak nanti akan aku ceritakan
Jum’at 12 Februari 2010
0 komentar:
Posting Komentar