[Sebuah
Kajian Histori Singkat tentang Sastra di Indonesia]
SEJARAH SINGKAT MASUKNYA SOSIALIS DI
INDONESIA
Sastra-sastra sosialis banyak menggambarkan
kondisi serta gejolak masyarakat di masa tersebut. Sastra sosialis banyak
muncul di surat kabar-surat kabar (antara lain yang dimuat secara bersambung)
yang dikelola oleh para aktivis gerakan, serta sebagian lagi diterbitkan oleh
penerbit-penerbit swasta atau badan-badan tertentu (mislanya oleh kantor KPI)
berikut merupakan perjalanan sastra Marxis di Indonesia (Teeuw, 1978)
Perkembangan Sastra Marxis di
Indonesia dimulai sejak awal abad ke-20. Era ini juga ditandai dengan masuknya
modernitas dan disaat yang bersamaan para tokoh-tokoh pribumi menggalang
kekuatan dan semangat tentang nasionalisme. Sosialisme di Indonesia sendiri di
bawah oleh para tokoh asal Belanda yang beraliran sosial-demokrat, antara lain
adalah Sneevliet, Dekker, Bransteder, Baars, Bergsma dan C. Hartogh. Merekalah
yang membawa ajaran Marx dan Engles ke Hindia Belanda yang kemudian disebut
Indonesia.
Sneevliet mendirikan ISDV (Indische
Sociaal Democratische Vereeninging) pada tahun 1914 kemudian berhasil mengambil
peranan penting dalam mempengaruhi organisasi-organisasi pribumi yang telah
berdiri sebelumnya dan mampu membuat para tokoh aktivis pergerakan akhirnya lebih
condong menjadi sosialis revolusioner. Tokoh Indonesia yang dianggap sebagai
pelopor Marxisme adalah Semaoen dan Darsono dari Serikat Islam (SI) Semarang.
MASA AWAL KARYA SASTRA SOSIALIS
Kondisi
politik dan ekonomi di Hindia Belanda pada waktu itu tidak karuan. Ini di
akibatkan oleh sistem kolonialisme, lebih terasa lagi ketika pemerintah Hindia
Belanda mengubah sistem dari VOC menjadi sistem liberal. Kemudian sistem kerja
paksa dihapuskan dan diubah menjadi sistem kerja upah yang bebas. Akhirnya
kondisi ini semakin kacau dan membuat para tokoh sastra sosialis semakin kritis.
Mereka kemudian menyuarakan perlawanan terhadap sistem kolonialisme di bumi
Indonesia melalui tulisan.
Karya-karya yang dianggap sebagai
jenis karya sastra perlawanan.
1.
Karangan
Hadji Moekti dari tahun 1910 sampai 1912 yang berjudul Hikajat Siti Mariah yang
berkisah tentang permasalahan yang terjadi disekitaran sosial, politik dan
ekonomi dari berbagai lapisan sosial masyarakat.
2.
Roman
Tirto Adhi Soerja, dikarang pada tahun 1912 berjudul Nyai Permana yang berkisah
tentang istri Menteri Polisi. Ketika suaminya mengkorup petani saat pembagian
tanah, Nyai Permana akhirnya sadar dan memilih untuk berpihak pada petani lalu
meninggalkan suaminya, kembali ke desa dan berkumpul bersama para petani.
3.
Hikayat
Kodiroen karya Semaoen (kelak menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia) yang di
tuliskan pada tahun 1920 berkisah tentang seorang pemuda cerdas bernama Kadirun
yang bekerja sebagai pegawai negeri dalam pemerintahan kolonial. Namun melihat
penderitaan dan kemiskinan mayarakat akhirnya ia kecewa kepada pemerintah
Hindia Belanda dan memilih untuk bergabung bersama took-tokoh PKI yang
mengajarkannya tentang teori-teori perjuangan dan perlawanan. Akhirnya
pimpinanya mengetahui gerak-gerik Kadirun dan menyuruhnya memilih jabatannya
atau partai yang akan membuat dirinya dipecat dari jabatannya. Kadirun kemudian
memilih untuk ikut dalam kegiatan politik PKI, karena menurutnya hanya dengan
cara seperti itu dia bias memperjuangkan cita-cita dan kebahagiaan rakyat.
Perkembangan sastra marxis atau
dikenal juga dengan istilah sastra sosialis di Hindia Belanda semakin matang.
Karya-karya yang muncul juga semakin kritis dan penuh perlawanan. Salah satu
karya yang dianggap sangat keras pada masanya adalah karya milik Marco
Kortodikromo yang berjudul Mata Gelap (1914), isinya di penuhi oleh pornografi
dan mendapatkan kecaman oleh masyarakat waktu itu. Akhirnya dia membuat satu
karya lagi yang berjudul Student Hidjo (1918) berkisah tentang awal munculnya
intelektual Indonesia dari kelas borjuis kecil, foedal, birokrat yang bermental
lemah, dan beruntung karena memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan Barat bahkan sampai ke
luar negeri.
Kaum sastra sosialis akhirnya digolongkan
kedalam “sastra pinggiran” yang karyanya oleh sebagian kritikus sastra di
Indoneia tidak dimasukan dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia.
Sebagiannya lagi menganggap bahwa karya-karya yang pernah muncul dari sastra
sosilialah yang dianggap mewakili keadaan Indonesia pada waktu itu.
KEMUNDURAN SASTRA SOSIALIS DAN
DOMINASI BALAI PUSTAKA
Salah satu alasan kemunduran sastra sosialis adalah hegemoni Balai
Pustaka yang pengaruhnya semakin kuat dan meluas di Indonesia. Disamping itu
tokoh sastra sosialis tidak mampu bertahan dalam dunia kesusastraan akibat
pencekalan karyanya dan keaktifan dalam pergerakan politik. Sebagaian tokoh
sastra sosialis juga ditahan oleh pemerintah kolonial dan ada juga yang
diasingkan.
Karya-karya yang dihasilkan oleh
Balai Pustaka akhirnya dianggap sebagai cerminan masyarakat waktu itu. Karya
Abdoel Moeis yang berjudul Salah Asuhan (1928) menjadi bukti usaha Balai
Pustaka untuk menampilkan karya bermutu dan mengenyampingkan persoalan politik.
Melalui karya tersebut Balai Pustaka seaolah-olah ingin mengubah paradigma
tokoh sastra sosialis bahwa kita tetap bisa membuat karya sastra yang bermutu
tanpa harus menghubungkannya dengan politik.
Balai Pustaka akhirnya muncul sebagai
simbol baru kesusastraan Indonesia yang dianggap lebih bermartabat namun nyatanya
kurang memperhatikan lagi kondisi sosial masyaratkat pada masa itu, sedangkan
jika dimaknai, karya sastra itu sendiri adalah cerminan dari masyarakat. Mungkin
inilah yang disebut oleh WS. Rendra dalam “Sajak Sebatang Lisong” sebagai
penyair-penyair salon.
Takdir Alisjahbana dalam karyanya,
Layar Terkembang (1936) dan Armijn Pane dengan novel Belenggu (1940) pernah
mencoba untuk kembali memunculkan semangat ke-Indonesia-an sebagai gerakan
untuk menolak kolonialisme. Namun nyatanya, kedua karya tersebut dianggap masih
jauh dari semangat ketika sastra-sastra sosialis, apa lagi realisme sastra.
Namun beruntung pada masa itu Pramoedya
Ananta Toer berhasil membuat karya sastra yang dianggap mampu mewakili kata “perlawanan”
yang selama ini diusahakan oleh tokoh-tokoh sastra sosialis. Namun kembali lagi
harus mendapatkan pencekalan oleh pemerintah pada waktu itu. Beberapa buku
Pramoedya akhirnya diterbitkan di luar negeri.
Daftar Pustaka:
Faruk, 1994. Pengantar Sosilogi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniawan, Eka. 1999. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme
Sosialis. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia.
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra. Malang: UMM Press.
*anggap saja sebagai catatan bawah: tulisan ini hanya sebuah kajian histori singkat
tentang sastra sosialis di Indonesia. Masih minim referensi dan bagi pembaca
ada baiknya untuk memberikan kritik yang membangun guna pengembangan
pengetahuan.
0 komentar:
Posting Komentar