Sekretaris
Umum Lekra
LEKRA dan PKI
LEKRA adalah sebuah gerakan kebudayaan yang nasional
dan kerakyatan, yang di dalamnya memang ada orang-orang yang jadi anggota PKI,
tetapi yang sebagian besarnya, bukan. Lekra didirikan dan bekerja untuk
kepentingan yang nasional dan kerakyatan di lapangan kebudayaan. LEKRA,
sebagaimana terlihat pada Mukaddimahnya, tidak mengazaskan kegiatannya pada
pandangan klas dan atau Marxisme-Leninisme. Juga organisasi yang mengatur
kegiatannya tidak berbau Leninisme sedikitpun. Bahwa ada karya di lingkungan
LEKRA yang dialamatkan langsung kepada kepentingan Partai Komunis Indonesia, ia
sudah tentu secara langsung menjadi tangungjawab pencipta karya itu, yang
mungkin saja anggota PKI. Orang berhak memuliakan sesuatu yang ia anggap
demikian, namun haknya itu hendaklah pula diperlakukan dengan adil ketika ia
mempertanggungjawabkannya.
Adapun tanggungjawab LEKRA, ia berada di lingkup
selama karya itu tidak anti Rakyat dan tidak anti Revolusi Agustus 45, atau
seperti yang dinyatakan dalam Mukaddimahnya, “LEKRA menyetujui setiap aliran
bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan kemajuan, dan
selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya” dan “LEKRA
mengulurkan tangan kepada organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau
keyakinan apapun untuk bekerjasama dalam pengabdian ini.”
Adapun PKI, ia sebuah partai politik. Dan politik,
adalah sebuah pembidangan teoritis. Seni, sastra, ilmu dan kebudayaan juga
demikian. Adalah ilmu yang mengkategorisasikannya demikian. Demi memudahkan
kita memahami kenyataan. Yang sungguh luar biasa rumitnya. Ia hidup dan
berubah. Ia kimiawi. Maka itu diperlukan batasan pengertian. Karakterisasi dan
kategorisasi.
Mari kita singgah sebentar pada yang elementer.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata politik sehubungan dengan ilmu
adalah, pengetahuan mengenai kenegaraan, seperti sistem dan dasar-dasar
pemerintahan. Arti kedua ialah, segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan,
siasat, dsb.) mengenai pemerintahan negara. Arti ketiga, kebijaksanaan, cara
bertindak. Imam Ghazali merumuskan: “segala yang menyangkut negara adalah
politik”. Sekarang lihatlah bagaimana pengertian politik itu bekerja dalam
kenyataannya, pada sebuah masalah saja. Dalam hal ini masalah LEKRA dan PKI,
dua buah organisasi yang kait mengait dalam kerjasama tapi juga tentang
menentang. Mari kita lihat, salah satu pertentangannya yang laten dan yang
fatal ternyata.
Kira-kira menjelang akhir tahun 64, sebuah gagasan
PKI disampaikan kepada sementara anggota Pimpinan Pusat LEKRA. Gagasan itu
menghendaki agar LEKRA dijadikan organisasi PKI yang juga punya anggota
non-PKI. Jika LEKRA setuju pada gagasan yang praktis mem-PKI-kan LEKRA, maka
hal itu akan diumumkan secara formal. Tapi LEKRA telah menolak gagasan itu.
Bukan tanpa alasan. Alasannya amat sehat, demokratis dan sudah tentu demi
kepentingannya sebagai organisasi kebudayaan yang tujuan-tujuannya telah
disimpulkan di dalam « Mukaddimah » organisasinya.
Nyoto yang Anggota Sekretariat Pimpinan Pusat LEKRA
adalah juga Wakil Ketua II CC PKI, ikut serta menolak gagasan mem-PKI-kan LEKRA
itu. Saya dapat mengerti akibat-akibat yang dapat timbul dari penolakan itu.
Anda mungkin tahu atau ingat, PKI di tahun itu sedang bugar-bugarnya. Dan LEKRA
berhasil menentang penguasaan PKI secara organik atas dirinya, sampai «
katakanlah 1 Oktober 1965 ». Proses itu bukan tanpa taruhan. Apa yang
kemudiannya dikenal sebagai “Konferensi Sastra dan Seni PKI” adalah bagian dari
pertentangan dan pertarungan antara LEKRA dan PKI. Konferensi yang juga telah
terang-terangan memperbedakan LEKRA dengan PKI di bidang kebudayaan.
Ironisnya malah terjadi di tahun-tahun sesudah 65.
Banyak sajalah orang « mem-PKI-kan LEKRA ». Sehingga yang terjadi adalah, jika
D.N. Aidit tidak berhasil, orang lain yang padahal atau tampak seperti anti
PKI, malah “berhasil” mem-PKI-kan LEKRA. Saya ingin mengetuk perhatian anda
bahwa mem-PKI-kan LEKRA dapat membawa kerancuan dalam tubuh seni, sastra dan
bahkan kebudayaan negeri ini karena penilaian dan penentangan yang tidak
berujungpangkal.
Pewayangan tua, madya ataupun carangan, ketoprak
dengan segala keterikatannya pada babad selaku ancang-ancang sejarah, kesenian
Bali dengan segala akarnya yang religi, ludruk dan bermacam reog atau pun
randai dengan kandungan realisme sejarah dan satirenya, ataupun Cianjuran,
Dogdog atau Tarling adalah di antara bentuk-bentuk seni yang telah dicampuri
LEKRA. Belum lagi kita bicara mengenai sastra, senirupa dan musik Indonesia
masa kini.
Bahwa di kalangan politik, “tribalisme” sering
tampil sebagai metode pemecahan soal, biarkanlah kafilah itu berlalu. Hal yang
demikian tidak patut ditiru dan diberlakukan bagi kebudayaan. Sebab kebudayaan,
seni das sastra, tidak dan tidak dapat dimiliki oleh sesuatu parti politik.
Partai politik boleh berganti atau sirna, tetapi kebudayaan, tidak. Jika yang
ini sirna, atau anda sirnakan, anda menuhukkan bangsa ini ke lembah yang papa.
Dan saya sungguh tidak percaya ada anak Indonesia
mampu dan tega secara sadar berbuat demikian. Kita harus mengangkat gelas
dengan cara yang telah diadabkan. Jika anda mengangkatnya dengan telunjuk anda,
gelas itu akan jatuh dan pecah. Lagi pula anda tahu bahwa mem-PKI-kan LEKRA
adalah sebuah perbuatan yang murni politik. Yang kandungan manipulasinya bisa
luar biasa besarnya.
Maka itu pula agaknya, sehubungan dengan tragedi
nasional G30SPKI, selama 10 tahun saya ditahan, saya tidak pernah diperiksa
mengenai LEKRA, sebagai organisasi atau gerakan kebudayaan. Juga tidak pernah
diperlihatkan kepada saya, “Surat Keputusan Pemerintah yang membubarkan atau
yang melarang LEKRA berdiri dan bergiat”, oleh Tim-Tim Pemeriksa yang mewakili
Pemerintah Republik Indonesia kita ini. Begitulah hukum formal itu
memperlakukan LEKRA.
Anda, terutama yang sedikit mengerti tatakrama hukum
dan politik, tentunya dapat melihat jalur nalar yang saya kemukakan ini. Sedang
bagi anda-anda yang tidak dapat tidak resah mendengar atau membaca kata LEKRA
itu, saya terlebih dahulu hendak berkabar di sini, bahwa catatan ini saya buat
bukan sebagai sangkakala pemberitahuan bahwa LEKRA akan mengorganisasi dirinya
kembali dan kemudian menuding orang-orang yang pantas ia tuding. Anda akan
sepakat dengan saya, kalau saya mengatakan bahwa untuk itu, hari sudah terlalu
sore, bianglala sudah melengkungi ufuk kita, karena sementara itu hujan besar
telah datang membawa pepatah “sekali air pasang, sekali tepian berubah”.
Maka itu, yang saya buat ini, tidak lain dari apa
yang telah dikatakan Chairil Anwar, “Kenang, kenanglah kami” agar orang tahu
siapa, dan ibu mana yang telah menaklukkan maut ketika melahirkan seseorang
manusia. Dan karenanya saya ingin mengajak Anda bertamasya saja ke “Mukaddimah
LEKRA”, sekedar sebagai pengalaman pemikiran, yang siapa tahu dapat membathin.
Politik, terutama politik praktis, dalam prakteknya,
dapat memanipulasi apa saja untuk kepentingan taktis atau pun strategisnya.
Tapi tidak demikian halnya dengan kerja dan kerja kebudayaan. Ia tidak harus
langsung tunduk kepada kepentingan politik praktis, dan taktis dan tidak semua
politik praktis dapat dimanfaatkan kerja kebudayaan. Ia dapat dan biasa berada
di luar jalur-jalur kepentingan politik yang demikian.
Semboyan “Politik Adalah Panglima”, tidak berarti
politik sesuatu partai adalah atau yang harus dijadikan “panglima”. LEKRA tidak
pernah mengikat diri pada pengertian demikian. Sebab, konotasi politik dalam
semboyan itu adalah wawasan, bukan lembaga atau orang, apapun ia. Wawasan yang
dapat lebur ke dalam proses penciptaan dan karya seni sepereti patung, cerpen
atau sajak. Dan di dalam proses inilah wawasan politik itu tunduk pada tuntutan
estetika artistik. Di sini estetika itu yang jadi « panglima », kalau hendak
terus main « panglima-panglimaan ». Di sini taraf keseniman yang menentukan. Di
sini kejujuran dan hati nurani itu jadi « perdana menteri », jika kita ingin
juga memakai analogi.
Ada wawasan politik yang dapat dilebur ke dalam
kerja dan karya kebudayaan. Tapi ada juga yang tidak. LEKRA misalnya, pernah
mengeluarkan pernyataan “menyokong kembali ke UUD 45”, tapi tidak pernah
mengeluarkan pernyataan “menyokong dibentuknya kabinet NASAKOM” sebagai
gebrakan politik praktis. Tapi jika esensi “NASAKOM” itu diolah sebagai
emansipasi bentuk persatuan nasional bangsa ini, pendirian LEKRA juga jelas.
Pengertian politik di sini merupakan bagian dari perjalanan sejarah eksistensi
masyarakat manusia Republik Indonesia ini.
Jadi, LEKRA tidak melakukan vulgarisasi pengertian
dan pekerjaan politik. Dan pandangan demikian dengan jelas dijalin di dalam
“Mukaddimah LEKRA”.
Lagi pula kita semestinya tidak perlu lupa menyimak
sebuah buku berjudul “ABRI sebagai kekuatan sosial dan pokok-pokok
kebijaksanaan dalam rangka memelihara dan meningkatkan kemanunggalan ABRI
dengan rakyat” terbitan 10 mei 1979 dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia. Buku itu antara lain dengan tandas sekali menyatakan bahwa “Walaupun
titik berat pembangunan kita terletak di bidang ekonomi, namun perlu
diperhatikan bahwa sesungguhnya bidang politik mendasari semua bidang
pembangunan”. Apa artinya ini? Kita boleh dan baik memahaminya secara terjabar.
Tapi ini baik dilakukan lain kali.
Pada Mulanya
Begitulah, tidak begitu lama sesudah Mukaddimah
Pertama LEKRA diumumkan, yaitu pada 17 Agustus 1950, berdatanganlah kritik
atasnya. Kritik-kritik itu pada pokoknya menyatakan bahwa beberapa bagian dari
Mukaddimah itu ternyata tidak cocok dengan keadaan Indonesia. Ia mengandung
sejumlah jargon yang tak mudah difahami umum. Hingga disusunlah suatu
Mukaddimah baru, seperti yang umumnya kita jumpai sekarang. Penggantian
Mukaddimah berlangsung secara formal dalam Konferensi Nasional Lekra ke-1,
tahun 1957. Yang kemudian disyahkan oleh Kongres Nasional LEKRA ke I, tahun
1959 di Solo yang penutupannya dihadiri Presiden Sukarno.
Pidato Bung Karno pada penutupan Kongres ini menjadi
terkenal dan kontroversial, karena ia menyerukan sebuah sikap menolak
menjadikan “musik ngak-ngik-ngok” sebagai musik kebangsaan Indonesia, terutama
bagi kaum remaja Indonesia. Sikap Bung Karno itu sesungguhnya merupakan bagian
pandangan kebudayaan Indonesia yang berkepribadian nasional. Sebuah sikap yang
telah membersit dan tumbuh dalam gerakan kebangkitan nasional. Ia telah
diungkapkan oleh Dr. Sutomo, Ki Hajar Dewantara, dan bahkan Moh. Hatta selaku
Wakil Presiden dalam pidato sambutannya pada Kongres Kebudayaan Indonesia ke 2
tahun 1952 di Bandung.
Dan pada Kongres Nasional ke-1 LEKRA ini pula Nyoto
dalam pidato sambutannya atas Laporan Umum saya, menyinggung agar wawasan
“Politik Adalah Panglima” dimanfaatkan oleh daya-upaya kebudayaan kreatif dan
reproduktif. Gagasan yang kemudian terutama di dalam era “orde baru” ini ada
kalanya juga menjadi kelewatan kontroversialnya. Namun, tidaklah diambil
sesuatu putusan apapun mengenai “Politik Adalah Panglima” dalam Kongres ke I
LEKRA tahun 1959 itu, kendati ia memancing diskusi-diskusi yang galau-galau
menarik. Dua tahun kemudian baru, yaitu di dalam Sidang Pleno Pimpinan Pusat
LEKRA, Juli 1961, “Politik Adalah Panglima” itu diterima sebagai azas kerja
kreatif, bersama dengan lima tuntutan lainnya, sebagai pedoman yang bersifat
seruan yang umum saja, bukan instruksi atau keharusan. Tidak dibuat petunjuk
rinci apapun mengenai ini. Dan tidak ada penjelasan baku yang harus diikuti.
Orang bebas memberikan interpretasinya, memakai atau tidak memakainya dalam
kerja dan karya. Latar belakang sesungguhnya dari semboyan ini ialah untuk
mendorong pada seniman dan sastrawan LEKRA memiliki pengertian politik yang
memadai. Dan politik anda tahu, ia hanya dapat dipahami baik, jika kita punya
wawasan sejarah. Sejarah yang pada gilirannya akan mendorong orang menggunakan
ilmu dalam berkarya, sehingga bawaan tukang yang ada pada seniman, dapat
dibekali oleh ilmu seperti, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, antropologi
dan apa saja yang akan jadi penopang dalam penciptaan karya yang lebih
fungsional, tahan waktu dan bernilai.
Semasa organisasinya berfungsi, LEKRA sangat
mengutamakan pendidikan, diskusi dan saling didik. Sanggar-sanggar dan lembaga
yang dipimpin seniman-seniman LEKRA mendidik pelukis muda, pamatung muda, para
dalang, sinden, penabuh dan penari muda, para aktris, aktor dan penulis
skenario untuk drama, film, ketoprak, ludruk dan bahkan randai dan abdul muluk.
Ada dua tiga Sanggar yang mungkin sudah amat terkenal di masa sebelum 65.
Daiantaranya “S.I.M.” (Seniman Indonesia Muda) yang dipimpin Soedjojono,
Harjadi dan Suromo dan “Pelukis Rakyat” yang dipimpin Hendra Gunawan, Affandi
dan Trubus. Untuk dapat dididik di lembaga-lembaga demikian, tidak ada
persyaratan seseorang harus jadi anggota LEKRA dulu, apalagi PKI. Pokoknya ada
bakat, mau belajar dan bekerja keras. Cukup.
Tentang ini ada banyak masih saksi hidup yang cukup
cemerlang, bahkan. Anda barangkali sudah tahu bahwa Zaini, seorang pendukung
terkemuka dari “Manikebu”, adalah pelukis terkemuka hasil didikan SIM (Seniman
Indonesia Muda) pimpinan S. Soedjojono. Sejarah Indonesia adalah mata pelajaran
dan diskusi penting dan diberikan untuk semua bidang. Kemudian sastra, nasional
maupun daerah. Di samping sudah tentu ketrampilan atau kiat seni masing-masing
bidang. Bentuk pelajaran seperti sejarah, sastra, psikologi atau ekonomi, tidak
kurikuler. Bentuknya ceramah dan diskusi. Melalui cara demikian, mereka dapat
memahami “Politik Adalah Panglima”, menurut kemampuan orang yang ikut
belajar-mengajar. Literatur, mereka boleh pilih sendiri. Tidak ada satupun
keharusan dalam hal ini. Orang-orang LEKRA tentu saja boleh mendengar ceramah
orang-orang PKI, PNI, NU, Golkar dan sebagainya dan membacai literatur mereka.
Mereka tentu juga boleh membaca karya-karya Mochtar Lubis yang anti PKI
bener-beneran, atau HB Jassin atau siapa saja yang tidak sejalan dengan LEKRA.
Yang sesungguhnya diinginkan LEKRA ialah, agar
seniman dan sastrawan yang berhimpun di dalam atau di sekitarnya, berani dan
mahir berfikir secara mengasah intuisi kesenimanannya. Agar kebudayaannya
meninggi, agar mutu artistik dan ideologi karyanya menjulang, tahan kritik,
tahan waktu dan berfungsi dari masa ke zaman. Untuk itu diperlukan pemahaman
sejarah, kenyataan nyata ataupun kesunyataan dengan
perkembangan-perkembangannya. LEKRA tidak lebih dari sebuah dan salah satu
sarana saja untuk itu.
Jadi, akhirnya kita akan melihat dan menghayati
“Politik Adalah Panglima” itu secara bersegi banyak, berubah dan dialektis
sekali. Lalu mengapa LEKRA merasa perlu menjadikannya sebagai semboyan atau
pedoman untuk pekerjaan-pekerjaan kreatif? Untuk menjawab ini kita harus
mengingat bahwa antara tahun 50-an dan 60-an, masih ada semacam propaganda yang
hendak mengusir atau menjauhkan seniman dan sastrawan, keluar dari gelanggang
politik. Politik adalah orang politik. “Politik itu kotor” kata pembohongan
itu. Sedang “Seniman dan sastrawan itu suci” katanya lagi. Tidak perlu
ikut-ikut berpolitik, termasuk dalam berkarya.
LEKRA menentang propaganda bodoh yang hendak
membodohi kaum seniman dan kebudayaan Indonesia itu. Propaganda itu
bertentangan dengan tradisi dan cita-cita Kebangkitan Nasional. Bertentangan
dengan azas demokrasi dari Republik yang baru saja ditegakkan. Bertentangan
dengan sejarah perjuangan kemerdekaan, dengan azas yang disepakati pada Kongres
Kebudayaan Indonesia ke 1 tahun 1948 di Magelang. Tapi apa hendak dikata.
Sedikit banyak propaganda bodoh demikian mempan juga. Bahkan di sana sini ia
berkuasa membodohi sejumlah seniman, sastrawan beserta para pekerja kebudayaan.
Terutama di kalangan muda. Tapi tidak pada seniman setaraf Trisno Soemardjo,
pendukung Manikebu itu. Anda yang tidak percaya, silahkan mencari pidato atau
prasarannya yang absolut anti-KMB pada Konferensi Kebudayaan Indonesia 7-9
Agustus 1950 di Jakarta. Dan syahdan, LEKRA “yang berpolitik” itu, masih belum
lahir ketika Trisno Soemardjo mengucapkan pidato politiknya itu.
Di dalam upaya menentang pembodohan itulah semboyan
“Politik Adalah Panglima” terbentuk dan berperan.
Sehubungan dengan wawasan “politik adalah panglima”
itu, barangkali baik saya catatkan di sini apa yang di lingkungan LEKRA kemudian
dikenal dengan 1.5.1. Yaitu, berazaskan “Politik Adalah Panglima”, melaksanakan
5 kombinasi, melalui cara “Turun Ke Bawah”. Kelima kombinasi itu ialah, “Meluas
dan Meninggi”, “Memadukan Tradisi yang Baik dengan Kekinian Yang Revolusioner”,
“Tinggi Mutu Artistik, Tinggi Mutu Ideologi”, “Memadukan Realisme Revolusioner
dengan Romantisme Revolusioner” dan “Memadukan Kreativitas Individual dengan
Kearifan Massa.”
Lalu, apakah anda melihat di situ, sesuatu mengenai
apa yang pada suatu masa tertentu suka juga diheboh-hebohkan mengenai “Realisme
Sosialis LEKRA” itu? Mengenai “Realisme Sosialis” ini, saya akan mengajak anda
nanti untuk sedikit memasuki hal ikhwalnya di kalangan LEKRA sendiri, dan
sehubungan juga dengan pandangan Soedjatmoko atasnya.
Ini adalah sejenis perangkat lunak pekerjaan
kebudayaan yang dapat diungkai untuk melihat alternatif-alternatif teoritis
yang dikandungnya. Satu per satu azas penciptaan LEKRA itu tentu memerlukan
penjelasan. Yang pada waktunya dapat dikerjakan, sekedar sebagai sebuah
pengalaman dalam pembentukan kebudayaan Indonesia yang nasional dan kerakyatan.
Maka itu, jika eksistensi LEKRA digugat secara
kultural, gugatan itu seyogianya berurusan dengan kaedah-kaedah kultural yang
patriotik, demokratis dan ilmiah yang disandang atau yang ingin disandang
LEKRA. Dan LEKRA dalam menjabarkan kerja dan karyanya, seperti anda lihat
selama organisasinya berfungsi, ia tidak hanya bekerja sama dan membantu kaum
pekerja, tetapi juga kaum tani. Ia tidak hanya membantu dan bekerja sama dengan
kaum buruh dan tani, tetapi juga tentara nasional Indonesia. Di samping, di
mana mungkin membantu Pemerintah, sembari juga jika perlu mengeritiknya.
Sebagai fenomen demokrasi yang tengah dibutuhkan kebudayaan dan sejarah negeri
ini, LEKRA selalu menganggap Pemerintah sebagai pamong yang digaji oleh Rakyat
dan karena itu ia sudah seyogianya mengabdi Rakyat yang berhormat menghormati
mereka.
Rakyat adalah Bapak, bukan Anak. Maka itu kekuasaan
tertinggi yang ada pada negara ini ada di tangannya, yang ia tuangkan ke dalam
lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Tapi ini adalah asal usul. Apakah
keadaannya seperti itu, andalah yang saya minta menjelaskan, karena anda saya
tahu lebih tahu.
Sumber artikel, “Sebuah Mocopat Kebudayan
Indonesia”, yang disiar Majalah Kreasi No 10 1989-1992, halaman 4-15,
terbitan Stichting Budaya, Amsterdam.
0 komentar:
Posting Komentar