Sebaris kata atau
sebutir penting isi Manikebu bunyinya : PANCASILA adalah filsafat
kebudayaan kami. Itu suatu pernyataan, tapi bagaimana sikap-pendirian dan
bagaimana dalam kenyataan perbuatan yang sebenarnya ? Seperti secara gamblang dicontohkan
oleh salah seorang pakar dari Manikebu/KKPI Wiratmo Sukito, yang dikemukakan
dalam tulisan yang diumumkan Majalah Horison Mei 1967 itu. Bukankah suatu bukti
akan kepura-puraan atau kemunafikan kaum Manikebuis ? Terutama sekali dalam hal
Sila Perikemanusiaan atau Humanisme ? Dalam pada itu, mungkin saja, apa yang
telah saya ungkapkan itu jadi penambah kesan dari kalangan pembaca, bahwa
sepertinya saya lagimenangisi apa yang telah terjadi. Padahal, ada saya
utarakan dan yang saya garis-bawahi baris kata-kata Ignazio Silone : Jangan
nangis, jangan ketawa, pahamilah. Tidak. Saya tidak lagi menangisi masa lalu,
khususnya Tragedi Nasional Indonesia, dimana saya sendiri salah seorang
korbannya. Tetapi memang iya, meskipun saya bukan sejarawan, tapi peduli pada
peristiwa bersejarah. Apa pula peristiwa itu menyangkut diri pribadi saya
sendiri. Apalagi, justeru, masalah kesejarahan Indonesia masih semrawut,
dicincang dan diputarbalikkan secara sewenang-wenang. Apalagi masih banyak
hal-ihwal yang masih menjadi tanda-tanya. Dan saya merasa berkepentingan untuk
mencari atau memperoleh jawaban atasnya. Apa Kenapa Bagaimana hal ihwal itu
terjadi, dan seribu tanda tanya lainnya. Dan dari sekian banyak hal yang
menimbulkan tanda tanya besar adalah sekaitan dengan bidang yang saya geluti,
yang sudah sejak masa remaja menjadi perhatian saya. Sampai timbul bencana
berupa Tragedi Nasional yang bukan hanya dengan korbannya seorang atau 7 orang,
melainkan jutaan orang ! Iya. Saya tidak lagi menangisi masa lalu pun masa
kini, karena derita yang ragam macam yang kami alami itu belum berkesudahan.
Tapi, saya ngaku,
memang iya, bukan saja saya tidak bisa melupakannya, melainkan masih menyimpan
ragam macam perasaan dan pikiran. Kata yang paling tepat, ya, itu – seperti
yang digunakan oleh Goenawan Mohamad dalam Tanggapan-nya untuk saya : Masygul !
Betapa tidak. Kalau dari dulu hingga saat ini kami -- secara langsung maupun
tak langsung – masih diposisikan sebagai orang yang tertuding, dengan nada yang
hakikatnya sama dengan tudingan otak Maniebu/KKPI Wiratmo Sukito itu. Terutama
sekali, tentu saja, ujung tombak terarahkan ke diri Pramoedya Ananta Toer –
yang dicap anti-perikemanusiaan atau anti-Pancasila. Oleh karena itu, bagaimana
saya tidak hendak mengungkapkan kekontrasan antara ucapan atau pernyataan kaum
Manikebuis macam Wiratmo Sukito dengan realitas aksi kebiadaban yang
berlangsung di sekitarnya ? Di atas bumi Nusantara yang berubah merah darah ?
Karena seperti dikonstatasi Pramoedya, di negeri ini telah terjadi mandi darah
bangsa sendiri ? Sehingga esais kondang Amerika, Noam Chomsky mengungkapkannya
dalam Bains de Sang dengan « L’Archipel Bloodbath » -- semata-mata untuk
menjadi perbandingannya dengan Archipel du Gulag. Dalam kaitan ini, bagaimana
persisnya antara koar-koar Panca Sila dengan Sila Perikemanusiaannya dan
Humanisme Universil di satu segi, kebanding dengan perbuatan yang nyata yang
berupa kejahatan kemanuisaan. Kejahatan dengan salah satu contoh seperti
dilukiskan oleh Ruslan Widjajasastra. Salah seorang yang dijadikan korbannya.
1 komentar:
Mohon maaf, apakah ini opini?
Posting Komentar