Pengadilan Puisi dan Kredo Puisi
1. Pengadilan Puisi (1974).
Pengadilan Puisi merupakan ”pemberontakan” terhadap dunia perpuisian Indonesia. Pemberontakan tersebut ditujukan kepada kritikus sastra Indonesia, para penyair mapan dan majalah sastra yang ada di Indonesia. Kritikus yang dibidik dalam konteks ini adalah H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, keduanya dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Mereka dianggap tidak mampu lagi mengikuti perkembangan puisi Indonesia mutakhir. Penyair mapan yang dihujat adalah Subagio Sastrowardoyo, Rendra, dan Goenawan Mohamad. Mereka bertiga dianggap menghambat kewajaran perkembangan puisi Indonesia. Adapun. majalah sastra yang dijadikan terdakwa adalah Horison, yang dianggap tidak lagi menampung aspirasi orang banyak karena telah menjadi majalah keluarga atau majalah klik.
Slamet Sukirnanto sebagai jaksa menuding kelemahan para terdakwa dan mengajukan tuntutan sebagai berikut.
1) Para kritikus sastra yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir Indonesia, yakni H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung, harus “dipensiunkan’ dari perannya sebagai kritikus.
2) Redaktur/editor majalah sastra Horison, khususnya Sapardi Djoko Damono, “dicutibesarkan”.
3) Para penyair mapan: Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Darnono, Rendra, dan para epigon mereka, dikenai hukuman pembuangan. Para reinkarnasinya dibuang ke pulau paling terpencil.
4) Majalah Horison dan majalah Budaya Jaya harus dicabut surat izin terbit (SIT)nya, dan yang sudah terbit dinyatakan tidak berlaku. Kedua majalah itu dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum karena akan mengisruhkan perkembangan sastra yang diharapkan sehat dan wajar.
Majelis hakim dalam sidang pengadilan menolak tuntutan jaksa penuntut. Majelis hakim yang diketuai oleh Sanento Yuliman mengambil keputusan yang intinya para kritikus dan para penyair mapan tetap diberi kesempatan berkarya.
Oleh sebab itu, H. B. Jassin mengemukakan sikapnya terhadap pengadilan puisi itu, yang menolak terhadap apa yang dituduhkan kepadanya. H. B. Jassin menganggap bahwa pengadilan puisi itu hanya suatu permainan kanak-kanak yang lucu. Akan tetapi, pengadilan itu merupakan perangsang untuk menimbulkan kesungguhan dalam mencari kebenaran material.
Hampir sama dengan pendirian H. B. Jassin, M. S. Hutagalung dalam makalahnya yang berjudul Puisi Kita Dewasa Ini: menyatakan bahwa dengan pandangan Sukirnanto dalam pengadilan puisi itu ia merasa tidak perlu mengubah prinsip-prinsip yang diyakininya. Pendiriannya itu disertai pula dengan sikapnya terhadap pengadi1an puisi. Tuduhan tentang kesalahan kritikus dalam melihat perkembangan sastra beralasan dan tidak benar. Sudut pandang Sukirnantolah yang brengsek. Dapat dikatakan bahwa pandangan-pandangan Sukimanto adalah pandangan yang tidak sehat.
Sapardi Djoko Damono mengemukakan pendiriannya dalam makalahnya yang berjudulCatatan atas Pengadilan Puisi dan Tuntutan Slamet Sukirnanto sebagai berikut.
Pencacimakian terhadap majalah Horison merupakan tindakan yang aneh karena majalah itu merupakan sumber terpenting bagi puji-pujiannya. Sapardi menganggap bahwa Slamet Sukirnanto merupakan korban kekocakan Darmanto Jatman. Sikap Sapardi itu terlihat juga dalam makalahnya. Sapardi rnenganggap bahwa keputusan pengadilan puisi tidak dapat diterima karena keberadaan majalah Horison tidak ditentukan oleh Slamet Sukirnanto.
1. Kredo Puisi
Kredo Puisi merupakan sikap dan konsep Sutardji Calzoum Bachri dalam penulisan puisi-puisinya. Kredo ini dimuat pertama kali dalam majalah Horison, Desember 1974, lengkapnya berbunyi:
Kredo Puisi
Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Dalam keseharian, kata cenderung dipergunakan untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dan tradisi lapuk yang membelenggu mereka seperti kamus dan penjajahan-.penjajahan seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata-kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata-kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tidak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas: mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga, sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Dan Kata Pertama adalah Mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra.
Jakarta, 30 Maret 1973
0 komentar:
Posting Komentar