Hujan
jatuh. seorang kekasih kuyup di bawah langit
tubuhnya
mencair, menjadi air seni, air sungai, luapan banjir, bensin, kuah bakso, juga darah
ia
jatuh ke tanah, menggigil dan tak bisa lagi mengatakan
“aku mencintaimu” – tapi ia telah
menghabiskan ribuan kata yang sama untukmu
ia
tidak membiarkan siapapun menolongnya, kecuali kata
yang
bibirmu tidak pernah menampungnya, juga menyimpannya
untuk
seorang yang sedang meminta pertolongan kepada hujan
Kau
mungkin kian dengki, wajahmu memerah, kesetanan sambil berkata
“aku juga mencintaimu, bodoh.
tapi aku sungguh membenci hujan,
tempat kau kuyup
lihatlah, betapa menjijikkannya
dirimu.”
tapi,
di dalam engganmu yang raksasa, kau berbisik untuk telingamu sendiri
“sungguh, hujan juga membuatku semakin
mencintaimu, semakin menginginkanmu. sangat”
Seperti
belajar memahami perkataan orang-orang suci
mereka
menyampaikannya dengan sederhana, berhutan, dan membunuh
kita
mudah memahami, tapi lebih mudah tersesat di rimbunnya, hati-hati terbunuh
Kau
memilih tidak pernah mengatakan perasaanmu
sedang
gigil itu adalah panggilan telpon yang berdering, terus menerus.
ia
butuh “halo”, bukan “tut, tut, tut,”
apa
lagi, nomor yang anda hubungi sedang sibuk dengan orang lain, atau berada di
luar jangkauan perasaanmu, tolong tinggalkan ia. mohon.
Seperti
yang kau tulis dalam surat yang tidak pernah kau kirim kepadanya
kau
juga mencintainya, tapi mata siapa yang bisa menjangkau laci mejamu
juga
kobaran api, yang mengabukan kertas-kertas suratmu
ingat,
aku pernah mengirim merapati ke rumahmu?
di
sayap kirinya, aku menyimpan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
belum kau sampaikan kepadaku
bertanyalah
kepadanya. ia baik hati dan juga bisa pergi kapan saja.
Makassar – Februari 2014
0 komentar:
Posting Komentar