Di
atas bukit, tempat ayahmu meninggikan nisan dan merendahkan tubuh
merpati
terbang, rendah, diam-diam mematuk cahaya bulan
seorang
perempuan, berjalan, tegak menuju makam
melapak
karpet, bersila, dan menyisir rambutnya hingga gugur
helai
demi helai
waktu
berlari perlahan, meski gesit, terasa lama sekali
seperti
tawa Ismail, saat ingin disembelih Ibrahim
lambat
dan menipu
Saya
pernah membangun rumah di kaki bukit
tapi
pinokio meminjam pintu dan jendelanya
melengkapi
lengan dan kaki kayunya, kata Gepetto
sayangnya,
dalam kisah ini, peri biru adalah pembohong,
mahir
menyulap kejahatan
pinokio
tak pernah hidup, pintu dan jendela itu kini benar-benar hilang
benar-benar
mati
Dalam
puisi ini
merpati
terbang itu kini berubah menjadi puluhan lengan yang memeluk makam ayahmu
dan
aku adalah pinokio
kayu,
mencintaimu, dan hanya sisa pintu, juga jendela
sedang
peri biru itu adalah puisi ini
yang
mewakili kalimat terakhir pada bait pertama
Bakarlah
tubuhku, kayu yang bukan pembohong, meski hidung ini memang panjang
abunya
kau tabur di makam ayahmu
semoga
ia mengizinkanku mencintaimu
Dan
tolong, sampaikan salamku pada perempuan di bait pertama
ia
adalah jelmaan bulan, yang telah mengumpulkan kayu-kayu
agar
Gepetto tahu, bahwa setiap orang butuh cinta
meskipun
itu tinggi dan penuh rahasia
0 komentar:
Posting Komentar