Sebuah lagu terputar. Dengan
senang hati, aku mendengarnya. Suara Pramoedya Ananta Toer mengawali lagu, “Pram
adalah Pram. Pram adalah Pram.” Kalimat sederhana tapi membuatnya banyak menderita.
Pram kerap dituding
sebagai komunis - juga PKI. Tapi, melalui lagu Catastrope yang berjudul Elegi Untuk Pramoedya Ananta Toer, kita
diajak mengenal siapa Pram sebenarnya.
Jika membaca buku
sejarah atau beberapa pranala yang ada di internet, kita akan mendapatkan beberapa
informasi tentang Pram. Diantaranya, dia adalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra), berhaluan komunis, dan pernah dipenjara belasan tahun pada masa Orde
Baru.
Itu bukan lagi masalah
yang perlu kita debatkan, toh masih ada ribuan orang yang juga bernasib sama
dengan Pram. Dan sampai sekarang, belum ada pernyataan resmi negara untuk
mengakui bahwa itu adalah kesalahan terindah yang pernah dilakukannya. Keji.
***
Pramoedya
Ananta Toer memang tidak bisa lagi dipisahkan dengan karyanya. Melintasi zaman
dan terus bergerak menyadarkan banyak orang akan pentingnya mengetahui sejarah.
Seperti kebanyakan
orang, kita kadang meletakkan Pram – juga karyanya, sebagai alternatif untuk mengenal
sastra dan sejarah Indonesia. Ini membuat karya Pram seperti anak yang tidak
diharapkan lahir, namun ternyata, pada masanya, ia berhasil menciptakan sebuah
hegemoni.
Kerap kali, saya
mendengar ungkapan dari teman-teman yang juga suka membaca karya Pram “buku itu
tidak bagus, mending kamu baca Bumi Manusia, atau Anak Semua Bangsa, karya Pram”.
Itu seperti ungkapan pemerintah, “beralihlah dari bensin bersubsidi ke pertamax.”
Sama-sama menjadikan karya Pram dan pertamax sebagai alternatif.
Membuat orang tahu
betapa pentingnya membaca karya Pram, bukan perkerjaan yang mudah, tapi juga
tidak sulit. Seperti halnya orang tua yang menghegemoni anaknya dengan
ungkapan, surga ada di telapak kaki ibu. Itu membuat banyak anak merasa harus
berbakti lebih giat kepada ibu, jika ingin masuk surga.
***
Saat
diskusi mengenai Pram di halaman Kedai Buku Jenny, seorang teman mengatakan,
bahwa pembaca Pram itu bukan hanya kalangan mahasiswa sastra, aktivis, atau
orang-orang yang memang suka dengan Pram, tapi juga, mahasiswa ekonomi, hukum,
bahkan kedokteran. Cukup beragam. Itu artinya, bahwa pembaca Pram sebenarnya
cukup banyak, dan tidak bisa lagi dikatakan bacaan alternatif.
Tapi,
sampai sekarang, masih ada orang yang senang memperkenalkan karya Pram sebagai alternatif,
seperti yang teman saya lakukan saat melihat temannya membaca teenlit, menyuruhnya untuk beralih
membaca karya Pram.
Sebagai
pembaca, kita bukan diktator yang berkuasa memaksa orang lain membaca apa yang
kita suka. Cukup memperkenalkan apa kenikmatan dan manfaat membaca Pram. Toh, sampai
sekarang, orang-orang lebih senang membeli bensin bersubsidi, dari pada
pertamax. Selain harganya murah, kita memang lebih senang menikmati subsidi. Begitupun
dengan membaca, kita sebaiknya menikmati apa yang kita gemari. Bukan yang apa orang banyak baca.
Selamat mencintai Pram –
juga selamat ulang tahun kepadanya.
0 komentar:
Posting Komentar