Siapa yang tidak kenal Ali Akbar Navis atau yang kerap disapa A.A. Navis? Pasti semua mengenal salah satu sosok terkemuka di kalangan sastrawan Indonesia. Pria kelahiran Kampung Jawa, Padangpanjang, 17 November 1924, ini adalah orang yang asal ceplas-ceplos. Kritik-kritik sosialnya yang pedas mengalir bagaikan air dan jujur apa adanya agar lebih membangkitkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna.
“Yang hitam itu hitam dan yang putih adalah putih.” itulah kata yang sering diucapkan olehnya. Tetapi mungkin kata-kata ini sudah jarang kita dengar, karena pencetus kata-kata tersebut telah kembali kepada yang Kuasa pada umur hampir 79 tahun, sekitar pukul 05.00, Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit Yos Sudarso, Padang. Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Beliau meninggalkan satu orang isteri Aksari Yasin yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini serta sejumlah 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.
Nama pria Minang yang untuk terkenal tidak harus merantau secara fisik, ini menjulang dalam sastra Indonesia sejak cerpennya yang fenomenal “Robohnya Surau Kami” terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.
“Yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi tata nilai.” beliau menjelaskan tentang makna “roboh” dalam judul cerpen fenomenalnya. Beliau memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten dan jujur pada dirinya sendiri. Beliau adalah seorang sastrawan intelektual yang telah banyak menyampaikan pemikiran-pemikiran di pentas nasional dan internasional. Beliau banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi.
Sebenarnya beliau mulai menulis karya-karyanya sejak tahun 1950 tetapi buah penanya tersebut baru dicetak pada tahun 1955. Beliau telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Menulis 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan lainnya dan delapan antologi luar negeri serta 106 makalah yang ditulisnya untuk berbagai kegiatan akademis di dalam maupun di luar negeri dan dihimpun dalam buku ‘Yang Berjalan Sepanjang Jalan’. Novel terbarunya, Saraswati, diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002.
Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami (1955) adalah Bianglala (1963), Hujan Panas (1964); Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), Di Lintasan Mendung (1983), Dialektika Minangkabau (editor 1983), Alam Terkembang Jadi Guru (1984), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990), Cerita Rakyat Sumbar (1994), dan Jodoh (1998).
Beliau adalah penulis yang tidak kenal akan umur. Walaupun usianya sudah tua, beliau masih saja menulis. Buku terakhirnya yang berjudul “Jodoh”, diterbitkan oleh Grasindo, Jakarta atas kerjasama Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation, sebagai kado ulang tahun pada saat usianya genap 75 tahun. Cerpenis gaek dari Padang, A.A. Navis pada 17 November 1999 lalu genap berusia 75 tahun.
“Tidak semua gagasan dan ide dapat diimplementasikan dalam sebuah tulisan, dan bahkan terkadang memerlukan waktu 20 tahun untuk melahirkan sebuah tulisan. Kendati demikian, ada juga tulisan yang dapat diselesaikan dalam waktu sehari saja. Namun, semua itu harus dilaksanakan dengan tekun tanpa harus putus asa. Saya merasa tidak pernah tua dalam menulis segala sesuatu termasuk cerpen,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta.
“Menulis itu sendiri harus dijadikan kebiasaan dan kebutuhan dalam kehidupan.”. Mengapa beliau masih terus menerus menulis sepanjang hidup, sampai tua? “Karena senjata saya hanya menulis. Menulis itu alat, bukan pula alat pokok untuk mencetuskan ideologi saya.” Jawabnya dalam sebuah koran Minggu 7 Desember 1997.
Beliau juga menyinggung tentang karya sastra yang baik. Yang terpenting bagi seorang sastrawan, menurutnya, karyanya awet atau tidak? Ada karya yang bagus, tapi seperti kereta api, hanya tinggal sebentar lalu lewat begitu saja. Itu banyak dan di mana-mana terjadi. Beliau sendiri mengaku menulis dengan satu visi, “Bukan mencari ketenaran”.
“Perkembangan sastra Indonesia sekarang sedang macet, kalau zaman dahulu, ketika masih duduk dibangku SMP dan SMA pengarang sudah mulai menulis buah penanya. Sekarang saya kira tidak ada karya pengarang yang monumental, tetapi yang aneh banyak.” inilah termasuk salah satu ciri dari A.A. Navis yaitu mengeluarkan kritik yang apa adanya demi membangun kesadaran seseorang. Itulah beliau, A.A. Navis sang Kepala Pencemooh.
0 komentar:
Posting Komentar