Saya,
Ayah, dan menulis adalah tiga serangkai yang punyai kaitan sejarah di masa
lalu. Sejak kecil, saya dianggap anak badung dan harus mendapatkan ceramah dari
Ayah setiap melakukan ken-akal-an. Setiap saya diceramahi, pikiran saya
keliling dunia, menemukan pembenaran bahwa mengapa saya harus seperti itu,
mengapa saya harus memukul wajah orang yang memang pantas mendapatkannya,
mengapa saya harus lari dari pesantren, mengapa saya harus ke stadion tanpa
izin untuk menonton sepak bola. Setiap saya diceramahi, Ayah selalu punya kisah
baru tentang dirinya di masa lalu, kadang saya harus menemukan cara agar
mendapat ceramah yang saya inginkan. Untuk tahu apa yang dilakukan oleh Ayah di
masa lalu, saya tinggal melakukan apa yang menurut sebagian orang salah, misalnya
saat tidak memotong rambut, maka Ayah pasti berkisah tentang dia dan rambutnya
di masa lalu. Saya selalu senang dan bahagia mendapatkan kisah-kisah yang tidak
mungkin saya temukan dari orang lain. Intinya, saya kadang melakukan sesuatu
untuk tahu seperti apa Ayah saya di masa lalu tanpa harus memintanya
menjelaskan panjang lebar kepada saya.
Tapi
sampai sekarang satu pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya dari Ayah
adalah, siapa nama yang tersemat dibelakang nama saya. Yah, sejak saya sadar
bahwa saya punya nama, Palogai sudah melekat seperti burung dan sayapnya. Dua
hal yang tidak bisa dipisahkan. Nama itu menjadi populer ketika saya masih SD,
bahkan teman sekelas lebih sering memanggil saya Palogai dari pada sapaan kecil
saya sendiri. Saya sedikit terganggu dan merasa risih. Tapi Ayah senyum-senyum
saja ketika saya Tanya, siapa sebenarnya Palogai.
Saat
saya masih kecil, dihukum adalah kebiasaan yang hampir tiap hari saya dapatkan.
Salah satu cara Ayah menghukum anaknya selain menceramahi adalah dengan
mengambil kertas dan pulpen lalu mengurungnya di kamar, dia hanya berpesan
tulis apa yang kamu inginkan lalu berlalu dengan mengunci pintu dan membiarkan
saya merasa sendiri. Ayah baru membukanya setelah beberapa jam. Di dalam kamar,
saya mulai berfantasi dan mencoba mengeluarkan semua kata yang saya miliki
meskipun tidak ada hubungannya dengan kesalahan saya. Menyedihkan.
Dari
kebiasan dihukum seperti itu saya menjadi sadar bahwa orang tua saya lebih
mudah mengerti apa yang saya inginkan melalui tulisan ketimbang menanyainya
langsung. Sebab untuk anak seperti saya, bersuara di depan Ayah adalah salah
satu hal yang membuat saya malu dan canggung. Kebiasaan itu saya bawa sampai
sekarang. Bahkan parahnya, untuk sekadar meminta uang kepada Ayah, saya selalu
meminta jasa Ibu saya untuk menyampaikannya kepada Ayah.
Setelah
cukup mengerti apa guna sebuah tulisan, pengalaman di masa kecil saya itu
menjadi guru yang cukup berhasil mendekatkan saya dengan dunia tulis menulis.
Saya juga merasa beruntung berada di sebuah rumah yang memiliki perpustakaan
sendiri. Ayah saya adalah salah satu pembaca akut yang sebenarnya tidak pernah
memaksa saya untuk ikut membaca atau senang dengan dunia baca tulis. Tapi
karena semenjak kecil Ayah jarang membelikan mainan, maka saat kecil saya
senang memilih buku-buku yang bersampul bagus lalu membacanya meskipun saya
belum tahu apa maksud tulisan tersebut.
Kembali
lagi pada persoalan kebiasaan, saya akhirnya mulai terbiasa membaca buku. Ayah
saya juga langganan koran, maka kebiasan membaca koran sebelum berangkat ke
sekolah saya lakukan. Saya senang membaca beberapa berita, terutama olah raga.
Dari Koran itu saya banyak tahu nama tokoh-tokoh di Indonesia serta kejadian
menarik apa saja yang terjadi. Hingga suatu hari saya menemukan lembaran koran
yang memuat sebuah puisi, semenjak itu saya mulai suka dan senang membentuk
kata-kata seperti yang saya temukan di koran tersebut.
Semakin
hari, saya mulai menemukan jawaban bahwa menulis adalah pekerjaan yang
mengabadikan. Meskipun selama proses pencarian makna kalimat tersebut, saya
belum berhasil sampai dititik akhir untuk menarik kesimpulan.
Kuliah
di Fakultas Sastra semakin menambah pengetahuan saya tentang dunia kepenulisan,
khusunya puisi. Berdiskusi dan bertukar buka menambah wawasan dan membangkitkan
semua kecamuk dalam kepalaku tentang dunia tulis membaca. Anggapan tiap
anggapan akhirnya tumbang dan saya mantap memilih jalan ini. Meskipun penuh
kesunyian dan kadang harus mengorbankan orang-orang di sekitar saya.
Saya
beranggapan bahwa menulis adalah pekerjaan yang mengabadikan, sekaligus
mengabaikan. Dalam banyak hal, saya hanya mencoba mengabadikan beberapa
kejadian penting yang membuat saya merasa tidak penting untuk masuk ke dalam
tulisan. Kadang sedikit tergesa-gesa, kadang sangat lama, kadang bahkan saya
tidak menulis apa-apa. Menulis seperti juga kutukan, saya akhirnya tidak bisa
meninggalkan pekerjaan menulis. Kesulitan terbaik dari menulis bagi saya adalah
menyambungkan ide ke dalam realitas atau sederhananya memasukkan air ke dalam
bejana. Terbaca sederhana namun butuh pengalaman yang kuat untuk mahir
mengerjakannya.
Setiap
saya menulis, saya selalu merasa diberikan mata baru untuk melihat ke dalam
diri. Tapi semakin banyak mata yang lahir, rasanya semakin sulit pula untuk
melihat ke dalam diri. Saya kadang harus mempekerjakan perasaan saya untuk
berkelahi dengan diri sendiri. Pengalaman terburuk adalah saat harus merelakan
waktu berjalan membawa semua kata yang saya butuhkan sedangkan diri saya
sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itulah saya tidak bisa berdamai dengan
kondisi. Satu-satunya penghibur paling bijak adalah kesimpulan bahwa saya masih
bisa membaca dengan baik.
Pekerjaan
menulis benar-benar telah memisahkan saya dengan diri sendiri, sangat jauh.
Bahkan tanpa sadar saya kadang merasa bertindak diluar diri saya. Suatu kapan,
saya mungkin akan mati dengan keadaan tidak memiliki diri sendiri. Sebab itu,
mungkin menulis adalah tindakan sihir. Simsalabim.
Menulis
saya anggap sebagai pintu masuk kedalam diri saya. Pintu yang memiliki jendela,
akar, kacamata, sekaligus pintu yang memiliki alamnya sendiri. Dalam menulis
saya mencoba menghadirkan diri ke tengah-tengah halaman dimana orang-orang
telah menciptakan pengertian tentang halaman itu sendiri. Semoga saya tidak tersesat.
Ritual
menulis bagi sebagian orang mungkin tidak penting, tapi bagi saya itu adalah
sebuah kewajaran yang akan saya lakukan dengan senang hati. Saya sangat jarang
menemukan masalah dalam menentukan kata pertama saat menulis, maka ritual yang
saya lakukan adalah membaca dengan sinis dan berulang-ulang sampai saya merasa
bahwa tulisan ini jelek kemudian mencampakkannya. Beberapa hari kemudian saya
akan mengunjunginya kembali dan mengubah beberapa kata atau kalimat yang saya
anggap buruk.
Meskipun
saya sendiri tidak yakin bahwa yang saya lakukan selama ini adalah “menulis”
tapi saya selalu percaya bahwa yang saya kerjakan ini adalah kebaikan. Seperti
yang Ayah saya selalu katakan sejak saya kecil, bahwa tersenyum, berbuat baik,
dan beribadah itu adalah standar setiap manusia tanpa memandang
kaya-miskin.