on 9.19.2013
“di kotaku, badik adalah kata lain dari kebenaran
sedangkan matanya adalah keberanian
semakin kau mengasahnya menjadi jiwa, maka semakin kau tidak menemukan muaranya
suatu waktu, badik yang kau hunus akan menjadi sebatang lidi rapuh yang tidak lagi bersepuh
sebab kau selalu menyelipkannya di pinggangmu
sebagai mata angin yang menyesatkan”

“di kotaku, lautan adalah kehidupan
sedangkan ombaknya adalah kemakmuran
semakin kau memperindahnya dengan buatan, maka semakin kau menghilangkan kemurniannya
suatu waktu, lautan yang kau puja itu akan menjadi gemuruh yang meluluhkan kedamaianmu
sebab kau selalu memberinya apa yang tidak lautan butuhkan
sebagai upah dari kekeliaruan kita memahami lautan kehidupan”

hidupilah kehidupanmu dengan apa yang akan menghidupimu
bukan apa yang membuat hidupmu seolah benar, semuanya!



Makassar – dua ribu tiga belas

bagimu adalah perasaanmu dan bagiku adalah perasaanku
aku tidak akan menyatakan apa yang aku rasakan
dan kamu tidak pula perlu mengatakan apa yang aku nyatakan
sungguh, sebaik-baik perasaan adalah yang kita rahasiakan.

mengingatmu adalah cara tersopan
untuk mengatakan bahwa aku menginginkan kita yang lampau
yang mendampa meski dengan jumpa yang seumur imsak

di pelaminan 
matamu adalah duka bagi kesehatanku
yang tempuhnya melemahkan hingga kambuh tidak juga sembuh
kursiku bergerak dari satu rembes ke sisi yang paling sungkan
sekadar menanyakan 
apakah kamu sehat?

semalam aku menghabiskan sabun di kamar mandi ibu
membayangkan tubuhmu yang tak tua-tua itu menindihku dengan kata-kata
semua lekuk yang kamu tutupi adalah bekas puisiku
yang semakin hendak menyengsarakan dirinya sendiri dengan kelambu

semakin aku ingin menyerupai pikiranmu
semakin hilang semua bentuk asli dari rumus-rumus pasti
pada jalannya, aku hanya halaman buku yang kamu baca berdasarkan abjad
masuk sebagai huruf-huruf yang tidak pasti

setiap pagi aku menanam payudada meski akhirnya orang-orang menamainya payudara
lalu aku memintamu untuk mengikat tali jemuran dari dagingku yang sembah di selaput darahmu
agar semua celana dalam yang kamu kaitkan untuk matahari
tidak hinggap di sela selangkangan orang lain yang jahannam

apakah cinta itu selebar teras rumahmu?
pertanyaanku yang kamu sebar menjadi pertanyaan baru
begitulah seterusnya kita biarkan hidup berlalu seperti pertanyaan yang berjalan
dari satu arah ke mata yang lain

itulah mulanya
pada akhirnya kita akan menjadi penjaga rahasia
yang membiarkan kata-kata menanggalkan seragamnya sendiri
sebelum meninggalkan kita dengan doanya yang belum mandiri


Makassar – dua ribu tiga belas

9.19.2013

Badik Lautan

Diposting oleh Unknown di 11.54 0 komentar
“di kotaku, badik adalah kata lain dari kebenaran
sedangkan matanya adalah keberanian
semakin kau mengasahnya menjadi jiwa, maka semakin kau tidak menemukan muaranya
suatu waktu, badik yang kau hunus akan menjadi sebatang lidi rapuh yang tidak lagi bersepuh
sebab kau selalu menyelipkannya di pinggangmu
sebagai mata angin yang menyesatkan”

“di kotaku, lautan adalah kehidupan
sedangkan ombaknya adalah kemakmuran
semakin kau memperindahnya dengan buatan, maka semakin kau menghilangkan kemurniannya
suatu waktu, lautan yang kau puja itu akan menjadi gemuruh yang meluluhkan kedamaianmu
sebab kau selalu memberinya apa yang tidak lautan butuhkan
sebagai upah dari kekeliaruan kita memahami lautan kehidupan”

hidupilah kehidupanmu dengan apa yang akan menghidupimu
bukan apa yang membuat hidupmu seolah benar, semuanya!



Makassar – dua ribu tiga belas

Solilokui

Diposting oleh Unknown di 11.35 0 komentar

bagimu adalah perasaanmu dan bagiku adalah perasaanku
aku tidak akan menyatakan apa yang aku rasakan
dan kamu tidak pula perlu mengatakan apa yang aku nyatakan
sungguh, sebaik-baik perasaan adalah yang kita rahasiakan.

mengingatmu adalah cara tersopan
untuk mengatakan bahwa aku menginginkan kita yang lampau
yang mendampa meski dengan jumpa yang seumur imsak

di pelaminan 
matamu adalah duka bagi kesehatanku
yang tempuhnya melemahkan hingga kambuh tidak juga sembuh
kursiku bergerak dari satu rembes ke sisi yang paling sungkan
sekadar menanyakan 
apakah kamu sehat?

semalam aku menghabiskan sabun di kamar mandi ibu
membayangkan tubuhmu yang tak tua-tua itu menindihku dengan kata-kata
semua lekuk yang kamu tutupi adalah bekas puisiku
yang semakin hendak menyengsarakan dirinya sendiri dengan kelambu

semakin aku ingin menyerupai pikiranmu
semakin hilang semua bentuk asli dari rumus-rumus pasti
pada jalannya, aku hanya halaman buku yang kamu baca berdasarkan abjad
masuk sebagai huruf-huruf yang tidak pasti

setiap pagi aku menanam payudada meski akhirnya orang-orang menamainya payudara
lalu aku memintamu untuk mengikat tali jemuran dari dagingku yang sembah di selaput darahmu
agar semua celana dalam yang kamu kaitkan untuk matahari
tidak hinggap di sela selangkangan orang lain yang jahannam

apakah cinta itu selebar teras rumahmu?
pertanyaanku yang kamu sebar menjadi pertanyaan baru
begitulah seterusnya kita biarkan hidup berlalu seperti pertanyaan yang berjalan
dari satu arah ke mata yang lain

itulah mulanya
pada akhirnya kita akan menjadi penjaga rahasia
yang membiarkan kata-kata menanggalkan seragamnya sendiri
sebelum meninggalkan kita dengan doanya yang belum mandiri


Makassar – dua ribu tiga belas