on 3.28.2013
umur akan sependek bulan, tapi setia akan membuatmu jadi bintang dengan jumlah yang lebih cahaya.

di kolong langit --
ada jembatan penghubung masa
bidadari bahkan kadang tersesat di dalamnya
hanya manusia bulan dan bukan cahaya yang tahu bagaimana cara menemukan ketersesatan itu -

on 3.18.2013

dalam diam:
kita mengayun angin halau
mencoba kebal atas segala coba
tidak rasa lagi pada lalu
kita orangnya sudah kuat saja
namun luka kian dewasa

aku:
hidup hanya mencari kematian
kata-kataku akan hidup lebih juang
puisi-puisiku kelak akan meminta pertanggung jawaban
sedangkan aku tidak cukup kuat lagi
tidak cukup sekadar menolong diri sendiri

kemungkinan:
aku menjadi benci pada ambigu
malam-malam membual
membuang segala kata yang kaku
puisiku mungkin akan dewasa
tapi aku akan mati setelahnya
: Tuhan, aku pulang -

18 Maret 2013
on 3.15.2013

[Sebuah Kajian Histori Singkat tentang Sastra di Indonesia]

SEJARAH SINGKAT MASUKNYA SOSIALIS DI INDONESIA

Sastra-sastra sosialis banyak menggambarkan kondisi serta gejolak masyarakat di masa tersebut. Sastra sosialis banyak muncul di surat kabar-surat kabar (antara lain yang dimuat secara bersambung) yang dikelola oleh para aktivis gerakan, serta sebagian lagi diterbitkan oleh penerbit-penerbit swasta atau badan-badan tertentu (mislanya oleh kantor KPI) berikut merupakan perjalanan sastra Marxis di Indonesia (Teeuw, 1978)
Perkembangan Sastra Marxis di Indonesia dimulai sejak awal abad ke-20. Era ini juga ditandai dengan masuknya modernitas dan disaat yang bersamaan para tokoh-tokoh pribumi menggalang kekuatan dan semangat tentang nasionalisme. Sosialisme di Indonesia sendiri di bawah oleh para tokoh asal Belanda yang beraliran sosial-demokrat, antara lain adalah Sneevliet, Dekker, Bransteder, Baars, Bergsma dan C. Hartogh. Merekalah yang membawa ajaran Marx dan Engles ke Hindia Belanda yang kemudian disebut Indonesia.
Sneevliet mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeninging) pada tahun 1914 kemudian berhasil mengambil peranan penting dalam mempengaruhi organisasi-organisasi pribumi yang telah berdiri sebelumnya dan mampu membuat para tokoh aktivis pergerakan akhirnya lebih condong menjadi sosialis revolusioner. Tokoh Indonesia yang dianggap sebagai pelopor Marxisme adalah Semaoen dan Darsono dari Serikat Islam (SI) Semarang.

MASA AWAL KARYA SASTRA SOSIALIS

            Kondisi politik dan ekonomi di Hindia Belanda pada waktu itu tidak karuan. Ini di akibatkan oleh sistem kolonialisme, lebih terasa lagi ketika pemerintah Hindia Belanda mengubah sistem dari VOC menjadi sistem liberal. Kemudian sistem kerja paksa dihapuskan dan diubah menjadi sistem kerja upah yang bebas. Akhirnya kondisi ini semakin kacau dan membuat para tokoh sastra sosialis semakin kritis. Mereka kemudian menyuarakan perlawanan terhadap sistem kolonialisme di bumi Indonesia melalui tulisan.

Karya-karya yang dianggap sebagai jenis karya sastra perlawanan.
1.      Karangan Hadji Moekti dari tahun 1910 sampai 1912 yang berjudul Hikajat Siti Mariah yang berkisah tentang permasalahan yang terjadi disekitaran sosial, politik dan ekonomi dari berbagai lapisan sosial masyarakat.
2.      Roman Tirto Adhi Soerja, dikarang pada tahun 1912 berjudul Nyai Permana yang berkisah tentang istri Menteri Polisi. Ketika suaminya mengkorup petani saat pembagian tanah, Nyai Permana akhirnya sadar dan memilih untuk berpihak pada petani lalu meninggalkan suaminya, kembali ke desa dan berkumpul bersama para petani.
3.      Hikayat Kodiroen karya Semaoen (kelak menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia) yang di tuliskan pada tahun 1920 berkisah tentang seorang pemuda cerdas bernama Kadirun yang bekerja sebagai pegawai negeri dalam pemerintahan kolonial. Namun melihat penderitaan dan kemiskinan mayarakat akhirnya ia kecewa kepada pemerintah Hindia Belanda dan memilih untuk bergabung bersama took-tokoh PKI yang mengajarkannya tentang teori-teori perjuangan dan perlawanan. Akhirnya pimpinanya mengetahui gerak-gerik Kadirun dan menyuruhnya memilih jabatannya atau partai yang akan membuat dirinya dipecat dari jabatannya. Kadirun kemudian memilih untuk ikut dalam kegiatan politik PKI, karena menurutnya hanya dengan cara seperti itu dia bias memperjuangkan cita-cita dan kebahagiaan rakyat.

Perkembangan sastra marxis atau dikenal juga dengan istilah sastra sosialis di Hindia Belanda semakin matang. Karya-karya yang muncul juga semakin kritis dan penuh perlawanan. Salah satu karya yang dianggap sangat keras pada masanya adalah karya milik Marco Kortodikromo yang berjudul Mata Gelap (1914), isinya di penuhi oleh pornografi dan mendapatkan kecaman oleh masyarakat waktu itu. Akhirnya dia membuat satu karya lagi yang berjudul Student Hidjo (1918) berkisah tentang awal munculnya intelektual Indonesia dari kelas borjuis kecil, foedal, birokrat yang bermental lemah, dan beruntung karena memiliki kesempatan untuk  mendapatkan pendidikan Barat bahkan sampai ke luar negeri.
Kaum sastra sosialis akhirnya digolongkan kedalam “sastra pinggiran” yang karyanya oleh sebagian kritikus sastra di Indoneia tidak dimasukan dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia. Sebagiannya lagi menganggap bahwa karya-karya yang pernah muncul dari sastra sosilialah yang dianggap mewakili keadaan Indonesia pada waktu itu.

KEMUNDURAN SASTRA SOSIALIS DAN DOMINASI BALAI PUSTAKA

                Salah satu alasan kemunduran sastra sosialis adalah hegemoni Balai Pustaka yang pengaruhnya semakin kuat dan meluas di Indonesia. Disamping itu tokoh sastra sosialis tidak mampu bertahan dalam dunia kesusastraan akibat pencekalan karyanya dan keaktifan dalam pergerakan politik. Sebagaian tokoh sastra sosialis juga ditahan oleh pemerintah kolonial dan ada juga yang diasingkan.
Karya-karya yang dihasilkan oleh Balai Pustaka akhirnya dianggap sebagai cerminan masyarakat waktu itu. Karya Abdoel Moeis yang berjudul Salah Asuhan (1928) menjadi bukti usaha Balai Pustaka untuk menampilkan karya bermutu dan mengenyampingkan persoalan politik. Melalui karya tersebut Balai Pustaka seaolah-olah ingin mengubah paradigma tokoh sastra sosialis bahwa kita tetap bisa membuat karya sastra yang bermutu tanpa harus menghubungkannya dengan politik.
Balai Pustaka akhirnya muncul sebagai simbol baru kesusastraan Indonesia yang dianggap lebih bermartabat namun nyatanya kurang memperhatikan lagi kondisi sosial masyaratkat pada masa itu, sedangkan jika dimaknai, karya sastra itu sendiri adalah cerminan dari masyarakat. Mungkin inilah yang disebut oleh WS. Rendra dalam “Sajak Sebatang Lisong” sebagai penyair-penyair salon.
Takdir Alisjahbana dalam karyanya, Layar Terkembang (1936) dan Armijn Pane dengan novel Belenggu (1940) pernah mencoba untuk kembali memunculkan semangat ke-Indonesia-an sebagai gerakan untuk menolak kolonialisme. Namun nyatanya, kedua karya tersebut dianggap masih jauh dari semangat ketika sastra-sastra sosialis, apa lagi realisme sastra.
Namun beruntung pada masa itu Pramoedya Ananta Toer berhasil membuat karya sastra yang dianggap mampu mewakili kata “perlawanan” yang selama ini diusahakan oleh tokoh-tokoh sastra sosialis. Namun kembali lagi harus mendapatkan pencekalan oleh pemerintah pada waktu itu. Beberapa buku Pramoedya akhirnya diterbitkan di luar negeri.

Daftar Pustaka:
Faruk, 1994. Pengantar Sosilogi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniawan, Eka. 1999. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia.
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra. Malang: UMM Press.

*anggap saja sebagai catatan bawah: tulisan ini hanya sebuah kajian histori singkat tentang sastra sosialis di Indonesia. Masih minim referensi dan bagi pembaca ada baiknya untuk memberikan kritik yang membangun guna pengembangan pengetahuan.
on 3.13.2013

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sebdiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga–sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.
Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Bandung, 30 Maret 1973
on 3.12.2013
[kisah kartu nama dan cincin]

pernah coba membunuh diri. bertahun sesal menjadi langit-langit mendung yang tak pernah hasilkan hujan. di bawah wabah rindu menerkam kejam dengan caranya yang menyayat. aku menjadi sepotong jari yang kehilangan kuku-kuku putih tidak berdarah. lalu ayat-ayat aku baca mayat.

namun akhirnya, aku mencintai hujan:
malam ini hujan jelma rinai terakhir. kita batal pulang, hujan mendadak nakal. menghitung rintik yang rambat dari celah atap pohon yang malu-malu: berdua saja, semakin beradu.
saat seperti ini aku membenci waktu. aku lebih suka hujan yang menjebak. ingin rasanya aku tikam jantung detaknya yang seolah menegur untuk menembus badai malam ini saja. kita bertahan dengan alasan takut basah dan pisah.

aku suka kata dua, sebab disana ada aku dan kamu yang selalu menjadi akhir tanpa berakhir. di saku bajumu ada kartu nama percetakan undangan. aku tahu, kau ingin berikan itu kepadaku. maaf, aku belum punya cincin untuk membalas karta nama itu.

akhirnya, sengaja aku basahkan sakumu agar karta nama itu menjadi luntur. kau terpaksa mengeluarkannya, dugaanku benar, luntur dan menyisahkan kata kahni yang aku baci sebagai kenduri setia kita: pernikahan -
on 3.09.2013
bulan telah cukup redup dipelukanku. aku sangkakala malam yang cukup setia menunggu jatuhnya suara terompet dalam benar. mengunang dengan sayap patahnya cahaya. jatuh tepat pada ranjang yang kakinya telah pohon. aku berbaring semesta dengan segala prahara yang meniduriku mesra. tidak ingat lagi bagitu banyak tentang selimut, bantal ataupun gulingku yang lebih tertidur dari pada lelapku.

tentang penerimaan:
-- dia ada di jari manismu melingkar rapi. 
maaf, jika aku terpaksa memisahkan jarimu dengan tanganmu: cemburuku berumur sepekan lebih tua dari dia.

pada akar malam yang menyerap segala daya air ingatanku akal
kita pernah menyamakan pelukan dengan ingat lalu memisahkan dengan hangat. seandainya seangan itu melakukannya lupa, tidak akan ada puisi ini, tidak akan aku bacakan untuk telingamu, tidak akan aku paksa  hingga hatimu. membiarkannya begitu saja.

tentang penerimaan
-- di belakang namamu kini ada namanya mendiam mesra.
maaf, aku memaksamu untuk memasukkan namaku sebab jauh sebelumnya kita pernah dengan ikhlas saling meletakkan nama masing-masing dalam hangat.

pada akhirnya. malam yang membawamu pulang dan subuh membuatku harus menerima segala tiba.
aku letakkan ikhlas jauh lebih tinggi dari batas langit yang aku jangkau indra.










on 3.06.2013
air mata bukan hanya tentang kesedihan. ada banyak bahagia yang perlu kau tangisi. pertemuan juga kadang mengajarkan air mata, namun perpisahanlah yang lebih terasa.
-- ada yang lebih dewasa dari pada umur: pikiran.

jika mataku mulai menjadi tanda tanya untukmu. kau mungkin menemukan jawaban dari pergumalanmu dengan hidup. ada yang harus kau ikhlaskan, sebab sepasang tangannya telah amputasi memelukmu.
kadang dengan berjalan mundur kau akan tahu betapa dekat jarak kita. sayangnya, kamu enggan melakukannya untukku.

hingga tiba pisah, kita masih bernostalgia dengan cangkir bir hitam. lekatnya tumpah pada secarik kertas usang yang mungkin akan kau sesali: surat terakhir. setelahnya menjadi kabar yang hambar.

ada yang harus meninggalkan dan ada yang enggan ditinggalkan. namun perjalanan tidak akan pernah usai dihabiskan oleh pisah. masih ada temu selanjutnya, meskipun beda.



[kepada para pejuang hak]

sore yang kumat. berpenjara pada jalan panjang tidak kenal ujung. dimana sandarkan lelah itulah rumah. pulang dan membaca.
seharusnya bisa lebih juang lagi. mati hanyalah persoalan nasib.

berjuang adalah mempertahankan. mereka yang hidup dalam kebenaran tidak akan pernah tenang jika masih ada keluh tentang lapar dan tidak adil.

jalan panjang paling awal. senjata negara selalu membiarkan pelurunya terbang rendah diatas kepala pejuang negara. pejuang tidak akan pernah mengeluh. tabah adalah jalan satu-satunya dan menerima tiba adalah sebuah keikhlasan.

manuskrip indonesia. setelah membaca negara:
ada yang lebih hina dari penghianat, mereka yang lebih kenyang dari kelaparan saudara sendiri.
ada yang lebih hina dari pendusta, mereka yang lebih mewah dari kemiskinan saudara sendiri.
ada yang lebih hina dari pembohong, mereka yang lebih senang dari sedih saudara sendiri.
jika kita saudara, mengapa ada yang harus sangat kaya diantara rumah gubuk.
mengapa harus ada yang bayinya tidur kenyang dan ada yang bayinya mati kelaparan.

itulah mengapa pejuang hak selalu hidup lebih mati dari yang lain. mereka adalah korban dari semua korban. hidupnya dihantui pembunuhan dan matinya dikenang sebagai lupa.
sebab di mata negara, yang mengusik ketenangan raja adalah musuh bagi negara.

tidak salah jika di negara ini ada yang menjajah atas tanah sendiri dan yang dijajah adalah saudara sendiri. sebab perut kita berbeda dan raja lebih memilih mengorbankan pionnya dari pada ratunya sendiri.
-         -  indonesia
on 3.05.2013
berseteru dengan waktu. kadang lebih butuh hitungan jam dari pada detik yang lincah memutar sudut keadaan. nafas menjadi perihal tidak masuk akal yang mungkin lebih nyata dari pada janji.
-- di dinding, memoster bayangan masa yang sulit untuk kau ulangi. bisa saja itu berbentuk penyesalan yang entah.

melihat bayangan yang memayat kelam. ada yang lebih sakit dari sebuah derita tanpa batas: penyesalan ranjang kumat yang meniduri segala mimpimu. lalu kamu menjadi patung yang bernafas dengan rongga sesak sebuah corong kekalahan.

dalam tidur semua menjadi lebih mudah, sebab hanya mimpi yang menarungkan dirinya sendiri. kamu memejam mati sesaat. saat sadar, senyummu bahagia dan sedihmu adalah kutup dari kutuk yang saling berjarak jaga.

akhirnya kepergian jugalah yang paling menakutkan. banyak sepasang akhirnya yang saling berpaling setelahnya. seakan tidak pernah kenal lalu pura-pura tersenyum saat kembali bertemu di sebuah pesta pernikahan sahabatnya dulu.

-- waktu memang adalah badik paling hunus yang mengancam tanpa terlepas dari warangkanya sendiri. 
on 3.03.2013

pada sebuah ingin yang dingin:

ada hilang yang begitu jujur

aku semakin menjadi perasa yang kalah

setelah cukup tua menjadi pura-pura yang kuat

pada sebuah harap yang bersahabat

ada kujur yang membujur di atas kasur

aku lekat yang semakin mayat

setelah cukup lama menggenggam harap

sila pilah untuk pilih

tapi jangan membedakan dengan nasib saja

lalu menjadi tekan pada sebuah akhir hayat yang jatuh di jendela takdir

aku semakin menjadi perasa yang kalah

setelah cukup tua menjadi pura-pura yang kuat

aku lekat yang semakin mayat

setelah cukup lama menggenggam harap

- pada sebuah ingin: aku adalah bahagia yang hidup

Makassar, Maret 2013

3.28.2013

MANUSIA BULAN

Diposting oleh Unknown di 07.44 0 komentar
umur akan sependek bulan, tapi setia akan membuatmu jadi bintang dengan jumlah yang lebih cahaya.

di kolong langit --
ada jembatan penghubung masa
bidadari bahkan kadang tersesat di dalamnya
hanya manusia bulan dan bukan cahaya yang tahu bagaimana cara menemukan ketersesatan itu -

3.18.2013

Dalam Diam: Aku Kemungkinan

Diposting oleh Unknown di 06.44 7 komentar

dalam diam:
kita mengayun angin halau
mencoba kebal atas segala coba
tidak rasa lagi pada lalu
kita orangnya sudah kuat saja
namun luka kian dewasa

aku:
hidup hanya mencari kematian
kata-kataku akan hidup lebih juang
puisi-puisiku kelak akan meminta pertanggung jawaban
sedangkan aku tidak cukup kuat lagi
tidak cukup sekadar menolong diri sendiri

kemungkinan:
aku menjadi benci pada ambigu
malam-malam membual
membuang segala kata yang kaku
puisiku mungkin akan dewasa
tapi aku akan mati setelahnya
: Tuhan, aku pulang -

18 Maret 2013

3.15.2013

Meredam Sastra Marxis (Sosialis) dengan Simbol “Balai Pustaka”

Diposting oleh Unknown di 04.22 0 komentar

[Sebuah Kajian Histori Singkat tentang Sastra di Indonesia]

SEJARAH SINGKAT MASUKNYA SOSIALIS DI INDONESIA

Sastra-sastra sosialis banyak menggambarkan kondisi serta gejolak masyarakat di masa tersebut. Sastra sosialis banyak muncul di surat kabar-surat kabar (antara lain yang dimuat secara bersambung) yang dikelola oleh para aktivis gerakan, serta sebagian lagi diterbitkan oleh penerbit-penerbit swasta atau badan-badan tertentu (mislanya oleh kantor KPI) berikut merupakan perjalanan sastra Marxis di Indonesia (Teeuw, 1978)
Perkembangan Sastra Marxis di Indonesia dimulai sejak awal abad ke-20. Era ini juga ditandai dengan masuknya modernitas dan disaat yang bersamaan para tokoh-tokoh pribumi menggalang kekuatan dan semangat tentang nasionalisme. Sosialisme di Indonesia sendiri di bawah oleh para tokoh asal Belanda yang beraliran sosial-demokrat, antara lain adalah Sneevliet, Dekker, Bransteder, Baars, Bergsma dan C. Hartogh. Merekalah yang membawa ajaran Marx dan Engles ke Hindia Belanda yang kemudian disebut Indonesia.
Sneevliet mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeninging) pada tahun 1914 kemudian berhasil mengambil peranan penting dalam mempengaruhi organisasi-organisasi pribumi yang telah berdiri sebelumnya dan mampu membuat para tokoh aktivis pergerakan akhirnya lebih condong menjadi sosialis revolusioner. Tokoh Indonesia yang dianggap sebagai pelopor Marxisme adalah Semaoen dan Darsono dari Serikat Islam (SI) Semarang.

MASA AWAL KARYA SASTRA SOSIALIS

            Kondisi politik dan ekonomi di Hindia Belanda pada waktu itu tidak karuan. Ini di akibatkan oleh sistem kolonialisme, lebih terasa lagi ketika pemerintah Hindia Belanda mengubah sistem dari VOC menjadi sistem liberal. Kemudian sistem kerja paksa dihapuskan dan diubah menjadi sistem kerja upah yang bebas. Akhirnya kondisi ini semakin kacau dan membuat para tokoh sastra sosialis semakin kritis. Mereka kemudian menyuarakan perlawanan terhadap sistem kolonialisme di bumi Indonesia melalui tulisan.

Karya-karya yang dianggap sebagai jenis karya sastra perlawanan.
1.      Karangan Hadji Moekti dari tahun 1910 sampai 1912 yang berjudul Hikajat Siti Mariah yang berkisah tentang permasalahan yang terjadi disekitaran sosial, politik dan ekonomi dari berbagai lapisan sosial masyarakat.
2.      Roman Tirto Adhi Soerja, dikarang pada tahun 1912 berjudul Nyai Permana yang berkisah tentang istri Menteri Polisi. Ketika suaminya mengkorup petani saat pembagian tanah, Nyai Permana akhirnya sadar dan memilih untuk berpihak pada petani lalu meninggalkan suaminya, kembali ke desa dan berkumpul bersama para petani.
3.      Hikayat Kodiroen karya Semaoen (kelak menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia) yang di tuliskan pada tahun 1920 berkisah tentang seorang pemuda cerdas bernama Kadirun yang bekerja sebagai pegawai negeri dalam pemerintahan kolonial. Namun melihat penderitaan dan kemiskinan mayarakat akhirnya ia kecewa kepada pemerintah Hindia Belanda dan memilih untuk bergabung bersama took-tokoh PKI yang mengajarkannya tentang teori-teori perjuangan dan perlawanan. Akhirnya pimpinanya mengetahui gerak-gerik Kadirun dan menyuruhnya memilih jabatannya atau partai yang akan membuat dirinya dipecat dari jabatannya. Kadirun kemudian memilih untuk ikut dalam kegiatan politik PKI, karena menurutnya hanya dengan cara seperti itu dia bias memperjuangkan cita-cita dan kebahagiaan rakyat.

Perkembangan sastra marxis atau dikenal juga dengan istilah sastra sosialis di Hindia Belanda semakin matang. Karya-karya yang muncul juga semakin kritis dan penuh perlawanan. Salah satu karya yang dianggap sangat keras pada masanya adalah karya milik Marco Kortodikromo yang berjudul Mata Gelap (1914), isinya di penuhi oleh pornografi dan mendapatkan kecaman oleh masyarakat waktu itu. Akhirnya dia membuat satu karya lagi yang berjudul Student Hidjo (1918) berkisah tentang awal munculnya intelektual Indonesia dari kelas borjuis kecil, foedal, birokrat yang bermental lemah, dan beruntung karena memiliki kesempatan untuk  mendapatkan pendidikan Barat bahkan sampai ke luar negeri.
Kaum sastra sosialis akhirnya digolongkan kedalam “sastra pinggiran” yang karyanya oleh sebagian kritikus sastra di Indoneia tidak dimasukan dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia. Sebagiannya lagi menganggap bahwa karya-karya yang pernah muncul dari sastra sosilialah yang dianggap mewakili keadaan Indonesia pada waktu itu.

KEMUNDURAN SASTRA SOSIALIS DAN DOMINASI BALAI PUSTAKA

                Salah satu alasan kemunduran sastra sosialis adalah hegemoni Balai Pustaka yang pengaruhnya semakin kuat dan meluas di Indonesia. Disamping itu tokoh sastra sosialis tidak mampu bertahan dalam dunia kesusastraan akibat pencekalan karyanya dan keaktifan dalam pergerakan politik. Sebagaian tokoh sastra sosialis juga ditahan oleh pemerintah kolonial dan ada juga yang diasingkan.
Karya-karya yang dihasilkan oleh Balai Pustaka akhirnya dianggap sebagai cerminan masyarakat waktu itu. Karya Abdoel Moeis yang berjudul Salah Asuhan (1928) menjadi bukti usaha Balai Pustaka untuk menampilkan karya bermutu dan mengenyampingkan persoalan politik. Melalui karya tersebut Balai Pustaka seaolah-olah ingin mengubah paradigma tokoh sastra sosialis bahwa kita tetap bisa membuat karya sastra yang bermutu tanpa harus menghubungkannya dengan politik.
Balai Pustaka akhirnya muncul sebagai simbol baru kesusastraan Indonesia yang dianggap lebih bermartabat namun nyatanya kurang memperhatikan lagi kondisi sosial masyaratkat pada masa itu, sedangkan jika dimaknai, karya sastra itu sendiri adalah cerminan dari masyarakat. Mungkin inilah yang disebut oleh WS. Rendra dalam “Sajak Sebatang Lisong” sebagai penyair-penyair salon.
Takdir Alisjahbana dalam karyanya, Layar Terkembang (1936) dan Armijn Pane dengan novel Belenggu (1940) pernah mencoba untuk kembali memunculkan semangat ke-Indonesia-an sebagai gerakan untuk menolak kolonialisme. Namun nyatanya, kedua karya tersebut dianggap masih jauh dari semangat ketika sastra-sastra sosialis, apa lagi realisme sastra.
Namun beruntung pada masa itu Pramoedya Ananta Toer berhasil membuat karya sastra yang dianggap mampu mewakili kata “perlawanan” yang selama ini diusahakan oleh tokoh-tokoh sastra sosialis. Namun kembali lagi harus mendapatkan pencekalan oleh pemerintah pada waktu itu. Beberapa buku Pramoedya akhirnya diterbitkan di luar negeri.

Daftar Pustaka:
Faruk, 1994. Pengantar Sosilogi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniawan, Eka. 1999. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia.
Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra. Malang: UMM Press.

*anggap saja sebagai catatan bawah: tulisan ini hanya sebuah kajian histori singkat tentang sastra sosialis di Indonesia. Masih minim referensi dan bagi pembaca ada baiknya untuk memberikan kritik yang membangun guna pengembangan pengetahuan.

3.13.2013

Kredo Puisi oleh Sutardji Calzoum Bachri

Diposting oleh Unknown di 22.04 0 komentar

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.
Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari diatas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sebdiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga–sepanjang tidak mengganggu kebebasannya– agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.
Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Bandung, 30 Maret 1973

3.12.2013

Berdua yang Sederhana

Diposting oleh Unknown di 12.08 0 komentar
[kisah kartu nama dan cincin]

pernah coba membunuh diri. bertahun sesal menjadi langit-langit mendung yang tak pernah hasilkan hujan. di bawah wabah rindu menerkam kejam dengan caranya yang menyayat. aku menjadi sepotong jari yang kehilangan kuku-kuku putih tidak berdarah. lalu ayat-ayat aku baca mayat.

namun akhirnya, aku mencintai hujan:
malam ini hujan jelma rinai terakhir. kita batal pulang, hujan mendadak nakal. menghitung rintik yang rambat dari celah atap pohon yang malu-malu: berdua saja, semakin beradu.
saat seperti ini aku membenci waktu. aku lebih suka hujan yang menjebak. ingin rasanya aku tikam jantung detaknya yang seolah menegur untuk menembus badai malam ini saja. kita bertahan dengan alasan takut basah dan pisah.

aku suka kata dua, sebab disana ada aku dan kamu yang selalu menjadi akhir tanpa berakhir. di saku bajumu ada kartu nama percetakan undangan. aku tahu, kau ingin berikan itu kepadaku. maaf, aku belum punya cincin untuk membalas karta nama itu.

akhirnya, sengaja aku basahkan sakumu agar karta nama itu menjadi luntur. kau terpaksa mengeluarkannya, dugaanku benar, luntur dan menyisahkan kata kahni yang aku baci sebagai kenduri setia kita: pernikahan -

3.09.2013

Telah Cukup Redup di Pelukanku: Bulan

Diposting oleh Unknown di 09.40 0 komentar
bulan telah cukup redup dipelukanku. aku sangkakala malam yang cukup setia menunggu jatuhnya suara terompet dalam benar. mengunang dengan sayap patahnya cahaya. jatuh tepat pada ranjang yang kakinya telah pohon. aku berbaring semesta dengan segala prahara yang meniduriku mesra. tidak ingat lagi bagitu banyak tentang selimut, bantal ataupun gulingku yang lebih tertidur dari pada lelapku.

tentang penerimaan:
-- dia ada di jari manismu melingkar rapi. 
maaf, jika aku terpaksa memisahkan jarimu dengan tanganmu: cemburuku berumur sepekan lebih tua dari dia.

pada akar malam yang menyerap segala daya air ingatanku akal
kita pernah menyamakan pelukan dengan ingat lalu memisahkan dengan hangat. seandainya seangan itu melakukannya lupa, tidak akan ada puisi ini, tidak akan aku bacakan untuk telingamu, tidak akan aku paksa  hingga hatimu. membiarkannya begitu saja.

tentang penerimaan
-- di belakang namamu kini ada namanya mendiam mesra.
maaf, aku memaksamu untuk memasukkan namaku sebab jauh sebelumnya kita pernah dengan ikhlas saling meletakkan nama masing-masing dalam hangat.

pada akhirnya. malam yang membawamu pulang dan subuh membuatku harus menerima segala tiba.
aku letakkan ikhlas jauh lebih tinggi dari batas langit yang aku jangkau indra.










3.06.2013

Surat Terakhir

Diposting oleh Unknown di 07.08 0 komentar
air mata bukan hanya tentang kesedihan. ada banyak bahagia yang perlu kau tangisi. pertemuan juga kadang mengajarkan air mata, namun perpisahanlah yang lebih terasa.
-- ada yang lebih dewasa dari pada umur: pikiran.

jika mataku mulai menjadi tanda tanya untukmu. kau mungkin menemukan jawaban dari pergumalanmu dengan hidup. ada yang harus kau ikhlaskan, sebab sepasang tangannya telah amputasi memelukmu.
kadang dengan berjalan mundur kau akan tahu betapa dekat jarak kita. sayangnya, kamu enggan melakukannya untukku.

hingga tiba pisah, kita masih bernostalgia dengan cangkir bir hitam. lekatnya tumpah pada secarik kertas usang yang mungkin akan kau sesali: surat terakhir. setelahnya menjadi kabar yang hambar.

ada yang harus meninggalkan dan ada yang enggan ditinggalkan. namun perjalanan tidak akan pernah usai dihabiskan oleh pisah. masih ada temu selanjutnya, meskipun beda.


Manuskrip Indonesia

Diposting oleh Unknown di 03.02 0 komentar

[kepada para pejuang hak]

sore yang kumat. berpenjara pada jalan panjang tidak kenal ujung. dimana sandarkan lelah itulah rumah. pulang dan membaca.
seharusnya bisa lebih juang lagi. mati hanyalah persoalan nasib.

berjuang adalah mempertahankan. mereka yang hidup dalam kebenaran tidak akan pernah tenang jika masih ada keluh tentang lapar dan tidak adil.

jalan panjang paling awal. senjata negara selalu membiarkan pelurunya terbang rendah diatas kepala pejuang negara. pejuang tidak akan pernah mengeluh. tabah adalah jalan satu-satunya dan menerima tiba adalah sebuah keikhlasan.

manuskrip indonesia. setelah membaca negara:
ada yang lebih hina dari penghianat, mereka yang lebih kenyang dari kelaparan saudara sendiri.
ada yang lebih hina dari pendusta, mereka yang lebih mewah dari kemiskinan saudara sendiri.
ada yang lebih hina dari pembohong, mereka yang lebih senang dari sedih saudara sendiri.
jika kita saudara, mengapa ada yang harus sangat kaya diantara rumah gubuk.
mengapa harus ada yang bayinya tidur kenyang dan ada yang bayinya mati kelaparan.

itulah mengapa pejuang hak selalu hidup lebih mati dari yang lain. mereka adalah korban dari semua korban. hidupnya dihantui pembunuhan dan matinya dikenang sebagai lupa.
sebab di mata negara, yang mengusik ketenangan raja adalah musuh bagi negara.

tidak salah jika di negara ini ada yang menjajah atas tanah sendiri dan yang dijajah adalah saudara sendiri. sebab perut kita berbeda dan raja lebih memilih mengorbankan pionnya dari pada ratunya sendiri.
-         -  indonesia

3.05.2013

berseteru dengan waktu

Diposting oleh Unknown di 08.58 0 komentar
berseteru dengan waktu. kadang lebih butuh hitungan jam dari pada detik yang lincah memutar sudut keadaan. nafas menjadi perihal tidak masuk akal yang mungkin lebih nyata dari pada janji.
-- di dinding, memoster bayangan masa yang sulit untuk kau ulangi. bisa saja itu berbentuk penyesalan yang entah.

melihat bayangan yang memayat kelam. ada yang lebih sakit dari sebuah derita tanpa batas: penyesalan ranjang kumat yang meniduri segala mimpimu. lalu kamu menjadi patung yang bernafas dengan rongga sesak sebuah corong kekalahan.

dalam tidur semua menjadi lebih mudah, sebab hanya mimpi yang menarungkan dirinya sendiri. kamu memejam mati sesaat. saat sadar, senyummu bahagia dan sedihmu adalah kutup dari kutuk yang saling berjarak jaga.

akhirnya kepergian jugalah yang paling menakutkan. banyak sepasang akhirnya yang saling berpaling setelahnya. seakan tidak pernah kenal lalu pura-pura tersenyum saat kembali bertemu di sebuah pesta pernikahan sahabatnya dulu.

-- waktu memang adalah badik paling hunus yang mengancam tanpa terlepas dari warangkanya sendiri. 

3.03.2013

pada sebuah ingin: aku

Diposting oleh Unknown di 22.06 0 komentar

pada sebuah ingin yang dingin:

ada hilang yang begitu jujur

aku semakin menjadi perasa yang kalah

setelah cukup tua menjadi pura-pura yang kuat

pada sebuah harap yang bersahabat

ada kujur yang membujur di atas kasur

aku lekat yang semakin mayat

setelah cukup lama menggenggam harap

sila pilah untuk pilih

tapi jangan membedakan dengan nasib saja

lalu menjadi tekan pada sebuah akhir hayat yang jatuh di jendela takdir

aku semakin menjadi perasa yang kalah

setelah cukup tua menjadi pura-pura yang kuat

aku lekat yang semakin mayat

setelah cukup lama menggenggam harap

- pada sebuah ingin: aku adalah bahagia yang hidup

Makassar, Maret 2013