on 10.14.2013
(sebuah catatan tidak penting dari seorang yang gila)

            Masih akrab di mata penyimak berita, kasus Andrea Hirata, seorang penulis buku trilogi Laskar Pelangi mengklaim bahwa karyanya telah mendapat pengakuan international best seller. Kemudian Damar Juniarto, seorang publisis membuat tulisan untuk meng-cross check beberapa pernyataan Andrea Hirata, diantaraanya adalah yang menyebutkan bahwa novelnya akan diterbitkan ulang oleh Farrar, Straus, dan Girroux (FSG), penerbit internasional yang menerbitkan buku-buku pemenang Nobel sastra. Hasilnya, menurut Damar Juniarto, Laskar Pelangi diterbitkan oleh imprint FSG, yaitu Sarah Crichton Books.
Kedua, soal pernyataan Andrea bahwa selama 100 tahun tidak ada karya anak bangsa yang mendunia. Hal ketiga yang diverifikasi Damar adalah klaim international best-seller untuk Laskar Pelangi. Menurutnya, dasar pencantuman label “international best-seller” pada novel Laskar Pelangi tidak jelas.
Alih-alih meluruskan masalah, Andrea Hirata bahkan berniat menggugat Damar Juniarto ke pihak berwajib. Tidak berhenti sampai disitu, “kubu-kubu” Damar Juniarto kemudian membalas ancaman Andrea Hirata dengan berbagai kritikan.

***
           
Contoh kasus di atas memang mengerikan untuk menjadi bahan pembelajaran. Penulis mengambil contoh kasus di atas bukan untuk mengungkit kejadian yang telah berlalu ataupun menghakimi Andrea Hirata dan membela Damar Juniarto, tetapi penulis merasa bahwa perlu membuka ulang sebuah permasalahan sebagai pembelajaran untuk menyikapi perbedaan dan menerima kritikan.
Jika kita telaah kasus di atas, salah satu pemicu orgasme pada masalah tersebut adalah, “kubu-kubu” yang saling melancarkan serangan. Kubu-kubu inilah yang akhirnya saling melibatkan diri dan menyulutkan ketidaksepahaman terhadap sebuah gagasan. Pada akhirnya, masalah yang sebenarnya hanya perlu diselesaikan oleh dua orang malah semakin ramai dan memperlihatkan betapa kita tidak bisa menerima sebuah perbedaan.
Dalam sejarahnya, kita sering dituding sebagai manusia Indonesia yang bermental budak, tudingan ini terjadi akibat lamanya nusantara kita dijajah oleh bangsa yang lebih terkontrol dan dapat memanfaatkan peluang invasi terhadap suatu wilayah.
Untuk lepas dari mental tersebut dibutuhkan pendidikan karakter yang mengakar dalam kepala setiap manusia Indonesia. Tetapi bukan berarti bahwa kita juga mesti menolak untuk dikritik ataupun membalas kritikan dengan ancaman. Melainkan dapat menerima kritikan sebagai suatu hal yang membangun jati diri setiap manusia yang berkarya.
Penulis mengingat jawaban dari salah seorang Kritikus Sastra dari Makassar (Alm) Ahyar Anwar dalam sebuah diskusi. Ia melontarkan pernyataan “tugas anda sebagai penulis adalah menghasilkan karya sastra, sedangkan tugas kritikus untuk mengkrtik karya sastra.” Dua hal berbeda yang saling berhubungan erat.
Karya yang telah dikritik seharusnya menjadi pelajaran terhadap karya itu sendiri, bukan terhadap penulisnya. Lantas jika bukan penulisnya, bagaimana kritik itu hidup? kritik itu hidup karena dituliskan, bukan karena dipertentangkan. Dalam uraian singkat, seorang penulis yang karyanya dikritik tetaplah terus menghasilkan karya sastra. Penulis itu sendirilah yang bisa memlih, apakah kritik itu diterima atau memilih menyimpannya sebagai hal yang tidak penting selama proses berkaryanya. Itu manusiawi bagi seorang yang dikritik dan bukan masalah yang mesti kita bawa kemana-mana.
Dalam melihat sebuah masalah, Emanuel Kant berpendapat bahwa untuk mencapai kebenaran kita perlu mengkritisi Rasionalisme dan Empirisme serta tidak boleh mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) saja. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu, ia menawarkan sebuah konsep “Filsafat Kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Ada benarnya, sebab secara harfiah kata kritik memang berarti pemisahan, bukan pembeda.

***

Sikap anti kritik dan membela “karena teman” inilah yang kemudian menjadi persoalan telak. Ditambah sikap segelintir orang yang senang mempertautkan dirinya pada permasalahan yang orang lain hadapi, lalu memberikan komentar yang malah semakin mempersulit posisi masalah tersebut. Keganjilan inilah yang sepatutunya kita kaji sebagai pokok persoalan.

Alangkah konyolnya ketika sebuah kritikan dibalas dengan ancaman. Meski jauh lebih konyol ketika kita membiarkan ancaman itu hidup seperti sebuah dogma yang amat suci, bahkan kita sendiri tidak bisa meredamnya. Menanam dendam sama halnya memupuk rerumputan di halaman rumah yang nantinya akan menjalar lalu menjerat rumah kita sendiri. Berpisah bukan berarti berbeda, dikritik bukan berarti dibenci.

10.14.2013

Kritik kepada Kritikus

Diposting oleh Unknown di 00.39 0 komentar
(sebuah catatan tidak penting dari seorang yang gila)

            Masih akrab di mata penyimak berita, kasus Andrea Hirata, seorang penulis buku trilogi Laskar Pelangi mengklaim bahwa karyanya telah mendapat pengakuan international best seller. Kemudian Damar Juniarto, seorang publisis membuat tulisan untuk meng-cross check beberapa pernyataan Andrea Hirata, diantaraanya adalah yang menyebutkan bahwa novelnya akan diterbitkan ulang oleh Farrar, Straus, dan Girroux (FSG), penerbit internasional yang menerbitkan buku-buku pemenang Nobel sastra. Hasilnya, menurut Damar Juniarto, Laskar Pelangi diterbitkan oleh imprint FSG, yaitu Sarah Crichton Books.
Kedua, soal pernyataan Andrea bahwa selama 100 tahun tidak ada karya anak bangsa yang mendunia. Hal ketiga yang diverifikasi Damar adalah klaim international best-seller untuk Laskar Pelangi. Menurutnya, dasar pencantuman label “international best-seller” pada novel Laskar Pelangi tidak jelas.
Alih-alih meluruskan masalah, Andrea Hirata bahkan berniat menggugat Damar Juniarto ke pihak berwajib. Tidak berhenti sampai disitu, “kubu-kubu” Damar Juniarto kemudian membalas ancaman Andrea Hirata dengan berbagai kritikan.

***
           
Contoh kasus di atas memang mengerikan untuk menjadi bahan pembelajaran. Penulis mengambil contoh kasus di atas bukan untuk mengungkit kejadian yang telah berlalu ataupun menghakimi Andrea Hirata dan membela Damar Juniarto, tetapi penulis merasa bahwa perlu membuka ulang sebuah permasalahan sebagai pembelajaran untuk menyikapi perbedaan dan menerima kritikan.
Jika kita telaah kasus di atas, salah satu pemicu orgasme pada masalah tersebut adalah, “kubu-kubu” yang saling melancarkan serangan. Kubu-kubu inilah yang akhirnya saling melibatkan diri dan menyulutkan ketidaksepahaman terhadap sebuah gagasan. Pada akhirnya, masalah yang sebenarnya hanya perlu diselesaikan oleh dua orang malah semakin ramai dan memperlihatkan betapa kita tidak bisa menerima sebuah perbedaan.
Dalam sejarahnya, kita sering dituding sebagai manusia Indonesia yang bermental budak, tudingan ini terjadi akibat lamanya nusantara kita dijajah oleh bangsa yang lebih terkontrol dan dapat memanfaatkan peluang invasi terhadap suatu wilayah.
Untuk lepas dari mental tersebut dibutuhkan pendidikan karakter yang mengakar dalam kepala setiap manusia Indonesia. Tetapi bukan berarti bahwa kita juga mesti menolak untuk dikritik ataupun membalas kritikan dengan ancaman. Melainkan dapat menerima kritikan sebagai suatu hal yang membangun jati diri setiap manusia yang berkarya.
Penulis mengingat jawaban dari salah seorang Kritikus Sastra dari Makassar (Alm) Ahyar Anwar dalam sebuah diskusi. Ia melontarkan pernyataan “tugas anda sebagai penulis adalah menghasilkan karya sastra, sedangkan tugas kritikus untuk mengkrtik karya sastra.” Dua hal berbeda yang saling berhubungan erat.
Karya yang telah dikritik seharusnya menjadi pelajaran terhadap karya itu sendiri, bukan terhadap penulisnya. Lantas jika bukan penulisnya, bagaimana kritik itu hidup? kritik itu hidup karena dituliskan, bukan karena dipertentangkan. Dalam uraian singkat, seorang penulis yang karyanya dikritik tetaplah terus menghasilkan karya sastra. Penulis itu sendirilah yang bisa memlih, apakah kritik itu diterima atau memilih menyimpannya sebagai hal yang tidak penting selama proses berkaryanya. Itu manusiawi bagi seorang yang dikritik dan bukan masalah yang mesti kita bawa kemana-mana.
Dalam melihat sebuah masalah, Emanuel Kant berpendapat bahwa untuk mencapai kebenaran kita perlu mengkritisi Rasionalisme dan Empirisme serta tidak boleh mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) saja. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu, ia menawarkan sebuah konsep “Filsafat Kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Ada benarnya, sebab secara harfiah kata kritik memang berarti pemisahan, bukan pembeda.

***

Sikap anti kritik dan membela “karena teman” inilah yang kemudian menjadi persoalan telak. Ditambah sikap segelintir orang yang senang mempertautkan dirinya pada permasalahan yang orang lain hadapi, lalu memberikan komentar yang malah semakin mempersulit posisi masalah tersebut. Keganjilan inilah yang sepatutunya kita kaji sebagai pokok persoalan.

Alangkah konyolnya ketika sebuah kritikan dibalas dengan ancaman. Meski jauh lebih konyol ketika kita membiarkan ancaman itu hidup seperti sebuah dogma yang amat suci, bahkan kita sendiri tidak bisa meredamnya. Menanam dendam sama halnya memupuk rerumputan di halaman rumah yang nantinya akan menjalar lalu menjerat rumah kita sendiri. Berpisah bukan berarti berbeda, dikritik bukan berarti dibenci.