on 9.07.2014



Hari Keadilan

hari minggu adalah hari keadilan. aku menikmatinya dengan berbaring di kamar sambil membaca puisi di koran minggu. di meja, kopi toraja yang ibu antarkan masih hangat. jendela terbuka lebar tapi tak cukup besar untuk menjadi keindahan. pandanganku terhalauh gedung-gedung tinggi yang menjulang. menjadi palang. menjadi halang.
“kota memang tak mengenal kata libur”

pukul sebelas kau datang membawa kabar. mengeluh tentang kemacetan kota dan berita keonaran dunia. aku ikut merasakan resahmu. rasa yang bahkan tak perlu kucemaskan saat berbaring, menikmati pagi dengan kebebasan.

kau mengajakku keluar, menikmati sore di taman.
“sepertinya kita butuh berlibur dari semua kesibukan yang lembur
cinta memang selalu punya pengecualian. ajakanmu kuterima. kita berdua menunggu hari menjadi senja. lalu berjalan melawati pohon-pohon yang menggugurkan daunnya. meskipun kita tak mengenal musim semi, tapi pohon-pohon ini punya cara untuk berbicara. ia menyampaikan semua perasaannya lewat daun yang jatuh. sekali waktu ia menumbangkan tubuhnya, agar orang-orang tahu rasanya di tanam lalu dilupakan.

saat tiba di taman. keramaian mempersembahkan semua hal yang meresahkan. keriuhan dan segala hal yang tak mengenal libur. suara orang-orang tertawa yang bahkan lebih besar dari panggilan ibadah. mereka seperti memaksa dirinya untuk terhibur. menertawakan hal yang bahkan tidak humor.
“seperti itukah cara kita menikmati libur?”

kita akhirnya hanya duduk berdua. menunggu matahari untuk libur dan berharap ia muncul minggu depan, agar kita punya waktu yang panjang untuk istirahat
“mungkin dengan begitu kita tahu cara untuk menikmati hari libur”
 


Kutabahkan Semua Perih sebab Kutahu Cinta adalah Luka

aku datang dari jalan tanah yang sempit
jalan yang tak pernah kau ingat
kau adalah satu-satunya pengendara malam ini
dan aku hanyalah rambu lalu lintas yang tak pernah kau patuhi

aku datang dari jalan tanah yang sempit
sebuah tempat yang tak pernah kau pijak
ingatanmu jalan raya lengang bagi pengendara ugal
yang senang menambah kecepatan
gedung-gedung yang dihuni cinta kau lewatkan begitu saja
padahal telah kuperindah segalanya
agar kau tertarik untuk singgah
walau sekadar menghabiskan beberapa hela nafas yang tak pernah kau jumlah
tapi matamu selalu tertawa dengan kecepatan yang akan kau sesali
kelak, setelah kau tiba di ujung jalan tanpa pilihan



























Jalan Lain ke Kotamu

ketika cinta yang kau perjuangkan tak lagi memiliki selera humor
larilah ke dalam kota yang tak pernah tidur
kau akan menemukan banyak kemungkinan untuk tertawa
melihat cinta dirampas dan manusia memihak kepada dusta
orang-orang membahak kisah-kisah setia
sementara hati mereka telah patah
mereka juga senang menuntut kesempurnaan cinta
sementara tak menjaga dirinya dari pengkhianatan

kota ini senang membuat kekacauan yang mereka harap dapat kendalikan
tapi cinta hidup di luar semua itu
ia berjalan di atas kemungkinan-kemungkinan
seperti hiburan yang senang menyembunyikan kesedihan
atau liburan yang kerap menyita kebahagiaan
“cinta tak mengenal setia, tapi kita yang mencintai tak boleh khianat
on 9.03.2014


Akhir-akhir ini saya menghabiskan banyak waktu untuk menonton serial kartun One Piece. Kisah bajak laut yang mengajak kita memahami permasalahan hidup dengan cara sederhana, penuh humor, dan menyedihkan. Serial terakhir yang saya nonton adalah kisah manusia ikan yang membenci manusia dan manusia yang membenci manusia ikan.
Kisah ini berawal saat Fisher Tiger ditangkap oleh angkatan laut dan dijadikan budak di pulau suci Marie Joa oleh Tenryuubito – bangsawan dunia. Setiap orang yang dijadikan budak diberi tanda di tubuhnya. Tanda abadi yang tak mungkin hilang.
Saat menjadi budak, Tiger melihat bagaimana kekejaman beberapa manusia yang memperlakukan manusia ikan dengan kejam. Banyak di antara mereka yang dijual dan dijadikan budak. Disiksa dan dianggap menjadi ciptaan yang tidak berguna. Namun Tiger memberontak dan menghajar golongan bangsawan dunia yang paling dihormati, Tenryuubito.
Setelah pemberontakan, Tiger berhasil kabur dan membebaskan budak lainnya. Di antara budak itu juga banyak manusia. Sejak itu ia dianggap sebagai pahlawan bagi manusia ikan dan musuh bagi pemerintah dunia.
Setelah bebas, Tiger membentuk kelompok bajak laut Matahari. Kelompok ini pergi mengarungi lautan. Dalam perjalanannya, mereka bertemu dengan Koala, gadis kecil yang juga pernah dijadikan budak di Marie Joa. Koala ingin pulang ke pulaunya, namun ia tak bisa berlayar dengan aman sebab banyak bajak laut yang mengancam hidupnya.
Tiger berjanji untuk mengantar anak itu. Selama perjalanan, keakraban terjalin antara manusia ikan dan Koala dari golongan manusia. Di atas kapal, Jimbei – teman Tiger, bertanya kepada Koala, “Mengapa kau takut pada manusia ikan?” Koala menjawab, “Karena saya tidak mengerti apapun tentang kalian.” Jimbei yang mendengar jawaban Koala bergumam, “Karena tidak mengerti akhirnya manusia ikan itu dianggap menakutkan.”
Saat tiba di kampung halamannya, Koala disambut oleh penduduk desa. Mereka heran mengapa Koala tiba dengan seorang penjahat. Di kampung Koala, banyak orang dewasa yang masih sulit menerima kenyataan bahwa tidak semua manusia ikan itu jahat. Orang-orang dewasa itu menganggap manusia ikan sebagai makhluk menakutkan dan tidak dapat disandingkan dengan manusia. Pun sebaliknya.
Kepala Desa tempat Koala tinggal diam-diam menghubungi angkatan laut. Tiger yang dijadikan musuh dunia dan angkatan laut dikepung. Ia  di tembak tanpa ampun oleh angkatan laut.
Setelah bertarung, bajak laut Matahari berhasil membawa tubuh penuh luku tiger ke atas kapal. Tiger masih bisa ditolong. Tapi ia menolak didonor dari darah manusia. Ia belum bisa melupakan bagaimana pengalamannya dijadikan budak oleh manusia.
Sebelum meninggal, Tiger berpesan kepada anggotanya, “Semua menginginkan perdamaian. Tapi hanya ada satu orang yang membuat semuanya berbeda dari manusia, yaitu gadis seperti Koala, generasi selanjutnya yang tidak mengerti apa-apa.”

***
            Kisah di atas mengingatkan saya dengan kekerasan rasial yang dimuat di koran beberapa hari lalu lalu. Kasus berdarah yang terjadi di Kota Ferguson dan Ohio, Amerika Serikat. Pertengahan tahun 2014, isu rasial memang sedang hangat di Amerika Serikat. Padahal saat Barack Obama terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat, banyak masyarakat yang berharap masalah kesenjangan ras dapat diselesaikan.
            Tapi kenyataan juga adalah kemungkinan. Michael Brown adalah buktinya, pemuda 18 tahun itu meninggal dunia dengan 6 luka tembak disekujur tubuhnya. Pelakunya adalah polisi kulit putih yang seharusnya bertugas untuk melindungi masyarakat. Saat dievakuasi, Brown bahkan tak memiliki senjata. Kasus ini juga diduga tanpa sebab yang pasti.
            Jhon Crawford, pria kulit hitam yang berusia 22 tahun juga ditembak mati oleh polisi kulit putih karena kedapatan membawa senjata tajam di pusat perbelanjaan. Sementara Eric Garner, pria kulit hitam yang berusia 43 tahun dicekik hingga tewas oleh polisi di Staten Island.
            Hasil penelitian yang dilakukan Pew Research Center pada tanggal 14-17 Agustus lalu menunjukkan hasil yang sama. 64 persen responden kulit hitam memiliki sedikit kepercayaan kepada institusi kepolisian Amerika Serikat.
Penyebabnya adalah tindakan represif pemerintah, terutama polisi dalam memperlakukan kulit hitam di negara itu. Perlakuan polisi sangat berbeda dengan apa yang dirasakan oleh kulit putih. Ini menimbulkan kecemburuan sosial yang rentan untuk tersulut.


***
Dalam kisah One Piece, apa yang Fisher Tiger perjuangkan adalah langkah yang mulia. Tapi harapan itu membutuhkan perjuangan. Menghidupkan perdamaian antara dua kelompok yang merasa berbeda bukan sesuatu yang mudah. Kulit hitam dan polisi Amerika Serikat telah menjawabnya.
Situasi ini menjadi bukti bahwa manusia kian sulit menerima perbedaan. Penyeragaman pola pikir mungkin salah satu penyebabnya. Sebab lain adalah sulitnya mengubah paradigma yang telah tertanam dalam kepala kita.
Pernahkah kita membayangkan, isu Sara - suku, agama, dan ras, yang selama ini dianggap pembeda yang rentan menimbulkan kejahatan juga akan terjadi pada golongan darah, jenis mata, klub sepak bola, makanan favorit, bahkan hingga ke persoalan tinggi dan berat badan?
Semoga saja kita bisa melahirkan generasi seperti Koala, generasi yang berani melihat perbedaan sebagai hal yang indah.


dimuat di Leterasi Tempo 30/8/2014


9.07.2014

Puisi Setangkai

Diposting oleh Unknown di 03.59 0 komentar



Hari Keadilan

hari minggu adalah hari keadilan. aku menikmatinya dengan berbaring di kamar sambil membaca puisi di koran minggu. di meja, kopi toraja yang ibu antarkan masih hangat. jendela terbuka lebar tapi tak cukup besar untuk menjadi keindahan. pandanganku terhalauh gedung-gedung tinggi yang menjulang. menjadi palang. menjadi halang.
“kota memang tak mengenal kata libur”

pukul sebelas kau datang membawa kabar. mengeluh tentang kemacetan kota dan berita keonaran dunia. aku ikut merasakan resahmu. rasa yang bahkan tak perlu kucemaskan saat berbaring, menikmati pagi dengan kebebasan.

kau mengajakku keluar, menikmati sore di taman.
“sepertinya kita butuh berlibur dari semua kesibukan yang lembur
cinta memang selalu punya pengecualian. ajakanmu kuterima. kita berdua menunggu hari menjadi senja. lalu berjalan melawati pohon-pohon yang menggugurkan daunnya. meskipun kita tak mengenal musim semi, tapi pohon-pohon ini punya cara untuk berbicara. ia menyampaikan semua perasaannya lewat daun yang jatuh. sekali waktu ia menumbangkan tubuhnya, agar orang-orang tahu rasanya di tanam lalu dilupakan.

saat tiba di taman. keramaian mempersembahkan semua hal yang meresahkan. keriuhan dan segala hal yang tak mengenal libur. suara orang-orang tertawa yang bahkan lebih besar dari panggilan ibadah. mereka seperti memaksa dirinya untuk terhibur. menertawakan hal yang bahkan tidak humor.
“seperti itukah cara kita menikmati libur?”

kita akhirnya hanya duduk berdua. menunggu matahari untuk libur dan berharap ia muncul minggu depan, agar kita punya waktu yang panjang untuk istirahat
“mungkin dengan begitu kita tahu cara untuk menikmati hari libur”
 


Kutabahkan Semua Perih sebab Kutahu Cinta adalah Luka

aku datang dari jalan tanah yang sempit
jalan yang tak pernah kau ingat
kau adalah satu-satunya pengendara malam ini
dan aku hanyalah rambu lalu lintas yang tak pernah kau patuhi

aku datang dari jalan tanah yang sempit
sebuah tempat yang tak pernah kau pijak
ingatanmu jalan raya lengang bagi pengendara ugal
yang senang menambah kecepatan
gedung-gedung yang dihuni cinta kau lewatkan begitu saja
padahal telah kuperindah segalanya
agar kau tertarik untuk singgah
walau sekadar menghabiskan beberapa hela nafas yang tak pernah kau jumlah
tapi matamu selalu tertawa dengan kecepatan yang akan kau sesali
kelak, setelah kau tiba di ujung jalan tanpa pilihan



























Jalan Lain ke Kotamu

ketika cinta yang kau perjuangkan tak lagi memiliki selera humor
larilah ke dalam kota yang tak pernah tidur
kau akan menemukan banyak kemungkinan untuk tertawa
melihat cinta dirampas dan manusia memihak kepada dusta
orang-orang membahak kisah-kisah setia
sementara hati mereka telah patah
mereka juga senang menuntut kesempurnaan cinta
sementara tak menjaga dirinya dari pengkhianatan

kota ini senang membuat kekacauan yang mereka harap dapat kendalikan
tapi cinta hidup di luar semua itu
ia berjalan di atas kemungkinan-kemungkinan
seperti hiburan yang senang menyembunyikan kesedihan
atau liburan yang kerap menyita kebahagiaan
“cinta tak mengenal setia, tapi kita yang mencintai tak boleh khianat

9.03.2014

Fisher Tiger, Rasis, dan Perdamaian Manusia

Diposting oleh Unknown di 02.19 2 komentar


Akhir-akhir ini saya menghabiskan banyak waktu untuk menonton serial kartun One Piece. Kisah bajak laut yang mengajak kita memahami permasalahan hidup dengan cara sederhana, penuh humor, dan menyedihkan. Serial terakhir yang saya nonton adalah kisah manusia ikan yang membenci manusia dan manusia yang membenci manusia ikan.
Kisah ini berawal saat Fisher Tiger ditangkap oleh angkatan laut dan dijadikan budak di pulau suci Marie Joa oleh Tenryuubito – bangsawan dunia. Setiap orang yang dijadikan budak diberi tanda di tubuhnya. Tanda abadi yang tak mungkin hilang.
Saat menjadi budak, Tiger melihat bagaimana kekejaman beberapa manusia yang memperlakukan manusia ikan dengan kejam. Banyak di antara mereka yang dijual dan dijadikan budak. Disiksa dan dianggap menjadi ciptaan yang tidak berguna. Namun Tiger memberontak dan menghajar golongan bangsawan dunia yang paling dihormati, Tenryuubito.
Setelah pemberontakan, Tiger berhasil kabur dan membebaskan budak lainnya. Di antara budak itu juga banyak manusia. Sejak itu ia dianggap sebagai pahlawan bagi manusia ikan dan musuh bagi pemerintah dunia.
Setelah bebas, Tiger membentuk kelompok bajak laut Matahari. Kelompok ini pergi mengarungi lautan. Dalam perjalanannya, mereka bertemu dengan Koala, gadis kecil yang juga pernah dijadikan budak di Marie Joa. Koala ingin pulang ke pulaunya, namun ia tak bisa berlayar dengan aman sebab banyak bajak laut yang mengancam hidupnya.
Tiger berjanji untuk mengantar anak itu. Selama perjalanan, keakraban terjalin antara manusia ikan dan Koala dari golongan manusia. Di atas kapal, Jimbei – teman Tiger, bertanya kepada Koala, “Mengapa kau takut pada manusia ikan?” Koala menjawab, “Karena saya tidak mengerti apapun tentang kalian.” Jimbei yang mendengar jawaban Koala bergumam, “Karena tidak mengerti akhirnya manusia ikan itu dianggap menakutkan.”
Saat tiba di kampung halamannya, Koala disambut oleh penduduk desa. Mereka heran mengapa Koala tiba dengan seorang penjahat. Di kampung Koala, banyak orang dewasa yang masih sulit menerima kenyataan bahwa tidak semua manusia ikan itu jahat. Orang-orang dewasa itu menganggap manusia ikan sebagai makhluk menakutkan dan tidak dapat disandingkan dengan manusia. Pun sebaliknya.
Kepala Desa tempat Koala tinggal diam-diam menghubungi angkatan laut. Tiger yang dijadikan musuh dunia dan angkatan laut dikepung. Ia  di tembak tanpa ampun oleh angkatan laut.
Setelah bertarung, bajak laut Matahari berhasil membawa tubuh penuh luku tiger ke atas kapal. Tiger masih bisa ditolong. Tapi ia menolak didonor dari darah manusia. Ia belum bisa melupakan bagaimana pengalamannya dijadikan budak oleh manusia.
Sebelum meninggal, Tiger berpesan kepada anggotanya, “Semua menginginkan perdamaian. Tapi hanya ada satu orang yang membuat semuanya berbeda dari manusia, yaitu gadis seperti Koala, generasi selanjutnya yang tidak mengerti apa-apa.”

***
            Kisah di atas mengingatkan saya dengan kekerasan rasial yang dimuat di koran beberapa hari lalu lalu. Kasus berdarah yang terjadi di Kota Ferguson dan Ohio, Amerika Serikat. Pertengahan tahun 2014, isu rasial memang sedang hangat di Amerika Serikat. Padahal saat Barack Obama terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat, banyak masyarakat yang berharap masalah kesenjangan ras dapat diselesaikan.
            Tapi kenyataan juga adalah kemungkinan. Michael Brown adalah buktinya, pemuda 18 tahun itu meninggal dunia dengan 6 luka tembak disekujur tubuhnya. Pelakunya adalah polisi kulit putih yang seharusnya bertugas untuk melindungi masyarakat. Saat dievakuasi, Brown bahkan tak memiliki senjata. Kasus ini juga diduga tanpa sebab yang pasti.
            Jhon Crawford, pria kulit hitam yang berusia 22 tahun juga ditembak mati oleh polisi kulit putih karena kedapatan membawa senjata tajam di pusat perbelanjaan. Sementara Eric Garner, pria kulit hitam yang berusia 43 tahun dicekik hingga tewas oleh polisi di Staten Island.
            Hasil penelitian yang dilakukan Pew Research Center pada tanggal 14-17 Agustus lalu menunjukkan hasil yang sama. 64 persen responden kulit hitam memiliki sedikit kepercayaan kepada institusi kepolisian Amerika Serikat.
Penyebabnya adalah tindakan represif pemerintah, terutama polisi dalam memperlakukan kulit hitam di negara itu. Perlakuan polisi sangat berbeda dengan apa yang dirasakan oleh kulit putih. Ini menimbulkan kecemburuan sosial yang rentan untuk tersulut.


***
Dalam kisah One Piece, apa yang Fisher Tiger perjuangkan adalah langkah yang mulia. Tapi harapan itu membutuhkan perjuangan. Menghidupkan perdamaian antara dua kelompok yang merasa berbeda bukan sesuatu yang mudah. Kulit hitam dan polisi Amerika Serikat telah menjawabnya.
Situasi ini menjadi bukti bahwa manusia kian sulit menerima perbedaan. Penyeragaman pola pikir mungkin salah satu penyebabnya. Sebab lain adalah sulitnya mengubah paradigma yang telah tertanam dalam kepala kita.
Pernahkah kita membayangkan, isu Sara - suku, agama, dan ras, yang selama ini dianggap pembeda yang rentan menimbulkan kejahatan juga akan terjadi pada golongan darah, jenis mata, klub sepak bola, makanan favorit, bahkan hingga ke persoalan tinggi dan berat badan?
Semoga saja kita bisa melahirkan generasi seperti Koala, generasi yang berani melihat perbedaan sebagai hal yang indah.


dimuat di Leterasi Tempo 30/8/2014