on 12.31.2013
Saya, Ayah, dan menulis adalah tiga serangkai yang punyai kaitan sejarah di masa lalu. Sejak kecil, saya dianggap anak badung dan harus mendapatkan ceramah dari Ayah setiap melakukan ken-akal-an. Setiap saya diceramahi, pikiran saya keliling dunia, menemukan pembenaran bahwa mengapa saya harus seperti itu, mengapa saya harus memukul wajah orang yang memang pantas mendapatkannya, mengapa saya harus lari dari pesantren, mengapa saya harus ke stadion tanpa izin untuk menonton sepak bola. Setiap saya diceramahi, Ayah selalu punya kisah baru tentang dirinya di masa lalu, kadang saya harus menemukan cara agar mendapat ceramah yang saya inginkan. Untuk tahu apa yang dilakukan oleh Ayah di masa lalu, saya tinggal melakukan apa yang menurut sebagian orang salah, misalnya saat tidak memotong rambut, maka Ayah pasti berkisah tentang dia dan rambutnya di masa lalu. Saya selalu senang dan bahagia mendapatkan kisah-kisah yang tidak mungkin saya temukan dari orang lain. Intinya, saya kadang melakukan sesuatu untuk tahu seperti apa Ayah saya di masa lalu tanpa harus memintanya menjelaskan panjang lebar kepada saya.

Tapi sampai sekarang satu pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya dari Ayah adalah, siapa nama yang tersemat dibelakang nama saya. Yah, sejak saya sadar bahwa saya punya nama, Palogai sudah melekat seperti burung dan sayapnya. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Nama itu menjadi populer ketika saya masih SD, bahkan teman sekelas lebih sering memanggil saya Palogai dari pada sapaan kecil saya sendiri. Saya sedikit terganggu dan merasa risih. Tapi Ayah senyum-senyum saja ketika saya Tanya, siapa sebenarnya Palogai.

Saat saya masih kecil, dihukum adalah kebiasaan yang hampir tiap hari saya dapatkan. Salah satu cara Ayah menghukum anaknya selain menceramahi adalah dengan mengambil kertas dan pulpen lalu mengurungnya di kamar, dia hanya berpesan tulis apa yang kamu inginkan lalu berlalu dengan mengunci pintu dan membiarkan saya merasa sendiri. Ayah baru membukanya setelah beberapa jam. Di dalam kamar, saya mulai berfantasi dan mencoba mengeluarkan semua kata yang saya miliki meskipun tidak ada hubungannya dengan kesalahan saya. Menyedihkan.

Dari kebiasan dihukum seperti itu saya menjadi sadar bahwa orang tua saya lebih mudah mengerti apa yang saya inginkan melalui tulisan ketimbang menanyainya langsung. Sebab untuk anak seperti saya, bersuara di depan Ayah adalah salah satu hal yang membuat saya malu dan canggung. Kebiasaan itu saya bawa sampai sekarang. Bahkan parahnya, untuk sekadar meminta uang kepada Ayah, saya selalu meminta jasa Ibu saya untuk menyampaikannya kepada Ayah.

Setelah cukup mengerti apa guna sebuah tulisan, pengalaman di masa kecil saya itu menjadi guru yang cukup berhasil mendekatkan saya dengan dunia tulis menulis. Saya juga merasa beruntung berada di sebuah rumah yang memiliki perpustakaan sendiri. Ayah saya adalah salah satu pembaca akut yang sebenarnya tidak pernah memaksa saya untuk ikut membaca atau senang dengan dunia baca tulis. Tapi karena semenjak kecil Ayah jarang membelikan mainan, maka saat kecil saya senang memilih buku-buku yang bersampul bagus lalu membacanya meskipun saya belum tahu apa maksud tulisan tersebut.

Kembali lagi pada persoalan kebiasaan, saya akhirnya mulai terbiasa membaca buku. Ayah saya juga langganan koran, maka kebiasan membaca koran sebelum berangkat ke sekolah saya lakukan. Saya senang membaca beberapa berita, terutama olah raga. Dari Koran itu saya banyak tahu nama tokoh-tokoh di Indonesia serta kejadian menarik apa saja yang terjadi. Hingga suatu hari saya menemukan lembaran koran yang memuat sebuah puisi, semenjak itu saya mulai suka dan senang membentuk kata-kata seperti yang saya temukan di koran tersebut.

Semakin hari, saya mulai menemukan jawaban bahwa menulis adalah pekerjaan yang mengabadikan. Meskipun selama proses pencarian makna kalimat tersebut, saya belum berhasil sampai dititik akhir untuk menarik kesimpulan.

Kuliah di Fakultas Sastra semakin menambah pengetahuan saya tentang dunia kepenulisan, khusunya puisi. Berdiskusi dan bertukar buka menambah wawasan dan membangkitkan semua kecamuk dalam kepalaku tentang dunia tulis membaca. Anggapan tiap anggapan akhirnya tumbang dan saya mantap memilih jalan ini. Meskipun penuh kesunyian dan kadang harus mengorbankan orang-orang di sekitar saya.
Saya beranggapan bahwa menulis adalah pekerjaan yang mengabadikan, sekaligus mengabaikan. Dalam banyak hal, saya hanya mencoba mengabadikan beberapa kejadian penting yang membuat saya merasa tidak penting untuk masuk ke dalam tulisan. Kadang sedikit tergesa-gesa, kadang sangat lama, kadang bahkan saya tidak menulis apa-apa. Menulis seperti juga kutukan, saya akhirnya tidak bisa meninggalkan pekerjaan menulis. Kesulitan terbaik dari menulis bagi saya adalah menyambungkan ide ke dalam realitas atau sederhananya memasukkan air ke dalam bejana. Terbaca sederhana namun butuh pengalaman yang kuat untuk mahir mengerjakannya.

Setiap saya menulis, saya selalu merasa diberikan mata baru untuk melihat ke dalam diri. Tapi semakin banyak mata yang lahir, rasanya semakin sulit pula untuk melihat ke dalam diri. Saya kadang harus mempekerjakan perasaan saya untuk berkelahi dengan diri sendiri. Pengalaman terburuk adalah saat harus merelakan waktu berjalan membawa semua kata yang saya butuhkan sedangkan diri saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itulah saya tidak bisa berdamai dengan kondisi. Satu-satunya penghibur paling bijak adalah kesimpulan bahwa saya masih bisa membaca dengan baik.

Pekerjaan menulis benar-benar telah memisahkan saya dengan diri sendiri, sangat jauh. Bahkan tanpa sadar saya kadang merasa bertindak diluar diri saya. Suatu kapan, saya mungkin akan mati dengan keadaan tidak memiliki diri sendiri. Sebab itu, mungkin menulis adalah tindakan sihir. Simsalabim.

Menulis saya anggap sebagai pintu masuk kedalam diri saya. Pintu yang memiliki jendela, akar, kacamata, sekaligus pintu yang memiliki alamnya sendiri. Dalam menulis saya mencoba menghadirkan diri ke tengah-tengah halaman dimana orang-orang telah menciptakan pengertian tentang halaman itu sendiri. Semoga saya tidak tersesat.

Ritual menulis bagi sebagian orang mungkin tidak penting, tapi bagi saya itu adalah sebuah kewajaran yang akan saya lakukan dengan senang hati. Saya sangat jarang menemukan masalah dalam menentukan kata pertama saat menulis, maka ritual yang saya lakukan adalah membaca dengan sinis dan berulang-ulang sampai saya merasa bahwa tulisan ini jelek kemudian mencampakkannya. Beberapa hari kemudian saya akan mengunjunginya kembali dan mengubah beberapa kata atau kalimat yang saya anggap buruk.

Meskipun saya sendiri tidak yakin bahwa yang saya lakukan selama ini adalah “menulis” tapi saya selalu percaya bahwa yang saya kerjakan ini adalah kebaikan. Seperti yang Ayah saya selalu katakan sejak saya kecil, bahwa tersenyum, berbuat baik, dan beribadah itu adalah standar setiap manusia tanpa memandang kaya-miskin. 


Setelah kotaku dengan gembira diledakkan hujan empat hari berturut-turut
kau masih setia di atas kasur membujurkan tubuhmu ke jendala
menghitung kebencian yang ikut menetes dari rembes air di atapmu
membayangkan setumpuk selimut menutup buah dadamu dan aku ikut memelukmu dari salah satu celah pelukanmu, juga bertelanjang dada menghadap ke kiblat
satu tanganku menyamar menjadi rambutmu dan mengusapnya sedemikian lena
simsalabim, aku dikutuk menjadi pikiranmu
maka jadilah kita seselimut sambil meringkih manja.
Setelah hujan reda dan air kian rendah, kau berjalan dengan helai celana dalam
menuju ke bagasi memanaskan mesin mobil
lalu kembali ke atas kasur dan menyeretku sambil menyulap air mani
menjadi bahan bakar darurat yang tak ada habisnya
mobil ini adalah kendaraan yang digunakan adam ketika diungsikan ke bumi, katamu sambil mencium buah wajahku dengan mata terpejam
tapi saat itu surga sedang tak banjir, kataku sambil menyelinap di tengkukmu

Kau menggiringku ke suatu tempat di atas langit
menutup wajahku dengan bra merah yang kau petik dari pohon iklima
di luar rumah, para lelaki tak melihat kita sebab ia sibuk mengungsi pada ketinggian cahaya
sedangkan perempuan memenuhi mulutnya dengan hujat hujan
dan ramai berziarah ke rumah ibadah
berdoa agar banjir menjadi selangkangan pelacur
tak tahu bahwa di bawah hujan anak-anak mereka sedang bercinta dengan kematian

Setelah empat hari berseling matahari, hujan menjadi lima, enam, dan seterusnya
lalu banjir kian menganga membuaskan manusia menjadi beton bertingkat
mereka mengungsi ke mal dan gedung tinggi
membawa setiap masalah dan menyimpulkan kematian di kepalanya
menjarah setiap makanan, juga perawan yang butuh dijarah
lalu kota ini berubah menjadi museum masa lalu

Manusia menuju ladang perburuan abadi
sedang kita masih asik bercinta di dalam mobil adam sambil dituntun oleh Tuhan

12.31.2013

Ini Sebenarnya Surat untuk ayah dan Saya

Diposting oleh Unknown di 22.07 1 komentar
Saya, Ayah, dan menulis adalah tiga serangkai yang punyai kaitan sejarah di masa lalu. Sejak kecil, saya dianggap anak badung dan harus mendapatkan ceramah dari Ayah setiap melakukan ken-akal-an. Setiap saya diceramahi, pikiran saya keliling dunia, menemukan pembenaran bahwa mengapa saya harus seperti itu, mengapa saya harus memukul wajah orang yang memang pantas mendapatkannya, mengapa saya harus lari dari pesantren, mengapa saya harus ke stadion tanpa izin untuk menonton sepak bola. Setiap saya diceramahi, Ayah selalu punya kisah baru tentang dirinya di masa lalu, kadang saya harus menemukan cara agar mendapat ceramah yang saya inginkan. Untuk tahu apa yang dilakukan oleh Ayah di masa lalu, saya tinggal melakukan apa yang menurut sebagian orang salah, misalnya saat tidak memotong rambut, maka Ayah pasti berkisah tentang dia dan rambutnya di masa lalu. Saya selalu senang dan bahagia mendapatkan kisah-kisah yang tidak mungkin saya temukan dari orang lain. Intinya, saya kadang melakukan sesuatu untuk tahu seperti apa Ayah saya di masa lalu tanpa harus memintanya menjelaskan panjang lebar kepada saya.

Tapi sampai sekarang satu pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya dari Ayah adalah, siapa nama yang tersemat dibelakang nama saya. Yah, sejak saya sadar bahwa saya punya nama, Palogai sudah melekat seperti burung dan sayapnya. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Nama itu menjadi populer ketika saya masih SD, bahkan teman sekelas lebih sering memanggil saya Palogai dari pada sapaan kecil saya sendiri. Saya sedikit terganggu dan merasa risih. Tapi Ayah senyum-senyum saja ketika saya Tanya, siapa sebenarnya Palogai.

Saat saya masih kecil, dihukum adalah kebiasaan yang hampir tiap hari saya dapatkan. Salah satu cara Ayah menghukum anaknya selain menceramahi adalah dengan mengambil kertas dan pulpen lalu mengurungnya di kamar, dia hanya berpesan tulis apa yang kamu inginkan lalu berlalu dengan mengunci pintu dan membiarkan saya merasa sendiri. Ayah baru membukanya setelah beberapa jam. Di dalam kamar, saya mulai berfantasi dan mencoba mengeluarkan semua kata yang saya miliki meskipun tidak ada hubungannya dengan kesalahan saya. Menyedihkan.

Dari kebiasan dihukum seperti itu saya menjadi sadar bahwa orang tua saya lebih mudah mengerti apa yang saya inginkan melalui tulisan ketimbang menanyainya langsung. Sebab untuk anak seperti saya, bersuara di depan Ayah adalah salah satu hal yang membuat saya malu dan canggung. Kebiasaan itu saya bawa sampai sekarang. Bahkan parahnya, untuk sekadar meminta uang kepada Ayah, saya selalu meminta jasa Ibu saya untuk menyampaikannya kepada Ayah.

Setelah cukup mengerti apa guna sebuah tulisan, pengalaman di masa kecil saya itu menjadi guru yang cukup berhasil mendekatkan saya dengan dunia tulis menulis. Saya juga merasa beruntung berada di sebuah rumah yang memiliki perpustakaan sendiri. Ayah saya adalah salah satu pembaca akut yang sebenarnya tidak pernah memaksa saya untuk ikut membaca atau senang dengan dunia baca tulis. Tapi karena semenjak kecil Ayah jarang membelikan mainan, maka saat kecil saya senang memilih buku-buku yang bersampul bagus lalu membacanya meskipun saya belum tahu apa maksud tulisan tersebut.

Kembali lagi pada persoalan kebiasaan, saya akhirnya mulai terbiasa membaca buku. Ayah saya juga langganan koran, maka kebiasan membaca koran sebelum berangkat ke sekolah saya lakukan. Saya senang membaca beberapa berita, terutama olah raga. Dari Koran itu saya banyak tahu nama tokoh-tokoh di Indonesia serta kejadian menarik apa saja yang terjadi. Hingga suatu hari saya menemukan lembaran koran yang memuat sebuah puisi, semenjak itu saya mulai suka dan senang membentuk kata-kata seperti yang saya temukan di koran tersebut.

Semakin hari, saya mulai menemukan jawaban bahwa menulis adalah pekerjaan yang mengabadikan. Meskipun selama proses pencarian makna kalimat tersebut, saya belum berhasil sampai dititik akhir untuk menarik kesimpulan.

Kuliah di Fakultas Sastra semakin menambah pengetahuan saya tentang dunia kepenulisan, khusunya puisi. Berdiskusi dan bertukar buka menambah wawasan dan membangkitkan semua kecamuk dalam kepalaku tentang dunia tulis membaca. Anggapan tiap anggapan akhirnya tumbang dan saya mantap memilih jalan ini. Meskipun penuh kesunyian dan kadang harus mengorbankan orang-orang di sekitar saya.
Saya beranggapan bahwa menulis adalah pekerjaan yang mengabadikan, sekaligus mengabaikan. Dalam banyak hal, saya hanya mencoba mengabadikan beberapa kejadian penting yang membuat saya merasa tidak penting untuk masuk ke dalam tulisan. Kadang sedikit tergesa-gesa, kadang sangat lama, kadang bahkan saya tidak menulis apa-apa. Menulis seperti juga kutukan, saya akhirnya tidak bisa meninggalkan pekerjaan menulis. Kesulitan terbaik dari menulis bagi saya adalah menyambungkan ide ke dalam realitas atau sederhananya memasukkan air ke dalam bejana. Terbaca sederhana namun butuh pengalaman yang kuat untuk mahir mengerjakannya.

Setiap saya menulis, saya selalu merasa diberikan mata baru untuk melihat ke dalam diri. Tapi semakin banyak mata yang lahir, rasanya semakin sulit pula untuk melihat ke dalam diri. Saya kadang harus mempekerjakan perasaan saya untuk berkelahi dengan diri sendiri. Pengalaman terburuk adalah saat harus merelakan waktu berjalan membawa semua kata yang saya butuhkan sedangkan diri saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itulah saya tidak bisa berdamai dengan kondisi. Satu-satunya penghibur paling bijak adalah kesimpulan bahwa saya masih bisa membaca dengan baik.

Pekerjaan menulis benar-benar telah memisahkan saya dengan diri sendiri, sangat jauh. Bahkan tanpa sadar saya kadang merasa bertindak diluar diri saya. Suatu kapan, saya mungkin akan mati dengan keadaan tidak memiliki diri sendiri. Sebab itu, mungkin menulis adalah tindakan sihir. Simsalabim.

Menulis saya anggap sebagai pintu masuk kedalam diri saya. Pintu yang memiliki jendela, akar, kacamata, sekaligus pintu yang memiliki alamnya sendiri. Dalam menulis saya mencoba menghadirkan diri ke tengah-tengah halaman dimana orang-orang telah menciptakan pengertian tentang halaman itu sendiri. Semoga saya tidak tersesat.

Ritual menulis bagi sebagian orang mungkin tidak penting, tapi bagi saya itu adalah sebuah kewajaran yang akan saya lakukan dengan senang hati. Saya sangat jarang menemukan masalah dalam menentukan kata pertama saat menulis, maka ritual yang saya lakukan adalah membaca dengan sinis dan berulang-ulang sampai saya merasa bahwa tulisan ini jelek kemudian mencampakkannya. Beberapa hari kemudian saya akan mengunjunginya kembali dan mengubah beberapa kata atau kalimat yang saya anggap buruk.

Meskipun saya sendiri tidak yakin bahwa yang saya lakukan selama ini adalah “menulis” tapi saya selalu percaya bahwa yang saya kerjakan ini adalah kebaikan. Seperti yang Ayah saya selalu katakan sejak saya kecil, bahwa tersenyum, berbuat baik, dan beribadah itu adalah standar setiap manusia tanpa memandang kaya-miskin. 


Setelah Kotaku dengan Gembira Diledakkan Hujan Empat Hari Berturut-turut

Diposting oleh Unknown di 06.53 0 komentar
Setelah kotaku dengan gembira diledakkan hujan empat hari berturut-turut
kau masih setia di atas kasur membujurkan tubuhmu ke jendala
menghitung kebencian yang ikut menetes dari rembes air di atapmu
membayangkan setumpuk selimut menutup buah dadamu dan aku ikut memelukmu dari salah satu celah pelukanmu, juga bertelanjang dada menghadap ke kiblat
satu tanganku menyamar menjadi rambutmu dan mengusapnya sedemikian lena
simsalabim, aku dikutuk menjadi pikiranmu
maka jadilah kita seselimut sambil meringkih manja.
Setelah hujan reda dan air kian rendah, kau berjalan dengan helai celana dalam
menuju ke bagasi memanaskan mesin mobil
lalu kembali ke atas kasur dan menyeretku sambil menyulap air mani
menjadi bahan bakar darurat yang tak ada habisnya
mobil ini adalah kendaraan yang digunakan adam ketika diungsikan ke bumi, katamu sambil mencium buah wajahku dengan mata terpejam
tapi saat itu surga sedang tak banjir, kataku sambil menyelinap di tengkukmu

Kau menggiringku ke suatu tempat di atas langit
menutup wajahku dengan bra merah yang kau petik dari pohon iklima
di luar rumah, para lelaki tak melihat kita sebab ia sibuk mengungsi pada ketinggian cahaya
sedangkan perempuan memenuhi mulutnya dengan hujat hujan
dan ramai berziarah ke rumah ibadah
berdoa agar banjir menjadi selangkangan pelacur
tak tahu bahwa di bawah hujan anak-anak mereka sedang bercinta dengan kematian

Setelah empat hari berseling matahari, hujan menjadi lima, enam, dan seterusnya
lalu banjir kian menganga membuaskan manusia menjadi beton bertingkat
mereka mengungsi ke mal dan gedung tinggi
membawa setiap masalah dan menyimpulkan kematian di kepalanya
menjarah setiap makanan, juga perawan yang butuh dijarah
lalu kota ini berubah menjadi museum masa lalu

Manusia menuju ladang perburuan abadi
sedang kita masih asik bercinta di dalam mobil adam sambil dituntun oleh Tuhan