on 5.17.2015


Membaca kisah yang tertuang dalam Illiad dan Odyssey, La Galigo, Aeneid atau Ramayana dan Mahabharata adalah upaya manusia untuk pulang ke dalam dirinya. Benturan narasi dan sejarah yang tidak bisa manusia tolak.
Meskipun telah dipisah ribuan tahun, tapi dengan adanya budaya literasi, memungkinkan kita untuk bertemu dengan Hanoman, Sawerigading, Aeneid, atau Agamemnon. Pertemuan yang terjadi dalam kisah-kisah yang terus dipelihara hingga saat ini.
Kisah itu mendarah dalam daging ingatan kita. Selain tuturan kisah, keindahan kalimat pada beberapa naskah epos tadi adalah untaian kata yang kita kenal saat ini sebagai puisi. Ini menunjukkan bahwa puisi telah ada sejak dulu. Mengandung nilai sejarah, selalu membumi, dan hidup di tengah masyarakat.
Nilai yang terkandung dalam puisi inilah yang terus manusia lanjutkan. Dibuatlah puisi-puisi baru. Terus menerus, tanpa angka pasti. Tidak ada data yang menunjukkan berapa jumlah puisi yang dibuat karena manusia merasakan kecewa, patah hati, penindasan, ketidakadilan dan beberapa keresahan lain yang terjadi di negara ini. Selain karena beberapa puisi sifatnya pribadi, mungkin memang tidak penting mengetahui jumlahnya.
Yang terpenting adalah puisi selalu ada dan tidak pernah berhenti dibuat manusia. Sebab menulis puisi adalah proses pembingkaian ingatan agar dapat bertahan dan pecahan sejarahnya masih dapat ditemukan generasi setelahnya.
Maka tidak salah jika saya menyimpulkan secara sepihak bahwa puisi adalah peristiwa yang terperangkap dalam narasi. Kisah yang diceritakan menggunakan kalimat indah, penuh makna, memiliki nubuat, dan berangkat dari pengalaman penyairnya.

***
Jauh sebelum 7 Alasan Mencela Diriku yang ditulis Kahlil Ghibran, manusia telah menjadikan puisi sebagai penguat spritual yang menjaga kesakralan suatu keyakinan. Pun dalam kitab suci, baik Injil, Tripitaka, Al-Quran, atau Talmud mengandung kisah yang ditulis dengan kalimat-kalimat indah.
Jika ada yang menyebut bahwa puisi sanggup mengubah hidup seseorang, maka saya sepakat. Bukan karena keindahan kata-kata atau anggapan kesucian yang dilekatkan padanya, tapi karena di dalamnya termaktub kisah yang mengandung kekuatan.
Kekuatan ini sering juga disebut sebagai pengalaman literasi. Pengalaman yang semua orang bisa dapatkan dengan mudah dan murah. Bergantung sebarapa tekun kita membaca dan memahami narasi pada sebuah teks puisi.
Penyebab perubahan itu karena kisah yang ditulis di dalam puisi mengandung pengalaman. Dan karena pengalaman adalah guru yang terbaik, maka tidak salah jika ia memiliki kekuatan untuk mengubah pandangan dan perilaku manusia.
Senada dengan hasil penelitian Dr. C. Edward Coffey - peneliti dari Henry Ford Health System, yang berhasil membuktikan bahwa dengan membaca, seseorang terhindar dari penyakit demensia. Demensia merupakan penyakit yang merusak jaringan otak. Seseorang yang terkena demensia dipastikan mengalami kepikunan.
Maka secara medis, pengetahuan, dan spritual, membaca dapat membantu manusia untuk hidup lebih sehat.
***
Salah satu berita menarik belakangan ini adalah aksi jual diri yang dilakukan pelajar sekolah menengah pertama di salah satu sekolah negeri di kota Makassar. Setelah berdiskusi dengan salah seorang kawan perihal peristiwa ini, ia menyimpulkan bahwa penyebab utamanya adalah moral. Menurutnya, moral siswi itu harus dibenahi dan agama adalah jalan keluarnya.
Tapi simpulan teman saya berbeda dari pengakuan seorang siswi yang berhasil diwawancarai salah satu media lokal di Makassar. Menurut pengakuannya, ia menjual diri karena membutuhkan uang untuk membeli parfum. Tentu, parfum tidak boleh dilihat sekadar pengharum tubuh, tapi sebagai benda yang memiliki nilai ekonomi.
Beli membeli ini menunjukkan jika persoalan uang dapat memperpendek akal seseorang dalam melakukan sesuatu. Maka saya menduga bahwa masalah utamanya bukan karena moral, tapi desakan ekonomi.
Lantas siapa yang harus kita mintai pertanggungjawaban? Pemuka agama, orang tua, guru, iklan yang menawarkan parfum, atau Jokowi yang senang manaikturunkan harga bahan bakar minyak?
Melihat peran puisi selama ini – sebagai instrumen yang mampu memperkuat religiositas, penyampai pesan, dan pelanjut kisah, maka puisi bisa dijadikan sebagai jalan keluar. Saya hanya berharap puisi belum kehilangan kekuatannya. Meskipun ada kesangsian untuk mengatakan bahwa dengan sastra, persoalan jual diri ini bisa selesai.
Pendidikan agama yang sudah diajarkan sejak sekolah dasar toh tidak membuat kita menjadi lebih bermoral. Sebab agama selalu bertumpu pada benar dan salah. Padahal, banyak persoalan di dunia ini yang hidup ditengah-tengah ruang kemungkinan. Ruang yang hanya bisa kita pahami setelah keluar dari dunia ideal yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran. Itulah ruang ketidakjelasan. Ruang di mana segalanya berpeluang untuk benar.
on 4.16.2015


Kematian adalah sebuah perjumpaan antara yang ada dan tiada. Perkara yang seringkali sulit diterima tapi selalu kita rayakan dengan cara yang berbeda. Pertanyaan kemana perginya mereka yang mati adalah dasar bagi pertanyaan serupa; kemana datangnya mereka yang hidup?
Kematian dan kehidupan selalu berada dalam rumah yang sama. Hanya dipisah kamar dan cahaya lampu. Kita seringkali menggambarkan kematian dengan sempurna sehingga lupa jika kehidupan ini sebenarnya adalah perlombaan yang tak pernah dimenangkan oleh siapapun.
Setiap manusia kemudian menciptakan tuhan dalam kepalanya. Tempat mereka berlindung dari ancaman dan ketakutan. Disusunlah kitab suci sebagai pedoman yang mengatur manusia mulai dari cara masuk hingga keluar rumah. Dikaranglah doa agar bisa dimunajatkan sebagai usaha terakhir manusia untuk menunjukkan keberserahandirinya.
Nasib dan takdir terlihat seperti ketentuan utuh yang hanya boleh digugat oleh pemuka agama. Dirawatlah mitos tentang seseorang yang mampu menghidupkan orang yang telah mati atau hikayat tentang orang yang datang dari kematian selalu dipelihara agar keesaan tuhan kian kokoh dan tak tertandingi.
   Seperti itulah gambaran sederhana bagaimana manusia mendogmakan sesuatu. Tidak ada ruang bagi keraguan. Bela membela kepentingan menjadi juru kunci keselamatan. Memilih menjadi abu-abu hanya mendorong kita meletakkan ketakutan pada puncuk yang lebih esa dari tuhan. Itu penyakit dan berbahaya.

***
"Di mana ada kehidupan, di situ pasti ada kematian. Mati itu mudah; hiduplah yang sulit. Semakin berat kehidupan yang dihadapi, semakin kuat keinginan untuk bertahan. Dan semakin besar ketakutan untuk mati, semakin besar pula perjuangan untuk terus hidup."
Kalimat di atas adalah pesan Mo Yan yang entah saya temukan di mana. Peraih Nobel Sastra tahun 2012 itu berusaha memahami bagaimana kematian dan kehidupan berjalan dalam setapak yang sama dan dalam ruang yang lebih luas.
Kematian dan kehidupan melibatkan banyak hal. Bukan hanya tentang mati dan lahir. Berbagai elemen dalam hidup ini bisa merasakan hal yang sama. Ilmu pengetahuan salah satunya yang dapat dijadikan contoh abadi bagaimana orang-orang saling bunuh-membunuh pemikiran demi lahirnya satu pengetahuan baru.
Hukum materialisme dialektik dapat merumuskan bagaimana pertentangan ini memegang kendali. Tesa dan antitesa adalah suami istri yang melahirkan anak yang bernama sintesa. Sintesa kemudian dijadikan generasi mutakhir. Entah kapan tapi selalu ada kelompok yang meletakkan sintesa sebagai tesa. Kemudian oleh kelompok lain, dicarilah antitesanya. Hingga kembali lahir sintesa.
Pola segitiga ini adalah dahaga yang selalu membutuhkan air minum tapi tak pernah benar-benar usai apa lagi selesai. Memperlihatkan pada kita bahwa kematian selalu digantikan oleh kehidupan.
***
            Entah bagaimana caranya agar kematian dan kehidupan dapat dipisahkan. Tapi upaya ini tidak pernah berhasil. Keduanya selalu ada dan berjalan beriringan pada setapak yang sama. Kita hanya tak tahu sedang mengikuti jejak langkah yang mana.
            Apa yang terjadi pada Saut Situmorang adalah cuplikan bagimana bunuh membunuh ilmu pengetahuan itu terjadi. Perang pengetahuan di negara kita ini entah dapat digolongkan berkembang atau tertahan.
            Polemik ini dimulai ketika buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang diinisiasi oleh Fatin Hamama diterbitkan. Beberapa pegiat sastra keberatan karena nama Danny JA masuk sebagai tokoh sastra paling berpengaruh dan disandingkan dengan Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Muncullah kritikan dan kecaman serta aksi penolakan oleh beberapa kalangan. Salah satunya adalah Saut Situmorang yang mengkritik lewat satus facebook dan twitter-nya serta dalam berbagai forum diskusi.
Berawal dari puisi dan berakhir di kantor polisi. Itulah mungkin kalimat sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kisah Saut Situmorang yang dipolisikan oleh Fatin Hamama – Alumni Al-Azhar, Kairo yang disebut-sebut sebagai perantara Danny JA. Dengan tuduhan pencemaran nama baik dan melanggar UU ITE.
            Peradaban Barat pernah merasakan hal yang sama. Pada masa kegelapan atau dark ages antara tahun 325 sampai 1300 M terjadi pemerkosaan keyakinan dan pembunuhan intelektual oleh kalangan agamawan. Dengan dalih demi terjaganya sakralitas agama. Moral kemudian menjadi tuhan yang lebih Tuhan.
Memasuki pertengahan tahun 2015, kita masih saling bunuh membunuh keyakinan dan intelektual. Masih memperdebatkan hal yang di Barat telah selasai ratusan tahun lalu. Yassalam!
on 3.09.2015


Jika suatu negara dihuni seratus tiga puluh empat orang, dua puluh delapan pejuang yang tak bisa dikalahkan dan sisanya kumpulan orang cerdas nan santun tapi berjiwa penakut. Maka, akan datang masa negara itu hanya menyisahkan kisah dan sejarah kelam yang lebam.
Lewat cerita, dan berita, ketakutan dapat menyebar seumpama penyakit dan dapat menjangkiti siapapun yang tak siap menghadapi kenyataan. Polisi, anggota dewan, tentara, walikota, presiden dan kita semua memiliki kemungkinan mengidap penyakit ini.
Jika terus dipelihara, ketakutan akan menjelma endapan air. Suatu waktu ia akan meluap dan menenggelamkan kita sebagai bingkisan sejarah yang akan dikenang dengan gelar penebar ketakutan paling berbahaya.
Ketakutan tidak hanya menyerang pikiran, tapi berdampak pada perilaku. Perilakulah yang seringkali menunjukkan ketakutan seseorang. Enggan mengatakan cinta kepada seseorang yang ia segani, enggan membela perasaan ketika patah hati, atau enggan mengkritik pemimpin ketika mengambil kebijakan yang kontra rakyat, adalah rangkaian mengerikan dari rasa ketakutan.
Begitulah benih ketakutan tumbuh. Ia serupa pohon lebat. Jika dibiarkan subur dan panjang umur, kelak anak cucu kita memakan buahnya dan mereka tumbuh sebagai penakut generasi lanjut. Generasi yang tidak jauh berbeda dari kita.
***
Cornelia Funke – penulis buku Inkdeath, mengatakan “Ketakutan membunuh segalanya, akal, hati, dan juga fantasi.” Akal memberi manusia ide, hati memberi manusia rasa, sementara fantasi dapat mendorong keduanya menjadi nyata.
Beberapa orang percaya bahwa dengan memiliki tiga hal itu, seseorang dianggap manusia. Maka ketika tiga hal itu dibunuh, sama saja kita telah mati. Mati sebagai orang yang tak bisa melawan ketakutan.
Belakangan ini, banyak orang dengan lantang menyerukan suara perdamaian dan keamanan. Membela kepentingan orang banyak yang terancam oleh kelakuan bengis segelintir orang yang dijuluki penjahat bermotor.
Adalah Makassar Harus Aman. Tagar di media sosial yang disebar seperti benih. Diharapkan merajalela agar mampu mengurangi – bahkan menghilangkan, teror penjahat bermotor.
Dalam film X-Men Day of Future Past, saya menemukan percakapan menarik antara Charles tua dengan bayangan dirinya sendiri ketika masih muda yang datang dari masa lalu. Charles memiliki kekuatan yang sanggup mendengar semua rintih ketakutan manusia. Ketika bertemu dengan Charles tua, bayangan itu menuturkan ketakutannya setiap mendengar suara itu. Tapi Charles tua menanggapi dengan bijaksana “Bukan derita mereka yang kau takutkan, tapi deritamu sendiri, Charles.
 Perihal orang-orang yang gemar menggunakan tagar Makassar Harus Aman. Apakah ini keresahan sosial atau ketakutan pribadi? Atau bisa jadi keduanya? Memang mengerikan jika membayangkan diri kita yang menjadi korban kebanalan dan kebinalan penjahat bermotor.
Semakin sering kita membela ketakutan orang banyak, semakin menunjukkan betapa kita adalah orang yang tak bisa menaklukkan ketakutan. Manusiawi? Tentu.
Saya tidak tahu apakah semua orang yang menggunakan tagar itu benar-benar membela kepentingan orang banyak atau berusaha untuk meredam ketakutan dirinya. Apapun alasannya, tidak penting lagi. Kota kita memang harus berbenah. Aksi penjahat bermotor ini bukan hanya menyerang fisik – bahkan sampai membunuh. Beberapa teman yang mendengar kebejatan penjahat bermotor juga merasa menjadi korban. Korban yang mentalnya terkoyak-koyak oleh berita penjahat bermotor itu.
***
Ketakutan adalah suatu tanggapan emosi terhadap ancaman. Takut adalah suatu upaya pertahanan hidup yang terjadi sebagai balasan terhadap gejolak batin tertentu, seperti rasa sakit atau ancaman bahaya. Pranala yang menjelaskan tentang ketakutan ini saya temukan pada halaman di wikipedia.
Tidak ada cara untuk menemukan bentuk ketakutan. Ia seperti mitos, bisa diyakini atau dianggap hanya angin lalu. Tapi ketakutan selalu menyala dalam benak setiap orang. Maka cara terbaik untuk mengalahkannya adalah menemukan penyebabnya.
Ketakutan berhasil membuka mata kita bahwa di luar sana - di jalanan, warung kopi, rumah ibadah, banyak ancaman yang bisa saja melukai diri kita. Semakin mencari tempat aman untuk menghindari ketakutan, semakin besar dan setia bayangan ketakutan menguntit kita.
Tentang ketakutan, saya mengingat pesan Mega Irawan - seorang kawan yang senang diajak beridiskusi tentang banyak hal, “Ketakutan tidak mengubahmu dan menjadikanmu lebih baik dari ketakutan itu sendiri”
Pesan itu membuat saya ingin bertanya kepada walikota, Benarkah hal paling menakutkan adalah ketakutan? Mungkin walikota bisa menjawab itu ketika kota kita telah dijuluki sebagai kota terbaik yang pura-pura aman.
on 3.07.2015


Don't Go Far Off
Pablo Neruda
           
Don't go far off, not even for a day, because --        

because -- I don't know how to say it: a day is long
and I will be waiting for you, as in an empty station
when the trains are parked off somewhere else, asleep.

Don't leave me, even for an hour, because
then the little drops of anguish will all run together,
the smoke that roams looking for a home will drift
into me, choking my lost heart.

Oh, may your silhouette never dissolve on the beach;
may your eyelids never flutter into the empty distance.
Don't leave me for a second, my dearest,
because in that moment you'll have gone so far
I'll wander mazily over all the earth, asking,
Will you come back? Will you leave me here, dying

                                                                    Jangan Pergi Jauh

Jangan pergi jauh, bahkan untuk sehari, karena --
karena – aku tak tahu cara mengungkapkan: hari yang panjang
dan aku selalu setia menanti untukmu, seperti di stasiun kosong
ketika kereta yang diparkir berhenti di tempat lain, tertidur.

Jangan tinggalkan aku, bahkan untuk satu jam, karena
setetes penderitaan selalu berjalan bersama
asap yang menjelajah mencari rumah melayang
ke dalam diriku, hatiku terteguk hilang.

Oh, mungkin siluetmu tak pernah larut di pantai
mungkin kelopak matamu tak bergetar ke dalam jarak kosong
Jangan tinggalkan aku untuk keduaya, sayangku
karena
ketika itu kau pergi sejauh ini
aku selalu berjalan limbung di atas muka bumi, bertanya
Kau akan kembali? Kau akan tinggalkan aku di sini, sekarat?

5.17.2015

Tuhan Terpenjara di Nerekanya Sendiri

Diposting oleh Unknown di 02.09 5 komentar


Membaca kisah yang tertuang dalam Illiad dan Odyssey, La Galigo, Aeneid atau Ramayana dan Mahabharata adalah upaya manusia untuk pulang ke dalam dirinya. Benturan narasi dan sejarah yang tidak bisa manusia tolak.
Meskipun telah dipisah ribuan tahun, tapi dengan adanya budaya literasi, memungkinkan kita untuk bertemu dengan Hanoman, Sawerigading, Aeneid, atau Agamemnon. Pertemuan yang terjadi dalam kisah-kisah yang terus dipelihara hingga saat ini.
Kisah itu mendarah dalam daging ingatan kita. Selain tuturan kisah, keindahan kalimat pada beberapa naskah epos tadi adalah untaian kata yang kita kenal saat ini sebagai puisi. Ini menunjukkan bahwa puisi telah ada sejak dulu. Mengandung nilai sejarah, selalu membumi, dan hidup di tengah masyarakat.
Nilai yang terkandung dalam puisi inilah yang terus manusia lanjutkan. Dibuatlah puisi-puisi baru. Terus menerus, tanpa angka pasti. Tidak ada data yang menunjukkan berapa jumlah puisi yang dibuat karena manusia merasakan kecewa, patah hati, penindasan, ketidakadilan dan beberapa keresahan lain yang terjadi di negara ini. Selain karena beberapa puisi sifatnya pribadi, mungkin memang tidak penting mengetahui jumlahnya.
Yang terpenting adalah puisi selalu ada dan tidak pernah berhenti dibuat manusia. Sebab menulis puisi adalah proses pembingkaian ingatan agar dapat bertahan dan pecahan sejarahnya masih dapat ditemukan generasi setelahnya.
Maka tidak salah jika saya menyimpulkan secara sepihak bahwa puisi adalah peristiwa yang terperangkap dalam narasi. Kisah yang diceritakan menggunakan kalimat indah, penuh makna, memiliki nubuat, dan berangkat dari pengalaman penyairnya.

***
Jauh sebelum 7 Alasan Mencela Diriku yang ditulis Kahlil Ghibran, manusia telah menjadikan puisi sebagai penguat spritual yang menjaga kesakralan suatu keyakinan. Pun dalam kitab suci, baik Injil, Tripitaka, Al-Quran, atau Talmud mengandung kisah yang ditulis dengan kalimat-kalimat indah.
Jika ada yang menyebut bahwa puisi sanggup mengubah hidup seseorang, maka saya sepakat. Bukan karena keindahan kata-kata atau anggapan kesucian yang dilekatkan padanya, tapi karena di dalamnya termaktub kisah yang mengandung kekuatan.
Kekuatan ini sering juga disebut sebagai pengalaman literasi. Pengalaman yang semua orang bisa dapatkan dengan mudah dan murah. Bergantung sebarapa tekun kita membaca dan memahami narasi pada sebuah teks puisi.
Penyebab perubahan itu karena kisah yang ditulis di dalam puisi mengandung pengalaman. Dan karena pengalaman adalah guru yang terbaik, maka tidak salah jika ia memiliki kekuatan untuk mengubah pandangan dan perilaku manusia.
Senada dengan hasil penelitian Dr. C. Edward Coffey - peneliti dari Henry Ford Health System, yang berhasil membuktikan bahwa dengan membaca, seseorang terhindar dari penyakit demensia. Demensia merupakan penyakit yang merusak jaringan otak. Seseorang yang terkena demensia dipastikan mengalami kepikunan.
Maka secara medis, pengetahuan, dan spritual, membaca dapat membantu manusia untuk hidup lebih sehat.
***
Salah satu berita menarik belakangan ini adalah aksi jual diri yang dilakukan pelajar sekolah menengah pertama di salah satu sekolah negeri di kota Makassar. Setelah berdiskusi dengan salah seorang kawan perihal peristiwa ini, ia menyimpulkan bahwa penyebab utamanya adalah moral. Menurutnya, moral siswi itu harus dibenahi dan agama adalah jalan keluarnya.
Tapi simpulan teman saya berbeda dari pengakuan seorang siswi yang berhasil diwawancarai salah satu media lokal di Makassar. Menurut pengakuannya, ia menjual diri karena membutuhkan uang untuk membeli parfum. Tentu, parfum tidak boleh dilihat sekadar pengharum tubuh, tapi sebagai benda yang memiliki nilai ekonomi.
Beli membeli ini menunjukkan jika persoalan uang dapat memperpendek akal seseorang dalam melakukan sesuatu. Maka saya menduga bahwa masalah utamanya bukan karena moral, tapi desakan ekonomi.
Lantas siapa yang harus kita mintai pertanggungjawaban? Pemuka agama, orang tua, guru, iklan yang menawarkan parfum, atau Jokowi yang senang manaikturunkan harga bahan bakar minyak?
Melihat peran puisi selama ini – sebagai instrumen yang mampu memperkuat religiositas, penyampai pesan, dan pelanjut kisah, maka puisi bisa dijadikan sebagai jalan keluar. Saya hanya berharap puisi belum kehilangan kekuatannya. Meskipun ada kesangsian untuk mengatakan bahwa dengan sastra, persoalan jual diri ini bisa selesai.
Pendidikan agama yang sudah diajarkan sejak sekolah dasar toh tidak membuat kita menjadi lebih bermoral. Sebab agama selalu bertumpu pada benar dan salah. Padahal, banyak persoalan di dunia ini yang hidup ditengah-tengah ruang kemungkinan. Ruang yang hanya bisa kita pahami setelah keluar dari dunia ideal yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran. Itulah ruang ketidakjelasan. Ruang di mana segalanya berpeluang untuk benar.

4.16.2015

Moral dan Intelektual

Diposting oleh Unknown di 04.26 1 komentar


Kematian adalah sebuah perjumpaan antara yang ada dan tiada. Perkara yang seringkali sulit diterima tapi selalu kita rayakan dengan cara yang berbeda. Pertanyaan kemana perginya mereka yang mati adalah dasar bagi pertanyaan serupa; kemana datangnya mereka yang hidup?
Kematian dan kehidupan selalu berada dalam rumah yang sama. Hanya dipisah kamar dan cahaya lampu. Kita seringkali menggambarkan kematian dengan sempurna sehingga lupa jika kehidupan ini sebenarnya adalah perlombaan yang tak pernah dimenangkan oleh siapapun.
Setiap manusia kemudian menciptakan tuhan dalam kepalanya. Tempat mereka berlindung dari ancaman dan ketakutan. Disusunlah kitab suci sebagai pedoman yang mengatur manusia mulai dari cara masuk hingga keluar rumah. Dikaranglah doa agar bisa dimunajatkan sebagai usaha terakhir manusia untuk menunjukkan keberserahandirinya.
Nasib dan takdir terlihat seperti ketentuan utuh yang hanya boleh digugat oleh pemuka agama. Dirawatlah mitos tentang seseorang yang mampu menghidupkan orang yang telah mati atau hikayat tentang orang yang datang dari kematian selalu dipelihara agar keesaan tuhan kian kokoh dan tak tertandingi.
   Seperti itulah gambaran sederhana bagaimana manusia mendogmakan sesuatu. Tidak ada ruang bagi keraguan. Bela membela kepentingan menjadi juru kunci keselamatan. Memilih menjadi abu-abu hanya mendorong kita meletakkan ketakutan pada puncuk yang lebih esa dari tuhan. Itu penyakit dan berbahaya.

***
"Di mana ada kehidupan, di situ pasti ada kematian. Mati itu mudah; hiduplah yang sulit. Semakin berat kehidupan yang dihadapi, semakin kuat keinginan untuk bertahan. Dan semakin besar ketakutan untuk mati, semakin besar pula perjuangan untuk terus hidup."
Kalimat di atas adalah pesan Mo Yan yang entah saya temukan di mana. Peraih Nobel Sastra tahun 2012 itu berusaha memahami bagaimana kematian dan kehidupan berjalan dalam setapak yang sama dan dalam ruang yang lebih luas.
Kematian dan kehidupan melibatkan banyak hal. Bukan hanya tentang mati dan lahir. Berbagai elemen dalam hidup ini bisa merasakan hal yang sama. Ilmu pengetahuan salah satunya yang dapat dijadikan contoh abadi bagaimana orang-orang saling bunuh-membunuh pemikiran demi lahirnya satu pengetahuan baru.
Hukum materialisme dialektik dapat merumuskan bagaimana pertentangan ini memegang kendali. Tesa dan antitesa adalah suami istri yang melahirkan anak yang bernama sintesa. Sintesa kemudian dijadikan generasi mutakhir. Entah kapan tapi selalu ada kelompok yang meletakkan sintesa sebagai tesa. Kemudian oleh kelompok lain, dicarilah antitesanya. Hingga kembali lahir sintesa.
Pola segitiga ini adalah dahaga yang selalu membutuhkan air minum tapi tak pernah benar-benar usai apa lagi selesai. Memperlihatkan pada kita bahwa kematian selalu digantikan oleh kehidupan.
***
            Entah bagaimana caranya agar kematian dan kehidupan dapat dipisahkan. Tapi upaya ini tidak pernah berhasil. Keduanya selalu ada dan berjalan beriringan pada setapak yang sama. Kita hanya tak tahu sedang mengikuti jejak langkah yang mana.
            Apa yang terjadi pada Saut Situmorang adalah cuplikan bagimana bunuh membunuh ilmu pengetahuan itu terjadi. Perang pengetahuan di negara kita ini entah dapat digolongkan berkembang atau tertahan.
            Polemik ini dimulai ketika buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang diinisiasi oleh Fatin Hamama diterbitkan. Beberapa pegiat sastra keberatan karena nama Danny JA masuk sebagai tokoh sastra paling berpengaruh dan disandingkan dengan Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Muncullah kritikan dan kecaman serta aksi penolakan oleh beberapa kalangan. Salah satunya adalah Saut Situmorang yang mengkritik lewat satus facebook dan twitter-nya serta dalam berbagai forum diskusi.
Berawal dari puisi dan berakhir di kantor polisi. Itulah mungkin kalimat sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kisah Saut Situmorang yang dipolisikan oleh Fatin Hamama – Alumni Al-Azhar, Kairo yang disebut-sebut sebagai perantara Danny JA. Dengan tuduhan pencemaran nama baik dan melanggar UU ITE.
            Peradaban Barat pernah merasakan hal yang sama. Pada masa kegelapan atau dark ages antara tahun 325 sampai 1300 M terjadi pemerkosaan keyakinan dan pembunuhan intelektual oleh kalangan agamawan. Dengan dalih demi terjaganya sakralitas agama. Moral kemudian menjadi tuhan yang lebih Tuhan.
Memasuki pertengahan tahun 2015, kita masih saling bunuh membunuh keyakinan dan intelektual. Masih memperdebatkan hal yang di Barat telah selasai ratusan tahun lalu. Yassalam!

3.09.2015

Mitos Ketakutan

Diposting oleh Unknown di 00.10 0 komentar


Jika suatu negara dihuni seratus tiga puluh empat orang, dua puluh delapan pejuang yang tak bisa dikalahkan dan sisanya kumpulan orang cerdas nan santun tapi berjiwa penakut. Maka, akan datang masa negara itu hanya menyisahkan kisah dan sejarah kelam yang lebam.
Lewat cerita, dan berita, ketakutan dapat menyebar seumpama penyakit dan dapat menjangkiti siapapun yang tak siap menghadapi kenyataan. Polisi, anggota dewan, tentara, walikota, presiden dan kita semua memiliki kemungkinan mengidap penyakit ini.
Jika terus dipelihara, ketakutan akan menjelma endapan air. Suatu waktu ia akan meluap dan menenggelamkan kita sebagai bingkisan sejarah yang akan dikenang dengan gelar penebar ketakutan paling berbahaya.
Ketakutan tidak hanya menyerang pikiran, tapi berdampak pada perilaku. Perilakulah yang seringkali menunjukkan ketakutan seseorang. Enggan mengatakan cinta kepada seseorang yang ia segani, enggan membela perasaan ketika patah hati, atau enggan mengkritik pemimpin ketika mengambil kebijakan yang kontra rakyat, adalah rangkaian mengerikan dari rasa ketakutan.
Begitulah benih ketakutan tumbuh. Ia serupa pohon lebat. Jika dibiarkan subur dan panjang umur, kelak anak cucu kita memakan buahnya dan mereka tumbuh sebagai penakut generasi lanjut. Generasi yang tidak jauh berbeda dari kita.
***
Cornelia Funke – penulis buku Inkdeath, mengatakan “Ketakutan membunuh segalanya, akal, hati, dan juga fantasi.” Akal memberi manusia ide, hati memberi manusia rasa, sementara fantasi dapat mendorong keduanya menjadi nyata.
Beberapa orang percaya bahwa dengan memiliki tiga hal itu, seseorang dianggap manusia. Maka ketika tiga hal itu dibunuh, sama saja kita telah mati. Mati sebagai orang yang tak bisa melawan ketakutan.
Belakangan ini, banyak orang dengan lantang menyerukan suara perdamaian dan keamanan. Membela kepentingan orang banyak yang terancam oleh kelakuan bengis segelintir orang yang dijuluki penjahat bermotor.
Adalah Makassar Harus Aman. Tagar di media sosial yang disebar seperti benih. Diharapkan merajalela agar mampu mengurangi – bahkan menghilangkan, teror penjahat bermotor.
Dalam film X-Men Day of Future Past, saya menemukan percakapan menarik antara Charles tua dengan bayangan dirinya sendiri ketika masih muda yang datang dari masa lalu. Charles memiliki kekuatan yang sanggup mendengar semua rintih ketakutan manusia. Ketika bertemu dengan Charles tua, bayangan itu menuturkan ketakutannya setiap mendengar suara itu. Tapi Charles tua menanggapi dengan bijaksana “Bukan derita mereka yang kau takutkan, tapi deritamu sendiri, Charles.
 Perihal orang-orang yang gemar menggunakan tagar Makassar Harus Aman. Apakah ini keresahan sosial atau ketakutan pribadi? Atau bisa jadi keduanya? Memang mengerikan jika membayangkan diri kita yang menjadi korban kebanalan dan kebinalan penjahat bermotor.
Semakin sering kita membela ketakutan orang banyak, semakin menunjukkan betapa kita adalah orang yang tak bisa menaklukkan ketakutan. Manusiawi? Tentu.
Saya tidak tahu apakah semua orang yang menggunakan tagar itu benar-benar membela kepentingan orang banyak atau berusaha untuk meredam ketakutan dirinya. Apapun alasannya, tidak penting lagi. Kota kita memang harus berbenah. Aksi penjahat bermotor ini bukan hanya menyerang fisik – bahkan sampai membunuh. Beberapa teman yang mendengar kebejatan penjahat bermotor juga merasa menjadi korban. Korban yang mentalnya terkoyak-koyak oleh berita penjahat bermotor itu.
***
Ketakutan adalah suatu tanggapan emosi terhadap ancaman. Takut adalah suatu upaya pertahanan hidup yang terjadi sebagai balasan terhadap gejolak batin tertentu, seperti rasa sakit atau ancaman bahaya. Pranala yang menjelaskan tentang ketakutan ini saya temukan pada halaman di wikipedia.
Tidak ada cara untuk menemukan bentuk ketakutan. Ia seperti mitos, bisa diyakini atau dianggap hanya angin lalu. Tapi ketakutan selalu menyala dalam benak setiap orang. Maka cara terbaik untuk mengalahkannya adalah menemukan penyebabnya.
Ketakutan berhasil membuka mata kita bahwa di luar sana - di jalanan, warung kopi, rumah ibadah, banyak ancaman yang bisa saja melukai diri kita. Semakin mencari tempat aman untuk menghindari ketakutan, semakin besar dan setia bayangan ketakutan menguntit kita.
Tentang ketakutan, saya mengingat pesan Mega Irawan - seorang kawan yang senang diajak beridiskusi tentang banyak hal, “Ketakutan tidak mengubahmu dan menjadikanmu lebih baik dari ketakutan itu sendiri”
Pesan itu membuat saya ingin bertanya kepada walikota, Benarkah hal paling menakutkan adalah ketakutan? Mungkin walikota bisa menjawab itu ketika kota kita telah dijuluki sebagai kota terbaik yang pura-pura aman.

3.07.2015

Terjemahan Puisi

Diposting oleh Unknown di 07.16 0 komentar


Don't Go Far Off
Pablo Neruda
           
Don't go far off, not even for a day, because --        

because -- I don't know how to say it: a day is long
and I will be waiting for you, as in an empty station
when the trains are parked off somewhere else, asleep.

Don't leave me, even for an hour, because
then the little drops of anguish will all run together,
the smoke that roams looking for a home will drift
into me, choking my lost heart.

Oh, may your silhouette never dissolve on the beach;
may your eyelids never flutter into the empty distance.
Don't leave me for a second, my dearest,
because in that moment you'll have gone so far
I'll wander mazily over all the earth, asking,
Will you come back? Will you leave me here, dying

                                                                    Jangan Pergi Jauh

Jangan pergi jauh, bahkan untuk sehari, karena --
karena – aku tak tahu cara mengungkapkan: hari yang panjang
dan aku selalu setia menanti untukmu, seperti di stasiun kosong
ketika kereta yang diparkir berhenti di tempat lain, tertidur.

Jangan tinggalkan aku, bahkan untuk satu jam, karena
setetes penderitaan selalu berjalan bersama
asap yang menjelajah mencari rumah melayang
ke dalam diriku, hatiku terteguk hilang.

Oh, mungkin siluetmu tak pernah larut di pantai
mungkin kelopak matamu tak bergetar ke dalam jarak kosong
Jangan tinggalkan aku untuk keduaya, sayangku
karena
ketika itu kau pergi sejauh ini
aku selalu berjalan limbung di atas muka bumi, bertanya
Kau akan kembali? Kau akan tinggalkan aku di sini, sekarat?