on 1.30.2014
[sebuah catatan sederhana]


Dalam novel Imperium karya Robert Harris, Tokoh Marcus Tellius Cicero adalah pengacara yang berani menggugat pemangku jabatan gubernur Roma, Verres. Korupsi yang dilakukan gubernur itu memang keterlaluan, ia tega memiskinkan banyak penduduk kota.
Kisah dimulai ketika Tiro, sekretaris pribadi senator Romawi, Marcus Tullius Cicero, membuka pintu pada suatu hari bulan november yang dingin dan menemukan seorang pria tua yang ketakutan, penduduk Sisilia yang menjadi korban perampokan gubernur Romawi korup, Verres. Orang itu meminta Cicero mewakilinya menuntut sang gubernur. Namun, bagaimana seorang senator yang tidak kaya, tak dikenal, bahkan dibenci kaum aristokrat, dapat memulai tuntutan terhadap seorang gubernur Romawi yang kejam dan memiliki pendukung di tempat tinggi?

***

           Fakultas kita saat ini mengalami krisis kepercayaan. Dekan yang memimpin telah mencoreng statuta Universitas Hasanuddin, seperti itulah yang diungkapkan Guru Besar Fakultas Sastra, Prof. Dr. H. Muhammad Darwis, MS dalam orasinya di depan Gedung Mattulada, bersama beberapa dosen yang kecewa melihat Fakultas Sastra saat ini.
           
on 1.26.2014

Mimpi buruk yang menyenangkan. Semalam saya diserang mimpi buruk dalam tidurku. Lagi-lagi tentang kematian. Entah ini mimpi yang keberapa. Latarnya selalu sama, sebuah kota yang semoga bukan kota Makassar. Kota itu diserang segerombolan penjahat dan membunuh orang-orang. Posisi saya selalu terjebak diantara kerusuhan namun selalu berhasil lolos.

Yang selalu hadir dalam mimpi saya adalah orang-orang yang sangat saya kenal. Orang tuaku, sahabat, kekasih, bahkan pernah sekali presiden esbeye. Melihat tubuh mereka digantung, saya sedih dan harus berpikir bagaimana menyelamatkan diri, juga kotaku.

Saya merasa mimpi buruk itu menolong saya. Setidaknya memberi rasa resah dan berhasil membangunkan saya dari tidur. Namun saya berterima kasih kepada mimpi buruk itu, setidaknya saya bisa melihat betapa cintaiku kepada orang-orang – yang dalam mimpi saya – terbunuh.


[refleksi sederhana]

Keindahan sebuah kota terasa dari serapi apa pemerintah menata bangunannya. Tata ruang yang bagus menghasilkan sebuah sistem pemerintahan yang bagus pula. Kedua hal tersebut saling berkaitan dalam sistem pemerintahan.
Selain mengatur tata ruang, pemerintah juga menyediakan ruang publik yang layak untuk masyarakat. Misalnya, di Kota Makassar ada Lapangan Karebosi yang menjadi tempat orang-orang yang gemar olahraga, Gedung Kesenian, tempat para seniman – atau mungkin juga orang-orang yang senang dengan dunia seni – berkumpul dan berdiskusi bersama.
Sejatinya, ruang publik menjadi tempat yang dimanfaatkan oleh orang-orang untuk membangun pemahaman dan bertukar gagasan. Ruang publik menjadi penting bagi sebuah kelompok, sebab dari ruang itulah mereka dapat membicarakan masalah-masalahnya.
Keputusan politik lahir dari ruang publik. Ruang itu pula dapat memengaruhi kebijakan-kebijakan politik pada masyarakat.
***
Fakultas Sastra adalah sebuah komunitas besar. Melingkupi sebuah organ tersendiri dalam kampus Universitas Hasanuddin. Organ ini terbagi lagi, ada yang bertindak sebagai dosen dan ada pula yang menjalankan kewajiban sebagai mahasiswa.
Maka dosen harus punya ruang publik tersendiri, begitupun mahasiswa. Sebab, di dalam kampus,  dosen dan mahasiswa adalah organ yang menjalankan peranan yang berbeda. Dosen tidak boleh masuk ke dalam ruang privat mahasiswa meskipun tetap dapat bertukar gagasan di ruang publik Fakultas Sastra.
Layaknya penghangat di rumah-rumah eropa yang memiliki perapian. Maka ruang privat adalah ruang perapian sedangkan corong yang mengeluarkan asap dari atap itu adalah ruang publik. Publik tetap bisa melihat asap yang keluar dari perapian tanpa perlu tahu seperti apa ruang perapian yang ada di dalam.
Mahasiswa diwakili oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) – atau di sastra di kenal juga dengan nama KMFS-UH - badan ini menjadi corong yang mewakili mahasiswa Fakultas Sastra pada tataran yang lebih luas dan yang lebih tinggi.
BEM KMFS UH seharusnya memunyai ruang privat tersendiri. Orang-orang yang ada di dalamnya adalah kumpulan ide yang harus saling bertukar. Bersirkulasi satu sama lain.
Pertanyaan yang patut kita hadirkan adalah, dimana ruang privat serta ruang publik keluarga mahasiswa kita?. Sebuah jawaban sederhana tentu akan keluar dari mulut para mahasiswa; Himpunan, BEM, MAPERWA, dan UKM adalah ruang privat yang memiliki fungsinya masing-masing. Lantas ruang publik kita di mana?. Jawabannya koridor yang kini dijadikan lahar parkir.
Sejak dulu, tempat itu adalah sarana yang mampu mempertemukan warga KMFS. Biasa dimanfaatkan sebagai tempat diskusi, pemutaran film, atau tempat untuk mengadakan rapat warga.
Perubahan fungsi itu bisa saja terjadi akibat dua hal, pertama adalah kurangnya kegiatan pada tataran fakultas maupun himpunan yang memanfaatkan “Parkiran” tersebut. Kedua, akibat rasa tidak aman di dalam kampus yang menyebabkan para mahasiswa memarkir motornya di koridor. Beberapa kejadian pencurian motor memang cukup meresahkan bagi mahasiswa.

***
Menjadikan koridor sebagai lahan parkir merupakan sebuah budaya yang akan terus berlanjut jika tidak diatur lebih baik lagi. Hilangnya ruang publik yang memiliki posisi penting dari perjuangan kawan-kawan mahasiswa di Fakultas Sastra memang merugikan. Siapa yang bisa tahu jika suatu saat nanti kepingan sejarah fakultas kita akan hilang. Tempat yang dulunya digunakan untuk konsolidasi atau diskusi berubah menjadi lahan parkir.
Semoga BEM KMFS-UH melihat ini sebagai sebuah masalah dan menemukan jalan keluarnya. Salah satunya mungkin dengan; motor hanya bisa diparkir selain di koridor tersebut!


Makassar – Januari 2014
on 1.19.2014
Seperti kerata api yang lincah berhenti di stasiun
tiap telingamu mendengar derap kaki, kau selalu membuka pintu 
meski hanya desis angin ribut yang mengacak-acak halamanmu
menerbangkan ranting patah, daun-daun, juga pembungkus plastik
yang sengaja kau letakkan di kiri pot bunga kamboja terasmu
kau menunggu seorang penumpang yang kau yakini pasti

Seorang lelaki muda
berjubah hitam dan mengenakan topi seniman yang kau temui di pasar malam
ia berjanji akan datang ke rumahmu membawa kopi
juga puisi-puisi yang ingin kau dengar ia bacakan untukmu
membawamu masuk ke dalam dunia yang tak kau kenal
sama sekali

Ini hari kesembilan kau menantinya
seorang lelaki aneh yang menarikmu ke sebuah lengkungan negeri yang jauh
membuatmu merasa berarti
kau selalu menyimpan selusin pembenaran atas ketidakdatangannya
“mungkin ia sedang tersesat, atau menghadapi masalah besar”
kau meyakininya seperti sarang merapati
selalu percaya bahwa pemiliknya pasti akan kembali

Namun penungguanmu tidak salah
lelaki itu datang bersama seorang perempuan
itu jarinya bercincin sama, sedang saat itu kau butuh teman untuk bercinta - juga bercerita
melampiaskan banyak hari dalam hidupmu yang bukan kebahagiaan
itu menyakitkan, luapanya membuatmu berlari ke dapur
membawa dirimu ke dalam dunia yang tak kau inginkan

“sebenarnya, aku hanya menunggu pisau untuk diriku”
katamu sambil mencocokkan tulang rusukmu dan sebilah pisau dapur yang merah

Makassar – Januari 2014
anak itu buah hati
oleh-oleh itu buah tangan
gosip itu buah bibir

khuldi itu buah dada
laso itu buah zakar

"lihatlah betapa mudahnya mengungkapkan"
tapi manusia memang senang berbibir manis!

on 1.17.2014
Edi Tansil itu lima koma tiga trilyun rupiah
Bob Hasan itu lima belas trilyun rupiah
Ginanjar Kartasasmita itu empat trilyun rupiah
Nazaruddin itu enam trilyun rupiah
Soeharto, tidak ternilai rupiahnya

Tapi di atas semua itu
hanya Anas yang siap digantung di Monas

"barangkali, negaraku memang dibuat dari kumpulan rupiah 
yang di pinang menjaid garuda"
Makassar 2014
on 1.16.2014
Aku kerap membayangkan wajahmu adalah dua buah dada yang terjangkit kanker
stadium wafat
sedang aku adalah seorang oda yang diasingkan oleh orang-orang

Tak usah kau takar sakitnya
bukankah kita pernah bersepakat untuk mencintai tanpa harus bercinta?
lalu apa guna kemaluan kita, tanyamu  dengan menanggalkan pakaian
memperlihatkan dua buah dada yang penuh luka
puting tak lagi layak disebut puting
tapi sungguh kekasihku, itu masih sangat indha untukku

Apakah aku harus menyiapkan tumpukan kondom agar oda ini tidak tertular,
tapi aku ingat, menyiumpun akan menularkan penyakit aneh ini
lalu apa nikmat sebuah hubungan badan jika tak berciuman?
atau kita hanya bertelanjang badan dan membiarkan para mani keluar dengan sendirinya
tidak, aku tidak ingin oda ini tertular kepadamu

25 tahun berlalu

Kini kita sudah tua, aku tetap dengan odaku dan kau masih setia dengan kankermu
kita kian larut menikmati cibir orang-orang yang keluar dari bibirnya
menjadi limbah pada perasaan kita
menghujat penyakit yang kita bahkan sudah lupa jika kita ini penganut sebuah agama penyakit

Kita sudah merawat luka sampai sejauh ini
menikmatinya setiap detik
seperti para pengukur sudut yang kerap membawa  teodolit
terima kasih telah menyiapkan satu masa yang panjang untuk tetap menjadi kanker untukku


Makassar – Januari 2014
on 1.14.2014

Di kotaku, rindu diadaptasi menjadi kebencian
orang gemar meninggalkan kiblat. menemukan cinta barunya
saling menikam, bahkan memakan
mirip adegan orang-orang depresi
akibat putus cinta yang mewarnai tivi rumahku atau mungkin juga tivi rumahmu

Orang-orang kemudian mencemari halaman rumah
bertumpuk sampah organik sisa belanja bulanan
mereka menerima gaji untuk memabayar utang
dari pemuka agama, makelar hidup, dan para pandai kata
menggadaikan hari-hari penting dalam hidupnya untuk menakar
selama apa ia bisa bertahan hidup

Pada mulanya, orang gemar saling mengunjungi. menyapa dengan  makanan
tapi tiba-tiba saja, tamu abad milenium mengunjungi dapurnya
mengubah jagung, ubi rebus, dan songkolo menjadi kfc, mcd, atau apapun labelnya

Orang-orang kemudian mendirikan pagar setinggi leher
mereka akhirnya saling curiga dan iri hati
saling mengintai dan membenci
kita seolah orang yang telah kehilangan rasa cintanya

Mungkin kita butuh gempa bumi yang disusul tsunami
agar rumah-rumah tinggi itu membuka pintunya
menjadikan kediamannya sebagai tempat yang aman
untuk orang-orang yang hidup dan menciptakan ketidakamanan
karena pagar tinggi memaksanya untuk memanjat lebih dalam

Makassar – januari 2013
on 1.06.2014
“Idealisme tidak untuk membunuh Tuhanmu, mengaburkan pandanganmu terhadap banyak sisi, dan mengubah caramu mencintai. Justru akan membuatmu merasa kesepian dan membesarkan hatimu untuk menerima, menerima, menerima semua yang datang padamu.”

Dalam Kitab Zarathustra, Nietzsche mengungkapkan ketidakbisaannya mengalahkan dirinya sendiri dengan “Tuhan telah mati, Tuhan telah terbunuh” yang Ia karang untuk mengajak pembacanya merasakan betapa sulitnya mengalahkan hidup, sebab selalu terbentur pada sudut pandang ke-Tuhan-an.
Pada masa itu, orang-orang belum membangun paru-paru dalam rongga maya yang saling menghubungkan dunia yang sebenarnya tidak punya hubungan sama sekali. Benar-benar membesarkan banyak jiwa dari pengalaman dan memberikan waktu yang cukup untuk merefleksi semua kejadian-kejadian yang manusia kerjakan. Manusia dipaksa untuk bertahan dengan keterbatasan peredaran informasi dan komunikasi.
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya manusia bebas memilih repotnya masing-masing. Hidup survive dan menciptakan kelompok-kelompok yang dilatarbelakangi oleh kegemaran, kesamaan pikiran, sudut pandang, atau kebiasaan. Manusia terus berkembang dan menuai semua hasil yang ia kerjakan dengan senang hati.
***
Entah sejak kapan, internet kemudian hadir sebagai ruas utama hilangnya batasan-batasan yang awalnya membuat kita merasa sama, kokohnya sikap individualis, dan merangsang pertumbuhan dunia baru. Dunia ciptaan sekelompok orang adikuasa yang menentukan kebijakan dunia baru yang turut melibatkan kita sebagai objek yang memiliki peran penting.
Kita mungkin bisa membela diri dengan mengatakan “apa hubungannya perang di Palestina dengan saya” atau “mengapa saya mesti memikirkan kudeta politik di Mesir” secara sederhana tentu tidak ada hubungannya jika kita memposisikan diri sebagai “bukan bagian mereka” tapi tanpa sadar semua rutinitas manusia dan skandal yang terjadi memiliki benang merah yang jika ditarik akan ada hubungannya dengan kita.
Hubungan paling erat dari semua skandal dan kejadian itu adalah mampu mengubah pandangan kita terhadap hidup. Kita diburu ketakutan akan hilangnya pekerjaan meskipun sadar bahwa ada yang salah dari tempat kita kerja, mengapa kita mesti repot-repot ikut kerja bakti di lingkungan rumah, semua pasti akan kembali seperti semula. Pikiran-pikiran ini mengantarkan kita pada pandangan yang melihat dunia untuk hari ini saja. Tidak lagi melihat jauh ke depan dan mulai ragu dengan kekuatan mimpi dan cita-cita.
Kembali lagi pada persoalan kepentingan untuk memuluskan jalan bagi terciptanya dunia baru. Manusia akhirnya tanpa sadar menjadi bahan utama sebuah tatanan baru yang diciptakan melalui corong kebudayaan, politik, ekonomi, gaya hidup, hingga hal terkecil seperti buku bacaan. Manusia mulai tergila-gila pada kemudahan akses informasi dan komunikasi. Imingan menjadi orang kaya membuat semua orang berpikir untuk pekerjaan layak yang akan menguntungkan dirinya.
***
Entah kekuatan apa yang menciptakan kematian yang cantik ini. Kita merasa bahwa yang kita lakukan adalah proses mandiri, namun itulah sebenarnya inti dari sebuah rekayasa besar yang diciptakan oleh orang adikuasa. Membuat kita merasa nyaman dengan sekitar dan malas memikirkan hal-hal yang terjadi di luar sana.
Pernahkah kita menyadari bahwa setiap hari saat membuka akun sosial media seperti  facebook atau twitter kita diperhadapakn oleh pertanyaan “apa yang terjadi hari ini?” atau “apa yang sedang anda pikirkan?” kita didoktrin untuk terus memikirkan tentang “hari ini” saja. Tapi sekejam apapun sosial media membangun pikiran manusia, kita tidak bisa mengkambinghitamkannya dalam urusan ini. Tetap saja sosial media berhasil membantu banyak orang dalam kehidupan sehari-hari. Cara kitalah yang mesti sedikit diberikan ruang untuk merefleksi banyak hal.
Saya bermimpi suatu saat akan ada akun sosial media yang ketika dibuka, kita akan diperhadapkan oleh pertanyaan “seperti apa hidup anda 10 tahun yang lalu?” atau “sudah sejauh mana anda mempersiapkan masa depan keluarga anda?” dan pertanyaan itu membantu orang untuk bangun dari pengontrolan ini. Pertanyaan itu juga tiap hari akan berubah-ubah, tidak monoton dan mencoba membangun akal sehat manusia.

Seperti yang Nietzsche ingin katakan kepada kita bahwa membunuh Tuhan itu mustahil, tapi untuk mengalahkan ciptaannya pasti punya jalan sendiri. Sayapun berada diposisi yang sama dengan anda, mungkin senang berdunia maya namun pernahkah kita meluangkan satu hari dalam hidup kita untuk melakukan kebalikan dari semua yang rutin kita kerjakan. Mungkin jawabannya ada disitu. Media sosial baru.

1.30.2014

Cicero, Lembaga Mahasiswa, dan guru Besar yang Turun Aksi

Diposting oleh Unknown di 19.15 0 komentar
[sebuah catatan sederhana]


Dalam novel Imperium karya Robert Harris, Tokoh Marcus Tellius Cicero adalah pengacara yang berani menggugat pemangku jabatan gubernur Roma, Verres. Korupsi yang dilakukan gubernur itu memang keterlaluan, ia tega memiskinkan banyak penduduk kota.
Kisah dimulai ketika Tiro, sekretaris pribadi senator Romawi, Marcus Tullius Cicero, membuka pintu pada suatu hari bulan november yang dingin dan menemukan seorang pria tua yang ketakutan, penduduk Sisilia yang menjadi korban perampokan gubernur Romawi korup, Verres. Orang itu meminta Cicero mewakilinya menuntut sang gubernur. Namun, bagaimana seorang senator yang tidak kaya, tak dikenal, bahkan dibenci kaum aristokrat, dapat memulai tuntutan terhadap seorang gubernur Romawi yang kejam dan memiliki pendukung di tempat tinggi?

***

           Fakultas kita saat ini mengalami krisis kepercayaan. Dekan yang memimpin telah mencoreng statuta Universitas Hasanuddin, seperti itulah yang diungkapkan Guru Besar Fakultas Sastra, Prof. Dr. H. Muhammad Darwis, MS dalam orasinya di depan Gedung Mattulada, bersama beberapa dosen yang kecewa melihat Fakultas Sastra saat ini.
           

1.26.2014

Kota yang Dijarah dan Mimpi Buruk

Diposting oleh Unknown di 23.35 0 komentar

Mimpi buruk yang menyenangkan. Semalam saya diserang mimpi buruk dalam tidurku. Lagi-lagi tentang kematian. Entah ini mimpi yang keberapa. Latarnya selalu sama, sebuah kota yang semoga bukan kota Makassar. Kota itu diserang segerombolan penjahat dan membunuh orang-orang. Posisi saya selalu terjebak diantara kerusuhan namun selalu berhasil lolos.

Yang selalu hadir dalam mimpi saya adalah orang-orang yang sangat saya kenal. Orang tuaku, sahabat, kekasih, bahkan pernah sekali presiden esbeye. Melihat tubuh mereka digantung, saya sedih dan harus berpikir bagaimana menyelamatkan diri, juga kotaku.

Saya merasa mimpi buruk itu menolong saya. Setidaknya memberi rasa resah dan berhasil membangunkan saya dari tidur. Namun saya berterima kasih kepada mimpi buruk itu, setidaknya saya bisa melihat betapa cintaiku kepada orang-orang – yang dalam mimpi saya – terbunuh.


Perapian dan Ruang Publik

Diposting oleh Unknown di 22.00 0 komentar
[refleksi sederhana]

Keindahan sebuah kota terasa dari serapi apa pemerintah menata bangunannya. Tata ruang yang bagus menghasilkan sebuah sistem pemerintahan yang bagus pula. Kedua hal tersebut saling berkaitan dalam sistem pemerintahan.
Selain mengatur tata ruang, pemerintah juga menyediakan ruang publik yang layak untuk masyarakat. Misalnya, di Kota Makassar ada Lapangan Karebosi yang menjadi tempat orang-orang yang gemar olahraga, Gedung Kesenian, tempat para seniman – atau mungkin juga orang-orang yang senang dengan dunia seni – berkumpul dan berdiskusi bersama.
Sejatinya, ruang publik menjadi tempat yang dimanfaatkan oleh orang-orang untuk membangun pemahaman dan bertukar gagasan. Ruang publik menjadi penting bagi sebuah kelompok, sebab dari ruang itulah mereka dapat membicarakan masalah-masalahnya.
Keputusan politik lahir dari ruang publik. Ruang itu pula dapat memengaruhi kebijakan-kebijakan politik pada masyarakat.
***
Fakultas Sastra adalah sebuah komunitas besar. Melingkupi sebuah organ tersendiri dalam kampus Universitas Hasanuddin. Organ ini terbagi lagi, ada yang bertindak sebagai dosen dan ada pula yang menjalankan kewajiban sebagai mahasiswa.
Maka dosen harus punya ruang publik tersendiri, begitupun mahasiswa. Sebab, di dalam kampus,  dosen dan mahasiswa adalah organ yang menjalankan peranan yang berbeda. Dosen tidak boleh masuk ke dalam ruang privat mahasiswa meskipun tetap dapat bertukar gagasan di ruang publik Fakultas Sastra.
Layaknya penghangat di rumah-rumah eropa yang memiliki perapian. Maka ruang privat adalah ruang perapian sedangkan corong yang mengeluarkan asap dari atap itu adalah ruang publik. Publik tetap bisa melihat asap yang keluar dari perapian tanpa perlu tahu seperti apa ruang perapian yang ada di dalam.
Mahasiswa diwakili oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) – atau di sastra di kenal juga dengan nama KMFS-UH - badan ini menjadi corong yang mewakili mahasiswa Fakultas Sastra pada tataran yang lebih luas dan yang lebih tinggi.
BEM KMFS UH seharusnya memunyai ruang privat tersendiri. Orang-orang yang ada di dalamnya adalah kumpulan ide yang harus saling bertukar. Bersirkulasi satu sama lain.
Pertanyaan yang patut kita hadirkan adalah, dimana ruang privat serta ruang publik keluarga mahasiswa kita?. Sebuah jawaban sederhana tentu akan keluar dari mulut para mahasiswa; Himpunan, BEM, MAPERWA, dan UKM adalah ruang privat yang memiliki fungsinya masing-masing. Lantas ruang publik kita di mana?. Jawabannya koridor yang kini dijadikan lahar parkir.
Sejak dulu, tempat itu adalah sarana yang mampu mempertemukan warga KMFS. Biasa dimanfaatkan sebagai tempat diskusi, pemutaran film, atau tempat untuk mengadakan rapat warga.
Perubahan fungsi itu bisa saja terjadi akibat dua hal, pertama adalah kurangnya kegiatan pada tataran fakultas maupun himpunan yang memanfaatkan “Parkiran” tersebut. Kedua, akibat rasa tidak aman di dalam kampus yang menyebabkan para mahasiswa memarkir motornya di koridor. Beberapa kejadian pencurian motor memang cukup meresahkan bagi mahasiswa.

***
Menjadikan koridor sebagai lahan parkir merupakan sebuah budaya yang akan terus berlanjut jika tidak diatur lebih baik lagi. Hilangnya ruang publik yang memiliki posisi penting dari perjuangan kawan-kawan mahasiswa di Fakultas Sastra memang merugikan. Siapa yang bisa tahu jika suatu saat nanti kepingan sejarah fakultas kita akan hilang. Tempat yang dulunya digunakan untuk konsolidasi atau diskusi berubah menjadi lahan parkir.
Semoga BEM KMFS-UH melihat ini sebagai sebuah masalah dan menemukan jalan keluarnya. Salah satunya mungkin dengan; motor hanya bisa diparkir selain di koridor tersebut!


Makassar – Januari 2014

1.19.2014

Perempuan yang Menunggu Mata Pisau

Diposting oleh Unknown di 23.18 0 komentar
Seperti kerata api yang lincah berhenti di stasiun
tiap telingamu mendengar derap kaki, kau selalu membuka pintu 
meski hanya desis angin ribut yang mengacak-acak halamanmu
menerbangkan ranting patah, daun-daun, juga pembungkus plastik
yang sengaja kau letakkan di kiri pot bunga kamboja terasmu
kau menunggu seorang penumpang yang kau yakini pasti

Seorang lelaki muda
berjubah hitam dan mengenakan topi seniman yang kau temui di pasar malam
ia berjanji akan datang ke rumahmu membawa kopi
juga puisi-puisi yang ingin kau dengar ia bacakan untukmu
membawamu masuk ke dalam dunia yang tak kau kenal
sama sekali

Ini hari kesembilan kau menantinya
seorang lelaki aneh yang menarikmu ke sebuah lengkungan negeri yang jauh
membuatmu merasa berarti
kau selalu menyimpan selusin pembenaran atas ketidakdatangannya
“mungkin ia sedang tersesat, atau menghadapi masalah besar”
kau meyakininya seperti sarang merapati
selalu percaya bahwa pemiliknya pasti akan kembali

Namun penungguanmu tidak salah
lelaki itu datang bersama seorang perempuan
itu jarinya bercincin sama, sedang saat itu kau butuh teman untuk bercinta - juga bercerita
melampiaskan banyak hari dalam hidupmu yang bukan kebahagiaan
itu menyakitkan, luapanya membuatmu berlari ke dapur
membawa dirimu ke dalam dunia yang tak kau inginkan

“sebenarnya, aku hanya menunggu pisau untuk diriku”
katamu sambil mencocokkan tulang rusukmu dan sebilah pisau dapur yang merah

Makassar – Januari 2014

Vegetarian

Diposting oleh Unknown di 22.54 0 komentar
anak itu buah hati
oleh-oleh itu buah tangan
gosip itu buah bibir

khuldi itu buah dada
laso itu buah zakar

"lihatlah betapa mudahnya mengungkapkan"
tapi manusia memang senang berbibir manis!

1.17.2014

Dari Generasi ke Generasi

Diposting oleh Unknown di 16.24 0 komentar
Edi Tansil itu lima koma tiga trilyun rupiah
Bob Hasan itu lima belas trilyun rupiah
Ginanjar Kartasasmita itu empat trilyun rupiah
Nazaruddin itu enam trilyun rupiah
Soeharto, tidak ternilai rupiahnya

Tapi di atas semua itu
hanya Anas yang siap digantung di Monas

"barangkali, negaraku memang dibuat dari kumpulan rupiah 
yang di pinang menjaid garuda"
Makassar 2014

1.16.2014

Para Perawat Luka

Diposting oleh Unknown di 06.06 1 komentar
Aku kerap membayangkan wajahmu adalah dua buah dada yang terjangkit kanker
stadium wafat
sedang aku adalah seorang oda yang diasingkan oleh orang-orang

Tak usah kau takar sakitnya
bukankah kita pernah bersepakat untuk mencintai tanpa harus bercinta?
lalu apa guna kemaluan kita, tanyamu  dengan menanggalkan pakaian
memperlihatkan dua buah dada yang penuh luka
puting tak lagi layak disebut puting
tapi sungguh kekasihku, itu masih sangat indha untukku

Apakah aku harus menyiapkan tumpukan kondom agar oda ini tidak tertular,
tapi aku ingat, menyiumpun akan menularkan penyakit aneh ini
lalu apa nikmat sebuah hubungan badan jika tak berciuman?
atau kita hanya bertelanjang badan dan membiarkan para mani keluar dengan sendirinya
tidak, aku tidak ingin oda ini tertular kepadamu

25 tahun berlalu

Kini kita sudah tua, aku tetap dengan odaku dan kau masih setia dengan kankermu
kita kian larut menikmati cibir orang-orang yang keluar dari bibirnya
menjadi limbah pada perasaan kita
menghujat penyakit yang kita bahkan sudah lupa jika kita ini penganut sebuah agama penyakit

Kita sudah merawat luka sampai sejauh ini
menikmatinya setiap detik
seperti para pengukur sudut yang kerap membawa  teodolit
terima kasih telah menyiapkan satu masa yang panjang untuk tetap menjadi kanker untukku


Makassar – Januari 2014

1.14.2014

Kota yang Putus Cinta Berjuta Tahun Lamanya

Diposting oleh Unknown di 07.10 0 komentar

Di kotaku, rindu diadaptasi menjadi kebencian
orang gemar meninggalkan kiblat. menemukan cinta barunya
saling menikam, bahkan memakan
mirip adegan orang-orang depresi
akibat putus cinta yang mewarnai tivi rumahku atau mungkin juga tivi rumahmu

Orang-orang kemudian mencemari halaman rumah
bertumpuk sampah organik sisa belanja bulanan
mereka menerima gaji untuk memabayar utang
dari pemuka agama, makelar hidup, dan para pandai kata
menggadaikan hari-hari penting dalam hidupnya untuk menakar
selama apa ia bisa bertahan hidup

Pada mulanya, orang gemar saling mengunjungi. menyapa dengan  makanan
tapi tiba-tiba saja, tamu abad milenium mengunjungi dapurnya
mengubah jagung, ubi rebus, dan songkolo menjadi kfc, mcd, atau apapun labelnya

Orang-orang kemudian mendirikan pagar setinggi leher
mereka akhirnya saling curiga dan iri hati
saling mengintai dan membenci
kita seolah orang yang telah kehilangan rasa cintanya

Mungkin kita butuh gempa bumi yang disusul tsunami
agar rumah-rumah tinggi itu membuka pintunya
menjadikan kediamannya sebagai tempat yang aman
untuk orang-orang yang hidup dan menciptakan ketidakamanan
karena pagar tinggi memaksanya untuk memanjat lebih dalam

Makassar – januari 2013

1.06.2014

Menjemput Media Sosial Baru

Diposting oleh Unknown di 03.42 0 komentar
“Idealisme tidak untuk membunuh Tuhanmu, mengaburkan pandanganmu terhadap banyak sisi, dan mengubah caramu mencintai. Justru akan membuatmu merasa kesepian dan membesarkan hatimu untuk menerima, menerima, menerima semua yang datang padamu.”

Dalam Kitab Zarathustra, Nietzsche mengungkapkan ketidakbisaannya mengalahkan dirinya sendiri dengan “Tuhan telah mati, Tuhan telah terbunuh” yang Ia karang untuk mengajak pembacanya merasakan betapa sulitnya mengalahkan hidup, sebab selalu terbentur pada sudut pandang ke-Tuhan-an.
Pada masa itu, orang-orang belum membangun paru-paru dalam rongga maya yang saling menghubungkan dunia yang sebenarnya tidak punya hubungan sama sekali. Benar-benar membesarkan banyak jiwa dari pengalaman dan memberikan waktu yang cukup untuk merefleksi semua kejadian-kejadian yang manusia kerjakan. Manusia dipaksa untuk bertahan dengan keterbatasan peredaran informasi dan komunikasi.
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya manusia bebas memilih repotnya masing-masing. Hidup survive dan menciptakan kelompok-kelompok yang dilatarbelakangi oleh kegemaran, kesamaan pikiran, sudut pandang, atau kebiasaan. Manusia terus berkembang dan menuai semua hasil yang ia kerjakan dengan senang hati.
***
Entah sejak kapan, internet kemudian hadir sebagai ruas utama hilangnya batasan-batasan yang awalnya membuat kita merasa sama, kokohnya sikap individualis, dan merangsang pertumbuhan dunia baru. Dunia ciptaan sekelompok orang adikuasa yang menentukan kebijakan dunia baru yang turut melibatkan kita sebagai objek yang memiliki peran penting.
Kita mungkin bisa membela diri dengan mengatakan “apa hubungannya perang di Palestina dengan saya” atau “mengapa saya mesti memikirkan kudeta politik di Mesir” secara sederhana tentu tidak ada hubungannya jika kita memposisikan diri sebagai “bukan bagian mereka” tapi tanpa sadar semua rutinitas manusia dan skandal yang terjadi memiliki benang merah yang jika ditarik akan ada hubungannya dengan kita.
Hubungan paling erat dari semua skandal dan kejadian itu adalah mampu mengubah pandangan kita terhadap hidup. Kita diburu ketakutan akan hilangnya pekerjaan meskipun sadar bahwa ada yang salah dari tempat kita kerja, mengapa kita mesti repot-repot ikut kerja bakti di lingkungan rumah, semua pasti akan kembali seperti semula. Pikiran-pikiran ini mengantarkan kita pada pandangan yang melihat dunia untuk hari ini saja. Tidak lagi melihat jauh ke depan dan mulai ragu dengan kekuatan mimpi dan cita-cita.
Kembali lagi pada persoalan kepentingan untuk memuluskan jalan bagi terciptanya dunia baru. Manusia akhirnya tanpa sadar menjadi bahan utama sebuah tatanan baru yang diciptakan melalui corong kebudayaan, politik, ekonomi, gaya hidup, hingga hal terkecil seperti buku bacaan. Manusia mulai tergila-gila pada kemudahan akses informasi dan komunikasi. Imingan menjadi orang kaya membuat semua orang berpikir untuk pekerjaan layak yang akan menguntungkan dirinya.
***
Entah kekuatan apa yang menciptakan kematian yang cantik ini. Kita merasa bahwa yang kita lakukan adalah proses mandiri, namun itulah sebenarnya inti dari sebuah rekayasa besar yang diciptakan oleh orang adikuasa. Membuat kita merasa nyaman dengan sekitar dan malas memikirkan hal-hal yang terjadi di luar sana.
Pernahkah kita menyadari bahwa setiap hari saat membuka akun sosial media seperti  facebook atau twitter kita diperhadapakn oleh pertanyaan “apa yang terjadi hari ini?” atau “apa yang sedang anda pikirkan?” kita didoktrin untuk terus memikirkan tentang “hari ini” saja. Tapi sekejam apapun sosial media membangun pikiran manusia, kita tidak bisa mengkambinghitamkannya dalam urusan ini. Tetap saja sosial media berhasil membantu banyak orang dalam kehidupan sehari-hari. Cara kitalah yang mesti sedikit diberikan ruang untuk merefleksi banyak hal.
Saya bermimpi suatu saat akan ada akun sosial media yang ketika dibuka, kita akan diperhadapkan oleh pertanyaan “seperti apa hidup anda 10 tahun yang lalu?” atau “sudah sejauh mana anda mempersiapkan masa depan keluarga anda?” dan pertanyaan itu membantu orang untuk bangun dari pengontrolan ini. Pertanyaan itu juga tiap hari akan berubah-ubah, tidak monoton dan mencoba membangun akal sehat manusia.

Seperti yang Nietzsche ingin katakan kepada kita bahwa membunuh Tuhan itu mustahil, tapi untuk mengalahkan ciptaannya pasti punya jalan sendiri. Sayapun berada diposisi yang sama dengan anda, mungkin senang berdunia maya namun pernahkah kita meluangkan satu hari dalam hidup kita untuk melakukan kebalikan dari semua yang rutin kita kerjakan. Mungkin jawabannya ada disitu. Media sosial baru.