on 4.16.2015


Kematian adalah sebuah perjumpaan antara yang ada dan tiada. Perkara yang seringkali sulit diterima tapi selalu kita rayakan dengan cara yang berbeda. Pertanyaan kemana perginya mereka yang mati adalah dasar bagi pertanyaan serupa; kemana datangnya mereka yang hidup?
Kematian dan kehidupan selalu berada dalam rumah yang sama. Hanya dipisah kamar dan cahaya lampu. Kita seringkali menggambarkan kematian dengan sempurna sehingga lupa jika kehidupan ini sebenarnya adalah perlombaan yang tak pernah dimenangkan oleh siapapun.
Setiap manusia kemudian menciptakan tuhan dalam kepalanya. Tempat mereka berlindung dari ancaman dan ketakutan. Disusunlah kitab suci sebagai pedoman yang mengatur manusia mulai dari cara masuk hingga keluar rumah. Dikaranglah doa agar bisa dimunajatkan sebagai usaha terakhir manusia untuk menunjukkan keberserahandirinya.
Nasib dan takdir terlihat seperti ketentuan utuh yang hanya boleh digugat oleh pemuka agama. Dirawatlah mitos tentang seseorang yang mampu menghidupkan orang yang telah mati atau hikayat tentang orang yang datang dari kematian selalu dipelihara agar keesaan tuhan kian kokoh dan tak tertandingi.
   Seperti itulah gambaran sederhana bagaimana manusia mendogmakan sesuatu. Tidak ada ruang bagi keraguan. Bela membela kepentingan menjadi juru kunci keselamatan. Memilih menjadi abu-abu hanya mendorong kita meletakkan ketakutan pada puncuk yang lebih esa dari tuhan. Itu penyakit dan berbahaya.

***
"Di mana ada kehidupan, di situ pasti ada kematian. Mati itu mudah; hiduplah yang sulit. Semakin berat kehidupan yang dihadapi, semakin kuat keinginan untuk bertahan. Dan semakin besar ketakutan untuk mati, semakin besar pula perjuangan untuk terus hidup."
Kalimat di atas adalah pesan Mo Yan yang entah saya temukan di mana. Peraih Nobel Sastra tahun 2012 itu berusaha memahami bagaimana kematian dan kehidupan berjalan dalam setapak yang sama dan dalam ruang yang lebih luas.
Kematian dan kehidupan melibatkan banyak hal. Bukan hanya tentang mati dan lahir. Berbagai elemen dalam hidup ini bisa merasakan hal yang sama. Ilmu pengetahuan salah satunya yang dapat dijadikan contoh abadi bagaimana orang-orang saling bunuh-membunuh pemikiran demi lahirnya satu pengetahuan baru.
Hukum materialisme dialektik dapat merumuskan bagaimana pertentangan ini memegang kendali. Tesa dan antitesa adalah suami istri yang melahirkan anak yang bernama sintesa. Sintesa kemudian dijadikan generasi mutakhir. Entah kapan tapi selalu ada kelompok yang meletakkan sintesa sebagai tesa. Kemudian oleh kelompok lain, dicarilah antitesanya. Hingga kembali lahir sintesa.
Pola segitiga ini adalah dahaga yang selalu membutuhkan air minum tapi tak pernah benar-benar usai apa lagi selesai. Memperlihatkan pada kita bahwa kematian selalu digantikan oleh kehidupan.
***
            Entah bagaimana caranya agar kematian dan kehidupan dapat dipisahkan. Tapi upaya ini tidak pernah berhasil. Keduanya selalu ada dan berjalan beriringan pada setapak yang sama. Kita hanya tak tahu sedang mengikuti jejak langkah yang mana.
            Apa yang terjadi pada Saut Situmorang adalah cuplikan bagimana bunuh membunuh ilmu pengetahuan itu terjadi. Perang pengetahuan di negara kita ini entah dapat digolongkan berkembang atau tertahan.
            Polemik ini dimulai ketika buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang diinisiasi oleh Fatin Hamama diterbitkan. Beberapa pegiat sastra keberatan karena nama Danny JA masuk sebagai tokoh sastra paling berpengaruh dan disandingkan dengan Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Muncullah kritikan dan kecaman serta aksi penolakan oleh beberapa kalangan. Salah satunya adalah Saut Situmorang yang mengkritik lewat satus facebook dan twitter-nya serta dalam berbagai forum diskusi.
Berawal dari puisi dan berakhir di kantor polisi. Itulah mungkin kalimat sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kisah Saut Situmorang yang dipolisikan oleh Fatin Hamama – Alumni Al-Azhar, Kairo yang disebut-sebut sebagai perantara Danny JA. Dengan tuduhan pencemaran nama baik dan melanggar UU ITE.
            Peradaban Barat pernah merasakan hal yang sama. Pada masa kegelapan atau dark ages antara tahun 325 sampai 1300 M terjadi pemerkosaan keyakinan dan pembunuhan intelektual oleh kalangan agamawan. Dengan dalih demi terjaganya sakralitas agama. Moral kemudian menjadi tuhan yang lebih Tuhan.
Memasuki pertengahan tahun 2015, kita masih saling bunuh membunuh keyakinan dan intelektual. Masih memperdebatkan hal yang di Barat telah selasai ratusan tahun lalu. Yassalam!

4.16.2015

Moral dan Intelektual

Diposting oleh Unknown di 04.26 1 komentar


Kematian adalah sebuah perjumpaan antara yang ada dan tiada. Perkara yang seringkali sulit diterima tapi selalu kita rayakan dengan cara yang berbeda. Pertanyaan kemana perginya mereka yang mati adalah dasar bagi pertanyaan serupa; kemana datangnya mereka yang hidup?
Kematian dan kehidupan selalu berada dalam rumah yang sama. Hanya dipisah kamar dan cahaya lampu. Kita seringkali menggambarkan kematian dengan sempurna sehingga lupa jika kehidupan ini sebenarnya adalah perlombaan yang tak pernah dimenangkan oleh siapapun.
Setiap manusia kemudian menciptakan tuhan dalam kepalanya. Tempat mereka berlindung dari ancaman dan ketakutan. Disusunlah kitab suci sebagai pedoman yang mengatur manusia mulai dari cara masuk hingga keluar rumah. Dikaranglah doa agar bisa dimunajatkan sebagai usaha terakhir manusia untuk menunjukkan keberserahandirinya.
Nasib dan takdir terlihat seperti ketentuan utuh yang hanya boleh digugat oleh pemuka agama. Dirawatlah mitos tentang seseorang yang mampu menghidupkan orang yang telah mati atau hikayat tentang orang yang datang dari kematian selalu dipelihara agar keesaan tuhan kian kokoh dan tak tertandingi.
   Seperti itulah gambaran sederhana bagaimana manusia mendogmakan sesuatu. Tidak ada ruang bagi keraguan. Bela membela kepentingan menjadi juru kunci keselamatan. Memilih menjadi abu-abu hanya mendorong kita meletakkan ketakutan pada puncuk yang lebih esa dari tuhan. Itu penyakit dan berbahaya.

***
"Di mana ada kehidupan, di situ pasti ada kematian. Mati itu mudah; hiduplah yang sulit. Semakin berat kehidupan yang dihadapi, semakin kuat keinginan untuk bertahan. Dan semakin besar ketakutan untuk mati, semakin besar pula perjuangan untuk terus hidup."
Kalimat di atas adalah pesan Mo Yan yang entah saya temukan di mana. Peraih Nobel Sastra tahun 2012 itu berusaha memahami bagaimana kematian dan kehidupan berjalan dalam setapak yang sama dan dalam ruang yang lebih luas.
Kematian dan kehidupan melibatkan banyak hal. Bukan hanya tentang mati dan lahir. Berbagai elemen dalam hidup ini bisa merasakan hal yang sama. Ilmu pengetahuan salah satunya yang dapat dijadikan contoh abadi bagaimana orang-orang saling bunuh-membunuh pemikiran demi lahirnya satu pengetahuan baru.
Hukum materialisme dialektik dapat merumuskan bagaimana pertentangan ini memegang kendali. Tesa dan antitesa adalah suami istri yang melahirkan anak yang bernama sintesa. Sintesa kemudian dijadikan generasi mutakhir. Entah kapan tapi selalu ada kelompok yang meletakkan sintesa sebagai tesa. Kemudian oleh kelompok lain, dicarilah antitesanya. Hingga kembali lahir sintesa.
Pola segitiga ini adalah dahaga yang selalu membutuhkan air minum tapi tak pernah benar-benar usai apa lagi selesai. Memperlihatkan pada kita bahwa kematian selalu digantikan oleh kehidupan.
***
            Entah bagaimana caranya agar kematian dan kehidupan dapat dipisahkan. Tapi upaya ini tidak pernah berhasil. Keduanya selalu ada dan berjalan beriringan pada setapak yang sama. Kita hanya tak tahu sedang mengikuti jejak langkah yang mana.
            Apa yang terjadi pada Saut Situmorang adalah cuplikan bagimana bunuh membunuh ilmu pengetahuan itu terjadi. Perang pengetahuan di negara kita ini entah dapat digolongkan berkembang atau tertahan.
            Polemik ini dimulai ketika buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang diinisiasi oleh Fatin Hamama diterbitkan. Beberapa pegiat sastra keberatan karena nama Danny JA masuk sebagai tokoh sastra paling berpengaruh dan disandingkan dengan Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Muncullah kritikan dan kecaman serta aksi penolakan oleh beberapa kalangan. Salah satunya adalah Saut Situmorang yang mengkritik lewat satus facebook dan twitter-nya serta dalam berbagai forum diskusi.
Berawal dari puisi dan berakhir di kantor polisi. Itulah mungkin kalimat sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kisah Saut Situmorang yang dipolisikan oleh Fatin Hamama – Alumni Al-Azhar, Kairo yang disebut-sebut sebagai perantara Danny JA. Dengan tuduhan pencemaran nama baik dan melanggar UU ITE.
            Peradaban Barat pernah merasakan hal yang sama. Pada masa kegelapan atau dark ages antara tahun 325 sampai 1300 M terjadi pemerkosaan keyakinan dan pembunuhan intelektual oleh kalangan agamawan. Dengan dalih demi terjaganya sakralitas agama. Moral kemudian menjadi tuhan yang lebih Tuhan.
Memasuki pertengahan tahun 2015, kita masih saling bunuh membunuh keyakinan dan intelektual. Masih memperdebatkan hal yang di Barat telah selasai ratusan tahun lalu. Yassalam!