on 1.27.2015


: ina waloni – pada suatu senja

Tak ada kenangan yang kita simpan
Kecuali percakapan yang sangaja kubiarkan memanjang
Bagai jarak yang kutahu akan membentang
Mungkin kau tak menikmatinya, Nona
Seperti aku yang bahagia menaman dalam tanah
semua kata yang engkau ucapkan

Setelah kita dipisah jarak
Kata-katamu tumbuh menjadi pohon dewandaru
Rindang meneduh tubuhku yang kurus
Kubangun rumah pohon di batangnya
Kelak, bila kau pulang
Singggahlah merebah diri
Agar kau tak pernah lelah mencintaiku
Tak pernah lelah mencintaiku

Sesekali bila didera rindu
Kuinapkan tubuhku di rumah itu
Kupetik satu daun yang paling engkau
Kuletakkan di bawah bantal lalu memejam mata
Katanya, mimpi akan datang bersama orang yang kita rindukan

Bila telah terjaga, aku menyalin doa di daun itu
Berharap engkau selalu percaya
Meskipun aku datang sebagai atau-atau yang paling meragukan

Aku menjalani dan menjalini semua ini seperti pengingat waktu yang enggan
membangunkan kau. Betah dan tabah.
on 1.26.2015


Salvador Dali adalah seorang pelukis surealis yang aneh. Karyanya diagungkan karena memiliki daya imajinasi yang kuat. Pria yang lahir pada tanggal 11 Mei 1904 di Spanyol ini juga dikenal sebagai pemelihara kumis yang absurd. Ia membentuk kumisnya seperti pedang tipis yang melengkung ke atas.
Jenghis Khan diartikan sebagai kaisar semesta, julukan yang diberikan kepada Temujin – pemimpin militer Mongolia yang berhasil menyatukan bangsa Mongol. Dia melakukan pembelantaraan kekaisaran paling luas sepanjang sejarah manusia. Temujin juga terkenal dengan kumisnya. Bahkan keberhasilannya membangun kekaisaran Mongolia menjadikan kumis lebat yang ia miliki dilambangkan cerminan pria perkasa, kuat, dan berwibawa.
Riwayat kumis Salvador Dali dan Jenghis Khan juga termaktub dalam diri Adolf Hitler, Charlie Chaplin, Groucho Marx, dan Rolli Fingers. Mereka sederet pria yang menyimpan kisah tentang kumisnya yang unik.
Dalam sejarahnya, kumis kemudian menjadi simbol tekad dan kepercayaan diri seorang pria. Setidaknya itulah pengakuan Salvador Dali tentang kumisnya. Kumis ini adalah dua penjaga yang berdiri tegak menjaga pintu masuk ke dirinya yang sebenarnya.
***
Siapa yang pernah membayangkan bahwa ditemukannya alat pencukur kumis berhasil menciptakan industri dengan keuntungan sebesar US$ 1,1 Miliar. Fakta bahwa kumis menyimpan pengaruh yang kuat dibuktian oleh Martin Luther King, Jr. Dia dikenang sebagai salah satu pria Amerika berkumis yang paling berpengaruh dalam sejarah sebagaimana dikemukakan American Mustache Institute.
Atau fakta lain yang menyebutkan bahwa kumis memiliki daya magnetis. Itu membuat pria yang tekun memelihara kumis akan menyentuh kumisnya 760 kali perhari. Tapi fakta paling dugal tentang kumis datang dari India. Polisi di kota-kota besar India sering mendapat bonus jika menumbuhkan kumis, karena kumis dianggap simbol kejantanan dan kekuasaan. Yassalam.
Beberapa fakta di atas tercatat dalam buku Allan Paterkin - dokter dan penulis yang berbasis di Toronto, yang berjudul One Thousand Mustaches: A Cultural History of the Mo.
***
            Di sebuah warung kopi, saya melihat gambar walikota terpajang di dinding – mungkin sisa kampanye yang lupa dicabut atau sengaja dibiarkan oleh pemilik warung kopi tersebut. Wajah walikota tersenyum dan tidak memiliki kumis. Saya penasaran dan mencari tahu apakah memang walikota kita enggan menumbuhkan kumis atau hanya di gambar itu saja.
Dengan bantuan internet, saya menemukan banyak gambar wajah walikota - sama banyaknya dengan umbaran keluhan masyarakat tentang keamanan dan kenyamanan. Gambar itu diambil dari berbagai tempat dan aktivitas. Ada yang sedang serius berdoa, ada yang berwajah tegang sambil mengangkat jari telunjuk, ada yang tersenyum santun penuh wibawa. Tapi satu kesamaan dari gambar wajah walikota yang saya temukan, hampir semua tidak berkumis.
Saya tidak menemukan undang-undang yang menganjurkan walikota untuk memelihara kumis. Sama halnya ketika saya mencari aturan apakah setiap pria harus menumbuhkan kumisnya.
Manusia adalah animal symbolicum, demikian Professor Ernst Cassirer – seorang filsuf Yahudi Jerman, menjelaskan tentang manusia dan simbol. Menurut dia, gerak kehidupan dan kebudayaan tidak terlepas dari eksistensi simbol dan pemaknaan terhadapnya. Dalam perkembangannya hampir tidak mungkin masyarakat ada tanpa simbol-simbol.
Memelihara kumis seperti merawat umur perjuangan. Kumis dapat dijadikan simbol pembelaan terhadap sesuatu. Seperti yang dilakukan oleh The Beatles Pada tahun 1967, mereka mengenakan kumis di sampul album yang kedelapan, Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band. Hal itu dilakukan untuk menyembunyikan bibir bengkak Paul McCartney setelah terjatuh dari sepeda motor tahun 1966.
***
Kebanyakan kota besar di Indonesia, termasuk Makassar, tumbuh seperti anak durhaka yang panjang umur. Gedung menjulang menghimpit rumah-rumah kecil kita, jalan memanjang menghubungkan ketertinggalan yang memburu kemajuan semu, taman kota hilang, kejahatan mengincar kita di mana-mana, polusi semakin memenuhi dada yang telah sesak oleh harga bahan pokok yang mahal. Yang paling mengerikan adalah kenyataan kalau kita hidup di tengah kota yang tak lagi mengenal keluh kita.
Laju perkembangan kota ini memang mengerikan. Seperti lirik lagu Dialog Dini Hari yang berjudul Oksigen; Terbang melayang, ke awan, menghilang  Datang dan pergi sendiri, tak terkendali. Itulah kota kita. Tak terkendali!
Menyalahkan walikota atas semua kemalangan ini tentu tidak bijak. Tapi menjadi walikota adalah resiko. Dipaksa menerima beban adalah salah satu resiko yang menjadi tanggung jawab walikota.
Saya membayangkan jika setiap pria di kota ini bersatu menumbuhkan kumis sebagai simbol protes kepada walikota. Protes agar pembangunan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Bukan keinginan pengembang kota yang datang membangun dan meninggalkan sampah sosial yang tak bisa kita buang apa lagi mengolahnya menjadi manfaat.
 Jadi, setiap melihat kumis, walikota merasa bahwa pria itu bagian dari orang-orang yang berjuang agar kota ini bisa tumbuh sehat. Setidaknya, itu memberi alasan bagi walikota untuk selalu mencukur kumisnya atau ia memilih ikut memanjangkan kumis.


termuat di Kolom Literasi Tempo Makassar 26/01/2015
on 1.07.2015


Toraja adalah sebuah kota kebudayaan yang terletak di Sulawesi Selatan, sekitar 300 KM dari kota Makassar. Selain kebudayaan, yang terkenal dari Toraja adalah kopi. Spesies kopi yang dinamai Kalosi dengan cita rasa khas, Toraja.
Menurut sejarah, pada tahun 1750, kopi pertama kali ditanam di Toraja. Meskipun pada masa perang dunia kedua, kopi toraja sempat dikabarkan musnah akibat karat daun yang menyerang hampir seluruh kultivar typica. Itu menyebabkan kopi toraja – termasuk kopi yang ada di Jawa, Sumatera, dan daerah penghasil kopi lainnya hampir hilang.
Tapi rasanya saya tidak menghormati kopi jika tidak membahas rokok. Rokok bagi sebagian orang – termasuk saya, adalah satu kesatuan. Ungkapan tidak ada kopi, tidak ada rokok berlaku. Meskipun saya bukan penikmat kopi level ketagihan, tapi kopi tanpa rokok itu seperti shalat tapi tidak berwudhu.
***
Seperti anak kecil pada umumnya, saya berpendapat bahwa kopi itu adalah minuman khas orang dewasa yang belum pantas diminum oleh anak kecil. Tapi setelah saya masuk di pesantren dan bertemu dengan Victor – seorang muallaf dari Toraja, saya mulai mengenal kopi.
Kebetulan saya menghabiskan masa SMA di pesantren dan Victor adalah pindahan salah satu sekolah di Toraja. Tradisi minum kopi bagi kami itu dimulai sejak Victor membawa sebungkus besar kopi Toraja. Menggunakan perlengkapan yang seadanya, kami memasak air panas dan mendidihkan air hingga cukup panas untuk melarutkan kopi.
Dengan bantuan minyak kelapa yang disimpan di atas piring besi dan gumpalan kertas, api dibakar di kertas itu dan mampu bertahan lama. Lumayanlah untuk memanaskan air hingga mendidih. Gelas besi besar yang berisi air yang disimpan di atas api itu.
Saya mengakui kecerdasan Victor dalam meracik kopi. Ia bahkan marah jika salah seorang dari kami membantunya. Katanya, kopi akan kehilangan cita rasa jika dikerjakan bersama. Yah, meskipun saya tidak percaya, tapi rasa kopi yang Victor buat memang sangat khas.
Setelah kopi selesai, kami menuangnya dalam satu gelas besar. Berapapun jumlah kami – yang ikut majelis malam asrama, gelas besar itu selalu cukup. Tapi ada pengalaman baru yang saya dapatkan. Setelah menyeduh kopi, kami menggigit kecil gula merah. Yah gula merah. Rasa pahit kopinya terasa sangat alami.
Beberapa orang di antara kami ada yang merokok. Saat saya menulis bagian ini, rasa takut jika kedapatan sama pembina asrama masih terasa.
Bermula dari lingkaran ini banyak cerita dan pengalaman yang saling bertukar. Membahas banyak hal, agama, kebudayaan, sejarah, mitos, kisah horor, bahkan sampai pengalaman bersama perempuan.
Bagian yang paling seru adalah saat salah seorang dari kami bercerita tentang siapa perempuan yang ia suka dan kami dengan bebas memberi saran. Pernah sekali, kami bermain jujur berani. Kami semua menulis di kertas siapa perempuan yang ingin kami tiduri. Salah seorang teman ternyata menulis nama perempuan yang disuka oleh teman saya. Mampus. Tentu ini adalah masalah. Tidak terima nama perempuannya ditulis, dia berdiri dan memukul teman saya. Sejak itu majelis malam asrama terhenti.
Itu terjadi saat saya masih kelas dua SMA, menjelang ujian akhir di kelas tiga. Suatu malam Victor seorang diri menanak air dan menyeduh kopi toraja. Satu persatu kami datang. Tanpa aba-aba. Tanpa undangan. Tiba-tiba suasana mencair. Ahmad yang sudah berbulan-bulan berhenti merokok lari ke pagar samping asrama dan keluar membeli rokok. Aroma kopi dan asap rokok bersatu.
***
Saya merasa kisah ini tidak ada hubungannya dengan bagaimana cara kita menikmati kopi dan rokok. Yang jelas, bahwa rokok dan kopi adalah satu kebudayaan yang dibangun dari narasi-narasi  yang panjang. Yang melalui proses kebudayaan yang melewati batas ruang dan waktu.
Setidaknya, kita harus tahu, kopi dan rokok yang kita nikmati itu asal usulnya dari mana. Apakah kopi dan rokok yang kita nikmati dari hasil keringat buruh ini tidak mengandung unsur keharaman. Atau apakah kopi dan rokok yang kita nikmati ini sudah sesuai dengan apa yang ditulis di kemasannya. Jangan-jangan kopi toraja tapi ternyata isinya hanya kopi jenis biasa. Serta beberapa asal usul lain yang harus kita ketahui.
Tentu saya tidak bermaksud untuk mengajak kita semua menjadi seorang pendakwah, tapi ada kalanya dengan mengetahui sejarah sesuatu, kita bisa semakin mencintainya.


Tereliminasi dari peradaban semacam hukuman bagi mereka yang tinggal di kota metropolitan. Kota dengan kumpulan orang yang lebih bahagia melupakan dari pada dilupakan. Lebih senang memiliki dari pada dimiliki. Lebih memilih dicintai dari pada mencintai. Sialnya, kita terjebak di kota semacam itu.
Merasa kalah saing dan terasing jika tidak memiliki telepon genggam yang cerdas, baju yang bermerek, potongan rambut terbaru, atau terlibat hura-hara yang banyak digemari oleh manusia lain. Padahal semua itu serupa puisi Sapardi Djoko Damono; yang fana adalah waktu, kita abadi.
Kita seperti berburu di hutan belantara. Memanah hewan apapun yang kita inginkan. Itulah kebuasan yang manusia miliki. Kebuasan tersembunyi yang lebih buas dari hewan yang terlihat paling buas. Sehingga kadang terlupakan, jika menyembunyikan sesuatu, kita sebenarnya sedang membiarkan seseorang menemukannya.
Di sekolah dan bangku perkuliahan kita hanya belajar untuk menyembunyikan kebuasan tersebut. Para guru mendidik kita cara untuk sabar dan patuh. Para dosen menuntut kita untuk pintar dan lebih bijak. Bukankah itu berangkat dari kesadaran bahwa manusia memang memiliki sifat kebinatangan. Sifat tersembunyi dalam diri setiap orang yang harus ditaklukkan.
***
            Ruang karoke, diskotik, rumah ibadah, atau gelanggang tinju adalah beberapa tempat yang kadang dijadikan manusia sebagai hutan belantara. Hutan kebebasan untuk mengeluarkan kebuasan.
Benarkah tempat karoke adalah wahana hiburan? Bukankah itu lebih mirip penjara dalam bentuk yang lebih bebas. Manusia bisa berteriak sambil bernyanyi. Memilih lagu tentang kekesalan jiwanya atau emosi yang ia simpan menahun.
Cobalah perhatikan mereka yang memilih diskotik sebagai tempat meluapkan emosi. Musik keras hanya membantu kita untuk berhenti sejenak memikirkan masalah. Kerlip lampu yang tiada henti membius mata kita hanyalah ilusi yang menenangkan pikiran. Toh, setelah pulang dan berhadapan dengan tumpukan pekerjaan yang belum selesai, kita akan memikirkannya lagi.
Atau rumah ibadah yang kadang didatangi oleh manusia hanya untuk buang hajat, atau istirahat dari penatnya perjalanan. Bahkan dengan perasaan yang tidak tentu, kita kadang berdoa meminta agar Tuhan memudahkan semua hal yang susah.
Atau di gelanggang tinju dan riuhan sporter yang berteriak mendukung petinju andalan mereka. Benarkah mereka menikmati pertandingan itu? Atau hanya senang melampiaskan emosinya melihat sepasang manusia saling memukul satu sama lain. Mereka mungkin tersenyum dan penuh semangat bersorak. Tapi saya melihat mata mereka merah. Wajah murung durja dan tangan mereka terkepal seakan ingin ikut memukul.
Kita sepertinya kehabisan cara untuk menikmati hidup. Seakan kota ini telah berubah menjadi deretan kalimat tuntutan. Milikilah ini! Jadilah itu! Bencilah ini! Cintailah ini! Dan tanpa sadar, suatu saat kita mungkin akan mendengar kalimat tuntutan; Bunuhlah dia!
Betapa kota ini telah mengubah bayi-bayi tak berdosa menjadi manusia-manusia penuh derita. Kita hanya tidak begitu pandai menyadari bahwa memiliki telpon genggam cerdas adalah sebuah penderitaan, menggunakan pakaian mewah adalah penderitaan, juga menghadiri kegiatan hura-hara adalah penderitaan. Penderitaan yang tidak akan sanggup kita anggap penderitaan.
Ada benarnya yang Pramoedya Ananta Toer pernah katakan, “Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.”
Parahnya, kita bukan tidak bisa menyeimbangkan kehidupan lagi, tapi kita tidak bisa melihat yang mana penderitaan dan yang mana keceriaan.
***
            Saya membayangkan suatu kapan. Ketika semua hal sudah terlalu abstrak untuk dijalani. Ketika semua manusia mulai merasa payah dalam menentukan seperti apa hidup yang layak. Ketika kita sudah berani memilih nasib sendiri. Mulai belajar membenci dan berkata tidak pada apa yang lama kita yakini sebagai kebenaran. Kita akan keluar dari semua jerat itu dan membangun kota baru. Kota puisi.
Kota puisi adalah kota di mana setiap orang bebas menentukan nasibnya sendiri. Bisa menjadi apa yang ia inginkan tanpa harus takut tuduhan orang lain. Percayalah, tuduhan sosial kepada seseorang jauh lebih penjara dari pada jeruji besi yang mengurung kita bertahun-tahun.
Saya berharap suatu saat tidak ada lagi orang yang dianggap aneh karena memanjangkan rambut. Seseorang tidak dipandang sinis lagi ketika badannya dipenuhi rajah. Atau orang lain tidak lagi protes ketika ada yang berani menyebut kata kontol sama indahnya dengan menyebut kata Tuhan. Semoga!


termuat di Literasi Tempo 05/01/15

1.27.2015

Kupetik Satu Daun yang Paling Engkau

Diposting oleh Unknown di 09.48 0 komentar


: ina waloni – pada suatu senja

Tak ada kenangan yang kita simpan
Kecuali percakapan yang sangaja kubiarkan memanjang
Bagai jarak yang kutahu akan membentang
Mungkin kau tak menikmatinya, Nona
Seperti aku yang bahagia menaman dalam tanah
semua kata yang engkau ucapkan

Setelah kita dipisah jarak
Kata-katamu tumbuh menjadi pohon dewandaru
Rindang meneduh tubuhku yang kurus
Kubangun rumah pohon di batangnya
Kelak, bila kau pulang
Singggahlah merebah diri
Agar kau tak pernah lelah mencintaiku
Tak pernah lelah mencintaiku

Sesekali bila didera rindu
Kuinapkan tubuhku di rumah itu
Kupetik satu daun yang paling engkau
Kuletakkan di bawah bantal lalu memejam mata
Katanya, mimpi akan datang bersama orang yang kita rindukan

Bila telah terjaga, aku menyalin doa di daun itu
Berharap engkau selalu percaya
Meskipun aku datang sebagai atau-atau yang paling meragukan

Aku menjalani dan menjalini semua ini seperti pengingat waktu yang enggan
membangunkan kau. Betah dan tabah.

1.26.2015

Riwayat Kumis dan Dialog Dini Hari

Diposting oleh Unknown di 04.47 0 komentar


Salvador Dali adalah seorang pelukis surealis yang aneh. Karyanya diagungkan karena memiliki daya imajinasi yang kuat. Pria yang lahir pada tanggal 11 Mei 1904 di Spanyol ini juga dikenal sebagai pemelihara kumis yang absurd. Ia membentuk kumisnya seperti pedang tipis yang melengkung ke atas.
Jenghis Khan diartikan sebagai kaisar semesta, julukan yang diberikan kepada Temujin – pemimpin militer Mongolia yang berhasil menyatukan bangsa Mongol. Dia melakukan pembelantaraan kekaisaran paling luas sepanjang sejarah manusia. Temujin juga terkenal dengan kumisnya. Bahkan keberhasilannya membangun kekaisaran Mongolia menjadikan kumis lebat yang ia miliki dilambangkan cerminan pria perkasa, kuat, dan berwibawa.
Riwayat kumis Salvador Dali dan Jenghis Khan juga termaktub dalam diri Adolf Hitler, Charlie Chaplin, Groucho Marx, dan Rolli Fingers. Mereka sederet pria yang menyimpan kisah tentang kumisnya yang unik.
Dalam sejarahnya, kumis kemudian menjadi simbol tekad dan kepercayaan diri seorang pria. Setidaknya itulah pengakuan Salvador Dali tentang kumisnya. Kumis ini adalah dua penjaga yang berdiri tegak menjaga pintu masuk ke dirinya yang sebenarnya.
***
Siapa yang pernah membayangkan bahwa ditemukannya alat pencukur kumis berhasil menciptakan industri dengan keuntungan sebesar US$ 1,1 Miliar. Fakta bahwa kumis menyimpan pengaruh yang kuat dibuktian oleh Martin Luther King, Jr. Dia dikenang sebagai salah satu pria Amerika berkumis yang paling berpengaruh dalam sejarah sebagaimana dikemukakan American Mustache Institute.
Atau fakta lain yang menyebutkan bahwa kumis memiliki daya magnetis. Itu membuat pria yang tekun memelihara kumis akan menyentuh kumisnya 760 kali perhari. Tapi fakta paling dugal tentang kumis datang dari India. Polisi di kota-kota besar India sering mendapat bonus jika menumbuhkan kumis, karena kumis dianggap simbol kejantanan dan kekuasaan. Yassalam.
Beberapa fakta di atas tercatat dalam buku Allan Paterkin - dokter dan penulis yang berbasis di Toronto, yang berjudul One Thousand Mustaches: A Cultural History of the Mo.
***
            Di sebuah warung kopi, saya melihat gambar walikota terpajang di dinding – mungkin sisa kampanye yang lupa dicabut atau sengaja dibiarkan oleh pemilik warung kopi tersebut. Wajah walikota tersenyum dan tidak memiliki kumis. Saya penasaran dan mencari tahu apakah memang walikota kita enggan menumbuhkan kumis atau hanya di gambar itu saja.
Dengan bantuan internet, saya menemukan banyak gambar wajah walikota - sama banyaknya dengan umbaran keluhan masyarakat tentang keamanan dan kenyamanan. Gambar itu diambil dari berbagai tempat dan aktivitas. Ada yang sedang serius berdoa, ada yang berwajah tegang sambil mengangkat jari telunjuk, ada yang tersenyum santun penuh wibawa. Tapi satu kesamaan dari gambar wajah walikota yang saya temukan, hampir semua tidak berkumis.
Saya tidak menemukan undang-undang yang menganjurkan walikota untuk memelihara kumis. Sama halnya ketika saya mencari aturan apakah setiap pria harus menumbuhkan kumisnya.
Manusia adalah animal symbolicum, demikian Professor Ernst Cassirer – seorang filsuf Yahudi Jerman, menjelaskan tentang manusia dan simbol. Menurut dia, gerak kehidupan dan kebudayaan tidak terlepas dari eksistensi simbol dan pemaknaan terhadapnya. Dalam perkembangannya hampir tidak mungkin masyarakat ada tanpa simbol-simbol.
Memelihara kumis seperti merawat umur perjuangan. Kumis dapat dijadikan simbol pembelaan terhadap sesuatu. Seperti yang dilakukan oleh The Beatles Pada tahun 1967, mereka mengenakan kumis di sampul album yang kedelapan, Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band. Hal itu dilakukan untuk menyembunyikan bibir bengkak Paul McCartney setelah terjatuh dari sepeda motor tahun 1966.
***
Kebanyakan kota besar di Indonesia, termasuk Makassar, tumbuh seperti anak durhaka yang panjang umur. Gedung menjulang menghimpit rumah-rumah kecil kita, jalan memanjang menghubungkan ketertinggalan yang memburu kemajuan semu, taman kota hilang, kejahatan mengincar kita di mana-mana, polusi semakin memenuhi dada yang telah sesak oleh harga bahan pokok yang mahal. Yang paling mengerikan adalah kenyataan kalau kita hidup di tengah kota yang tak lagi mengenal keluh kita.
Laju perkembangan kota ini memang mengerikan. Seperti lirik lagu Dialog Dini Hari yang berjudul Oksigen; Terbang melayang, ke awan, menghilang  Datang dan pergi sendiri, tak terkendali. Itulah kota kita. Tak terkendali!
Menyalahkan walikota atas semua kemalangan ini tentu tidak bijak. Tapi menjadi walikota adalah resiko. Dipaksa menerima beban adalah salah satu resiko yang menjadi tanggung jawab walikota.
Saya membayangkan jika setiap pria di kota ini bersatu menumbuhkan kumis sebagai simbol protes kepada walikota. Protes agar pembangunan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Bukan keinginan pengembang kota yang datang membangun dan meninggalkan sampah sosial yang tak bisa kita buang apa lagi mengolahnya menjadi manfaat.
 Jadi, setiap melihat kumis, walikota merasa bahwa pria itu bagian dari orang-orang yang berjuang agar kota ini bisa tumbuh sehat. Setidaknya, itu memberi alasan bagi walikota untuk selalu mencukur kumisnya atau ia memilih ikut memanjangkan kumis.


termuat di Kolom Literasi Tempo Makassar 26/01/2015

1.07.2015

Ironi Kecil tentang Kopi, Rokok, dan Asal Usul

Diposting oleh Unknown di 01.54 1 komentar


Toraja adalah sebuah kota kebudayaan yang terletak di Sulawesi Selatan, sekitar 300 KM dari kota Makassar. Selain kebudayaan, yang terkenal dari Toraja adalah kopi. Spesies kopi yang dinamai Kalosi dengan cita rasa khas, Toraja.
Menurut sejarah, pada tahun 1750, kopi pertama kali ditanam di Toraja. Meskipun pada masa perang dunia kedua, kopi toraja sempat dikabarkan musnah akibat karat daun yang menyerang hampir seluruh kultivar typica. Itu menyebabkan kopi toraja – termasuk kopi yang ada di Jawa, Sumatera, dan daerah penghasil kopi lainnya hampir hilang.
Tapi rasanya saya tidak menghormati kopi jika tidak membahas rokok. Rokok bagi sebagian orang – termasuk saya, adalah satu kesatuan. Ungkapan tidak ada kopi, tidak ada rokok berlaku. Meskipun saya bukan penikmat kopi level ketagihan, tapi kopi tanpa rokok itu seperti shalat tapi tidak berwudhu.
***
Seperti anak kecil pada umumnya, saya berpendapat bahwa kopi itu adalah minuman khas orang dewasa yang belum pantas diminum oleh anak kecil. Tapi setelah saya masuk di pesantren dan bertemu dengan Victor – seorang muallaf dari Toraja, saya mulai mengenal kopi.
Kebetulan saya menghabiskan masa SMA di pesantren dan Victor adalah pindahan salah satu sekolah di Toraja. Tradisi minum kopi bagi kami itu dimulai sejak Victor membawa sebungkus besar kopi Toraja. Menggunakan perlengkapan yang seadanya, kami memasak air panas dan mendidihkan air hingga cukup panas untuk melarutkan kopi.
Dengan bantuan minyak kelapa yang disimpan di atas piring besi dan gumpalan kertas, api dibakar di kertas itu dan mampu bertahan lama. Lumayanlah untuk memanaskan air hingga mendidih. Gelas besi besar yang berisi air yang disimpan di atas api itu.
Saya mengakui kecerdasan Victor dalam meracik kopi. Ia bahkan marah jika salah seorang dari kami membantunya. Katanya, kopi akan kehilangan cita rasa jika dikerjakan bersama. Yah, meskipun saya tidak percaya, tapi rasa kopi yang Victor buat memang sangat khas.
Setelah kopi selesai, kami menuangnya dalam satu gelas besar. Berapapun jumlah kami – yang ikut majelis malam asrama, gelas besar itu selalu cukup. Tapi ada pengalaman baru yang saya dapatkan. Setelah menyeduh kopi, kami menggigit kecil gula merah. Yah gula merah. Rasa pahit kopinya terasa sangat alami.
Beberapa orang di antara kami ada yang merokok. Saat saya menulis bagian ini, rasa takut jika kedapatan sama pembina asrama masih terasa.
Bermula dari lingkaran ini banyak cerita dan pengalaman yang saling bertukar. Membahas banyak hal, agama, kebudayaan, sejarah, mitos, kisah horor, bahkan sampai pengalaman bersama perempuan.
Bagian yang paling seru adalah saat salah seorang dari kami bercerita tentang siapa perempuan yang ia suka dan kami dengan bebas memberi saran. Pernah sekali, kami bermain jujur berani. Kami semua menulis di kertas siapa perempuan yang ingin kami tiduri. Salah seorang teman ternyata menulis nama perempuan yang disuka oleh teman saya. Mampus. Tentu ini adalah masalah. Tidak terima nama perempuannya ditulis, dia berdiri dan memukul teman saya. Sejak itu majelis malam asrama terhenti.
Itu terjadi saat saya masih kelas dua SMA, menjelang ujian akhir di kelas tiga. Suatu malam Victor seorang diri menanak air dan menyeduh kopi toraja. Satu persatu kami datang. Tanpa aba-aba. Tanpa undangan. Tiba-tiba suasana mencair. Ahmad yang sudah berbulan-bulan berhenti merokok lari ke pagar samping asrama dan keluar membeli rokok. Aroma kopi dan asap rokok bersatu.
***
Saya merasa kisah ini tidak ada hubungannya dengan bagaimana cara kita menikmati kopi dan rokok. Yang jelas, bahwa rokok dan kopi adalah satu kebudayaan yang dibangun dari narasi-narasi  yang panjang. Yang melalui proses kebudayaan yang melewati batas ruang dan waktu.
Setidaknya, kita harus tahu, kopi dan rokok yang kita nikmati itu asal usulnya dari mana. Apakah kopi dan rokok yang kita nikmati dari hasil keringat buruh ini tidak mengandung unsur keharaman. Atau apakah kopi dan rokok yang kita nikmati ini sudah sesuai dengan apa yang ditulis di kemasannya. Jangan-jangan kopi toraja tapi ternyata isinya hanya kopi jenis biasa. Serta beberapa asal usul lain yang harus kita ketahui.
Tentu saya tidak bermaksud untuk mengajak kita semua menjadi seorang pendakwah, tapi ada kalanya dengan mengetahui sejarah sesuatu, kita bisa semakin mencintainya.

Kota Puisi

Diposting oleh Unknown di 01.44 1 komentar


Tereliminasi dari peradaban semacam hukuman bagi mereka yang tinggal di kota metropolitan. Kota dengan kumpulan orang yang lebih bahagia melupakan dari pada dilupakan. Lebih senang memiliki dari pada dimiliki. Lebih memilih dicintai dari pada mencintai. Sialnya, kita terjebak di kota semacam itu.
Merasa kalah saing dan terasing jika tidak memiliki telepon genggam yang cerdas, baju yang bermerek, potongan rambut terbaru, atau terlibat hura-hara yang banyak digemari oleh manusia lain. Padahal semua itu serupa puisi Sapardi Djoko Damono; yang fana adalah waktu, kita abadi.
Kita seperti berburu di hutan belantara. Memanah hewan apapun yang kita inginkan. Itulah kebuasan yang manusia miliki. Kebuasan tersembunyi yang lebih buas dari hewan yang terlihat paling buas. Sehingga kadang terlupakan, jika menyembunyikan sesuatu, kita sebenarnya sedang membiarkan seseorang menemukannya.
Di sekolah dan bangku perkuliahan kita hanya belajar untuk menyembunyikan kebuasan tersebut. Para guru mendidik kita cara untuk sabar dan patuh. Para dosen menuntut kita untuk pintar dan lebih bijak. Bukankah itu berangkat dari kesadaran bahwa manusia memang memiliki sifat kebinatangan. Sifat tersembunyi dalam diri setiap orang yang harus ditaklukkan.
***
            Ruang karoke, diskotik, rumah ibadah, atau gelanggang tinju adalah beberapa tempat yang kadang dijadikan manusia sebagai hutan belantara. Hutan kebebasan untuk mengeluarkan kebuasan.
Benarkah tempat karoke adalah wahana hiburan? Bukankah itu lebih mirip penjara dalam bentuk yang lebih bebas. Manusia bisa berteriak sambil bernyanyi. Memilih lagu tentang kekesalan jiwanya atau emosi yang ia simpan menahun.
Cobalah perhatikan mereka yang memilih diskotik sebagai tempat meluapkan emosi. Musik keras hanya membantu kita untuk berhenti sejenak memikirkan masalah. Kerlip lampu yang tiada henti membius mata kita hanyalah ilusi yang menenangkan pikiran. Toh, setelah pulang dan berhadapan dengan tumpukan pekerjaan yang belum selesai, kita akan memikirkannya lagi.
Atau rumah ibadah yang kadang didatangi oleh manusia hanya untuk buang hajat, atau istirahat dari penatnya perjalanan. Bahkan dengan perasaan yang tidak tentu, kita kadang berdoa meminta agar Tuhan memudahkan semua hal yang susah.
Atau di gelanggang tinju dan riuhan sporter yang berteriak mendukung petinju andalan mereka. Benarkah mereka menikmati pertandingan itu? Atau hanya senang melampiaskan emosinya melihat sepasang manusia saling memukul satu sama lain. Mereka mungkin tersenyum dan penuh semangat bersorak. Tapi saya melihat mata mereka merah. Wajah murung durja dan tangan mereka terkepal seakan ingin ikut memukul.
Kita sepertinya kehabisan cara untuk menikmati hidup. Seakan kota ini telah berubah menjadi deretan kalimat tuntutan. Milikilah ini! Jadilah itu! Bencilah ini! Cintailah ini! Dan tanpa sadar, suatu saat kita mungkin akan mendengar kalimat tuntutan; Bunuhlah dia!
Betapa kota ini telah mengubah bayi-bayi tak berdosa menjadi manusia-manusia penuh derita. Kita hanya tidak begitu pandai menyadari bahwa memiliki telpon genggam cerdas adalah sebuah penderitaan, menggunakan pakaian mewah adalah penderitaan, juga menghadiri kegiatan hura-hara adalah penderitaan. Penderitaan yang tidak akan sanggup kita anggap penderitaan.
Ada benarnya yang Pramoedya Ananta Toer pernah katakan, “Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.”
Parahnya, kita bukan tidak bisa menyeimbangkan kehidupan lagi, tapi kita tidak bisa melihat yang mana penderitaan dan yang mana keceriaan.
***
            Saya membayangkan suatu kapan. Ketika semua hal sudah terlalu abstrak untuk dijalani. Ketika semua manusia mulai merasa payah dalam menentukan seperti apa hidup yang layak. Ketika kita sudah berani memilih nasib sendiri. Mulai belajar membenci dan berkata tidak pada apa yang lama kita yakini sebagai kebenaran. Kita akan keluar dari semua jerat itu dan membangun kota baru. Kota puisi.
Kota puisi adalah kota di mana setiap orang bebas menentukan nasibnya sendiri. Bisa menjadi apa yang ia inginkan tanpa harus takut tuduhan orang lain. Percayalah, tuduhan sosial kepada seseorang jauh lebih penjara dari pada jeruji besi yang mengurung kita bertahun-tahun.
Saya berharap suatu saat tidak ada lagi orang yang dianggap aneh karena memanjangkan rambut. Seseorang tidak dipandang sinis lagi ketika badannya dipenuhi rajah. Atau orang lain tidak lagi protes ketika ada yang berani menyebut kata kontol sama indahnya dengan menyebut kata Tuhan. Semoga!


termuat di Literasi Tempo 05/01/15