on 3.19.2016

“Saya pikir Liddle dan ilmuwan asing yang mendalami Indonesia berkutat dengan isi, sementara kaum terpelajar Indonesia bersolek dengan bungkus. Mereka berpikir seluruh, sedangkan kita berpikir separuh. Jadilah kita manusia separuh, hanya berperan sebagai bungkus-bungkus, dan itu sudah dimulai sejak di pikiran, ketika kita berbahasa." – Salomo Simanungkalit.

Gagasan di atas, secara sederhana, coba menyandarkan realita berbahasa kita pada sesuatu yang disebut Albert Einsten sebagai reality is merely an illusion. Istilah ini merujuk pada keadaan di mana realitas menjadi sinonim kepalsuan.
Stasiun televesi dan ruang diskusi menjadi tempat terbaik untuk melihat bagaimana gagapnya kita dalam berbahasa. Mari memperhatikan petikan wawancara artis Indonesia dan bandingkan dengan jumpa pers pelatih sepak bola di liga Inggris. Tanpa bermaksud menganggap pelatih lebih baik dari artis. Dalam konteks penggunaan bahasa, saya merasa peramu sepakbola memang nampaknya lebih jujur dan berani.
Mengutip komentar Jose Mourinho ketika dipecat oleh Chelsea FC, “Saya siap menjalaninya, untuk mengatasinya, karena saya punya kematangan dan pengalaman. Tapi saya membayangkan, bila hal seperti ini terjadi di awal, mungkin karier saya akan lebih baik.” Bandingkan dengan pernyataan Saipul Jamil saat diminta menjelaskan kronologi kasus pencabulan yang menimpanya "Dan saya khilaf, Pak. Enggak ada maksud ke sana. Itu pun terjadi sekali aja."
Bahasa yang dipilih Mourinho memiliki gairah penerimaan atas pemecatan dan semangat untuk bangkit kembali,  sementara bahasa yang dipilih Saipul Jamil, terbaca jika dia tidak menerima tuduhan pencabulan tersebut, meskipun telah terbukti bersalah.
Ini hanya penggambaran kecil dari perbandingan dua tokoh, namun tampaknya, bakat-bakat ketidakmapanan kita berbahasa dengan dalam dan terang memang dimulai sejak di pikiran. Atau mungkin pemilihan bahasa kita memang tidak pernah dipikirkan terlebih dahulu.
Persoalan seluruh dan separuh menjadi hal yang disinggung Salomo dengan serius. Pikiran yang patah atau logika yang mudah disangkal. Pembahasan dalam ruang-ruang diskusi sebatas ranah permukaan dan tidak menyelami pusat permasalahan. Barangkali tulisan ini juga, demikian adanya, hanya membahas persoalan-persoalan remeh yang tidak penting untuk diketahui.
Saya sendiri takut, bahasa bukan lagi alat untuk menjelaskan sebuah persoalan. Bahasa bukan lagi hasil pemikiran yang memiliki kedalaman, tapi menjadi kebohongan-kebohongan yang dibiarkan terus berbicara. Pada titik tertentu, kita lebih percaya hal yang heboh dan kosong dari pada kalimat sederhana yang berterus terang.
Apa yang kita ucapkan adalah bahasa, dan semua kata yang dipilih seharusnya melalui tahap pikiran. Namun bila di dalam sana, segala sesuatunya patah dan terbelah, maka tidak ada hal yang dapat selesai tanpa menderita gangguan.
Untuk menjelaskan cara mengatasi kelaparan, maka kita berbicara tentang bagaimana menjatuhkan sebuah rezim. Untuk menghentikan ketergantungan terhadap media sosial, maka kita berhenti menggunakan internet. Untuk membiarkan anak-anak mudah diatur, maka mereka diberikan telepon cerdas yang berisi permainan-permainan.
Semua solusi yang kita berikan adalah hasil pemikiran yang patah. Itu menyebabkan hal yang kita anggap penyelesaian justru bertindak sebagai penyamaran, permukaan yang tidak akan pernah membawa pemikiran kita untuk tenggelam ke inti masalah.
Penggambaran realitas oleh Einsten telah merasuki sistem kebahasaan kita. Bahasa hanyalah ilusi belaka. Segala kepalsuan dan hal-hal yang tidak kita pahami tersembunyi di dalamnya. Kita menggunakan bahasa dan berharap dapat menjelaskan jika kita adalah orang yang cerdas yang paham persoalan.
Ilmu sintaksis dan pragmatik akhirnya hanya menjelaskan tatanan kebahasaan dan dikelabui oleh semua ilusi itu. Peletakan subjek dalam kalimat seolah berhasil menjawab siapa dan peletakan objek dalam kalimat seolah sanggup menjawab bagaimana. Namun nyatanya, siapa dan bagaimana itu tidak pernah kita kenal seutuhnya.
Menjadi pembungkus yang hanya paham persoalan kulit. Terlebih jika ini menyangkut persoalan yang kita anggap sanggup kuasai. Semacam sepasang kekasih yang seharusnya bisa menjaga perasaan, namun salah seorang di antaranya justru berkhianat dan tetap merasa saling menyayangi. Ajaib.
Pada akhirnya, kita harus kembali membersihkan debu-debu dalam pikiran, mencoba menata kembali segala permasalahan dari awal. Toh, kesanggupan berbahasa tidak menunjukkan bagaimana kita menguasai sesuatu, tapi bagaimana kita jujur untuk melihat masalah. Dan semoga, harapan saya, pendangan Salomo pada pembuka tulisan ini suatu saat akan membalik dirinya sendiri.

3.19.2016

Akrobat Bahasa

Diposting oleh Unknown di 21.56 2 komentar

“Saya pikir Liddle dan ilmuwan asing yang mendalami Indonesia berkutat dengan isi, sementara kaum terpelajar Indonesia bersolek dengan bungkus. Mereka berpikir seluruh, sedangkan kita berpikir separuh. Jadilah kita manusia separuh, hanya berperan sebagai bungkus-bungkus, dan itu sudah dimulai sejak di pikiran, ketika kita berbahasa." – Salomo Simanungkalit.

Gagasan di atas, secara sederhana, coba menyandarkan realita berbahasa kita pada sesuatu yang disebut Albert Einsten sebagai reality is merely an illusion. Istilah ini merujuk pada keadaan di mana realitas menjadi sinonim kepalsuan.
Stasiun televesi dan ruang diskusi menjadi tempat terbaik untuk melihat bagaimana gagapnya kita dalam berbahasa. Mari memperhatikan petikan wawancara artis Indonesia dan bandingkan dengan jumpa pers pelatih sepak bola di liga Inggris. Tanpa bermaksud menganggap pelatih lebih baik dari artis. Dalam konteks penggunaan bahasa, saya merasa peramu sepakbola memang nampaknya lebih jujur dan berani.
Mengutip komentar Jose Mourinho ketika dipecat oleh Chelsea FC, “Saya siap menjalaninya, untuk mengatasinya, karena saya punya kematangan dan pengalaman. Tapi saya membayangkan, bila hal seperti ini terjadi di awal, mungkin karier saya akan lebih baik.” Bandingkan dengan pernyataan Saipul Jamil saat diminta menjelaskan kronologi kasus pencabulan yang menimpanya "Dan saya khilaf, Pak. Enggak ada maksud ke sana. Itu pun terjadi sekali aja."
Bahasa yang dipilih Mourinho memiliki gairah penerimaan atas pemecatan dan semangat untuk bangkit kembali,  sementara bahasa yang dipilih Saipul Jamil, terbaca jika dia tidak menerima tuduhan pencabulan tersebut, meskipun telah terbukti bersalah.
Ini hanya penggambaran kecil dari perbandingan dua tokoh, namun tampaknya, bakat-bakat ketidakmapanan kita berbahasa dengan dalam dan terang memang dimulai sejak di pikiran. Atau mungkin pemilihan bahasa kita memang tidak pernah dipikirkan terlebih dahulu.
Persoalan seluruh dan separuh menjadi hal yang disinggung Salomo dengan serius. Pikiran yang patah atau logika yang mudah disangkal. Pembahasan dalam ruang-ruang diskusi sebatas ranah permukaan dan tidak menyelami pusat permasalahan. Barangkali tulisan ini juga, demikian adanya, hanya membahas persoalan-persoalan remeh yang tidak penting untuk diketahui.
Saya sendiri takut, bahasa bukan lagi alat untuk menjelaskan sebuah persoalan. Bahasa bukan lagi hasil pemikiran yang memiliki kedalaman, tapi menjadi kebohongan-kebohongan yang dibiarkan terus berbicara. Pada titik tertentu, kita lebih percaya hal yang heboh dan kosong dari pada kalimat sederhana yang berterus terang.
Apa yang kita ucapkan adalah bahasa, dan semua kata yang dipilih seharusnya melalui tahap pikiran. Namun bila di dalam sana, segala sesuatunya patah dan terbelah, maka tidak ada hal yang dapat selesai tanpa menderita gangguan.
Untuk menjelaskan cara mengatasi kelaparan, maka kita berbicara tentang bagaimana menjatuhkan sebuah rezim. Untuk menghentikan ketergantungan terhadap media sosial, maka kita berhenti menggunakan internet. Untuk membiarkan anak-anak mudah diatur, maka mereka diberikan telepon cerdas yang berisi permainan-permainan.
Semua solusi yang kita berikan adalah hasil pemikiran yang patah. Itu menyebabkan hal yang kita anggap penyelesaian justru bertindak sebagai penyamaran, permukaan yang tidak akan pernah membawa pemikiran kita untuk tenggelam ke inti masalah.
Penggambaran realitas oleh Einsten telah merasuki sistem kebahasaan kita. Bahasa hanyalah ilusi belaka. Segala kepalsuan dan hal-hal yang tidak kita pahami tersembunyi di dalamnya. Kita menggunakan bahasa dan berharap dapat menjelaskan jika kita adalah orang yang cerdas yang paham persoalan.
Ilmu sintaksis dan pragmatik akhirnya hanya menjelaskan tatanan kebahasaan dan dikelabui oleh semua ilusi itu. Peletakan subjek dalam kalimat seolah berhasil menjawab siapa dan peletakan objek dalam kalimat seolah sanggup menjawab bagaimana. Namun nyatanya, siapa dan bagaimana itu tidak pernah kita kenal seutuhnya.
Menjadi pembungkus yang hanya paham persoalan kulit. Terlebih jika ini menyangkut persoalan yang kita anggap sanggup kuasai. Semacam sepasang kekasih yang seharusnya bisa menjaga perasaan, namun salah seorang di antaranya justru berkhianat dan tetap merasa saling menyayangi. Ajaib.
Pada akhirnya, kita harus kembali membersihkan debu-debu dalam pikiran, mencoba menata kembali segala permasalahan dari awal. Toh, kesanggupan berbahasa tidak menunjukkan bagaimana kita menguasai sesuatu, tapi bagaimana kita jujur untuk melihat masalah. Dan semoga, harapan saya, pendangan Salomo pada pembuka tulisan ini suatu saat akan membalik dirinya sendiri.