on 12.31.2013
Saya, Ayah, dan menulis adalah tiga serangkai yang punyai kaitan sejarah di masa lalu. Sejak kecil, saya dianggap anak badung dan harus mendapatkan ceramah dari Ayah setiap melakukan ken-akal-an. Setiap saya diceramahi, pikiran saya keliling dunia, menemukan pembenaran bahwa mengapa saya harus seperti itu, mengapa saya harus memukul wajah orang yang memang pantas mendapatkannya, mengapa saya harus lari dari pesantren, mengapa saya harus ke stadion tanpa izin untuk menonton sepak bola. Setiap saya diceramahi, Ayah selalu punya kisah baru tentang dirinya di masa lalu, kadang saya harus menemukan cara agar mendapat ceramah yang saya inginkan. Untuk tahu apa yang dilakukan oleh Ayah di masa lalu, saya tinggal melakukan apa yang menurut sebagian orang salah, misalnya saat tidak memotong rambut, maka Ayah pasti berkisah tentang dia dan rambutnya di masa lalu. Saya selalu senang dan bahagia mendapatkan kisah-kisah yang tidak mungkin saya temukan dari orang lain. Intinya, saya kadang melakukan sesuatu untuk tahu seperti apa Ayah saya di masa lalu tanpa harus memintanya menjelaskan panjang lebar kepada saya.

Tapi sampai sekarang satu pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya dari Ayah adalah, siapa nama yang tersemat dibelakang nama saya. Yah, sejak saya sadar bahwa saya punya nama, Palogai sudah melekat seperti burung dan sayapnya. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Nama itu menjadi populer ketika saya masih SD, bahkan teman sekelas lebih sering memanggil saya Palogai dari pada sapaan kecil saya sendiri. Saya sedikit terganggu dan merasa risih. Tapi Ayah senyum-senyum saja ketika saya Tanya, siapa sebenarnya Palogai.

Saat saya masih kecil, dihukum adalah kebiasaan yang hampir tiap hari saya dapatkan. Salah satu cara Ayah menghukum anaknya selain menceramahi adalah dengan mengambil kertas dan pulpen lalu mengurungnya di kamar, dia hanya berpesan tulis apa yang kamu inginkan lalu berlalu dengan mengunci pintu dan membiarkan saya merasa sendiri. Ayah baru membukanya setelah beberapa jam. Di dalam kamar, saya mulai berfantasi dan mencoba mengeluarkan semua kata yang saya miliki meskipun tidak ada hubungannya dengan kesalahan saya. Menyedihkan.

Dari kebiasan dihukum seperti itu saya menjadi sadar bahwa orang tua saya lebih mudah mengerti apa yang saya inginkan melalui tulisan ketimbang menanyainya langsung. Sebab untuk anak seperti saya, bersuara di depan Ayah adalah salah satu hal yang membuat saya malu dan canggung. Kebiasaan itu saya bawa sampai sekarang. Bahkan parahnya, untuk sekadar meminta uang kepada Ayah, saya selalu meminta jasa Ibu saya untuk menyampaikannya kepada Ayah.

Setelah cukup mengerti apa guna sebuah tulisan, pengalaman di masa kecil saya itu menjadi guru yang cukup berhasil mendekatkan saya dengan dunia tulis menulis. Saya juga merasa beruntung berada di sebuah rumah yang memiliki perpustakaan sendiri. Ayah saya adalah salah satu pembaca akut yang sebenarnya tidak pernah memaksa saya untuk ikut membaca atau senang dengan dunia baca tulis. Tapi karena semenjak kecil Ayah jarang membelikan mainan, maka saat kecil saya senang memilih buku-buku yang bersampul bagus lalu membacanya meskipun saya belum tahu apa maksud tulisan tersebut.

Kembali lagi pada persoalan kebiasaan, saya akhirnya mulai terbiasa membaca buku. Ayah saya juga langganan koran, maka kebiasan membaca koran sebelum berangkat ke sekolah saya lakukan. Saya senang membaca beberapa berita, terutama olah raga. Dari Koran itu saya banyak tahu nama tokoh-tokoh di Indonesia serta kejadian menarik apa saja yang terjadi. Hingga suatu hari saya menemukan lembaran koran yang memuat sebuah puisi, semenjak itu saya mulai suka dan senang membentuk kata-kata seperti yang saya temukan di koran tersebut.

Semakin hari, saya mulai menemukan jawaban bahwa menulis adalah pekerjaan yang mengabadikan. Meskipun selama proses pencarian makna kalimat tersebut, saya belum berhasil sampai dititik akhir untuk menarik kesimpulan.

Kuliah di Fakultas Sastra semakin menambah pengetahuan saya tentang dunia kepenulisan, khusunya puisi. Berdiskusi dan bertukar buka menambah wawasan dan membangkitkan semua kecamuk dalam kepalaku tentang dunia tulis membaca. Anggapan tiap anggapan akhirnya tumbang dan saya mantap memilih jalan ini. Meskipun penuh kesunyian dan kadang harus mengorbankan orang-orang di sekitar saya.
Saya beranggapan bahwa menulis adalah pekerjaan yang mengabadikan, sekaligus mengabaikan. Dalam banyak hal, saya hanya mencoba mengabadikan beberapa kejadian penting yang membuat saya merasa tidak penting untuk masuk ke dalam tulisan. Kadang sedikit tergesa-gesa, kadang sangat lama, kadang bahkan saya tidak menulis apa-apa. Menulis seperti juga kutukan, saya akhirnya tidak bisa meninggalkan pekerjaan menulis. Kesulitan terbaik dari menulis bagi saya adalah menyambungkan ide ke dalam realitas atau sederhananya memasukkan air ke dalam bejana. Terbaca sederhana namun butuh pengalaman yang kuat untuk mahir mengerjakannya.

Setiap saya menulis, saya selalu merasa diberikan mata baru untuk melihat ke dalam diri. Tapi semakin banyak mata yang lahir, rasanya semakin sulit pula untuk melihat ke dalam diri. Saya kadang harus mempekerjakan perasaan saya untuk berkelahi dengan diri sendiri. Pengalaman terburuk adalah saat harus merelakan waktu berjalan membawa semua kata yang saya butuhkan sedangkan diri saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itulah saya tidak bisa berdamai dengan kondisi. Satu-satunya penghibur paling bijak adalah kesimpulan bahwa saya masih bisa membaca dengan baik.

Pekerjaan menulis benar-benar telah memisahkan saya dengan diri sendiri, sangat jauh. Bahkan tanpa sadar saya kadang merasa bertindak diluar diri saya. Suatu kapan, saya mungkin akan mati dengan keadaan tidak memiliki diri sendiri. Sebab itu, mungkin menulis adalah tindakan sihir. Simsalabim.

Menulis saya anggap sebagai pintu masuk kedalam diri saya. Pintu yang memiliki jendela, akar, kacamata, sekaligus pintu yang memiliki alamnya sendiri. Dalam menulis saya mencoba menghadirkan diri ke tengah-tengah halaman dimana orang-orang telah menciptakan pengertian tentang halaman itu sendiri. Semoga saya tidak tersesat.

Ritual menulis bagi sebagian orang mungkin tidak penting, tapi bagi saya itu adalah sebuah kewajaran yang akan saya lakukan dengan senang hati. Saya sangat jarang menemukan masalah dalam menentukan kata pertama saat menulis, maka ritual yang saya lakukan adalah membaca dengan sinis dan berulang-ulang sampai saya merasa bahwa tulisan ini jelek kemudian mencampakkannya. Beberapa hari kemudian saya akan mengunjunginya kembali dan mengubah beberapa kata atau kalimat yang saya anggap buruk.

Meskipun saya sendiri tidak yakin bahwa yang saya lakukan selama ini adalah “menulis” tapi saya selalu percaya bahwa yang saya kerjakan ini adalah kebaikan. Seperti yang Ayah saya selalu katakan sejak saya kecil, bahwa tersenyum, berbuat baik, dan beribadah itu adalah standar setiap manusia tanpa memandang kaya-miskin. 


Setelah kotaku dengan gembira diledakkan hujan empat hari berturut-turut
kau masih setia di atas kasur membujurkan tubuhmu ke jendala
menghitung kebencian yang ikut menetes dari rembes air di atapmu
membayangkan setumpuk selimut menutup buah dadamu dan aku ikut memelukmu dari salah satu celah pelukanmu, juga bertelanjang dada menghadap ke kiblat
satu tanganku menyamar menjadi rambutmu dan mengusapnya sedemikian lena
simsalabim, aku dikutuk menjadi pikiranmu
maka jadilah kita seselimut sambil meringkih manja.
Setelah hujan reda dan air kian rendah, kau berjalan dengan helai celana dalam
menuju ke bagasi memanaskan mesin mobil
lalu kembali ke atas kasur dan menyeretku sambil menyulap air mani
menjadi bahan bakar darurat yang tak ada habisnya
mobil ini adalah kendaraan yang digunakan adam ketika diungsikan ke bumi, katamu sambil mencium buah wajahku dengan mata terpejam
tapi saat itu surga sedang tak banjir, kataku sambil menyelinap di tengkukmu

Kau menggiringku ke suatu tempat di atas langit
menutup wajahku dengan bra merah yang kau petik dari pohon iklima
di luar rumah, para lelaki tak melihat kita sebab ia sibuk mengungsi pada ketinggian cahaya
sedangkan perempuan memenuhi mulutnya dengan hujat hujan
dan ramai berziarah ke rumah ibadah
berdoa agar banjir menjadi selangkangan pelacur
tak tahu bahwa di bawah hujan anak-anak mereka sedang bercinta dengan kematian

Setelah empat hari berseling matahari, hujan menjadi lima, enam, dan seterusnya
lalu banjir kian menganga membuaskan manusia menjadi beton bertingkat
mereka mengungsi ke mal dan gedung tinggi
membawa setiap masalah dan menyimpulkan kematian di kepalanya
menjarah setiap makanan, juga perawan yang butuh dijarah
lalu kota ini berubah menjadi museum masa lalu

Manusia menuju ladang perburuan abadi
sedang kita masih asik bercinta di dalam mobil adam sambil dituntun oleh Tuhan
on 10.14.2013
(sebuah catatan tidak penting dari seorang yang gila)

            Masih akrab di mata penyimak berita, kasus Andrea Hirata, seorang penulis buku trilogi Laskar Pelangi mengklaim bahwa karyanya telah mendapat pengakuan international best seller. Kemudian Damar Juniarto, seorang publisis membuat tulisan untuk meng-cross check beberapa pernyataan Andrea Hirata, diantaraanya adalah yang menyebutkan bahwa novelnya akan diterbitkan ulang oleh Farrar, Straus, dan Girroux (FSG), penerbit internasional yang menerbitkan buku-buku pemenang Nobel sastra. Hasilnya, menurut Damar Juniarto, Laskar Pelangi diterbitkan oleh imprint FSG, yaitu Sarah Crichton Books.
Kedua, soal pernyataan Andrea bahwa selama 100 tahun tidak ada karya anak bangsa yang mendunia. Hal ketiga yang diverifikasi Damar adalah klaim international best-seller untuk Laskar Pelangi. Menurutnya, dasar pencantuman label “international best-seller” pada novel Laskar Pelangi tidak jelas.
Alih-alih meluruskan masalah, Andrea Hirata bahkan berniat menggugat Damar Juniarto ke pihak berwajib. Tidak berhenti sampai disitu, “kubu-kubu” Damar Juniarto kemudian membalas ancaman Andrea Hirata dengan berbagai kritikan.

***
           
Contoh kasus di atas memang mengerikan untuk menjadi bahan pembelajaran. Penulis mengambil contoh kasus di atas bukan untuk mengungkit kejadian yang telah berlalu ataupun menghakimi Andrea Hirata dan membela Damar Juniarto, tetapi penulis merasa bahwa perlu membuka ulang sebuah permasalahan sebagai pembelajaran untuk menyikapi perbedaan dan menerima kritikan.
Jika kita telaah kasus di atas, salah satu pemicu orgasme pada masalah tersebut adalah, “kubu-kubu” yang saling melancarkan serangan. Kubu-kubu inilah yang akhirnya saling melibatkan diri dan menyulutkan ketidaksepahaman terhadap sebuah gagasan. Pada akhirnya, masalah yang sebenarnya hanya perlu diselesaikan oleh dua orang malah semakin ramai dan memperlihatkan betapa kita tidak bisa menerima sebuah perbedaan.
Dalam sejarahnya, kita sering dituding sebagai manusia Indonesia yang bermental budak, tudingan ini terjadi akibat lamanya nusantara kita dijajah oleh bangsa yang lebih terkontrol dan dapat memanfaatkan peluang invasi terhadap suatu wilayah.
Untuk lepas dari mental tersebut dibutuhkan pendidikan karakter yang mengakar dalam kepala setiap manusia Indonesia. Tetapi bukan berarti bahwa kita juga mesti menolak untuk dikritik ataupun membalas kritikan dengan ancaman. Melainkan dapat menerima kritikan sebagai suatu hal yang membangun jati diri setiap manusia yang berkarya.
Penulis mengingat jawaban dari salah seorang Kritikus Sastra dari Makassar (Alm) Ahyar Anwar dalam sebuah diskusi. Ia melontarkan pernyataan “tugas anda sebagai penulis adalah menghasilkan karya sastra, sedangkan tugas kritikus untuk mengkrtik karya sastra.” Dua hal berbeda yang saling berhubungan erat.
Karya yang telah dikritik seharusnya menjadi pelajaran terhadap karya itu sendiri, bukan terhadap penulisnya. Lantas jika bukan penulisnya, bagaimana kritik itu hidup? kritik itu hidup karena dituliskan, bukan karena dipertentangkan. Dalam uraian singkat, seorang penulis yang karyanya dikritik tetaplah terus menghasilkan karya sastra. Penulis itu sendirilah yang bisa memlih, apakah kritik itu diterima atau memilih menyimpannya sebagai hal yang tidak penting selama proses berkaryanya. Itu manusiawi bagi seorang yang dikritik dan bukan masalah yang mesti kita bawa kemana-mana.
Dalam melihat sebuah masalah, Emanuel Kant berpendapat bahwa untuk mencapai kebenaran kita perlu mengkritisi Rasionalisme dan Empirisme serta tidak boleh mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) saja. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu, ia menawarkan sebuah konsep “Filsafat Kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Ada benarnya, sebab secara harfiah kata kritik memang berarti pemisahan, bukan pembeda.

***

Sikap anti kritik dan membela “karena teman” inilah yang kemudian menjadi persoalan telak. Ditambah sikap segelintir orang yang senang mempertautkan dirinya pada permasalahan yang orang lain hadapi, lalu memberikan komentar yang malah semakin mempersulit posisi masalah tersebut. Keganjilan inilah yang sepatutunya kita kaji sebagai pokok persoalan.

Alangkah konyolnya ketika sebuah kritikan dibalas dengan ancaman. Meski jauh lebih konyol ketika kita membiarkan ancaman itu hidup seperti sebuah dogma yang amat suci, bahkan kita sendiri tidak bisa meredamnya. Menanam dendam sama halnya memupuk rerumputan di halaman rumah yang nantinya akan menjalar lalu menjerat rumah kita sendiri. Berpisah bukan berarti berbeda, dikritik bukan berarti dibenci.
on 9.19.2013
“di kotaku, badik adalah kata lain dari kebenaran
sedangkan matanya adalah keberanian
semakin kau mengasahnya menjadi jiwa, maka semakin kau tidak menemukan muaranya
suatu waktu, badik yang kau hunus akan menjadi sebatang lidi rapuh yang tidak lagi bersepuh
sebab kau selalu menyelipkannya di pinggangmu
sebagai mata angin yang menyesatkan”

“di kotaku, lautan adalah kehidupan
sedangkan ombaknya adalah kemakmuran
semakin kau memperindahnya dengan buatan, maka semakin kau menghilangkan kemurniannya
suatu waktu, lautan yang kau puja itu akan menjadi gemuruh yang meluluhkan kedamaianmu
sebab kau selalu memberinya apa yang tidak lautan butuhkan
sebagai upah dari kekeliaruan kita memahami lautan kehidupan”

hidupilah kehidupanmu dengan apa yang akan menghidupimu
bukan apa yang membuat hidupmu seolah benar, semuanya!



Makassar – dua ribu tiga belas

bagimu adalah perasaanmu dan bagiku adalah perasaanku
aku tidak akan menyatakan apa yang aku rasakan
dan kamu tidak pula perlu mengatakan apa yang aku nyatakan
sungguh, sebaik-baik perasaan adalah yang kita rahasiakan.

mengingatmu adalah cara tersopan
untuk mengatakan bahwa aku menginginkan kita yang lampau
yang mendampa meski dengan jumpa yang seumur imsak

di pelaminan 
matamu adalah duka bagi kesehatanku
yang tempuhnya melemahkan hingga kambuh tidak juga sembuh
kursiku bergerak dari satu rembes ke sisi yang paling sungkan
sekadar menanyakan 
apakah kamu sehat?

semalam aku menghabiskan sabun di kamar mandi ibu
membayangkan tubuhmu yang tak tua-tua itu menindihku dengan kata-kata
semua lekuk yang kamu tutupi adalah bekas puisiku
yang semakin hendak menyengsarakan dirinya sendiri dengan kelambu

semakin aku ingin menyerupai pikiranmu
semakin hilang semua bentuk asli dari rumus-rumus pasti
pada jalannya, aku hanya halaman buku yang kamu baca berdasarkan abjad
masuk sebagai huruf-huruf yang tidak pasti

setiap pagi aku menanam payudada meski akhirnya orang-orang menamainya payudara
lalu aku memintamu untuk mengikat tali jemuran dari dagingku yang sembah di selaput darahmu
agar semua celana dalam yang kamu kaitkan untuk matahari
tidak hinggap di sela selangkangan orang lain yang jahannam

apakah cinta itu selebar teras rumahmu?
pertanyaanku yang kamu sebar menjadi pertanyaan baru
begitulah seterusnya kita biarkan hidup berlalu seperti pertanyaan yang berjalan
dari satu arah ke mata yang lain

itulah mulanya
pada akhirnya kita akan menjadi penjaga rahasia
yang membiarkan kata-kata menanggalkan seragamnya sendiri
sebelum meninggalkan kita dengan doanya yang belum mandiri


Makassar – dua ribu tiga belas
on 8.31.2013
kita telah memasuki musim yang terlepas
menghangatkan bibir yang lazim kita sebut kutukan
meski bukan itu yang akan kita beri sesembahan
di dasar-dasar kelenjar ingatan kita yang masih berdaun sangir

apakah kita masih perlu menyimpan
segala kesebentaran yang sangat lama kita pelihara diam-diam
yang kita rebut dari kesepian-kesepian terpilih
sementara pelukan sudah bukan jauh
lalu kematian datang untuk menjabatmu
mengantarmu dari pengasingan ke pengasingan lainnya

apakah kita masih perlu merebut kesepian yang sangat lama kita omongkan
di ranjang yang bukan milik pengantin
meski tubuh kita sudah tidak berhelai kain
sungguh kita memang bukan pemain
yang setia pada kemahiran kata-kata
para penyihir untuk merebut zahir bayi terakhir
yang ditinggalkan oleh ibunya saat kematian sudah semakin jauh
membawa hal terakhir yang juga kita miliki

aku ingin mencintaimu tanpa kebohongan
tapi apakah ada kata-kata yang dapat mewakili perasaanku selain kiasan klise
yang bagi sebagian kiai, itu adalah kebohongan

tapi apakah ada hal yang pernah kita jujurkan
selain bahwa kita memang adalah sepasang lengan yang saling menguntungkan
atau saat kita memilih tidak saling bercakap
setelah menghabiskan separuh hari dengan memperbincangkan masa depan
lalu membiarkan hayalan kita saling bertemu

aku masih sebatang lidi yang kau tanam di antara janur kelapa yang maha tinggi

yang masih setia di tanah tanpa perlu kau suburkan dengan air atau semacamnya
on 8.02.2013


nama                       : djawadi
tempat tanggal lahir  : indonesia, 17 agustus 1932
alamat                     : jalan kudus kebangsaan bangsat nomor 30
pekerjaan                :
1.      menjaga rakyat agar tidak berani membangkang 
      kepada kesewenang-wenangan aparat.
2.      menakut-nakuti rakyat yang berani berjuang 
      demi keadilan sama rata.
3.      tunduk dan patuh pada atasan meskipun itu tidak benar 
      dan diluar etika bangsa
4.      menembaki kepala siapapun yang berani berorasi 
      dan menghina pejabat publik busuk.
5.      membunuh dan menyerang siapa saja yang 
      berani mengusik sesama polisi
6.      menculik para aktivis yang dianggap sebagai     
      provokator massa.
7.      membantai habis kekuatan rakyat untuk 
      berjuang demi tanahnya sendiri.
gaji             : uang pajak dan pemalakan rakyat.
fasilitas       : senjata dan kendaraan gratis dari uang rakyat.

masih butuhka kita polisi?
jika nyatanya rasa aman itu harus dibeli
masih butuhka kita polisi?
jika anak cucu kita nantinya habis dibantai

Makassar – dua ribu tiga belas
on 7.23.2013

Kenapa jika Ayah Saya Komunis?

Jakarta, 1955
Akhir bulan Juli. Pagi itu sedang cerah, musim penghujan masih jauh. Di lapangan Senayan Jakarta, massa berkumpul untuk merayakan masuknya PKI sebagai empat partai besar di Indonesia pada pemilu 1955. Ayah mengajak saya untuk datang di rapat akbar PKI. Umur saya waktu itu kira-kira 5 tahun. Tidak banyak yang saya ingat, lapangan penuh dengan warna merah dan umbul-umbul bergambarkan palu arit. Beberapa tahun kemudian saya baru mengerti jika itu adalah lambang Partai Komunis Indonesia.
Lapangan sesak, di atas panggung seorang sedang berpidato dengan penuh semangat. Siapa dia, saya tidak tertarik ditambah waktu itu saya tidak mengerti apa isi pidatonya. Saya lebih tertarik mendengar cerita Ayah saya dengan teman lamanya. Ayah saya sedang sibuk mengenang perjuangan mereka ketika partai ini baru terbentuk. Belakangan juga saya baru tahu jika ternyata orang yang sedang berpidato itu adalah D.N Aidit, ketua PKI waktu itu.
Sepulang dari rapat akbar itu, Ayah singgah di toko buku yang terletak di simpang jalan merpati nomor 58. Membeli beberapa buku dan memasukkannya ke tas jinjing yang selalu ia bawa kemanapun Ayah pergi. Ayah membonceng saya pulang dengan sepada. Satu hal yang terus saya ingat, bahwa Ayah saya adalah salah satu jenis manusia pendiam yang sangat ramah. Bahkan dengan anaknya sendiri, ayah selalu membatasi kata-katanya.
Ayah cukup dikenal di lingkungan tempat kami tinggal. Oh ya, saya hampir lupa mengisahkan tentang Ibu saya. Ibu saya adalah aktivis di Gerwani. Setidaknya itu kata yang suka ibu sebut ketika berkumpul dengan ibu-ibu yang sering bertandang ke rumah saya. Saya bersaudara hanya dua orang. Kakak saya seorang perempuan yang kala itu berumur 8 tahun.
Selain aktif di PKI, Ayah saya juga berkantor di Lekra atau dikenal juga dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Saya beberapa kali dibawa oleh Ayah ke kantornya. Dari situlah saya kenal beberapa teman Ayah yang sangat kritis dan anti imperialis, Pramoedya Ananta Toer salah satunya. Saya termasuk anak yang selalu ingin tahu dan saya lebih suka diajak ke kantor Ayah dari pada ikut pertemuan, apa lagi yang semacam rapat akbar seperti di lapangan senayan tempo hari itu.
Di usia delapan tahun, saya bisa membaca dan menulis. Itu membuat saya bisa tahu beberapa berita yang bahkan orang tua tidak bisa membacanya. Anak sebaya saya waktu itu masih senang bermain kelereng dan cangklok sedangkan saya sudah mulai gemar membaca buku-buku dan koran. Di kantor ayah, saya senang karena bisa membaca dengan puas beberapa tulisan dari teman ayah. Salah satu Koran yang sering saya baca adalah Bintang Timur.
Keluarga saya hidup sangat sederhana. Kakak perempuan saya beruntung, setidaknya ia bisa sekolah tidak seperti anak perempuan yang lain. Sedangkan saya terus diajar otodidak oleh ibu untuk menulis indah. Ayah suka dengan hewan, salah satu yang ayah pelihara adalah kuda. Nama kuda itu djagal. Ayah sangat merawatnya dan menganggap kuda kesayanggannya itu sebagai bagian dari keluarga kecil kami. Kebahagiaan ini berlangsung sampai usia saya belasan tahun

***

on 7.17.2013
ada setanak luka yang kau tanam di akar rumahku yang banjir. tak pernah ungkap.
ada setanak duka yang kau simpan di puncak rumahku yang gunung. tak pernah ungkap.

ada setanak ingatan yang kau hanyutkan di laut kepalaku yang maha lepas. tak pernah tiba.
ada setanak kenangan yang kau leburkan di badai kepalaku yang maha gaduh. tak pernah tiba.


Menurut Prof. Dr. H. G. Tarigan majas adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Unsur kebahasaan antara lain: pilihan kata,frasa, klausa, dan kalimat.
Majas dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
a. Majas perulangan        c.     Majas pertentangan
b. Majas perbandingan    d.     Majas pertautan
berikut adalah contoh majas yang sering digunakan secara umum:

on 7.03.2013
pagi-pagi di kantor urusan pajak
hari ini orang pertama yang aku temui adalah perempuan penjaga pintu masuk
saban hari ia tiba tepat waktu
dengan setia berdiri menyambut tamu
menyampaikan pesan berbeda ke tiap tamu pertamu yang ia temui
jangan menimang banyak perasaan, pesannya kepadaku

keesokannya
aku datang lebih tiba dari perempuan itu
berdiri di gerbang lebih siap dari dirinya
yang setia itu langsung meminang, pesanku kepadanya



Makassar – dua ribu tiga belas
on 6.25.2013
ada perempuan yang menjaga air mata mahahati di kidungnya
ditekuknya kujur penindih pelukannya yang setia
tubuhnya yang telah berdoa secara lumut tidak sempat mengeja akhiran
dengan segala redah yang tidak kunjung henti
ia menadah rintik tanah yang menabur payung hati tanpa pernah tahu benih apa yang akan tumbuh

disegala tabah
perempuan itu memayungi dirinya dengan segan yang jelas
bahwa terluka seumpama kaset piringan hitam yang akan berputar dan menyanyikan lagu sepenuh warna
disegala sabar
perempuan itu memahat kuku-kuku yang telah ia kumpul dalam gelas kepatahan
bahwa terluka seumpama puisi yang tidak sempat terberi judul lalu menjadi sampul yang tidak terlabeli apapun

perempuan itu sedang menanak luka di hatinya
dan tidak membiarkan seseorangpun yang tahu tanakannya.


on 6.24.2013
ada doa yang berbaris di geligimu
menunggu jutaan amin mengatup yakin
lalu sebaris demi sebaris menanggalkan demi kanaknya yang tidak kunjung tumbuh

ada doa yang bersila di bangkumu
menanti puluhan hati untuk bertamu di ruangmu
lalu satu demi satu rela memenggalkan kuping kananya untuk mendengar puisimu yang tidak kunjung akhir

ada doa yang berbaring di sujudmu
menungkul kalah setelah puluhun alasannya adalah muslihat di matamu
lalu satu persatu mengembalikan lembar kacanya yang tidak pernah dusta

inilah cintaku yang tidak pernah genap oleh doa -
rawatlah serahasia mungkin
dipeluknya banyak buku
sedang ibunya menanak nasi di tanah yang liatnya menakutkan
dipeluknya banyak buku
sedang ayahnya mengemis doa di surau yang penuh susah

seorang pejuang hak berorasi di teras wakil rakyat
peluru bersangkar di otaknya yang banyak menampung masa depan
aparat berdalih ini salah tembak
tapi darah sudah penuh oleh ambisi mematikan
lantang suaranya menyusun kata
lawan
lawan
lawan
Tuhan bersama kalian
berkali-kali sepatu laras dan gagang senjata dihantamkan di bibirnya yang sudah sumbing oleh luka
aparat berdalih dia adalah provokator massa
namun suara itu maish Tuhan
menggema dilangit, menggantung banyak harap dan desakan sosial
siang ini satu lagi nyawa indonesia melayang

on 6.20.2013
ada seorang perempuan yang tertawa di bawah bulan sambil mengunci banyak cahaya di dadanya yang busung
buncit perutnya menandai usia kehamilan yang tua
katanya sudah sembilan bulan ia mengandung kata-kata
namun belum melahirkan sesajak apapun selain umpatan yang menghimpit makna

aku takut ia telah keguguran oleh waktu yang purna
dan hanya ada jerit berdarah di selangkangan yang memerahkan kasur serta sarung miliknya
dalam riwayat, kata-kata memang mendentum-dentum hingga menggelinding ke dinding paling tebing dan akhirnya terpikunkan

kata-kata lahir dengan senggama yang murni
dan kelahirannya ditandai dengan halaman demi halaman
lalu dari buku ke buku

namun ingatlah soal keguguran itu
banyak kata-kata yang lahir dari keguguran dan menjadi halaman juga
tapi telah kehilangan kemurnian makna

yang tersampaikan hanya berita kebohongan dan kata-kata yang mengutuk kebenaran
tidak sanggup lagi menetap di kepala yang tebal ini oleh derita bernegara yang sehatnya sangat mustahil
on 6.14.2013
sehabis membaca
banyak penderitaan yang hidup
dan bayang-bayang paling tayang menggentayangkan ketakutannya
di mata kita yang buta - tidak ada tanggal yang menanggalkan kedamaian

kita hidup di mata pedang
tidak mengenal lagi kata tenang
semua penuh pandang
dan kita diserang kematian yang mendadak
dan berakhir pada ketidaktahuan pada diri sendiri

berabad kita mencari jati diri
nyatanya tidak ada yang mengenal lebih dari sekadar nama
dan negara kita hidup seperti gentayangan di awan yang tidak berpijak dan tidak juga tidak berpajak -
kita tidak mengenal diri sendiri -

maka carilah -

on 5.23.2013

MARI MENOLAK RUU PT

AWAL LAHIRNYA RUU PT

Jika melihat kondisi pendidikan yang ada pada perguruan tinggi negeri maupun swasta di negara ini, rasanya wajar saja jika ada oknum yang ingin agar RUU PT ini dapat terealisasi sebagai undang-undang yang mengatur sistem perguruan tinggi. Selain menguntungkan pihak mereka, pemerintah juga bisa dengan mudah mengurangi kenakalan oknum birokrasi kampus yang sering melakukan kecurangan untuk menguntungkan lembaga pendidikannya. Hal itu diakibatkan karena memang sistem yang kita anut terlalu bebas dan penuh ororitas tiap perguruan tinggi. Toh tujuan utama dari perguruan tinggi adalah mendidik mahasiswa, bukan untuk menguntungkan dosen, staf pengajar, ataupun birokrasi kampus. Namun yang terjadi saat ini malah justru sebaliknya, perguruan tinggi menjadi ladang “bisnis” yang aman dan terlindungi bagi dosen dan birokrasi kampus apa lagi dengan kuatnya otoritas tiap kampus untuk mengatur itu.
Awal lahirnya RUU PT ini diakibatkan karena pemerintah seolah kewalahan untuk mengatur dan mengontrol adanya indikasi penyimpangan-penyimpangan yang kerap terjadi di perguruan tinggi. Indikasi penyimpangan itu, misalnya, ada PT yang membuat data fiktif demi perizinan membuka jurusan. Sebagai contoh, pembukaan jurusan baru yang mewajibkan adanya 15 lulusan doctor yang bisa dengan mudah dimanipulasi oleh oknum. Pemerintah akhirnya kehilangan akal. Belum lagi adanya kemungkinan peredaran proposal penelitian fiktif demi mendapatkan uang semata. Dugaan itu semakin dipertegas mengingat gaji guru, dosen, bahkan profesor cenderung masih kecil. Masalah lainnya adalah mutasi staf pengajar, banyak dosen diketahui bekerja di dua tempat sekaligus.
Hal-hal inilah sebenarnya yang ingin dihindari juga menjadi dasar lahirnya RUU PT. Tujuannya sangat bagus, namun sangat disayangkan karena mahasiswa nantinya akan dirugikan jika RUU PT ini disahkan.

AKIBAT JIKA RUU PT DI SAHKAN

Ada dua kemungkinan jika RUU PT ini terealisasi menjadi undang-undang;
1.      Jika RUU ini lolos menjadi undang-undang maka hal positif yang dapat terjadi adalah mampu mengatasi "keliaran" yang dilakukan di Perguruan Tinggi. Namun satu hal yang disayangkan karena RUU ini bermuatan untuk “membeli” otoritas kampus dalam menjalankan tradisi pendidikannya. Padahal sebenarnya untuk mengontrol dan mengendalikan PT hanya perlu dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP), bukan melalui undang-undang yang cenderung terlalu ketat. Pengendalian itu jangan sampai 'dibeli' dengan uang. Pendidikan akhirnya seperti bisnis. Itu yang tidak boleh terjadi di dunia pendidikan kita.
2.      Jika RUU PT ini disahkan maka statuta PT akan dibeli oleh pihak luar dan mampu mencekik biaya pendidikan serta menumbuh suburkan diskriminasi terhadap mereka yang memiliki potensi akademik rendah dan kurang mampu tapi ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Otonomi yang lahir dari RUU PT ini dapat dijadikan dasar hukum yang kuat untuk membuat universitas bekerja sama dengan industri yang akhirnya industri itu membuka kafe, atau resto di berbagai sudut kampus. Padahal semestinya pendidikan di perguruan tinggi itu menjadi kewajiban pemerintah untuk membiayai.
Terlebih lagi setelah adanya kerja sama internasional yang dirancang dalam WTO yang meliputi 12 sektor, di antaranya sektor pendidikan. Dalam artian, kalangan asing sangat berkepentingan dan memiliki akses yang terbuka untuk melakukan kerja sama antar-universitas dan kerja sama itu kerja sama mirip `perdagangan`. Jika ini terjadi, tentu sangat miris bagi pendidikan kita,
Karena itu, kita sebagai mahasiswa jangan mendorong peran negara yang lebih besar dalam dunia pendidikan tinggi, karena hal demikian hanya tepat untuk pendidikan dasar dan menengah, sedangkan untuk pendidikan tinggi justru tidak tepat, sebab kontraproduktif dengan semangat kritis dan otonomi yang dibangun dalam dunia kampus selama ini.
Kita dapat baca pada pasal 65 ayat (1) secara utuh menyatakan “Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu. Hal ini telah membuka ruang untuk suatu PTN memiliki status badan hokum”.
Berikutnya, pasal 74 secara redaksional menyatakan “PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20 persen dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua program studi”.
Ketentuan tersebut telah membuka ruang diskriminasi terhadap calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik rendah dan tidak mampu, hal ini sangat bertentangan dengan cita - cita mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menistakan keberadaan pendidikan itu sendiri yang sejatinya membuat ‘si tidak tahu” menjadi “tahu” akan ilmu pengetahuan dan lainnya.
Berikutnya, pasal 76 ayat (1) secara utuh menyatakan “Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik”.
Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, karena peraturan akademik pada setiap Perguruan Tinggi tentunya dibentuk sendiri-sendiri (tidak serentak) dan ruang untuk membedakan pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi terbuka lebar. Karena peraturan akademik dibentuk oleh senat universitas yang sejatinya berbeda-beda.
Pada pasal 90 sendiri menyatakan, “Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahwa dengan hadirnya ruang bagi Perguruan Tinggi Asing untuk membuka ‘cabang’ di Indonesia akibat ketentuan Pasal 90 tersebut, maka ini akan  menimbulkan dampak terhadap swastanisasi pendidikan tinggi di Indonesia.
Kelak kita bisa saja menjadi lulusan Stanford University atau Harvard University namun tetap di Indonesia. Dalam artian, kita akan ditanamkan tentang pendidiksn filsafat barat yang jelas itu berbeda dengan filsafat timur yang selama ini kita aplikasikan dalam kehidupan. Maka kelak kita akan menemukan generasi yang individualistik dan sangat egoisentris.



LANTAS APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?

Jalan satu-satunya adalah dengan tidak membiarkan pemerintah atau lembaga lain untuk mengintervensi statuta perguruan tinggi karena intervensi demikian justru akan menghambat kemajuan anak bangsa, terutama mengenai pendidikan. Harusnya PT diberikan otonomi dan otonomi itu berlandaskan kebutuhan mahasiswa karena ilmu pengetahuan takkan berkembang tanpa otonomi. Dan itulah yang harus kita perjuangkan.

TOLAK RUU PT
on 5.15.2013
di kaca yang jendela
matahari menjadi basah
hujan lebih rintik dari terik yang biasa
ingatan menjalar penuhi pagar yang terluar

jauh sebelum bertemu oleh guntur
tatapanku telah membentur segala daya; pernah
di tempatku yang jauh dari pulang
masa lalu tidak berarti ingin
bukan itu
bahwa aku pernah bebas
on 5.14.2013

Sedikit sejarah tokoh terdidik bangsa kita;
 Bahwa mereka adalah kaum borjuis kecil yang punya kesempatan belajar ke Belanda. Alasan politik etis waktu itu. Bung Hatta yang nyatanya pro terhadap barat. Sutan Syahrir yang bahkan mengkhianati kawannya sendiri, Amir Syarifuddin. Sunario Sastrowardoyo dan lain sebagainya. Pemikiran merekalah yang berpinak terus menerus. Berarti juga kita tidak punya pendidikan yang Indonesia. termasuk pendidikan karakter, sejarah, dan ideologi. sebab semuanya itu telah digelapkan demi kepentingan kolonialisme, imprealisme, juga kapitalisme. hal ini terus berkembang sampai saat sekarang.
Satu pertanyaan, lantas bagaimana cara kita menemukan pendidikan yang betul-betul Indonesia?

Kutipan diatas menarik untuk dikaji karena menjadi perihal penting, kekinian bangsa Indonesia yang sedang menuju arah pembangunan perlu pondasi pendidikan yang kuat dan merakyat. Pusat pembangunan yang masih berkeliarah di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan mungkin juga Sulawesi tentu sangat menghambat proses pemerataan pendidikan. Sementara para kaum terdidik masih mencari rumusan jelas tentang metode pendidikan kita. Wajar saja, sebab dari awal memang pembangunan bangsa indonesia tidak pernah ditekankan mengenai metode pendidikan yang betul-betul Indonesia.
Negara kita kini lebih banyak berkutat pada persoalan individu dan terkesan melupakan satu permasalahan sosial yang sebenarnya menyerang kita diam-diam, yaitu kapitalisme global yang mencoba terus masuk kesemua lini kenegaraanan kita. Dampaknya tentu akan semakin menambah runyam permasalahan yang datang silih berganti menjenguk duka bangsa yang tiada henti. Sikap individu ini akan menumbuh suburkan sikap kapitalisme, salah satu sektor yang paling dirugikan dengan tumbuhnya kapitaslime dalam sebuah negara adalah pendidikan.
Permasalahan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia semakin mencerminkan ketidakbijakan kaum-kaum terdidik bangsa ini. Kasus penundaan Ujian Nasional 2013 dapat menjadi kiblat bukti ketidakseriusan pemerintah untuk memajukan mutu pendidikan bangsa. Belum lagi kekerasan akademik di kampus-kampus dan beberapa kasus pelecehan seks terhadap siswi oleh gurunya sendiri dibeberapa daerah. Seperti kasus pelecehan seks yang dilakukan oknum guru kepada siswinya di SMA 22 Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur atau kasus skorsing dua mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang mencoba mengkritik birokrasi kampusnya. Ini sebagaian kecil contoh buruk dalam bilik dunia pendidikan kita. Sekali lagi ini adalah dampak dari tidak adanya penanaman pendidikan moral yang mendalam kepada kaum terdidik di negara ini.
Usia pendidikan di Indonesia lebih tua dari Negara Indonesia sendiri, namun kita harus menerima kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia hari ini ternyata bernasib sama dengan negaranya. Angka korupsi seolah tidak ingin kalah oleh angka anak putus sekolah. Sebuah kenyatan yang harus segera menjadi masa lalu kelam bangsa ini.
Pendidikan yang seharusnya menjadi tombak dan pembuka jalan bagi Indonesia baru semestinya dikawal oleh semua lapisan masyarakat. Namun yang nyata terasa bahwa jumlah anak jalanan yang seharusnya berada di ruang sekolah seolah berimbang dengan jumlah sarjana yang akhirnya menjadi pengangguran tetap. Sebuah fakta yang harus segera menjadi opini belaka.
Masa depan bangsa ini ditentukan dari seberapa serius pemerintah, kaum terdidik, dan orang tua mengawal keterjaminan para anak-anak dan kaum wajib berpendidikan agar kelak bangsa ini tidak butuh lagi otak-otak asing untuk mengotak-atik sumber daya alam kita. Kita harus segara berjalan lebih cepat dari negara lain untuk mewujudkan masa depan yang lebih nyata untuk masa depan bangsa Indonesia.
Sejarah tahun 1945 seharusnya menjadi pelajaran yang penting bagi bangsa Indonesia. Jepang yang saat itu kalah dalam perang dunia kedua dan menerima serangan bom pada tanggal 8 dan 9 Agustus tahun 1945 di kota Hirosima dan Nagasaki oleh sekutu, tapi nyatanya Jepang berhasil maju lebih cepat dan berkembang lebih pesat dari negara di Asia lainnya dan sekarang dapat dikatakan bahwa Jepang menjadi macan Asia. Salah satu sektor yang sangat diperhatikan oleh jepang adalah pendidikan. Jangan heran ketika berkunjung ke Negara Sakura itu anda mendapati anak SD, SMP, ataupun SMA memanfaatkan waktunya untuk membaca di densha (kereta listrik). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684. Sementara di Indonesia waktu itu masih sibuk mengusir penjajah. Fakta ini tidak bisa dijadikan perbandingan tapi setidaknya Indonesia perlu belajar dan mencobanya dengan model Indonesia sendiri. pemerintah perlu merangsang minat baca sejak dini terhadap siswa.
Sebuah pendidikan yang dicita-citakan oleh Negara Indonesia adalah pendidikan yang merakyat. Nasib anak-anak tentang pendidikan itu dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun kembali lagi pada penerapannya, komersiliasi pendidikan nyatanya menjadi ancaman serius bagi para kaum wajib berpindidikan. Dana pendidikan yang mahal bagi para kaum wajib berpendidikan akan berdampak pada seberapa bisa orang tua menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Kita juga dapat melihat bagaimana proyek Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dibeberapa sekolah ternyata hanya menghambat pendidikan kita. Gengsi dan nama besar sekolah akhirnya hanya bisa dihuni oleh kaum kaya bangsa ini.
Angka kemiskinan seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah agar pendidikan di Negara ini dimurahkan, bahkan jika bisa digratiskan. Anggaran 20 persen APBN nyatanya kebanyakan digunakan untuk membayar gaji guru, dosen dan tunjangan mereka. Sementara para siswa harus membayar mahal untuk modul dan seragam sekolah yang sebenarnya bisa tidak diseragamkan itu.
Melihat kucuran dana yang disiapkan pemerintah untuk kemajuan pendidikan, rasanya aneh jika hari ini pendidikan kita masih rumit seperti ini, angka Rp. 286 trilyun yang disiapkan pemerintah untuk kemajuan pendidikan nyatanya tidak terlalu berdampak pada angka anak putus sekolah. Dana bos yang pada tahun 2011 sebesar 16 trilyun dan dinaikkan pada tahun 2012 menjadi 23 trilyun nyatanya masih menyisahkan tugas yang besar bagi kalangan terpelajar bangsa ini untuk serius mengelola masa depan bangsa melalui pencerdasan generasinya.
Salah satu sektor yang harus segera dibenahi adalah pendidikan dini. Pada usia dini perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan itu sangat tinggi. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004).
Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia (Direktorat PAUD, 2004).
Apa kita masih harus bermasa bodoh terhadap pendidikan dini di Negara Indonesia. Rasanya kasihan jika generasi bangsa kita sejak dini dikerumuni oleh teknologi, salah satunya adalah internet yang tidak kenal sekat antara dewasa dan kanak. Kembali lagi peranan orang tua dan pemerintah untuk mendidik anak dengan bebas namun tetap terjaga sangat diharapkan.
Berikut ada beberapa fakta mencengangkan tentang pendidikan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO pada tahun 2011.
1.      Tingginya Angka Anak Putus Sekolah
Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan rendah. Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Namun faktor paling umum yang dijumpai adalah tingginya biaya pendidikan yang membuat siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan dasar.

2.      54% Guru di Indonesia Tidak Memiliki Kualifikasi yang Cukup untuk Mengajar
Guru merupakan ujung tombak dalam meningkatkan kualitas pendidikan, dimana guru akan melakukan interaksi landsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Melalui proses belajar dan mengajar inilah berawalnya kualitas pendidikan. Artinya, secara keseluruhan kualitas pendidikan berawal dari kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di ruang kelas.
Secara kuantitas, jumlah guru di Indonesia cukup memadai. Namun secara distribusi dan mutu, pada umumnya masih rendah.  Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan ini cukup memprihatinkan, dengan prosentase lebih dari 50% di seluruh Indonesia.
Menurut data Kemendiknas 2010 akses pendidikan di Indonesia masih perlu mendapat perhatian,  lebih dari 1,5 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah. Sementara dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar terdapat lebih dari 54% guru memiliki standar kualifikasi yang perlu ditingkatkan dan 13,19% bangunan sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki.
Hal ini seharusnya menjadi salah satu titik berat perbaikan sistem pendidikan di Indonesia, mengingat semakin maju-nya suatu negara bermula dari pendidikan yang berkualitas, pendidikan yang berkualitas bermuara dari pembelajaran yang berkualitas, pembelajaran yang berkualitas dimulai dari pengajar yang berkualitas pula.

3.      Menurut Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69
Berdasarkan data, perkembangan pendidikan Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Menurut Education For All Global Monitoring Report 2011 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahun dan berisi hasil pemantauan pendidikan dunia, dari 127 negara, Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69, dibandingkan Malaysia (65) dan Brunei (34).

4.      34% Sekolah di Indonesia Kekurangan Guru
Distribusi Guru tidak merata. 21% sekolah di perkotaan kekurangan Guru. 37% sekolah di pedesaan kekurangan Guru. 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan Guru dan 34% sekolah di Indonesia yang kekurangan Guru. Sementara di banyak daerah terjadi kelebihan Guru.
Sumber: Teacher Employment & Deployment, World Bank 2007

5.      Sebaran indeks kualitas Guru di Indonesia setengah nilai maksimal indeks
Sebaran indeks kualitas Guru di Indonesia setengah nilai maksimal indeks dimana nilai maksimal adalah 11.
Sumber: Analisis Data Guru 2009, Ditjen PMPTK 2009

Fakta diatas seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk serius dalam mencerdaskan kualitas pendidik dan anak bangsa sebagai terdidik. Belum lagi beberapa kebijakan pemerintah tidak pro terhadap pendidikan merakyat dan akhirnya tidak dapat menjadi solusi atas penentasan wajib belajar 9 tahun apalagi menjadi solusi bagi pendidikan yang Indonesia.
 Barangkali ada benarnya apa yang dikatan Pramoedya Ananta Toer bahwa kita ini adalah bangsa budak, budak bagi bangsa lain dan budak bagi negara sendiri. Berapa anggaran yang dihabiskan oleh pemerintah untuk melakukan kunjungan kerja ke negara lain kemudian mempelajari sistem pendidikan mereka dan menerapkannya di Indonesia. Nyatanya keadaan pendidikan negara kita tidak juga bisa terlepas dari masalah pemerataan di setiap daerah.
Melihat kekinian bangsa yang terus berkutat pada krisis moral kiranya perlu rumusan tentang bagaimana agar bangsa kita bisa terlepas dari persoalan ini. Korupsi terjadi karena krisis moral, pemerkosaan, pembunuhan, ataupun ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan tugasnya adalah dampak dari krisis moral. Maka hal mendasar yang perlu ditanamkan secara dalam dan kuat pada metode pendidikan usia dini adalah tentang pendidikan moral yang Indonesia.
Nampaknya inilah saat yang tepat untuk Negara kita berbenah melalui sektor pendidikan. Bangsa kita tidak butuh teori lengkap tentang perubahan ataupun tentang pergerakan. cukup mencerdaskan pemuda dan ajarkan mereka tentang nilai pancasila dan jaminkan haknya lewat undang-undang dasar serta hapuskan amandeman di era orde baru. Maka pergerakan dan perubahan itu akan mereka rumuskan sendiri jalannya. Rasanya tidak ada bangsa yang mau terus bodoh dan tertinggal.

12.31.2013

Ini Sebenarnya Surat untuk ayah dan Saya

Diposting oleh Unknown di 22.07 1 komentar
Saya, Ayah, dan menulis adalah tiga serangkai yang punyai kaitan sejarah di masa lalu. Sejak kecil, saya dianggap anak badung dan harus mendapatkan ceramah dari Ayah setiap melakukan ken-akal-an. Setiap saya diceramahi, pikiran saya keliling dunia, menemukan pembenaran bahwa mengapa saya harus seperti itu, mengapa saya harus memukul wajah orang yang memang pantas mendapatkannya, mengapa saya harus lari dari pesantren, mengapa saya harus ke stadion tanpa izin untuk menonton sepak bola. Setiap saya diceramahi, Ayah selalu punya kisah baru tentang dirinya di masa lalu, kadang saya harus menemukan cara agar mendapat ceramah yang saya inginkan. Untuk tahu apa yang dilakukan oleh Ayah di masa lalu, saya tinggal melakukan apa yang menurut sebagian orang salah, misalnya saat tidak memotong rambut, maka Ayah pasti berkisah tentang dia dan rambutnya di masa lalu. Saya selalu senang dan bahagia mendapatkan kisah-kisah yang tidak mungkin saya temukan dari orang lain. Intinya, saya kadang melakukan sesuatu untuk tahu seperti apa Ayah saya di masa lalu tanpa harus memintanya menjelaskan panjang lebar kepada saya.

Tapi sampai sekarang satu pertanyaan yang belum saya temukan jawabannya dari Ayah adalah, siapa nama yang tersemat dibelakang nama saya. Yah, sejak saya sadar bahwa saya punya nama, Palogai sudah melekat seperti burung dan sayapnya. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Nama itu menjadi populer ketika saya masih SD, bahkan teman sekelas lebih sering memanggil saya Palogai dari pada sapaan kecil saya sendiri. Saya sedikit terganggu dan merasa risih. Tapi Ayah senyum-senyum saja ketika saya Tanya, siapa sebenarnya Palogai.

Saat saya masih kecil, dihukum adalah kebiasaan yang hampir tiap hari saya dapatkan. Salah satu cara Ayah menghukum anaknya selain menceramahi adalah dengan mengambil kertas dan pulpen lalu mengurungnya di kamar, dia hanya berpesan tulis apa yang kamu inginkan lalu berlalu dengan mengunci pintu dan membiarkan saya merasa sendiri. Ayah baru membukanya setelah beberapa jam. Di dalam kamar, saya mulai berfantasi dan mencoba mengeluarkan semua kata yang saya miliki meskipun tidak ada hubungannya dengan kesalahan saya. Menyedihkan.

Dari kebiasan dihukum seperti itu saya menjadi sadar bahwa orang tua saya lebih mudah mengerti apa yang saya inginkan melalui tulisan ketimbang menanyainya langsung. Sebab untuk anak seperti saya, bersuara di depan Ayah adalah salah satu hal yang membuat saya malu dan canggung. Kebiasaan itu saya bawa sampai sekarang. Bahkan parahnya, untuk sekadar meminta uang kepada Ayah, saya selalu meminta jasa Ibu saya untuk menyampaikannya kepada Ayah.

Setelah cukup mengerti apa guna sebuah tulisan, pengalaman di masa kecil saya itu menjadi guru yang cukup berhasil mendekatkan saya dengan dunia tulis menulis. Saya juga merasa beruntung berada di sebuah rumah yang memiliki perpustakaan sendiri. Ayah saya adalah salah satu pembaca akut yang sebenarnya tidak pernah memaksa saya untuk ikut membaca atau senang dengan dunia baca tulis. Tapi karena semenjak kecil Ayah jarang membelikan mainan, maka saat kecil saya senang memilih buku-buku yang bersampul bagus lalu membacanya meskipun saya belum tahu apa maksud tulisan tersebut.

Kembali lagi pada persoalan kebiasaan, saya akhirnya mulai terbiasa membaca buku. Ayah saya juga langganan koran, maka kebiasan membaca koran sebelum berangkat ke sekolah saya lakukan. Saya senang membaca beberapa berita, terutama olah raga. Dari Koran itu saya banyak tahu nama tokoh-tokoh di Indonesia serta kejadian menarik apa saja yang terjadi. Hingga suatu hari saya menemukan lembaran koran yang memuat sebuah puisi, semenjak itu saya mulai suka dan senang membentuk kata-kata seperti yang saya temukan di koran tersebut.

Semakin hari, saya mulai menemukan jawaban bahwa menulis adalah pekerjaan yang mengabadikan. Meskipun selama proses pencarian makna kalimat tersebut, saya belum berhasil sampai dititik akhir untuk menarik kesimpulan.

Kuliah di Fakultas Sastra semakin menambah pengetahuan saya tentang dunia kepenulisan, khusunya puisi. Berdiskusi dan bertukar buka menambah wawasan dan membangkitkan semua kecamuk dalam kepalaku tentang dunia tulis membaca. Anggapan tiap anggapan akhirnya tumbang dan saya mantap memilih jalan ini. Meskipun penuh kesunyian dan kadang harus mengorbankan orang-orang di sekitar saya.
Saya beranggapan bahwa menulis adalah pekerjaan yang mengabadikan, sekaligus mengabaikan. Dalam banyak hal, saya hanya mencoba mengabadikan beberapa kejadian penting yang membuat saya merasa tidak penting untuk masuk ke dalam tulisan. Kadang sedikit tergesa-gesa, kadang sangat lama, kadang bahkan saya tidak menulis apa-apa. Menulis seperti juga kutukan, saya akhirnya tidak bisa meninggalkan pekerjaan menulis. Kesulitan terbaik dari menulis bagi saya adalah menyambungkan ide ke dalam realitas atau sederhananya memasukkan air ke dalam bejana. Terbaca sederhana namun butuh pengalaman yang kuat untuk mahir mengerjakannya.

Setiap saya menulis, saya selalu merasa diberikan mata baru untuk melihat ke dalam diri. Tapi semakin banyak mata yang lahir, rasanya semakin sulit pula untuk melihat ke dalam diri. Saya kadang harus mempekerjakan perasaan saya untuk berkelahi dengan diri sendiri. Pengalaman terburuk adalah saat harus merelakan waktu berjalan membawa semua kata yang saya butuhkan sedangkan diri saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itulah saya tidak bisa berdamai dengan kondisi. Satu-satunya penghibur paling bijak adalah kesimpulan bahwa saya masih bisa membaca dengan baik.

Pekerjaan menulis benar-benar telah memisahkan saya dengan diri sendiri, sangat jauh. Bahkan tanpa sadar saya kadang merasa bertindak diluar diri saya. Suatu kapan, saya mungkin akan mati dengan keadaan tidak memiliki diri sendiri. Sebab itu, mungkin menulis adalah tindakan sihir. Simsalabim.

Menulis saya anggap sebagai pintu masuk kedalam diri saya. Pintu yang memiliki jendela, akar, kacamata, sekaligus pintu yang memiliki alamnya sendiri. Dalam menulis saya mencoba menghadirkan diri ke tengah-tengah halaman dimana orang-orang telah menciptakan pengertian tentang halaman itu sendiri. Semoga saya tidak tersesat.

Ritual menulis bagi sebagian orang mungkin tidak penting, tapi bagi saya itu adalah sebuah kewajaran yang akan saya lakukan dengan senang hati. Saya sangat jarang menemukan masalah dalam menentukan kata pertama saat menulis, maka ritual yang saya lakukan adalah membaca dengan sinis dan berulang-ulang sampai saya merasa bahwa tulisan ini jelek kemudian mencampakkannya. Beberapa hari kemudian saya akan mengunjunginya kembali dan mengubah beberapa kata atau kalimat yang saya anggap buruk.

Meskipun saya sendiri tidak yakin bahwa yang saya lakukan selama ini adalah “menulis” tapi saya selalu percaya bahwa yang saya kerjakan ini adalah kebaikan. Seperti yang Ayah saya selalu katakan sejak saya kecil, bahwa tersenyum, berbuat baik, dan beribadah itu adalah standar setiap manusia tanpa memandang kaya-miskin. 


Setelah Kotaku dengan Gembira Diledakkan Hujan Empat Hari Berturut-turut

Diposting oleh Unknown di 06.53 0 komentar
Setelah kotaku dengan gembira diledakkan hujan empat hari berturut-turut
kau masih setia di atas kasur membujurkan tubuhmu ke jendala
menghitung kebencian yang ikut menetes dari rembes air di atapmu
membayangkan setumpuk selimut menutup buah dadamu dan aku ikut memelukmu dari salah satu celah pelukanmu, juga bertelanjang dada menghadap ke kiblat
satu tanganku menyamar menjadi rambutmu dan mengusapnya sedemikian lena
simsalabim, aku dikutuk menjadi pikiranmu
maka jadilah kita seselimut sambil meringkih manja.
Setelah hujan reda dan air kian rendah, kau berjalan dengan helai celana dalam
menuju ke bagasi memanaskan mesin mobil
lalu kembali ke atas kasur dan menyeretku sambil menyulap air mani
menjadi bahan bakar darurat yang tak ada habisnya
mobil ini adalah kendaraan yang digunakan adam ketika diungsikan ke bumi, katamu sambil mencium buah wajahku dengan mata terpejam
tapi saat itu surga sedang tak banjir, kataku sambil menyelinap di tengkukmu

Kau menggiringku ke suatu tempat di atas langit
menutup wajahku dengan bra merah yang kau petik dari pohon iklima
di luar rumah, para lelaki tak melihat kita sebab ia sibuk mengungsi pada ketinggian cahaya
sedangkan perempuan memenuhi mulutnya dengan hujat hujan
dan ramai berziarah ke rumah ibadah
berdoa agar banjir menjadi selangkangan pelacur
tak tahu bahwa di bawah hujan anak-anak mereka sedang bercinta dengan kematian

Setelah empat hari berseling matahari, hujan menjadi lima, enam, dan seterusnya
lalu banjir kian menganga membuaskan manusia menjadi beton bertingkat
mereka mengungsi ke mal dan gedung tinggi
membawa setiap masalah dan menyimpulkan kematian di kepalanya
menjarah setiap makanan, juga perawan yang butuh dijarah
lalu kota ini berubah menjadi museum masa lalu

Manusia menuju ladang perburuan abadi
sedang kita masih asik bercinta di dalam mobil adam sambil dituntun oleh Tuhan

10.14.2013

Kritik kepada Kritikus

Diposting oleh Unknown di 00.39 0 komentar
(sebuah catatan tidak penting dari seorang yang gila)

            Masih akrab di mata penyimak berita, kasus Andrea Hirata, seorang penulis buku trilogi Laskar Pelangi mengklaim bahwa karyanya telah mendapat pengakuan international best seller. Kemudian Damar Juniarto, seorang publisis membuat tulisan untuk meng-cross check beberapa pernyataan Andrea Hirata, diantaraanya adalah yang menyebutkan bahwa novelnya akan diterbitkan ulang oleh Farrar, Straus, dan Girroux (FSG), penerbit internasional yang menerbitkan buku-buku pemenang Nobel sastra. Hasilnya, menurut Damar Juniarto, Laskar Pelangi diterbitkan oleh imprint FSG, yaitu Sarah Crichton Books.
Kedua, soal pernyataan Andrea bahwa selama 100 tahun tidak ada karya anak bangsa yang mendunia. Hal ketiga yang diverifikasi Damar adalah klaim international best-seller untuk Laskar Pelangi. Menurutnya, dasar pencantuman label “international best-seller” pada novel Laskar Pelangi tidak jelas.
Alih-alih meluruskan masalah, Andrea Hirata bahkan berniat menggugat Damar Juniarto ke pihak berwajib. Tidak berhenti sampai disitu, “kubu-kubu” Damar Juniarto kemudian membalas ancaman Andrea Hirata dengan berbagai kritikan.

***
           
Contoh kasus di atas memang mengerikan untuk menjadi bahan pembelajaran. Penulis mengambil contoh kasus di atas bukan untuk mengungkit kejadian yang telah berlalu ataupun menghakimi Andrea Hirata dan membela Damar Juniarto, tetapi penulis merasa bahwa perlu membuka ulang sebuah permasalahan sebagai pembelajaran untuk menyikapi perbedaan dan menerima kritikan.
Jika kita telaah kasus di atas, salah satu pemicu orgasme pada masalah tersebut adalah, “kubu-kubu” yang saling melancarkan serangan. Kubu-kubu inilah yang akhirnya saling melibatkan diri dan menyulutkan ketidaksepahaman terhadap sebuah gagasan. Pada akhirnya, masalah yang sebenarnya hanya perlu diselesaikan oleh dua orang malah semakin ramai dan memperlihatkan betapa kita tidak bisa menerima sebuah perbedaan.
Dalam sejarahnya, kita sering dituding sebagai manusia Indonesia yang bermental budak, tudingan ini terjadi akibat lamanya nusantara kita dijajah oleh bangsa yang lebih terkontrol dan dapat memanfaatkan peluang invasi terhadap suatu wilayah.
Untuk lepas dari mental tersebut dibutuhkan pendidikan karakter yang mengakar dalam kepala setiap manusia Indonesia. Tetapi bukan berarti bahwa kita juga mesti menolak untuk dikritik ataupun membalas kritikan dengan ancaman. Melainkan dapat menerima kritikan sebagai suatu hal yang membangun jati diri setiap manusia yang berkarya.
Penulis mengingat jawaban dari salah seorang Kritikus Sastra dari Makassar (Alm) Ahyar Anwar dalam sebuah diskusi. Ia melontarkan pernyataan “tugas anda sebagai penulis adalah menghasilkan karya sastra, sedangkan tugas kritikus untuk mengkrtik karya sastra.” Dua hal berbeda yang saling berhubungan erat.
Karya yang telah dikritik seharusnya menjadi pelajaran terhadap karya itu sendiri, bukan terhadap penulisnya. Lantas jika bukan penulisnya, bagaimana kritik itu hidup? kritik itu hidup karena dituliskan, bukan karena dipertentangkan. Dalam uraian singkat, seorang penulis yang karyanya dikritik tetaplah terus menghasilkan karya sastra. Penulis itu sendirilah yang bisa memlih, apakah kritik itu diterima atau memilih menyimpannya sebagai hal yang tidak penting selama proses berkaryanya. Itu manusiawi bagi seorang yang dikritik dan bukan masalah yang mesti kita bawa kemana-mana.
Dalam melihat sebuah masalah, Emanuel Kant berpendapat bahwa untuk mencapai kebenaran kita perlu mengkritisi Rasionalisme dan Empirisme serta tidak boleh mementingkan satu sisi dari dua unsur (akal dan pengalaman) saja. Menonjolkan satu unsur dengan mengabaikan yang lain hanya akan menghasilkan sesuatu yang berat sebelah. Kant jelas-jelas menolak cara berfikir seperti ini. Karena itu, ia menawarkan sebuah konsep “Filsafat Kritisisme” yang merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Ada benarnya, sebab secara harfiah kata kritik memang berarti pemisahan, bukan pembeda.

***

Sikap anti kritik dan membela “karena teman” inilah yang kemudian menjadi persoalan telak. Ditambah sikap segelintir orang yang senang mempertautkan dirinya pada permasalahan yang orang lain hadapi, lalu memberikan komentar yang malah semakin mempersulit posisi masalah tersebut. Keganjilan inilah yang sepatutunya kita kaji sebagai pokok persoalan.

Alangkah konyolnya ketika sebuah kritikan dibalas dengan ancaman. Meski jauh lebih konyol ketika kita membiarkan ancaman itu hidup seperti sebuah dogma yang amat suci, bahkan kita sendiri tidak bisa meredamnya. Menanam dendam sama halnya memupuk rerumputan di halaman rumah yang nantinya akan menjalar lalu menjerat rumah kita sendiri. Berpisah bukan berarti berbeda, dikritik bukan berarti dibenci.

9.19.2013

Badik Lautan

Diposting oleh Unknown di 11.54 0 komentar
“di kotaku, badik adalah kata lain dari kebenaran
sedangkan matanya adalah keberanian
semakin kau mengasahnya menjadi jiwa, maka semakin kau tidak menemukan muaranya
suatu waktu, badik yang kau hunus akan menjadi sebatang lidi rapuh yang tidak lagi bersepuh
sebab kau selalu menyelipkannya di pinggangmu
sebagai mata angin yang menyesatkan”

“di kotaku, lautan adalah kehidupan
sedangkan ombaknya adalah kemakmuran
semakin kau memperindahnya dengan buatan, maka semakin kau menghilangkan kemurniannya
suatu waktu, lautan yang kau puja itu akan menjadi gemuruh yang meluluhkan kedamaianmu
sebab kau selalu memberinya apa yang tidak lautan butuhkan
sebagai upah dari kekeliaruan kita memahami lautan kehidupan”

hidupilah kehidupanmu dengan apa yang akan menghidupimu
bukan apa yang membuat hidupmu seolah benar, semuanya!



Makassar – dua ribu tiga belas

Solilokui

Diposting oleh Unknown di 11.35 0 komentar

bagimu adalah perasaanmu dan bagiku adalah perasaanku
aku tidak akan menyatakan apa yang aku rasakan
dan kamu tidak pula perlu mengatakan apa yang aku nyatakan
sungguh, sebaik-baik perasaan adalah yang kita rahasiakan.

mengingatmu adalah cara tersopan
untuk mengatakan bahwa aku menginginkan kita yang lampau
yang mendampa meski dengan jumpa yang seumur imsak

di pelaminan 
matamu adalah duka bagi kesehatanku
yang tempuhnya melemahkan hingga kambuh tidak juga sembuh
kursiku bergerak dari satu rembes ke sisi yang paling sungkan
sekadar menanyakan 
apakah kamu sehat?

semalam aku menghabiskan sabun di kamar mandi ibu
membayangkan tubuhmu yang tak tua-tua itu menindihku dengan kata-kata
semua lekuk yang kamu tutupi adalah bekas puisiku
yang semakin hendak menyengsarakan dirinya sendiri dengan kelambu

semakin aku ingin menyerupai pikiranmu
semakin hilang semua bentuk asli dari rumus-rumus pasti
pada jalannya, aku hanya halaman buku yang kamu baca berdasarkan abjad
masuk sebagai huruf-huruf yang tidak pasti

setiap pagi aku menanam payudada meski akhirnya orang-orang menamainya payudara
lalu aku memintamu untuk mengikat tali jemuran dari dagingku yang sembah di selaput darahmu
agar semua celana dalam yang kamu kaitkan untuk matahari
tidak hinggap di sela selangkangan orang lain yang jahannam

apakah cinta itu selebar teras rumahmu?
pertanyaanku yang kamu sebar menjadi pertanyaan baru
begitulah seterusnya kita biarkan hidup berlalu seperti pertanyaan yang berjalan
dari satu arah ke mata yang lain

itulah mulanya
pada akhirnya kita akan menjadi penjaga rahasia
yang membiarkan kata-kata menanggalkan seragamnya sendiri
sebelum meninggalkan kita dengan doanya yang belum mandiri


Makassar – dua ribu tiga belas

8.31.2013

Yang Setia pada Kemahiran Kata-kata

Diposting oleh Unknown di 04.02 1 komentar
kita telah memasuki musim yang terlepas
menghangatkan bibir yang lazim kita sebut kutukan
meski bukan itu yang akan kita beri sesembahan
di dasar-dasar kelenjar ingatan kita yang masih berdaun sangir

apakah kita masih perlu menyimpan
segala kesebentaran yang sangat lama kita pelihara diam-diam
yang kita rebut dari kesepian-kesepian terpilih
sementara pelukan sudah bukan jauh
lalu kematian datang untuk menjabatmu
mengantarmu dari pengasingan ke pengasingan lainnya

apakah kita masih perlu merebut kesepian yang sangat lama kita omongkan
di ranjang yang bukan milik pengantin
meski tubuh kita sudah tidak berhelai kain
sungguh kita memang bukan pemain
yang setia pada kemahiran kata-kata
para penyihir untuk merebut zahir bayi terakhir
yang ditinggalkan oleh ibunya saat kematian sudah semakin jauh
membawa hal terakhir yang juga kita miliki

aku ingin mencintaimu tanpa kebohongan
tapi apakah ada kata-kata yang dapat mewakili perasaanku selain kiasan klise
yang bagi sebagian kiai, itu adalah kebohongan

tapi apakah ada hal yang pernah kita jujurkan
selain bahwa kita memang adalah sepasang lengan yang saling menguntungkan
atau saat kita memilih tidak saling bercakap
setelah menghabiskan separuh hari dengan memperbincangkan masa depan
lalu membiarkan hayalan kita saling bertemu

aku masih sebatang lidi yang kau tanam di antara janur kelapa yang maha tinggi

yang masih setia di tanah tanpa perlu kau suburkan dengan air atau semacamnya

8.02.2013

Biodata Seorang Polisi

Diposting oleh Unknown di 10.40 4 komentar


nama                       : djawadi
tempat tanggal lahir  : indonesia, 17 agustus 1932
alamat                     : jalan kudus kebangsaan bangsat nomor 30
pekerjaan                :
1.      menjaga rakyat agar tidak berani membangkang 
      kepada kesewenang-wenangan aparat.
2.      menakut-nakuti rakyat yang berani berjuang 
      demi keadilan sama rata.
3.      tunduk dan patuh pada atasan meskipun itu tidak benar 
      dan diluar etika bangsa
4.      menembaki kepala siapapun yang berani berorasi 
      dan menghina pejabat publik busuk.
5.      membunuh dan menyerang siapa saja yang 
      berani mengusik sesama polisi
6.      menculik para aktivis yang dianggap sebagai     
      provokator massa.
7.      membantai habis kekuatan rakyat untuk 
      berjuang demi tanahnya sendiri.
gaji             : uang pajak dan pemalakan rakyat.
fasilitas       : senjata dan kendaraan gratis dari uang rakyat.

masih butuhka kita polisi?
jika nyatanya rasa aman itu harus dibeli
masih butuhka kita polisi?
jika anak cucu kita nantinya habis dibantai

Makassar – dua ribu tiga belas

7.23.2013

catatan kecil!

Diposting oleh Unknown di 12.15 0 komentar

Kenapa jika Ayah Saya Komunis?

Jakarta, 1955
Akhir bulan Juli. Pagi itu sedang cerah, musim penghujan masih jauh. Di lapangan Senayan Jakarta, massa berkumpul untuk merayakan masuknya PKI sebagai empat partai besar di Indonesia pada pemilu 1955. Ayah mengajak saya untuk datang di rapat akbar PKI. Umur saya waktu itu kira-kira 5 tahun. Tidak banyak yang saya ingat, lapangan penuh dengan warna merah dan umbul-umbul bergambarkan palu arit. Beberapa tahun kemudian saya baru mengerti jika itu adalah lambang Partai Komunis Indonesia.
Lapangan sesak, di atas panggung seorang sedang berpidato dengan penuh semangat. Siapa dia, saya tidak tertarik ditambah waktu itu saya tidak mengerti apa isi pidatonya. Saya lebih tertarik mendengar cerita Ayah saya dengan teman lamanya. Ayah saya sedang sibuk mengenang perjuangan mereka ketika partai ini baru terbentuk. Belakangan juga saya baru tahu jika ternyata orang yang sedang berpidato itu adalah D.N Aidit, ketua PKI waktu itu.
Sepulang dari rapat akbar itu, Ayah singgah di toko buku yang terletak di simpang jalan merpati nomor 58. Membeli beberapa buku dan memasukkannya ke tas jinjing yang selalu ia bawa kemanapun Ayah pergi. Ayah membonceng saya pulang dengan sepada. Satu hal yang terus saya ingat, bahwa Ayah saya adalah salah satu jenis manusia pendiam yang sangat ramah. Bahkan dengan anaknya sendiri, ayah selalu membatasi kata-katanya.
Ayah cukup dikenal di lingkungan tempat kami tinggal. Oh ya, saya hampir lupa mengisahkan tentang Ibu saya. Ibu saya adalah aktivis di Gerwani. Setidaknya itu kata yang suka ibu sebut ketika berkumpul dengan ibu-ibu yang sering bertandang ke rumah saya. Saya bersaudara hanya dua orang. Kakak saya seorang perempuan yang kala itu berumur 8 tahun.
Selain aktif di PKI, Ayah saya juga berkantor di Lekra atau dikenal juga dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Saya beberapa kali dibawa oleh Ayah ke kantornya. Dari situlah saya kenal beberapa teman Ayah yang sangat kritis dan anti imperialis, Pramoedya Ananta Toer salah satunya. Saya termasuk anak yang selalu ingin tahu dan saya lebih suka diajak ke kantor Ayah dari pada ikut pertemuan, apa lagi yang semacam rapat akbar seperti di lapangan senayan tempo hari itu.
Di usia delapan tahun, saya bisa membaca dan menulis. Itu membuat saya bisa tahu beberapa berita yang bahkan orang tua tidak bisa membacanya. Anak sebaya saya waktu itu masih senang bermain kelereng dan cangklok sedangkan saya sudah mulai gemar membaca buku-buku dan koran. Di kantor ayah, saya senang karena bisa membaca dengan puas beberapa tulisan dari teman ayah. Salah satu Koran yang sering saya baca adalah Bintang Timur.
Keluarga saya hidup sangat sederhana. Kakak perempuan saya beruntung, setidaknya ia bisa sekolah tidak seperti anak perempuan yang lain. Sedangkan saya terus diajar otodidak oleh ibu untuk menulis indah. Ayah suka dengan hewan, salah satu yang ayah pelihara adalah kuda. Nama kuda itu djagal. Ayah sangat merawatnya dan menganggap kuda kesayanggannya itu sebagai bagian dari keluarga kecil kami. Kebahagiaan ini berlangsung sampai usia saya belasan tahun

***

7.17.2013

yang tidak pernah ungkap dan tiba

Diposting oleh Unknown di 03.49 0 komentar
ada setanak luka yang kau tanam di akar rumahku yang banjir. tak pernah ungkap.
ada setanak duka yang kau simpan di puncak rumahku yang gunung. tak pernah ungkap.

ada setanak ingatan yang kau hanyutkan di laut kepalaku yang maha lepas. tak pernah tiba.
ada setanak kenangan yang kau leburkan di badai kepalaku yang maha gaduh. tak pernah tiba.


Majas

Diposting oleh Unknown di 03.42 0 komentar
Menurut Prof. Dr. H. G. Tarigan majas adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Unsur kebahasaan antara lain: pilihan kata,frasa, klausa, dan kalimat.
Majas dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:
a. Majas perulangan        c.     Majas pertentangan
b. Majas perbandingan    d.     Majas pertautan
berikut adalah contoh majas yang sering digunakan secara umum:

7.03.2013

Pintu Masuk

Diposting oleh Unknown di 22.16 0 komentar
pagi-pagi di kantor urusan pajak
hari ini orang pertama yang aku temui adalah perempuan penjaga pintu masuk
saban hari ia tiba tepat waktu
dengan setia berdiri menyambut tamu
menyampaikan pesan berbeda ke tiap tamu pertamu yang ia temui
jangan menimang banyak perasaan, pesannya kepadaku

keesokannya
aku datang lebih tiba dari perempuan itu
berdiri di gerbang lebih siap dari dirinya
yang setia itu langsung meminang, pesanku kepadanya



Makassar – dua ribu tiga belas

6.25.2013

perempuan yang menanak luka di hatinya

Diposting oleh Unknown di 10.19 0 komentar
ada perempuan yang menjaga air mata mahahati di kidungnya
ditekuknya kujur penindih pelukannya yang setia
tubuhnya yang telah berdoa secara lumut tidak sempat mengeja akhiran
dengan segala redah yang tidak kunjung henti
ia menadah rintik tanah yang menabur payung hati tanpa pernah tahu benih apa yang akan tumbuh

disegala tabah
perempuan itu memayungi dirinya dengan segan yang jelas
bahwa terluka seumpama kaset piringan hitam yang akan berputar dan menyanyikan lagu sepenuh warna
disegala sabar
perempuan itu memahat kuku-kuku yang telah ia kumpul dalam gelas kepatahan
bahwa terluka seumpama puisi yang tidak sempat terberi judul lalu menjadi sampul yang tidak terlabeli apapun

perempuan itu sedang menanak luka di hatinya
dan tidak membiarkan seseorangpun yang tahu tanakannya.


6.24.2013

ada doa yang berbaris di geligimu

Diposting oleh Unknown di 12.57 1 komentar
ada doa yang berbaris di geligimu
menunggu jutaan amin mengatup yakin
lalu sebaris demi sebaris menanggalkan demi kanaknya yang tidak kunjung tumbuh

ada doa yang bersila di bangkumu
menanti puluhan hati untuk bertamu di ruangmu
lalu satu demi satu rela memenggalkan kuping kananya untuk mendengar puisimu yang tidak kunjung akhir

ada doa yang berbaring di sujudmu
menungkul kalah setelah puluhun alasannya adalah muslihat di matamu
lalu satu persatu mengembalikan lembar kacanya yang tidak pernah dusta

inilah cintaku yang tidak pernah genap oleh doa -
rawatlah serahasia mungkin

teruntuk pejuang hak

Diposting oleh Unknown di 12.41 0 komentar
dipeluknya banyak buku
sedang ibunya menanak nasi di tanah yang liatnya menakutkan
dipeluknya banyak buku
sedang ayahnya mengemis doa di surau yang penuh susah

seorang pejuang hak berorasi di teras wakil rakyat
peluru bersangkar di otaknya yang banyak menampung masa depan
aparat berdalih ini salah tembak
tapi darah sudah penuh oleh ambisi mematikan
lantang suaranya menyusun kata
lawan
lawan
lawan
Tuhan bersama kalian
berkali-kali sepatu laras dan gagang senjata dihantamkan di bibirnya yang sudah sumbing oleh luka
aparat berdalih dia adalah provokator massa
namun suara itu maish Tuhan
menggema dilangit, menggantung banyak harap dan desakan sosial
siang ini satu lagi nyawa indonesia melayang

6.20.2013

Perempuan yang Melahirkan Kata-Kata

Diposting oleh Unknown di 09.48 1 komentar
ada seorang perempuan yang tertawa di bawah bulan sambil mengunci banyak cahaya di dadanya yang busung
buncit perutnya menandai usia kehamilan yang tua
katanya sudah sembilan bulan ia mengandung kata-kata
namun belum melahirkan sesajak apapun selain umpatan yang menghimpit makna

aku takut ia telah keguguran oleh waktu yang purna
dan hanya ada jerit berdarah di selangkangan yang memerahkan kasur serta sarung miliknya
dalam riwayat, kata-kata memang mendentum-dentum hingga menggelinding ke dinding paling tebing dan akhirnya terpikunkan

kata-kata lahir dengan senggama yang murni
dan kelahirannya ditandai dengan halaman demi halaman
lalu dari buku ke buku

namun ingatlah soal keguguran itu
banyak kata-kata yang lahir dari keguguran dan menjadi halaman juga
tapi telah kehilangan kemurnian makna

yang tersampaikan hanya berita kebohongan dan kata-kata yang mengutuk kebenaran
tidak sanggup lagi menetap di kepala yang tebal ini oleh derita bernegara yang sehatnya sangat mustahil

6.14.2013

Sehabis Membaca

Diposting oleh Unknown di 00.45 0 komentar
sehabis membaca
banyak penderitaan yang hidup
dan bayang-bayang paling tayang menggentayangkan ketakutannya
di mata kita yang buta - tidak ada tanggal yang menanggalkan kedamaian

kita hidup di mata pedang
tidak mengenal lagi kata tenang
semua penuh pandang
dan kita diserang kematian yang mendadak
dan berakhir pada ketidaktahuan pada diri sendiri

berabad kita mencari jati diri
nyatanya tidak ada yang mengenal lebih dari sekadar nama
dan negara kita hidup seperti gentayangan di awan yang tidak berpijak dan tidak juga tidak berpajak -
kita tidak mengenal diri sendiri -

maka carilah -

5.23.2013

MARI MENOLAK RUU PT

Diposting oleh Unknown di 05.33 0 komentar

MARI MENOLAK RUU PT

AWAL LAHIRNYA RUU PT

Jika melihat kondisi pendidikan yang ada pada perguruan tinggi negeri maupun swasta di negara ini, rasanya wajar saja jika ada oknum yang ingin agar RUU PT ini dapat terealisasi sebagai undang-undang yang mengatur sistem perguruan tinggi. Selain menguntungkan pihak mereka, pemerintah juga bisa dengan mudah mengurangi kenakalan oknum birokrasi kampus yang sering melakukan kecurangan untuk menguntungkan lembaga pendidikannya. Hal itu diakibatkan karena memang sistem yang kita anut terlalu bebas dan penuh ororitas tiap perguruan tinggi. Toh tujuan utama dari perguruan tinggi adalah mendidik mahasiswa, bukan untuk menguntungkan dosen, staf pengajar, ataupun birokrasi kampus. Namun yang terjadi saat ini malah justru sebaliknya, perguruan tinggi menjadi ladang “bisnis” yang aman dan terlindungi bagi dosen dan birokrasi kampus apa lagi dengan kuatnya otoritas tiap kampus untuk mengatur itu.
Awal lahirnya RUU PT ini diakibatkan karena pemerintah seolah kewalahan untuk mengatur dan mengontrol adanya indikasi penyimpangan-penyimpangan yang kerap terjadi di perguruan tinggi. Indikasi penyimpangan itu, misalnya, ada PT yang membuat data fiktif demi perizinan membuka jurusan. Sebagai contoh, pembukaan jurusan baru yang mewajibkan adanya 15 lulusan doctor yang bisa dengan mudah dimanipulasi oleh oknum. Pemerintah akhirnya kehilangan akal. Belum lagi adanya kemungkinan peredaran proposal penelitian fiktif demi mendapatkan uang semata. Dugaan itu semakin dipertegas mengingat gaji guru, dosen, bahkan profesor cenderung masih kecil. Masalah lainnya adalah mutasi staf pengajar, banyak dosen diketahui bekerja di dua tempat sekaligus.
Hal-hal inilah sebenarnya yang ingin dihindari juga menjadi dasar lahirnya RUU PT. Tujuannya sangat bagus, namun sangat disayangkan karena mahasiswa nantinya akan dirugikan jika RUU PT ini disahkan.

AKIBAT JIKA RUU PT DI SAHKAN

Ada dua kemungkinan jika RUU PT ini terealisasi menjadi undang-undang;
1.      Jika RUU ini lolos menjadi undang-undang maka hal positif yang dapat terjadi adalah mampu mengatasi "keliaran" yang dilakukan di Perguruan Tinggi. Namun satu hal yang disayangkan karena RUU ini bermuatan untuk “membeli” otoritas kampus dalam menjalankan tradisi pendidikannya. Padahal sebenarnya untuk mengontrol dan mengendalikan PT hanya perlu dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP), bukan melalui undang-undang yang cenderung terlalu ketat. Pengendalian itu jangan sampai 'dibeli' dengan uang. Pendidikan akhirnya seperti bisnis. Itu yang tidak boleh terjadi di dunia pendidikan kita.
2.      Jika RUU PT ini disahkan maka statuta PT akan dibeli oleh pihak luar dan mampu mencekik biaya pendidikan serta menumbuh suburkan diskriminasi terhadap mereka yang memiliki potensi akademik rendah dan kurang mampu tapi ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi.
Otonomi yang lahir dari RUU PT ini dapat dijadikan dasar hukum yang kuat untuk membuat universitas bekerja sama dengan industri yang akhirnya industri itu membuka kafe, atau resto di berbagai sudut kampus. Padahal semestinya pendidikan di perguruan tinggi itu menjadi kewajiban pemerintah untuk membiayai.
Terlebih lagi setelah adanya kerja sama internasional yang dirancang dalam WTO yang meliputi 12 sektor, di antaranya sektor pendidikan. Dalam artian, kalangan asing sangat berkepentingan dan memiliki akses yang terbuka untuk melakukan kerja sama antar-universitas dan kerja sama itu kerja sama mirip `perdagangan`. Jika ini terjadi, tentu sangat miris bagi pendidikan kita,
Karena itu, kita sebagai mahasiswa jangan mendorong peran negara yang lebih besar dalam dunia pendidikan tinggi, karena hal demikian hanya tepat untuk pendidikan dasar dan menengah, sedangkan untuk pendidikan tinggi justru tidak tepat, sebab kontraproduktif dengan semangat kritis dan otonomi yang dibangun dalam dunia kampus selama ini.
Kita dapat baca pada pasal 65 ayat (1) secara utuh menyatakan “Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu. Hal ini telah membuka ruang untuk suatu PTN memiliki status badan hokum”.
Berikutnya, pasal 74 secara redaksional menyatakan “PTN wajib mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20 persen dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua program studi”.
Ketentuan tersebut telah membuka ruang diskriminasi terhadap calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik rendah dan tidak mampu, hal ini sangat bertentangan dengan cita - cita mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menistakan keberadaan pendidikan itu sendiri yang sejatinya membuat ‘si tidak tahu” menjadi “tahu” akan ilmu pengetahuan dan lainnya.
Berikutnya, pasal 76 ayat (1) secara utuh menyatakan “Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik”.
Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, karena peraturan akademik pada setiap Perguruan Tinggi tentunya dibentuk sendiri-sendiri (tidak serentak) dan ruang untuk membedakan pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi terbuka lebar. Karena peraturan akademik dibentuk oleh senat universitas yang sejatinya berbeda-beda.
Pada pasal 90 sendiri menyatakan, “Perguruan Tinggi lembaga negara lain dapat menyelenggarakan Pendidikan Tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahwa dengan hadirnya ruang bagi Perguruan Tinggi Asing untuk membuka ‘cabang’ di Indonesia akibat ketentuan Pasal 90 tersebut, maka ini akan  menimbulkan dampak terhadap swastanisasi pendidikan tinggi di Indonesia.
Kelak kita bisa saja menjadi lulusan Stanford University atau Harvard University namun tetap di Indonesia. Dalam artian, kita akan ditanamkan tentang pendidiksn filsafat barat yang jelas itu berbeda dengan filsafat timur yang selama ini kita aplikasikan dalam kehidupan. Maka kelak kita akan menemukan generasi yang individualistik dan sangat egoisentris.



LANTAS APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?

Jalan satu-satunya adalah dengan tidak membiarkan pemerintah atau lembaga lain untuk mengintervensi statuta perguruan tinggi karena intervensi demikian justru akan menghambat kemajuan anak bangsa, terutama mengenai pendidikan. Harusnya PT diberikan otonomi dan otonomi itu berlandaskan kebutuhan mahasiswa karena ilmu pengetahuan takkan berkembang tanpa otonomi. Dan itulah yang harus kita perjuangkan.

TOLAK RUU PT

5.15.2013

pada suatu siang yang hujan tersesat kepadanya

Diposting oleh Unknown di 09.50 0 komentar
di kaca yang jendela
matahari menjadi basah
hujan lebih rintik dari terik yang biasa
ingatan menjalar penuhi pagar yang terluar

jauh sebelum bertemu oleh guntur
tatapanku telah membentur segala daya; pernah
di tempatku yang jauh dari pulang
masa lalu tidak berarti ingin
bukan itu
bahwa aku pernah bebas

5.14.2013

MENEMUKAN PENDIDIKAN YANG BERWAJAH INDONESIA

Diposting oleh Unknown di 07.21 0 komentar

Sedikit sejarah tokoh terdidik bangsa kita;
 Bahwa mereka adalah kaum borjuis kecil yang punya kesempatan belajar ke Belanda. Alasan politik etis waktu itu. Bung Hatta yang nyatanya pro terhadap barat. Sutan Syahrir yang bahkan mengkhianati kawannya sendiri, Amir Syarifuddin. Sunario Sastrowardoyo dan lain sebagainya. Pemikiran merekalah yang berpinak terus menerus. Berarti juga kita tidak punya pendidikan yang Indonesia. termasuk pendidikan karakter, sejarah, dan ideologi. sebab semuanya itu telah digelapkan demi kepentingan kolonialisme, imprealisme, juga kapitalisme. hal ini terus berkembang sampai saat sekarang.
Satu pertanyaan, lantas bagaimana cara kita menemukan pendidikan yang betul-betul Indonesia?

Kutipan diatas menarik untuk dikaji karena menjadi perihal penting, kekinian bangsa Indonesia yang sedang menuju arah pembangunan perlu pondasi pendidikan yang kuat dan merakyat. Pusat pembangunan yang masih berkeliarah di pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan mungkin juga Sulawesi tentu sangat menghambat proses pemerataan pendidikan. Sementara para kaum terdidik masih mencari rumusan jelas tentang metode pendidikan kita. Wajar saja, sebab dari awal memang pembangunan bangsa indonesia tidak pernah ditekankan mengenai metode pendidikan yang betul-betul Indonesia.
Negara kita kini lebih banyak berkutat pada persoalan individu dan terkesan melupakan satu permasalahan sosial yang sebenarnya menyerang kita diam-diam, yaitu kapitalisme global yang mencoba terus masuk kesemua lini kenegaraanan kita. Dampaknya tentu akan semakin menambah runyam permasalahan yang datang silih berganti menjenguk duka bangsa yang tiada henti. Sikap individu ini akan menumbuh suburkan sikap kapitalisme, salah satu sektor yang paling dirugikan dengan tumbuhnya kapitaslime dalam sebuah negara adalah pendidikan.
Permasalahan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia semakin mencerminkan ketidakbijakan kaum-kaum terdidik bangsa ini. Kasus penundaan Ujian Nasional 2013 dapat menjadi kiblat bukti ketidakseriusan pemerintah untuk memajukan mutu pendidikan bangsa. Belum lagi kekerasan akademik di kampus-kampus dan beberapa kasus pelecehan seks terhadap siswi oleh gurunya sendiri dibeberapa daerah. Seperti kasus pelecehan seks yang dilakukan oknum guru kepada siswinya di SMA 22 Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur atau kasus skorsing dua mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang mencoba mengkritik birokrasi kampusnya. Ini sebagaian kecil contoh buruk dalam bilik dunia pendidikan kita. Sekali lagi ini adalah dampak dari tidak adanya penanaman pendidikan moral yang mendalam kepada kaum terdidik di negara ini.
Usia pendidikan di Indonesia lebih tua dari Negara Indonesia sendiri, namun kita harus menerima kenyataan bahwa pendidikan di Indonesia hari ini ternyata bernasib sama dengan negaranya. Angka korupsi seolah tidak ingin kalah oleh angka anak putus sekolah. Sebuah kenyatan yang harus segera menjadi masa lalu kelam bangsa ini.
Pendidikan yang seharusnya menjadi tombak dan pembuka jalan bagi Indonesia baru semestinya dikawal oleh semua lapisan masyarakat. Namun yang nyata terasa bahwa jumlah anak jalanan yang seharusnya berada di ruang sekolah seolah berimbang dengan jumlah sarjana yang akhirnya menjadi pengangguran tetap. Sebuah fakta yang harus segera menjadi opini belaka.
Masa depan bangsa ini ditentukan dari seberapa serius pemerintah, kaum terdidik, dan orang tua mengawal keterjaminan para anak-anak dan kaum wajib berpendidikan agar kelak bangsa ini tidak butuh lagi otak-otak asing untuk mengotak-atik sumber daya alam kita. Kita harus segara berjalan lebih cepat dari negara lain untuk mewujudkan masa depan yang lebih nyata untuk masa depan bangsa Indonesia.
Sejarah tahun 1945 seharusnya menjadi pelajaran yang penting bagi bangsa Indonesia. Jepang yang saat itu kalah dalam perang dunia kedua dan menerima serangan bom pada tanggal 8 dan 9 Agustus tahun 1945 di kota Hirosima dan Nagasaki oleh sekutu, tapi nyatanya Jepang berhasil maju lebih cepat dan berkembang lebih pesat dari negara di Asia lainnya dan sekarang dapat dikatakan bahwa Jepang menjadi macan Asia. Salah satu sektor yang sangat diperhatikan oleh jepang adalah pendidikan. Jangan heran ketika berkunjung ke Negara Sakura itu anda mendapati anak SD, SMP, ataupun SMA memanfaatkan waktunya untuk membaca di densha (kereta listrik). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684. Sementara di Indonesia waktu itu masih sibuk mengusir penjajah. Fakta ini tidak bisa dijadikan perbandingan tapi setidaknya Indonesia perlu belajar dan mencobanya dengan model Indonesia sendiri. pemerintah perlu merangsang minat baca sejak dini terhadap siswa.
Sebuah pendidikan yang dicita-citakan oleh Negara Indonesia adalah pendidikan yang merakyat. Nasib anak-anak tentang pendidikan itu dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Namun kembali lagi pada penerapannya, komersiliasi pendidikan nyatanya menjadi ancaman serius bagi para kaum wajib berpindidikan. Dana pendidikan yang mahal bagi para kaum wajib berpendidikan akan berdampak pada seberapa bisa orang tua menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Kita juga dapat melihat bagaimana proyek Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dibeberapa sekolah ternyata hanya menghambat pendidikan kita. Gengsi dan nama besar sekolah akhirnya hanya bisa dihuni oleh kaum kaya bangsa ini.
Angka kemiskinan seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah agar pendidikan di Negara ini dimurahkan, bahkan jika bisa digratiskan. Anggaran 20 persen APBN nyatanya kebanyakan digunakan untuk membayar gaji guru, dosen dan tunjangan mereka. Sementara para siswa harus membayar mahal untuk modul dan seragam sekolah yang sebenarnya bisa tidak diseragamkan itu.
Melihat kucuran dana yang disiapkan pemerintah untuk kemajuan pendidikan, rasanya aneh jika hari ini pendidikan kita masih rumit seperti ini, angka Rp. 286 trilyun yang disiapkan pemerintah untuk kemajuan pendidikan nyatanya tidak terlalu berdampak pada angka anak putus sekolah. Dana bos yang pada tahun 2011 sebesar 16 trilyun dan dinaikkan pada tahun 2012 menjadi 23 trilyun nyatanya masih menyisahkan tugas yang besar bagi kalangan terpelajar bangsa ini untuk serius mengelola masa depan bangsa melalui pencerdasan generasinya.
Salah satu sektor yang harus segera dibenahi adalah pendidikan dini. Pada usia dini perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan itu sangat tinggi. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannya sebagai stimulans terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Berdasarkan hasil penelitian, sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun (Direktorat PAUD, 2004).
Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode emas ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.
Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dan strategis dalam pembangunan sumberdaya manusia. Tidak mengherankan apabila banyak negara menaruh perhatian yang sangat besar terhadap penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Di Indonesia sesuai pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan anak usia telah ditempatkan sejajar dengan pendidikan lainnya. Bahkan pada puncak acara peringatan Hari Anak Nasional tanggal 23 Juli 2003, Presiden Republik Indonesia telah mencanangkan pelaksanaan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak Indonesia (Direktorat PAUD, 2004).
Apa kita masih harus bermasa bodoh terhadap pendidikan dini di Negara Indonesia. Rasanya kasihan jika generasi bangsa kita sejak dini dikerumuni oleh teknologi, salah satunya adalah internet yang tidak kenal sekat antara dewasa dan kanak. Kembali lagi peranan orang tua dan pemerintah untuk mendidik anak dengan bebas namun tetap terjaga sangat diharapkan.
Berikut ada beberapa fakta mencengangkan tentang pendidikan di Indonesia yang dikeluarkan oleh Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO pada tahun 2011.
1.      Tingginya Angka Anak Putus Sekolah
Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan rendah. Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index. Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah.
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Namun faktor paling umum yang dijumpai adalah tingginya biaya pendidikan yang membuat siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan dasar.

2.      54% Guru di Indonesia Tidak Memiliki Kualifikasi yang Cukup untuk Mengajar
Guru merupakan ujung tombak dalam meningkatkan kualitas pendidikan, dimana guru akan melakukan interaksi landsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Melalui proses belajar dan mengajar inilah berawalnya kualitas pendidikan. Artinya, secara keseluruhan kualitas pendidikan berawal dari kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di ruang kelas.
Secara kuantitas, jumlah guru di Indonesia cukup memadai. Namun secara distribusi dan mutu, pada umumnya masih rendah.  Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana, namun mengajar di SMU/SMK, serta banyaknya guru yang mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan ini cukup memprihatinkan, dengan prosentase lebih dari 50% di seluruh Indonesia.
Menurut data Kemendiknas 2010 akses pendidikan di Indonesia masih perlu mendapat perhatian,  lebih dari 1,5 juta anak tiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah. Sementara dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar terdapat lebih dari 54% guru memiliki standar kualifikasi yang perlu ditingkatkan dan 13,19% bangunan sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki.
Hal ini seharusnya menjadi salah satu titik berat perbaikan sistem pendidikan di Indonesia, mengingat semakin maju-nya suatu negara bermula dari pendidikan yang berkualitas, pendidikan yang berkualitas bermuara dari pembelajaran yang berkualitas, pembelajaran yang berkualitas dimulai dari pengajar yang berkualitas pula.

3.      Menurut Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69
Berdasarkan data, perkembangan pendidikan Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Menurut Education For All Global Monitoring Report 2011 yang dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahun dan berisi hasil pemantauan pendidikan dunia, dari 127 negara, Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69, dibandingkan Malaysia (65) dan Brunei (34).

4.      34% Sekolah di Indonesia Kekurangan Guru
Distribusi Guru tidak merata. 21% sekolah di perkotaan kekurangan Guru. 37% sekolah di pedesaan kekurangan Guru. 66% sekolah di daerah terpencil kekurangan Guru dan 34% sekolah di Indonesia yang kekurangan Guru. Sementara di banyak daerah terjadi kelebihan Guru.
Sumber: Teacher Employment & Deployment, World Bank 2007

5.      Sebaran indeks kualitas Guru di Indonesia setengah nilai maksimal indeks
Sebaran indeks kualitas Guru di Indonesia setengah nilai maksimal indeks dimana nilai maksimal adalah 11.
Sumber: Analisis Data Guru 2009, Ditjen PMPTK 2009

Fakta diatas seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk serius dalam mencerdaskan kualitas pendidik dan anak bangsa sebagai terdidik. Belum lagi beberapa kebijakan pemerintah tidak pro terhadap pendidikan merakyat dan akhirnya tidak dapat menjadi solusi atas penentasan wajib belajar 9 tahun apalagi menjadi solusi bagi pendidikan yang Indonesia.
 Barangkali ada benarnya apa yang dikatan Pramoedya Ananta Toer bahwa kita ini adalah bangsa budak, budak bagi bangsa lain dan budak bagi negara sendiri. Berapa anggaran yang dihabiskan oleh pemerintah untuk melakukan kunjungan kerja ke negara lain kemudian mempelajari sistem pendidikan mereka dan menerapkannya di Indonesia. Nyatanya keadaan pendidikan negara kita tidak juga bisa terlepas dari masalah pemerataan di setiap daerah.
Melihat kekinian bangsa yang terus berkutat pada krisis moral kiranya perlu rumusan tentang bagaimana agar bangsa kita bisa terlepas dari persoalan ini. Korupsi terjadi karena krisis moral, pemerkosaan, pembunuhan, ataupun ketidakseriusan pemerintah dalam menjalankan tugasnya adalah dampak dari krisis moral. Maka hal mendasar yang perlu ditanamkan secara dalam dan kuat pada metode pendidikan usia dini adalah tentang pendidikan moral yang Indonesia.
Nampaknya inilah saat yang tepat untuk Negara kita berbenah melalui sektor pendidikan. Bangsa kita tidak butuh teori lengkap tentang perubahan ataupun tentang pergerakan. cukup mencerdaskan pemuda dan ajarkan mereka tentang nilai pancasila dan jaminkan haknya lewat undang-undang dasar serta hapuskan amandeman di era orde baru. Maka pergerakan dan perubahan itu akan mereka rumuskan sendiri jalannya. Rasanya tidak ada bangsa yang mau terus bodoh dan tertinggal.