on 12.25.2014


Adam – seorang pemuda dari kelompok Islam garis keras, bersama puluhan penduduk beragama nasrani terjebak di gereja saat perang itu menghancurkan Kota Yursala. Suara tembakan, bom meledak, dan teriakan orang-orang yang tidak bisa menyelamatkan diri terdengar sangat nyaring.
Suara ketakutan dari orang-orang di luar sana menggema hingga ke altar gereja. Mereka yang berhasil sembunyi di dalam gereja juga terlihat menyimpan kesedihan, ketakutan, juga kebencian. Perasaan itu bersatu dan melahirkan keputusasaan yang dalam.
Keadaan yang mencekam ini membuat Pastor Costana berlari ke atas mimbar gereja. Ia menyerukan kepada seluruh yang ada di ruangan ini untuk berdoa. Adam juga ikut berdoa. Berdoa dengan cara nasrani, bukan karena ia takut dikeluarkan dari gereja. Tapi Adam sadar bahwa perang ini tidak memandang agama apa. Maka ia berdoa kepada Tuhan di hadapan patung Yesus dan Bunda Maria agar perang sipil antar kelompok masyarakat dan pasukan pemberontak ini segera berakhir.
Setelah larut malam, samar-samar Adam melihat Ghandi, teman sekolahnya dulu yang beragama Hindu, Dr. Patra, seorang pengacara yang Atheis, dan Dini, penganut kepercayaan kuno di Kota Yursala. Mereka semua berkumpul di gereja yang sama. Berdoa agar perang ini segera usai.
***
Jangan cari kisah di atas. Karena tidak akan ditemukan di novel, cerpen, apa lagi dikehidupan nyata. Saya mengutipnya di sebuah diskusi kecil dengan seorang kawan. Kisah itu hanya bayangan kami berdua.
Seperti biasa, menjelang natal, selalu saja muncul perdebatan berulang. Di media sosial, di televisi, di warung kopi, di ruang kuliah, bahkan di atas ranjang. Perihal seorang muslim yang memberikan ucapan selamat natal kepada seorang kristiani.
Di Twitter, beberapa orang memenggal kalimat perkalimat dan mendadak menjadi juru kebenaran. Juru kebenaran yang menyerukan agar seorang muslim tak memberikan ucapan selamat natal.
Atau di Facebook, beberapa orang menyusun status yang panjang. Mengutip kiri dan kanan apapun yang bisa digunakan sebagai pembenaran agar tak seorangpun yang beragama islam berani mengucapkan selamat natal.
Tapi saya kurang yakin di antara mereka ada yang benar-benar kembali ke Alquran dan hadis. Mereka hanya berlindung di belakang dogma keyakinan yang sangat picik. Dogma yang seringkali mengurung kita pada perkara yang terlihat meyakinkan padahal sebenarnya itu sangat meragukan.
Yang paling mengerikan, beberapa hari yang lalu ada sekelompok mahasiswa yang mengaku beragama tapi  melakukan pemboikotan perayaan natal di fakultas sastra – ini terjadi di salah satu universitas negeri di Makasssar. Dengan keadaan dan tekanan yang tentu sulit diterima, kegiatan khidmat itu akhirnya dipindahkan keluar kampus.
Meskipun membahas tulisan seperti ini terlalu rentan dan bisa menjadi pemantik sebuah konflik. Tapi saya yakin, masih lebih banyak di antara kita yang beragama dan menjunjung keberagaman sebagai pilar utama kehidupan. Masih banyak di antara kita yang bisa menerima perbedaan. Bahkan Rasullullah SAW pernah mengatakan; Perbedaan adalah rahmat.
Saya lahir dan besar di pesantren tapi tidak sekalipun ada ajaran untuk bersikap intoleran terhadap agama lain. Apa lagi sampai menghalangi saudara kita untuk beribadah. Tuhan yang mana melarang agama lain untuk beribadah?
 Ini bukan perkara siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi perkara kita meletakkan Tuhan di mana saat melakukan pelarangan orang lain untuk beribadah. Apakah Tuhan kita masih hidup jika sebagai hamba menganggap Tuhannya yang paling benar?
Sikap-sikap arogan seperti itu hanya dimiliki oleh pecundang sosial. Pecundang yang memiliki pembenaran yang buta di dalam hatinya. Arogansi seperti itu lebih tepat disebut sebuah ego. Ego yang juga dimiliki oleh para iblis.
***
Terkikisnya kemampuan untuk hidup berdampingan dalam perbedaan adalah bukti jika kita adalah manusia biasa. Manusia biasa yang dengan mudah dicuri oleh pemahaman yang sangat jauh dari konsep kebudayaan kita.
Kita bisa belajar dari sepasang kekasih yang menjalani kisah cinta tapi dalam banyak hal mereka berbeda, tentu terasa hangat dan menggairahkan. Tak bermaksud berkhutbah, tapi hidup di tengah perbedaan dan bisa menerima itu sebagai keindahan tentu terasa menenangkan.
  Saya mengingat puisi Robert Frost – penyair asal Amerika Serikat, di hutan, kulihat dua cabang jalan terbentang. Kuambil yang jarang dilalui orang. Dan itulah yang membuat segala perbedaan.
Perbedaan itu memang tidak menciptakan dirinya sendiri atau diciptakan oleh manusia. Tapi ia selalu ada. Selelah apapun kita menghindarinya, ia hidup dalam bayang-bayang setiap benda bernyawa ataupun tidak.
Siapa yang tahu, Tuhan mungkin saja menciptakan banyak agama dan kepercayaan agar ia bisa disembah dengan banyak cara. Agar kita bisa hidup dalam banyak rasa. Selamat hari natal.


dimuat di kolom Literasi Tempo 24/12/2014
on 12.19.2014


Hari ini saya sadar bahwa mereka yang tersenyum dan tertawa adalah yang paling menderita. Karena tawa bukan obat terbaik, itu juga merupakan penyamaran terbaik. Saya dan semua orang seharusnya tau. – Unknown.
Meskipun sumber kalimat ini tidak diketahui. Tapi saya percaya akan hal itu. Percaya bahwa mereka yang terlihat banyak tertawa adalah yang paling banyak menyimpan kesedihan. Dan mereka yang terlihat sedih, mungkin saja menyimpan banyak kebahagiaan di dalam dirinya.
Ini mengingatkan saya dengan kisah hidup Jhon William Godward. Pelukis asal Inggris yang hidup di akhir era Pre-Raphaelite. Tentu dalam tulisan ini saya tidak akan membahas bagaimana ketenaran karya Godward atau seperti apa proses ia berkesenian.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Godward adalah orang yang cukup periang. Dan tertawa adalah salah satu kebiasaannya.
Karya Godward yang paling dikagumi dan dipuji dunia adalah Eighty and Eighteen. Lukisan yang menggambarkan seorang perempuan muda yang cantik duduk di atas sofa panjang bersama lelaki tua.
Tapi bagi saya sendiri, karya paling agung dari Godward adalah kematiannya. Pada tahun 1922 ia akhirnya memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri. Sebelum meninggal, ia menulis pesan singkat; karena dunia ini tidak cukup luas baginya.
***
            Semakin banyak kita tertawa, semakin banyak kebohongan yang kita perlihatkan kepada orang lain. Kalimat klise semacam, hidup ini terlalu singkat untuk disedihkan atau badai pasti berlalu adalah ungkapan yang tidak berlaku bagi beberapa orang.
            Silakan bertanya pada Anita Ree – pelukis berkebangsaan Jerman yang berdarah Yahudi. Ia memutuskan untuk menghukum orang-orang yang menghina dan melecehkan dirinya dengan bunuh diri.
            Atau kepada Nicolas de Stael. Ia seorang pelukis berdarah Rusia. Pada tahun 1953 ia mengalami depresi yang cukup berat dan memilih untuk mengisolasi dirinya di Antibes – bagian selatan Prancis. Karena tidak kuat menghadapi tekanan dan kekecewaan, dua tahun setelah itu ia akhirnya menerjungkan tubuhnya dari studionya di lantai sebelas.
            Atau kepada Vincent van Gogh. Pelukis terkenal yang dikononka bunuh diri dengan cara menembakkan peluru ke dadanya. Theo – saudara van Gogh juga mengatakan bahwa van Gogh ingin mati setelah merasa kesedihannya tidak akan pernah berakhir.
            Jika mereka menjawab badai pasti berlalu. Mungkin ia tidak akan memilih bunuh diri. Mungkin ia masih terus hidup dan menunggu kematiannya untuk datang.  Tapi kematian seperti apa yang akan mendatangi mereka?
            Ketiga orang ini  - Ree, Nicolas, van Gogh, adalah orang-orang yang dianggap karyanya mempengaruhi kesenian dunia. Karyanya menuai banyak pujian. Bahkan hingga sekarang, nama mereka masih diingat. Tapi sisi lain dari itu, mereka adalah orang yang menyimpan kesedihan yang mendalam. Pujian dan kritikan terhadap karyanya tidak membuat hidupnya terus bahagia. Pada akhirnya, mereka memilih cara kematiannya sendiri.
Kisah ini bukan cerita amatir. Juga bukan hal yang terjadi tanpa melalui proses yang panjang. Bagi sebagian orang, bunuh diri adalah cara terbaik untuk hidup lebih lama. Setidaknya, sampai sekarang mereka masih dikenang. Bukan hanya karena karya mereka memang layak untuk diingat, tapi juga kematiannya patut untuk kita hormati. 
***
            Seandainya saya bunuh diri, tentu nasib saya tidak akan seperti mereka. Yang ada mungkin orang-orang akan menyayangkan dan menganggap saya gagal. Beberapa orang lagi tentu akan menjadikan saya pelajaran, kamu jangan sebodoh dia.
Jika bunuh diri adalah tindakan bodoh, maka Ariel – eks Peterpan, Ilham Arif Sirajudin, Andi Alfian Mallarangeng, atau Angelina Sondakh juga bisa dianggap bunuh diri.
Tentu saya tidak akan sepakat untuk membandingkan Ariel dengan Elliott Smith – penyanyi yang juga mati bunuh diri, itu sama halnya mengabaikan perjuangan Elliott untuk membunuh dirinya. Toh setelah skandalnya terbongkar banyak penggemar Ariel yang menganggapnya telah mati – salah satunya saya.
***
            Di jalanan, saya kerap melihat kumpulan anak kecil yang mengamen. Mereka tertawa seakan tidak ada lagi kesedihan yang patut untuk dipikirkan. Di televisi, acap kali melihat Presiden Jokowi tersenyum, saya mengingat betapa negara ini memang menyimpan kesedihan yang panjang. Atau para aktivis mahasiswa yang turun ke jalan. Wajah mereka yang murung durja sambil menggunakan pengeras suara mengabarkan betapa negara ini sedang darurat. Tapi apakah ia benar-benar sadar bahwa kemacetan membawa beberapa kebahagian. Kebahagian bagi mereka yang punya alasan untuk tidak berkantor, atau kampus yang akhirnya diliburkan, atau sepasang kekasih yang memilih menghabiskan waktu di warung kopi sambil menunggu kemacetan selesai.
            Seperti Jhon William Godward, saya berharap negara ini memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Agar kita menemukan cara untuk menghormati kematiannya. Bukankah ungkapan, kadang kita baru merasakan kehilangan ketika yang kita cintai itu telah pergi, memang benar. Setelah negara ini bunuh diri, kita semua mungkin menemukan cara untuk bahagia.

dimuat di kolom Literasi 18/12/2014
on 12.06.2014


Saat duduk menghabiskan waktu di cafe dan melihat orang-orang datang dan pergi. Saya seperti masuk ke dalam ruang yang wujudnya seperti taman di kepala saya. Taman bagi yang membutuhkan sepi. Taman bagi yang membutuhkan keheningan sejenak dari riuhnya kota.
            Niat awal menghabiskan waktu panjang untuk duduk sendiri terpaksa gagal. Rombongan perempuan yang datang dan duduk di sebalah meja saya penyebabnya. Ternyata, salah seorang di antara mereka adalah teman kecil saya. Tak ada alasan untuk menolak bercerita panjang lebar dengan dia.
            Menceritakan segala hal yang menurut saya sangat mengganggu. Yang membahagiakan adalah karena teman perempuan saya itu tidak berubah. Cara dia tersenyum belum hilang. Kecerian masa kecilnya masih sama. Intinya, dia masih seperti gadis 8 tahun yang saya kenal dulu. Setelah kehabisan bahan cerita, saya memilih duduk dan bermain gawai. Sementara mereka berempat tampak tertawa, bahagia menceritakan pengalamannya. Pengalaman yang terasa sangat asing dalam kepala saya.
            Entah kebetulan atau tidak, teman kecil saya itu membuat status di facebook – kami memang sudah lama berteman di dunia maya, dan saya tanpa sengaja membacanya, kurang lebih redaksi katanya seperti ini, “buat apa bahagia kalau hati terluka.”
Tanpa bermaksud memberi tanggapan terhadap status facebook teman saya. Yang mengherankan dan masih sulit berterima dalam kepala saya adalah, bagaimana cara terlihat bahagia tapi di media sosial mengeluh tentang kedalaman perasaan?
***
Salah satu lirik lagu Ari Lasso - di dalam keramaian aku masih merasa sepi, memang ada benarnya. Seseorang bisa saja merasa sepi di tengah keramaian. Dalam tulisan ini saya lebih tertarik untuk menyebut hal itu sebagai karakter ganda. Di dunia nyata seseorang bisa saja terlihat bahagia dengan banyak tertawa tapi di media sosial, orang-orang mengeluhkan segala hal yang ia pendam. Ajaib.
Jika Ricard Rorty - seorang filsuf dari Amerika Serikat, menjelaskan bahwa kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula kebenaran.
Apa yang benar adalah apa yang disepakati oleh manusia sebagai kebenaran. Apa yang dilakukan oleh teman saya mungkin saja benar bagi dirinya. Tapi amat mengganggu pikiran saya. Benarkah bahwa dunia maya adalah dunia yang berdiri sendiri? Dunia yang terpisah dari interaksi sosial yang kita bangun.
Sebagian dari kita mungkin sepakat bahwa dunia nyata dan dunia maya memang harus dipisahkan. Sebagian lagi mungkin meyakini bahwa keduanya saling berkaitan. Terserah. yang jelas kedua dunia ini kita sepakati ada dan menjadi bukti eksistensi manusia.
***
            Perasaan kesepian adalah rasa universal yang dapat dirasakan oleh siapa saja. Sedangkan absurditas adalah sintesa dari resio dan keajaiban. Kedua hal ini seringkali mewarnai kehidupan kita. Terlibat pada banyak hal dalam proses menemukan kesimpulan-kesimpulan dalam hidup ini.
Benarkah begitu sepi dan absurd kehidupan manusia sehingga harus diwarnai dengan proses pelenyapan melalui narasi dan cerita-cerita panjang tentang manusia itu sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa dengan mudah merasakan sepi ketika berada di suatu tempat yang ramai. Bukankah tempat yang ramai adalah ruang yang kemungkinan besar bersifat publik. Sedangkan kesepian adalah narasi seseorang dengan dirinya sendiri. Narasi tunggal ini juga bersifat sangat pribadi. Sangat privasi.
             Ketangguhan manusia memanipulasi kesedihan hanya akan berhenti ketika kita sadar bahwa tak ada satupun yang dapat kita selamatkan. Termasuk diri sendiri. Dengan lahirnya begitu banyak tempat-tempat yang bersifat publik. Maka semakin besar pelung manusia untuk masuk dan menemukan ruang privasi di dalamnya.
Terlihat bahagia di dunia nyata dan galau di dunia maya dapat kita masukkan sebagai salah satu penyakit sosial. Penyakit yang mungkin saja tanpa sadar telah menjangkiti kita. Dalam kasus ini, kisah teman saya bukanlah cerita tunggul. Mungkin di antara kita ada yang pernah melakukan hal yang sama.
            Kisah teman kecil yang saya tuliskan di atas adalah pembenaran dari apa yang pernah disebut oleh David Hall – dalam Tulisan R. A. Antonios, Ruang Publik dan Peran Penyair menurut Richard Rorty “pencarian kesempurnaan privat”. Hal ini kemudian disebut sebagai proses pemberian makna bagi keberadaan manusia. Meskipun harus diakui bahwa upaya ini tidak akan pernah selesai. Tidak mungkin berakhir.


Dimuat di kolom literasi Tempo 3/12/2014
on 11.14.2014


dunia ini adalah arloji raksasa yang jahat
ada sepasang jarum yang bergerak lambat dan yang satu berputar tak berperasaan
seolah tak memiliki waktu untuk menunggu apapun yang tertinggal
acap kali melihat jarum jam itu berputar
aku membayangkan sepinya angka-angka
yang tak pernah benar-benar memiliki
hanya suara detak yang teratur mendentum telinga setiap angka
yang abadi menghuni dirinya sendiri

“jika angka tiga jatuh cinta kepada jarum itu,
dengan cara apa ia akan mengungkapkan perasaannya?”

tak ada angka yang mampu menahan jarum itu untuk bertahan melebihi satu detik
hanyalah ketabahan yang kebetulan bertindak lebih dewasa
melampaui angka yang paling purba

tapi ini telah terjadi ratusan tahun
saat angka-angka itu dipasang sebagai pengingat waktu
dipasung menjadi tumbal dari simbol kecerdasaan manusia

mengapa bukan bentuk kelamin lelaki sebagai jam satu
buah dada perempuan sebagai jam dua
celana dalam sebagai jam tiga – begitu seterusnya
sebab hal paling kejam dari pertemuan adalah
ketika sesuatu saling mencintai namun tak didapat memiliki

12.25.2014

Kepada Tuhan yang Maha Lagi

Diposting oleh Unknown di 22.24 0 komentar


Adam – seorang pemuda dari kelompok Islam garis keras, bersama puluhan penduduk beragama nasrani terjebak di gereja saat perang itu menghancurkan Kota Yursala. Suara tembakan, bom meledak, dan teriakan orang-orang yang tidak bisa menyelamatkan diri terdengar sangat nyaring.
Suara ketakutan dari orang-orang di luar sana menggema hingga ke altar gereja. Mereka yang berhasil sembunyi di dalam gereja juga terlihat menyimpan kesedihan, ketakutan, juga kebencian. Perasaan itu bersatu dan melahirkan keputusasaan yang dalam.
Keadaan yang mencekam ini membuat Pastor Costana berlari ke atas mimbar gereja. Ia menyerukan kepada seluruh yang ada di ruangan ini untuk berdoa. Adam juga ikut berdoa. Berdoa dengan cara nasrani, bukan karena ia takut dikeluarkan dari gereja. Tapi Adam sadar bahwa perang ini tidak memandang agama apa. Maka ia berdoa kepada Tuhan di hadapan patung Yesus dan Bunda Maria agar perang sipil antar kelompok masyarakat dan pasukan pemberontak ini segera berakhir.
Setelah larut malam, samar-samar Adam melihat Ghandi, teman sekolahnya dulu yang beragama Hindu, Dr. Patra, seorang pengacara yang Atheis, dan Dini, penganut kepercayaan kuno di Kota Yursala. Mereka semua berkumpul di gereja yang sama. Berdoa agar perang ini segera usai.
***
Jangan cari kisah di atas. Karena tidak akan ditemukan di novel, cerpen, apa lagi dikehidupan nyata. Saya mengutipnya di sebuah diskusi kecil dengan seorang kawan. Kisah itu hanya bayangan kami berdua.
Seperti biasa, menjelang natal, selalu saja muncul perdebatan berulang. Di media sosial, di televisi, di warung kopi, di ruang kuliah, bahkan di atas ranjang. Perihal seorang muslim yang memberikan ucapan selamat natal kepada seorang kristiani.
Di Twitter, beberapa orang memenggal kalimat perkalimat dan mendadak menjadi juru kebenaran. Juru kebenaran yang menyerukan agar seorang muslim tak memberikan ucapan selamat natal.
Atau di Facebook, beberapa orang menyusun status yang panjang. Mengutip kiri dan kanan apapun yang bisa digunakan sebagai pembenaran agar tak seorangpun yang beragama islam berani mengucapkan selamat natal.
Tapi saya kurang yakin di antara mereka ada yang benar-benar kembali ke Alquran dan hadis. Mereka hanya berlindung di belakang dogma keyakinan yang sangat picik. Dogma yang seringkali mengurung kita pada perkara yang terlihat meyakinkan padahal sebenarnya itu sangat meragukan.
Yang paling mengerikan, beberapa hari yang lalu ada sekelompok mahasiswa yang mengaku beragama tapi  melakukan pemboikotan perayaan natal di fakultas sastra – ini terjadi di salah satu universitas negeri di Makasssar. Dengan keadaan dan tekanan yang tentu sulit diterima, kegiatan khidmat itu akhirnya dipindahkan keluar kampus.
Meskipun membahas tulisan seperti ini terlalu rentan dan bisa menjadi pemantik sebuah konflik. Tapi saya yakin, masih lebih banyak di antara kita yang beragama dan menjunjung keberagaman sebagai pilar utama kehidupan. Masih banyak di antara kita yang bisa menerima perbedaan. Bahkan Rasullullah SAW pernah mengatakan; Perbedaan adalah rahmat.
Saya lahir dan besar di pesantren tapi tidak sekalipun ada ajaran untuk bersikap intoleran terhadap agama lain. Apa lagi sampai menghalangi saudara kita untuk beribadah. Tuhan yang mana melarang agama lain untuk beribadah?
 Ini bukan perkara siapa yang benar dan siapa yang salah. Tapi perkara kita meletakkan Tuhan di mana saat melakukan pelarangan orang lain untuk beribadah. Apakah Tuhan kita masih hidup jika sebagai hamba menganggap Tuhannya yang paling benar?
Sikap-sikap arogan seperti itu hanya dimiliki oleh pecundang sosial. Pecundang yang memiliki pembenaran yang buta di dalam hatinya. Arogansi seperti itu lebih tepat disebut sebuah ego. Ego yang juga dimiliki oleh para iblis.
***
Terkikisnya kemampuan untuk hidup berdampingan dalam perbedaan adalah bukti jika kita adalah manusia biasa. Manusia biasa yang dengan mudah dicuri oleh pemahaman yang sangat jauh dari konsep kebudayaan kita.
Kita bisa belajar dari sepasang kekasih yang menjalani kisah cinta tapi dalam banyak hal mereka berbeda, tentu terasa hangat dan menggairahkan. Tak bermaksud berkhutbah, tapi hidup di tengah perbedaan dan bisa menerima itu sebagai keindahan tentu terasa menenangkan.
  Saya mengingat puisi Robert Frost – penyair asal Amerika Serikat, di hutan, kulihat dua cabang jalan terbentang. Kuambil yang jarang dilalui orang. Dan itulah yang membuat segala perbedaan.
Perbedaan itu memang tidak menciptakan dirinya sendiri atau diciptakan oleh manusia. Tapi ia selalu ada. Selelah apapun kita menghindarinya, ia hidup dalam bayang-bayang setiap benda bernyawa ataupun tidak.
Siapa yang tahu, Tuhan mungkin saja menciptakan banyak agama dan kepercayaan agar ia bisa disembah dengan banyak cara. Agar kita bisa hidup dalam banyak rasa. Selamat hari natal.


dimuat di kolom Literasi Tempo 24/12/2014

12.19.2014

Jhon William Godward, Negara, dan Cara Menghormati Kematian

Diposting oleh Unknown di 00.38 0 komentar


Hari ini saya sadar bahwa mereka yang tersenyum dan tertawa adalah yang paling menderita. Karena tawa bukan obat terbaik, itu juga merupakan penyamaran terbaik. Saya dan semua orang seharusnya tau. – Unknown.
Meskipun sumber kalimat ini tidak diketahui. Tapi saya percaya akan hal itu. Percaya bahwa mereka yang terlihat banyak tertawa adalah yang paling banyak menyimpan kesedihan. Dan mereka yang terlihat sedih, mungkin saja menyimpan banyak kebahagiaan di dalam dirinya.
Ini mengingatkan saya dengan kisah hidup Jhon William Godward. Pelukis asal Inggris yang hidup di akhir era Pre-Raphaelite. Tentu dalam tulisan ini saya tidak akan membahas bagaimana ketenaran karya Godward atau seperti apa proses ia berkesenian.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Godward adalah orang yang cukup periang. Dan tertawa adalah salah satu kebiasaannya.
Karya Godward yang paling dikagumi dan dipuji dunia adalah Eighty and Eighteen. Lukisan yang menggambarkan seorang perempuan muda yang cantik duduk di atas sofa panjang bersama lelaki tua.
Tapi bagi saya sendiri, karya paling agung dari Godward adalah kematiannya. Pada tahun 1922 ia akhirnya memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri. Sebelum meninggal, ia menulis pesan singkat; karena dunia ini tidak cukup luas baginya.
***
            Semakin banyak kita tertawa, semakin banyak kebohongan yang kita perlihatkan kepada orang lain. Kalimat klise semacam, hidup ini terlalu singkat untuk disedihkan atau badai pasti berlalu adalah ungkapan yang tidak berlaku bagi beberapa orang.
            Silakan bertanya pada Anita Ree – pelukis berkebangsaan Jerman yang berdarah Yahudi. Ia memutuskan untuk menghukum orang-orang yang menghina dan melecehkan dirinya dengan bunuh diri.
            Atau kepada Nicolas de Stael. Ia seorang pelukis berdarah Rusia. Pada tahun 1953 ia mengalami depresi yang cukup berat dan memilih untuk mengisolasi dirinya di Antibes – bagian selatan Prancis. Karena tidak kuat menghadapi tekanan dan kekecewaan, dua tahun setelah itu ia akhirnya menerjungkan tubuhnya dari studionya di lantai sebelas.
            Atau kepada Vincent van Gogh. Pelukis terkenal yang dikononka bunuh diri dengan cara menembakkan peluru ke dadanya. Theo – saudara van Gogh juga mengatakan bahwa van Gogh ingin mati setelah merasa kesedihannya tidak akan pernah berakhir.
            Jika mereka menjawab badai pasti berlalu. Mungkin ia tidak akan memilih bunuh diri. Mungkin ia masih terus hidup dan menunggu kematiannya untuk datang.  Tapi kematian seperti apa yang akan mendatangi mereka?
            Ketiga orang ini  - Ree, Nicolas, van Gogh, adalah orang-orang yang dianggap karyanya mempengaruhi kesenian dunia. Karyanya menuai banyak pujian. Bahkan hingga sekarang, nama mereka masih diingat. Tapi sisi lain dari itu, mereka adalah orang yang menyimpan kesedihan yang mendalam. Pujian dan kritikan terhadap karyanya tidak membuat hidupnya terus bahagia. Pada akhirnya, mereka memilih cara kematiannya sendiri.
Kisah ini bukan cerita amatir. Juga bukan hal yang terjadi tanpa melalui proses yang panjang. Bagi sebagian orang, bunuh diri adalah cara terbaik untuk hidup lebih lama. Setidaknya, sampai sekarang mereka masih dikenang. Bukan hanya karena karya mereka memang layak untuk diingat, tapi juga kematiannya patut untuk kita hormati. 
***
            Seandainya saya bunuh diri, tentu nasib saya tidak akan seperti mereka. Yang ada mungkin orang-orang akan menyayangkan dan menganggap saya gagal. Beberapa orang lagi tentu akan menjadikan saya pelajaran, kamu jangan sebodoh dia.
Jika bunuh diri adalah tindakan bodoh, maka Ariel – eks Peterpan, Ilham Arif Sirajudin, Andi Alfian Mallarangeng, atau Angelina Sondakh juga bisa dianggap bunuh diri.
Tentu saya tidak akan sepakat untuk membandingkan Ariel dengan Elliott Smith – penyanyi yang juga mati bunuh diri, itu sama halnya mengabaikan perjuangan Elliott untuk membunuh dirinya. Toh setelah skandalnya terbongkar banyak penggemar Ariel yang menganggapnya telah mati – salah satunya saya.
***
            Di jalanan, saya kerap melihat kumpulan anak kecil yang mengamen. Mereka tertawa seakan tidak ada lagi kesedihan yang patut untuk dipikirkan. Di televisi, acap kali melihat Presiden Jokowi tersenyum, saya mengingat betapa negara ini memang menyimpan kesedihan yang panjang. Atau para aktivis mahasiswa yang turun ke jalan. Wajah mereka yang murung durja sambil menggunakan pengeras suara mengabarkan betapa negara ini sedang darurat. Tapi apakah ia benar-benar sadar bahwa kemacetan membawa beberapa kebahagian. Kebahagian bagi mereka yang punya alasan untuk tidak berkantor, atau kampus yang akhirnya diliburkan, atau sepasang kekasih yang memilih menghabiskan waktu di warung kopi sambil menunggu kemacetan selesai.
            Seperti Jhon William Godward, saya berharap negara ini memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Agar kita menemukan cara untuk menghormati kematiannya. Bukankah ungkapan, kadang kita baru merasakan kehilangan ketika yang kita cintai itu telah pergi, memang benar. Setelah negara ini bunuh diri, kita semua mungkin menemukan cara untuk bahagia.

dimuat di kolom Literasi 18/12/2014

12.06.2014

Kesepian dan Absurditas

Diposting oleh Unknown di 08.32 0 komentar


Saat duduk menghabiskan waktu di cafe dan melihat orang-orang datang dan pergi. Saya seperti masuk ke dalam ruang yang wujudnya seperti taman di kepala saya. Taman bagi yang membutuhkan sepi. Taman bagi yang membutuhkan keheningan sejenak dari riuhnya kota.
            Niat awal menghabiskan waktu panjang untuk duduk sendiri terpaksa gagal. Rombongan perempuan yang datang dan duduk di sebalah meja saya penyebabnya. Ternyata, salah seorang di antara mereka adalah teman kecil saya. Tak ada alasan untuk menolak bercerita panjang lebar dengan dia.
            Menceritakan segala hal yang menurut saya sangat mengganggu. Yang membahagiakan adalah karena teman perempuan saya itu tidak berubah. Cara dia tersenyum belum hilang. Kecerian masa kecilnya masih sama. Intinya, dia masih seperti gadis 8 tahun yang saya kenal dulu. Setelah kehabisan bahan cerita, saya memilih duduk dan bermain gawai. Sementara mereka berempat tampak tertawa, bahagia menceritakan pengalamannya. Pengalaman yang terasa sangat asing dalam kepala saya.
            Entah kebetulan atau tidak, teman kecil saya itu membuat status di facebook – kami memang sudah lama berteman di dunia maya, dan saya tanpa sengaja membacanya, kurang lebih redaksi katanya seperti ini, “buat apa bahagia kalau hati terluka.”
Tanpa bermaksud memberi tanggapan terhadap status facebook teman saya. Yang mengherankan dan masih sulit berterima dalam kepala saya adalah, bagaimana cara terlihat bahagia tapi di media sosial mengeluh tentang kedalaman perasaan?
***
Salah satu lirik lagu Ari Lasso - di dalam keramaian aku masih merasa sepi, memang ada benarnya. Seseorang bisa saja merasa sepi di tengah keramaian. Dalam tulisan ini saya lebih tertarik untuk menyebut hal itu sebagai karakter ganda. Di dunia nyata seseorang bisa saja terlihat bahagia dengan banyak tertawa tapi di media sosial, orang-orang mengeluhkan segala hal yang ia pendam. Ajaib.
Jika Ricard Rorty - seorang filsuf dari Amerika Serikat, menjelaskan bahwa kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula kebenaran.
Apa yang benar adalah apa yang disepakati oleh manusia sebagai kebenaran. Apa yang dilakukan oleh teman saya mungkin saja benar bagi dirinya. Tapi amat mengganggu pikiran saya. Benarkah bahwa dunia maya adalah dunia yang berdiri sendiri? Dunia yang terpisah dari interaksi sosial yang kita bangun.
Sebagian dari kita mungkin sepakat bahwa dunia nyata dan dunia maya memang harus dipisahkan. Sebagian lagi mungkin meyakini bahwa keduanya saling berkaitan. Terserah. yang jelas kedua dunia ini kita sepakati ada dan menjadi bukti eksistensi manusia.
***
            Perasaan kesepian adalah rasa universal yang dapat dirasakan oleh siapa saja. Sedangkan absurditas adalah sintesa dari resio dan keajaiban. Kedua hal ini seringkali mewarnai kehidupan kita. Terlibat pada banyak hal dalam proses menemukan kesimpulan-kesimpulan dalam hidup ini.
Benarkah begitu sepi dan absurd kehidupan manusia sehingga harus diwarnai dengan proses pelenyapan melalui narasi dan cerita-cerita panjang tentang manusia itu sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa dengan mudah merasakan sepi ketika berada di suatu tempat yang ramai. Bukankah tempat yang ramai adalah ruang yang kemungkinan besar bersifat publik. Sedangkan kesepian adalah narasi seseorang dengan dirinya sendiri. Narasi tunggal ini juga bersifat sangat pribadi. Sangat privasi.
             Ketangguhan manusia memanipulasi kesedihan hanya akan berhenti ketika kita sadar bahwa tak ada satupun yang dapat kita selamatkan. Termasuk diri sendiri. Dengan lahirnya begitu banyak tempat-tempat yang bersifat publik. Maka semakin besar pelung manusia untuk masuk dan menemukan ruang privasi di dalamnya.
Terlihat bahagia di dunia nyata dan galau di dunia maya dapat kita masukkan sebagai salah satu penyakit sosial. Penyakit yang mungkin saja tanpa sadar telah menjangkiti kita. Dalam kasus ini, kisah teman saya bukanlah cerita tunggul. Mungkin di antara kita ada yang pernah melakukan hal yang sama.
            Kisah teman kecil yang saya tuliskan di atas adalah pembenaran dari apa yang pernah disebut oleh David Hall – dalam Tulisan R. A. Antonios, Ruang Publik dan Peran Penyair menurut Richard Rorty “pencarian kesempurnaan privat”. Hal ini kemudian disebut sebagai proses pemberian makna bagi keberadaan manusia. Meskipun harus diakui bahwa upaya ini tidak akan pernah selesai. Tidak mungkin berakhir.


Dimuat di kolom literasi Tempo 3/12/2014

11.14.2014

Angka-angka yang Mati dalam Arlojimu

Diposting oleh Unknown di 19.50 0 komentar


dunia ini adalah arloji raksasa yang jahat
ada sepasang jarum yang bergerak lambat dan yang satu berputar tak berperasaan
seolah tak memiliki waktu untuk menunggu apapun yang tertinggal
acap kali melihat jarum jam itu berputar
aku membayangkan sepinya angka-angka
yang tak pernah benar-benar memiliki
hanya suara detak yang teratur mendentum telinga setiap angka
yang abadi menghuni dirinya sendiri

“jika angka tiga jatuh cinta kepada jarum itu,
dengan cara apa ia akan mengungkapkan perasaannya?”

tak ada angka yang mampu menahan jarum itu untuk bertahan melebihi satu detik
hanyalah ketabahan yang kebetulan bertindak lebih dewasa
melampaui angka yang paling purba

tapi ini telah terjadi ratusan tahun
saat angka-angka itu dipasang sebagai pengingat waktu
dipasung menjadi tumbal dari simbol kecerdasaan manusia

mengapa bukan bentuk kelamin lelaki sebagai jam satu
buah dada perempuan sebagai jam dua
celana dalam sebagai jam tiga – begitu seterusnya
sebab hal paling kejam dari pertemuan adalah
ketika sesuatu saling mencintai namun tak didapat memiliki