on 2.21.2015


Berita tes keperawanan dan keperjakaan belakangan ini kembali menghibur dunia pergosipan Indonesia. Setidaknya, berita kisruh KPK dan Polri punya tandingan. Siapa yang komedinya paling tragis? Cekidot!
***
Alkisah, jauh di selatan Atlantis, negeri yang berdiri kokoh dengan peradaban yang maju, terhampar di sebereng pilar-pilar Herkules. Berdiri kerajaan merdeka bernama Jembatan Utara atau disingkat Jembut. Dalam kamus bahasa Atlantis, Jembut diartikan sebagai daerah yang tidak perlu diperangi jika ingin dikuasai. Cukup tipuan sulap, penduduk kerajaan Jembut akan terpukau hebat.
Setelah kebudayaan Jembut tumbuh subur. Masalah-masalah baru muncul. Salah satunya adalah, seks bebas. Ini membuat salah seorang dewan kerajaan mengusulkan agar dibentuk peraturan jasa kerajaan – perjaka, perihal perilaku yang baik dan terpuji. Salah satu ayat dalam perjaka itu mengatur tentang tes keperjakaan dan keperawanan sebagai syarat kelulusan siswa di tingkat Sekolah Menengah Lanjutan - SML.
Si Peler, Siswa SML yang punya pacar bernama Telek mulai merasa kalau hubungan percintanya terancam. Segala kisah asmaranya akan terbongkar ke khalayak ramai. Terang saja, Ayah Telek adalah Mangkubumi Kerajaan Jembut dan Ibu Peler adalah Istri Mangkubumi. Mereka berdua menjalin kisah cinta yang absurd dan tidak biasa.
Sesuai rancangan peraturan jasa kerajaan, mereka yang ketahuan tidak lagi perjaka dan perawan, digugurkan dalam kelulusan SML. Diasingkan sebagai pengkhianat dan tidak diperbolehkan menginjakkan kaki kembali.
Tentu ada pengecualian. Mereka yang mampu menyewa juru hukum dan sanggup membayar suap ke dewan kerajaan, akan diloloskan dari tes yang bertujuan baik tapi sebenarnya adalah hukuman.
Meskipun dibela juru hukum paling terkenal semacam Marcus Tullius Cicero dan mampu menyuap dewan kerajaan yang memang senang disuap, Peler dan Telek tidak mampu menjelaskan kepada orang tua mereka. Mengetahui kalau anak lelakinya tidak perjaka dan gadisnya tidak perawan lagi adalah aib besar keluarga yang memalukan.
Sembari menunggu hasil rapat dewan kerajaan, mereka berdua terus dipusingkan dengan berita tes keperawanan ini. Mereka berdoa kepada Dewa Lama dan Dewa Baru agar anggota dewan kerajaan itu diberi kesadaran yang membuatnya membatalkan tes menakutkan ini.
Harapan itu setia, tapi selalu dikhianati kenyataan. Terjadilah apa yang paling mereka berdua takutkan. Dokter dari penjuru kota mulai dikumpulkan. Satu bulan lagi, tes keperjakaan dan keperawanan akan dilakukan di alun-alun kota. Alamak!
Telek mulai pasrah. Ia menerima kenyataan jika harus diasingkan dari kerajaan Jembut. Tentu lebih menyakitkankan lagi kenyataan jika keluarganya akan menanggung malu karena dirinya. Pasrah adalah jalan satu-satunya. Padahal, banyak jalan lain menuju Roma.
 Peler tidak kehabisan akal. Ia kemudian menelepon temannya di Amerika, Malia Obama – anak sulung Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Peler meminta dikirimkan obat pemulih keperawanan.

Gile lu Ndro, sejak kapan perawan bisa dipulihkan, Bangke!”

“Katanya negara kamu mampu melakukan apa saja. ISIS  mampu kamu bentuk, tentaramu membunuh bayi dan perempuan tidak berdosa di timur tengah. Masa pemulih keperawanan tidak bisa kamu ciptakan?’’

“Hush, jangan bahas itu di telepon. Nanti kamu disadap Rusia dan terbongkar lagi keburukan Amerika. Biarlah kita yang tahu. Itu urusan ayah saya, nanti kalau sudah besar, kita lagi yang…”

“Aha, Rusia. Betul. Apa yang tidak bisa dilakukan Amerika, pasti mampu diciptakan Rusia. Terima kasih. Assalamualaikum”

“saloom”

Peler menutup telepon dan segera menghubungi Mariya Putina – anak Vladimir Putin, Presiden Rusia.

“Nomor yang anda hubungi sedang berkencan, innallaha ma’ashobirin. Bersabarlah beberapa menit lagi atau tinggalkan pesan setelah mendengar suara ledakan berikut: DOR”

Peler mulai putus asa. Hari tes keperawanan dan keperjakaan kian dekat. Telek sudah memikirkan beberapa kemungkinan jika tes itu akan dilakukan. Salah duanya adalah bunuh diri atau melarikan diri.
Pilihan terbaik sepertinya jatuh pada bunuh diri. Kalau melarikan diri resikonya sangat besar. Kalau bunuh diri, mati dan kerajaan berduka. Mungkin tes ini akan diundur. Setidaknya menyelamatkan beberapa waktu nyawa orang-orang yang senasib dengannya. Sungguh mulia pikiran perempuan seperti Telek ketika merasa hidupnya terancam.
***
            Tes keperawanaan adalah hasil. Sementara menjaga generasi muda adalah proses yang tidak bisa diabaikan. Sunguh celaka hidup di negara yang lebih memilih memuji hasil dan mengabaikan proses.
            Agama kemudian dijadikan sebagai jalan keluar paling mulia. Tameng yang melindungi wajah negara dari tuduhan kebobrokan. Dengan dalih karena agama tidak diajarkan dengan benar. Mungkin kita lupa, kasus-kasus guru mengaji yang melakukan pencabulan kepada muridnya sendiri? Suntilik!
            Moral kemudian dianggap rusak. Padahal, banyak keperawanan yang hilang karena ulah penguasa dan pengusaha yang doyan memesan gadis muda. Beberapa gadis muda yang tergiur dengan iming-iming uang dari mereka. Simbiosis mutualisme yang asalnya tidak kita tahu dari mana berawal. Siapa yang membutuhkan siapa. Entahlah.
            Dari pada pemertintah melakukan tes keperawanan dan keperjakaan, mending mereka melakukan tes kesetiaan. Berapa banyak jiwa yang patah karena bertemu hati yang salah. Padahal, banyak jomlonisti yang setia tapi disia-siakan. Oh Tuhan yang Maha Funky.
on 2.11.2015


“Di antara manusia, hanya penyair, pendeta, dan prajutritlah yang agung. Lainnya hanya pantas dicambuk.” kata Baudelaire – penyair berkebangsaan Prancis. Saya membayangkan pasukan abadi Persia hidup kembali. Kali ini dengan mudah menginvasi negara yang elit politiknya sibuk merebut kuasa. Pasukan ini dipimpin penyair dan pendeta sebagai penasehatnya.
            Entah apa motivasi hidup Baudelaire menciptakan kalimat itu. Sekilas, terbaca amat tragis. Sepertinya ada rahasia yang dibiarkan Baudelaire hidup dalam kalimat itu. Alasan kuat yang mendorongnya memilih penyair, pendeta, dan prajurit sebagai kelompok manusia agung.
Abad berganti. Tahun berubah. Tapi tiga kategori manusia ini terus lahir sebagai penyambung sejarah. Dalam masyarakat, hampir tidak mungkin kebudayaan bertahan tanpa adanya penyair, pendeta, dan prajurit. Kita bahkan bisa pulang dan pergi melintasi waktu karena keterlibatan tiga kategori manusia ini. Mereka tak pernah musnah dan terus menulis sejarah dengan caranya masing-masing.
Peran mereka memiliki pengaruh cukup kuat sebagai simbol yang mencerminkan komunitas sosial dari masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang terus hidup sebagai penjaga kebenaran. Dari mata merekalah kita bisa melihat keadilan itu hidup atau mati.
Baudelaire mungkin memilih penyair, pendeta, dan prajurit sebagai kategori agung yang mewakili klasifikasi manusia. Penyair mewakili kaum intelek, pendeta mewakili kaum religius, dan prajurit mewakili rakyat jelata - kaum buruh dan pekerja.
***
Kisah Komisi Pemberantasan Korupsi yang menghadapi serangan bertubi-tubi dari banyak pihak – termasuk Polri, menjadi cerita paling romantis awal tahun ini. Bayangkan saja, pemimpin KPK, Abraham Samad diserang dengan foto ranjang bersama seorang perempuan. Adalah Zainal Taher, yang mengaku sahabat Abraham Samad sebagai juru gambar. Katanya, ia mengabadikan momen itu di salah satu hotel mewah di Makassar pada kisaran februari tahun 2007.
Terlepas foto itu asli atau rekayasa, kisruh ini tidak boleh berakhir seperti kasus Widji Thukul ataupun Munir – yang hingga saat ini belum jelas ujung pangkalnya.
Jika Abraham Samad terbukti bersalah, para pembela institusi yang menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan kepemilikan rekening tak wajar harus menerima kenyataan. Selama keputusan itu memang benar. Pun sebaliknya, polisi tidak boleh melibatkan dendam dalam menjalankan tugasnya. Sebab penjara bukan untuk orang bersalah dibuktikan kesalahan, penjara untuk orang-orang berkuasa membuktikan kekuasaan, kata Nassury Ibrahim dalam bukunya yang berjudul Dongeng Bapak.
Kita sudah jenuh menghadapi ketidakjelasan. Negara mendidik kita untuk menjadi pengabai dan membiarkan urusan negara menjadi tanggungan elit politik. Sialnya, yang akan merasakan dampak terbesar dari apa yang elit politik lakukan adalah kita – para rakyat jelata.
Masalah ini bukan tentang permen yang direbut dari tangan anak kecil hingga ia menangis, atau perempuan yang merelakan dirinya dicuri oleh lelaki lain dari pelukan kekasihnya sendiri. Ini kisruh serius yang harus tuntas.
KPK masih punya banyak kasus korupsi yang harus diusut dan diselesaikan. Jika ini berlarut, tentu berpengaruh terhadap penyelesaian beberapa kasus korupsi. Para koruptor yang akan diuntungkan dari kisruh yang sepertinya tidak mengenal usai dan semakin runyam.
Peran penyair, pendeta, dan prajurit sangat dibutuhkan agar kisruh ini dapat diselesaikan. Jika masalah ini menjadi layang-layang putus, saya mulai meragukan kalimat Badaulaire tersebut. Sepertinya, semua manusia pantas dicambuk. Terlebih presiden, mungkin bukan hukum cambuk lagi yang tepat untuk dirinya, tapi presiden harus dipancung ditiang hukum sebagai pendaga.
***
            Kita sepertinya butuh Komisi Pemberantasan Masalah. Tanpa bermaksud untuk berpihak pada kelompok manapun, tapi polisi tidak bisa lagi dipercaya sebagai pemecah masalah dan KPK bukan lembaga yang dipimpin malaikat.
            Saya mengingat kalimat Pramoedya Ananta Toer – seorang penulis yang menjadi korban negara yang salah urus, “Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan.”
            Menemukan keadilan inilah yang menjadi tugas Komisi Pemberantasan Masalah. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar memiliki jiwa penyair, pendeta, dan prajurit. Bukan penyair gadungan, pendeta yang hanya mengurus pahala dan dosa manusia, atau prajurit yang hanya ikut perintah atasan.
            Negara tumbuh untuk dicintai dan rakyat berjuang membuktikan cintanya masing-masing. Jika kisruh ini yang dianggap cara mencintai negara oleh KPK dan Polri – juga orang-orang yang senang merawat kemurkaaan. Saya lebih memilih patah hati saja. 

Termuat dalam Kolom Literasi Tempo Makassar  11/02/2015
on 2.07.2015


Hutan lebat. Di tengahnya mengalir sungai cantik berair jernih. Selain sungai, tak ada yang tahu hulu dan hilirnya. Pohon Dewandaru berusia ratusan tahun tumbuh setia di bantaran sungai cantik itu. Ia jatuh cinta. Jatuh cinta pada sungai tersebut.
Setiap hari dipandangnya aliran sungai hingga hari jauh dan malam menggelap. Selalu begitu. Sampai ia tak mampu menahan lagi hasratnya untuk bersatu dan memilih menumbangkan tubuhnya ke aliran sungai dengan harapan dapat hidup abadi bersama sungai. Sungguh, harapan yang mulia.
Tapi, datanglah kenyataan yang jauh dari harapan. Sungai tak diciptakan dengan lengan yang mampu memeluk apapun. Tubuh pohon dewandaru itu diasak ke hilir dan berakhir di laut luas yang jauh dari harapan. Sangat jauh

2.21.2015

Negara Peler dan Cinta yang Dibredel

Diposting oleh Unknown di 10.57 0 komentar


Berita tes keperawanan dan keperjakaan belakangan ini kembali menghibur dunia pergosipan Indonesia. Setidaknya, berita kisruh KPK dan Polri punya tandingan. Siapa yang komedinya paling tragis? Cekidot!
***
Alkisah, jauh di selatan Atlantis, negeri yang berdiri kokoh dengan peradaban yang maju, terhampar di sebereng pilar-pilar Herkules. Berdiri kerajaan merdeka bernama Jembatan Utara atau disingkat Jembut. Dalam kamus bahasa Atlantis, Jembut diartikan sebagai daerah yang tidak perlu diperangi jika ingin dikuasai. Cukup tipuan sulap, penduduk kerajaan Jembut akan terpukau hebat.
Setelah kebudayaan Jembut tumbuh subur. Masalah-masalah baru muncul. Salah satunya adalah, seks bebas. Ini membuat salah seorang dewan kerajaan mengusulkan agar dibentuk peraturan jasa kerajaan – perjaka, perihal perilaku yang baik dan terpuji. Salah satu ayat dalam perjaka itu mengatur tentang tes keperjakaan dan keperawanan sebagai syarat kelulusan siswa di tingkat Sekolah Menengah Lanjutan - SML.
Si Peler, Siswa SML yang punya pacar bernama Telek mulai merasa kalau hubungan percintanya terancam. Segala kisah asmaranya akan terbongkar ke khalayak ramai. Terang saja, Ayah Telek adalah Mangkubumi Kerajaan Jembut dan Ibu Peler adalah Istri Mangkubumi. Mereka berdua menjalin kisah cinta yang absurd dan tidak biasa.
Sesuai rancangan peraturan jasa kerajaan, mereka yang ketahuan tidak lagi perjaka dan perawan, digugurkan dalam kelulusan SML. Diasingkan sebagai pengkhianat dan tidak diperbolehkan menginjakkan kaki kembali.
Tentu ada pengecualian. Mereka yang mampu menyewa juru hukum dan sanggup membayar suap ke dewan kerajaan, akan diloloskan dari tes yang bertujuan baik tapi sebenarnya adalah hukuman.
Meskipun dibela juru hukum paling terkenal semacam Marcus Tullius Cicero dan mampu menyuap dewan kerajaan yang memang senang disuap, Peler dan Telek tidak mampu menjelaskan kepada orang tua mereka. Mengetahui kalau anak lelakinya tidak perjaka dan gadisnya tidak perawan lagi adalah aib besar keluarga yang memalukan.
Sembari menunggu hasil rapat dewan kerajaan, mereka berdua terus dipusingkan dengan berita tes keperawanan ini. Mereka berdoa kepada Dewa Lama dan Dewa Baru agar anggota dewan kerajaan itu diberi kesadaran yang membuatnya membatalkan tes menakutkan ini.
Harapan itu setia, tapi selalu dikhianati kenyataan. Terjadilah apa yang paling mereka berdua takutkan. Dokter dari penjuru kota mulai dikumpulkan. Satu bulan lagi, tes keperjakaan dan keperawanan akan dilakukan di alun-alun kota. Alamak!
Telek mulai pasrah. Ia menerima kenyataan jika harus diasingkan dari kerajaan Jembut. Tentu lebih menyakitkankan lagi kenyataan jika keluarganya akan menanggung malu karena dirinya. Pasrah adalah jalan satu-satunya. Padahal, banyak jalan lain menuju Roma.
 Peler tidak kehabisan akal. Ia kemudian menelepon temannya di Amerika, Malia Obama – anak sulung Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Peler meminta dikirimkan obat pemulih keperawanan.

Gile lu Ndro, sejak kapan perawan bisa dipulihkan, Bangke!”

“Katanya negara kamu mampu melakukan apa saja. ISIS  mampu kamu bentuk, tentaramu membunuh bayi dan perempuan tidak berdosa di timur tengah. Masa pemulih keperawanan tidak bisa kamu ciptakan?’’

“Hush, jangan bahas itu di telepon. Nanti kamu disadap Rusia dan terbongkar lagi keburukan Amerika. Biarlah kita yang tahu. Itu urusan ayah saya, nanti kalau sudah besar, kita lagi yang…”

“Aha, Rusia. Betul. Apa yang tidak bisa dilakukan Amerika, pasti mampu diciptakan Rusia. Terima kasih. Assalamualaikum”

“saloom”

Peler menutup telepon dan segera menghubungi Mariya Putina – anak Vladimir Putin, Presiden Rusia.

“Nomor yang anda hubungi sedang berkencan, innallaha ma’ashobirin. Bersabarlah beberapa menit lagi atau tinggalkan pesan setelah mendengar suara ledakan berikut: DOR”

Peler mulai putus asa. Hari tes keperawanan dan keperjakaan kian dekat. Telek sudah memikirkan beberapa kemungkinan jika tes itu akan dilakukan. Salah duanya adalah bunuh diri atau melarikan diri.
Pilihan terbaik sepertinya jatuh pada bunuh diri. Kalau melarikan diri resikonya sangat besar. Kalau bunuh diri, mati dan kerajaan berduka. Mungkin tes ini akan diundur. Setidaknya menyelamatkan beberapa waktu nyawa orang-orang yang senasib dengannya. Sungguh mulia pikiran perempuan seperti Telek ketika merasa hidupnya terancam.
***
            Tes keperawanaan adalah hasil. Sementara menjaga generasi muda adalah proses yang tidak bisa diabaikan. Sunguh celaka hidup di negara yang lebih memilih memuji hasil dan mengabaikan proses.
            Agama kemudian dijadikan sebagai jalan keluar paling mulia. Tameng yang melindungi wajah negara dari tuduhan kebobrokan. Dengan dalih karena agama tidak diajarkan dengan benar. Mungkin kita lupa, kasus-kasus guru mengaji yang melakukan pencabulan kepada muridnya sendiri? Suntilik!
            Moral kemudian dianggap rusak. Padahal, banyak keperawanan yang hilang karena ulah penguasa dan pengusaha yang doyan memesan gadis muda. Beberapa gadis muda yang tergiur dengan iming-iming uang dari mereka. Simbiosis mutualisme yang asalnya tidak kita tahu dari mana berawal. Siapa yang membutuhkan siapa. Entahlah.
            Dari pada pemertintah melakukan tes keperawanan dan keperjakaan, mending mereka melakukan tes kesetiaan. Berapa banyak jiwa yang patah karena bertemu hati yang salah. Padahal, banyak jomlonisti yang setia tapi disia-siakan. Oh Tuhan yang Maha Funky.

2.11.2015

Balada Komedi Putar Negara

Diposting oleh Unknown di 05.32 0 komentar


“Di antara manusia, hanya penyair, pendeta, dan prajutritlah yang agung. Lainnya hanya pantas dicambuk.” kata Baudelaire – penyair berkebangsaan Prancis. Saya membayangkan pasukan abadi Persia hidup kembali. Kali ini dengan mudah menginvasi negara yang elit politiknya sibuk merebut kuasa. Pasukan ini dipimpin penyair dan pendeta sebagai penasehatnya.
            Entah apa motivasi hidup Baudelaire menciptakan kalimat itu. Sekilas, terbaca amat tragis. Sepertinya ada rahasia yang dibiarkan Baudelaire hidup dalam kalimat itu. Alasan kuat yang mendorongnya memilih penyair, pendeta, dan prajurit sebagai kelompok manusia agung.
Abad berganti. Tahun berubah. Tapi tiga kategori manusia ini terus lahir sebagai penyambung sejarah. Dalam masyarakat, hampir tidak mungkin kebudayaan bertahan tanpa adanya penyair, pendeta, dan prajurit. Kita bahkan bisa pulang dan pergi melintasi waktu karena keterlibatan tiga kategori manusia ini. Mereka tak pernah musnah dan terus menulis sejarah dengan caranya masing-masing.
Peran mereka memiliki pengaruh cukup kuat sebagai simbol yang mencerminkan komunitas sosial dari masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang terus hidup sebagai penjaga kebenaran. Dari mata merekalah kita bisa melihat keadilan itu hidup atau mati.
Baudelaire mungkin memilih penyair, pendeta, dan prajurit sebagai kategori agung yang mewakili klasifikasi manusia. Penyair mewakili kaum intelek, pendeta mewakili kaum religius, dan prajurit mewakili rakyat jelata - kaum buruh dan pekerja.
***
Kisah Komisi Pemberantasan Korupsi yang menghadapi serangan bertubi-tubi dari banyak pihak – termasuk Polri, menjadi cerita paling romantis awal tahun ini. Bayangkan saja, pemimpin KPK, Abraham Samad diserang dengan foto ranjang bersama seorang perempuan. Adalah Zainal Taher, yang mengaku sahabat Abraham Samad sebagai juru gambar. Katanya, ia mengabadikan momen itu di salah satu hotel mewah di Makassar pada kisaran februari tahun 2007.
Terlepas foto itu asli atau rekayasa, kisruh ini tidak boleh berakhir seperti kasus Widji Thukul ataupun Munir – yang hingga saat ini belum jelas ujung pangkalnya.
Jika Abraham Samad terbukti bersalah, para pembela institusi yang menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan kepemilikan rekening tak wajar harus menerima kenyataan. Selama keputusan itu memang benar. Pun sebaliknya, polisi tidak boleh melibatkan dendam dalam menjalankan tugasnya. Sebab penjara bukan untuk orang bersalah dibuktikan kesalahan, penjara untuk orang-orang berkuasa membuktikan kekuasaan, kata Nassury Ibrahim dalam bukunya yang berjudul Dongeng Bapak.
Kita sudah jenuh menghadapi ketidakjelasan. Negara mendidik kita untuk menjadi pengabai dan membiarkan urusan negara menjadi tanggungan elit politik. Sialnya, yang akan merasakan dampak terbesar dari apa yang elit politik lakukan adalah kita – para rakyat jelata.
Masalah ini bukan tentang permen yang direbut dari tangan anak kecil hingga ia menangis, atau perempuan yang merelakan dirinya dicuri oleh lelaki lain dari pelukan kekasihnya sendiri. Ini kisruh serius yang harus tuntas.
KPK masih punya banyak kasus korupsi yang harus diusut dan diselesaikan. Jika ini berlarut, tentu berpengaruh terhadap penyelesaian beberapa kasus korupsi. Para koruptor yang akan diuntungkan dari kisruh yang sepertinya tidak mengenal usai dan semakin runyam.
Peran penyair, pendeta, dan prajurit sangat dibutuhkan agar kisruh ini dapat diselesaikan. Jika masalah ini menjadi layang-layang putus, saya mulai meragukan kalimat Badaulaire tersebut. Sepertinya, semua manusia pantas dicambuk. Terlebih presiden, mungkin bukan hukum cambuk lagi yang tepat untuk dirinya, tapi presiden harus dipancung ditiang hukum sebagai pendaga.
***
            Kita sepertinya butuh Komisi Pemberantasan Masalah. Tanpa bermaksud untuk berpihak pada kelompok manapun, tapi polisi tidak bisa lagi dipercaya sebagai pemecah masalah dan KPK bukan lembaga yang dipimpin malaikat.
            Saya mengingat kalimat Pramoedya Ananta Toer – seorang penulis yang menjadi korban negara yang salah urus, “Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan.”
            Menemukan keadilan inilah yang menjadi tugas Komisi Pemberantasan Masalah. Dan ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar memiliki jiwa penyair, pendeta, dan prajurit. Bukan penyair gadungan, pendeta yang hanya mengurus pahala dan dosa manusia, atau prajurit yang hanya ikut perintah atasan.
            Negara tumbuh untuk dicintai dan rakyat berjuang membuktikan cintanya masing-masing. Jika kisruh ini yang dianggap cara mencintai negara oleh KPK dan Polri – juga orang-orang yang senang merawat kemurkaaan. Saya lebih memilih patah hati saja. 

Termuat dalam Kolom Literasi Tempo Makassar  11/02/2015

2.07.2015

Dewandaru

Diposting oleh Unknown di 09.13 0 komentar


Hutan lebat. Di tengahnya mengalir sungai cantik berair jernih. Selain sungai, tak ada yang tahu hulu dan hilirnya. Pohon Dewandaru berusia ratusan tahun tumbuh setia di bantaran sungai cantik itu. Ia jatuh cinta. Jatuh cinta pada sungai tersebut.
Setiap hari dipandangnya aliran sungai hingga hari jauh dan malam menggelap. Selalu begitu. Sampai ia tak mampu menahan lagi hasratnya untuk bersatu dan memilih menumbangkan tubuhnya ke aliran sungai dengan harapan dapat hidup abadi bersama sungai. Sungguh, harapan yang mulia.
Tapi, datanglah kenyataan yang jauh dari harapan. Sungai tak diciptakan dengan lengan yang mampu memeluk apapun. Tubuh pohon dewandaru itu diasak ke hilir dan berakhir di laut luas yang jauh dari harapan. Sangat jauh