Menjemput Media Sosial Baru

on 1.06.2014
“Idealisme tidak untuk membunuh Tuhanmu, mengaburkan pandanganmu terhadap banyak sisi, dan mengubah caramu mencintai. Justru akan membuatmu merasa kesepian dan membesarkan hatimu untuk menerima, menerima, menerima semua yang datang padamu.”

Dalam Kitab Zarathustra, Nietzsche mengungkapkan ketidakbisaannya mengalahkan dirinya sendiri dengan “Tuhan telah mati, Tuhan telah terbunuh” yang Ia karang untuk mengajak pembacanya merasakan betapa sulitnya mengalahkan hidup, sebab selalu terbentur pada sudut pandang ke-Tuhan-an.
Pada masa itu, orang-orang belum membangun paru-paru dalam rongga maya yang saling menghubungkan dunia yang sebenarnya tidak punya hubungan sama sekali. Benar-benar membesarkan banyak jiwa dari pengalaman dan memberikan waktu yang cukup untuk merefleksi semua kejadian-kejadian yang manusia kerjakan. Manusia dipaksa untuk bertahan dengan keterbatasan peredaran informasi dan komunikasi.
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya manusia bebas memilih repotnya masing-masing. Hidup survive dan menciptakan kelompok-kelompok yang dilatarbelakangi oleh kegemaran, kesamaan pikiran, sudut pandang, atau kebiasaan. Manusia terus berkembang dan menuai semua hasil yang ia kerjakan dengan senang hati.
***
Entah sejak kapan, internet kemudian hadir sebagai ruas utama hilangnya batasan-batasan yang awalnya membuat kita merasa sama, kokohnya sikap individualis, dan merangsang pertumbuhan dunia baru. Dunia ciptaan sekelompok orang adikuasa yang menentukan kebijakan dunia baru yang turut melibatkan kita sebagai objek yang memiliki peran penting.
Kita mungkin bisa membela diri dengan mengatakan “apa hubungannya perang di Palestina dengan saya” atau “mengapa saya mesti memikirkan kudeta politik di Mesir” secara sederhana tentu tidak ada hubungannya jika kita memposisikan diri sebagai “bukan bagian mereka” tapi tanpa sadar semua rutinitas manusia dan skandal yang terjadi memiliki benang merah yang jika ditarik akan ada hubungannya dengan kita.
Hubungan paling erat dari semua skandal dan kejadian itu adalah mampu mengubah pandangan kita terhadap hidup. Kita diburu ketakutan akan hilangnya pekerjaan meskipun sadar bahwa ada yang salah dari tempat kita kerja, mengapa kita mesti repot-repot ikut kerja bakti di lingkungan rumah, semua pasti akan kembali seperti semula. Pikiran-pikiran ini mengantarkan kita pada pandangan yang melihat dunia untuk hari ini saja. Tidak lagi melihat jauh ke depan dan mulai ragu dengan kekuatan mimpi dan cita-cita.
Kembali lagi pada persoalan kepentingan untuk memuluskan jalan bagi terciptanya dunia baru. Manusia akhirnya tanpa sadar menjadi bahan utama sebuah tatanan baru yang diciptakan melalui corong kebudayaan, politik, ekonomi, gaya hidup, hingga hal terkecil seperti buku bacaan. Manusia mulai tergila-gila pada kemudahan akses informasi dan komunikasi. Imingan menjadi orang kaya membuat semua orang berpikir untuk pekerjaan layak yang akan menguntungkan dirinya.
***
Entah kekuatan apa yang menciptakan kematian yang cantik ini. Kita merasa bahwa yang kita lakukan adalah proses mandiri, namun itulah sebenarnya inti dari sebuah rekayasa besar yang diciptakan oleh orang adikuasa. Membuat kita merasa nyaman dengan sekitar dan malas memikirkan hal-hal yang terjadi di luar sana.
Pernahkah kita menyadari bahwa setiap hari saat membuka akun sosial media seperti  facebook atau twitter kita diperhadapakn oleh pertanyaan “apa yang terjadi hari ini?” atau “apa yang sedang anda pikirkan?” kita didoktrin untuk terus memikirkan tentang “hari ini” saja. Tapi sekejam apapun sosial media membangun pikiran manusia, kita tidak bisa mengkambinghitamkannya dalam urusan ini. Tetap saja sosial media berhasil membantu banyak orang dalam kehidupan sehari-hari. Cara kitalah yang mesti sedikit diberikan ruang untuk merefleksi banyak hal.
Saya bermimpi suatu saat akan ada akun sosial media yang ketika dibuka, kita akan diperhadapkan oleh pertanyaan “seperti apa hidup anda 10 tahun yang lalu?” atau “sudah sejauh mana anda mempersiapkan masa depan keluarga anda?” dan pertanyaan itu membantu orang untuk bangun dari pengontrolan ini. Pertanyaan itu juga tiap hari akan berubah-ubah, tidak monoton dan mencoba membangun akal sehat manusia.

Seperti yang Nietzsche ingin katakan kepada kita bahwa membunuh Tuhan itu mustahil, tapi untuk mengalahkan ciptaannya pasti punya jalan sendiri. Sayapun berada diposisi yang sama dengan anda, mungkin senang berdunia maya namun pernahkah kita meluangkan satu hari dalam hidup kita untuk melakukan kebalikan dari semua yang rutin kita kerjakan. Mungkin jawabannya ada disitu. Media sosial baru.

0 komentar:

Posting Komentar

1.06.2014

Menjemput Media Sosial Baru

Diposting oleh Unknown di 03.42
“Idealisme tidak untuk membunuh Tuhanmu, mengaburkan pandanganmu terhadap banyak sisi, dan mengubah caramu mencintai. Justru akan membuatmu merasa kesepian dan membesarkan hatimu untuk menerima, menerima, menerima semua yang datang padamu.”

Dalam Kitab Zarathustra, Nietzsche mengungkapkan ketidakbisaannya mengalahkan dirinya sendiri dengan “Tuhan telah mati, Tuhan telah terbunuh” yang Ia karang untuk mengajak pembacanya merasakan betapa sulitnya mengalahkan hidup, sebab selalu terbentur pada sudut pandang ke-Tuhan-an.
Pada masa itu, orang-orang belum membangun paru-paru dalam rongga maya yang saling menghubungkan dunia yang sebenarnya tidak punya hubungan sama sekali. Benar-benar membesarkan banyak jiwa dari pengalaman dan memberikan waktu yang cukup untuk merefleksi semua kejadian-kejadian yang manusia kerjakan. Manusia dipaksa untuk bertahan dengan keterbatasan peredaran informasi dan komunikasi.
Dengan kondisi seperti itu, akhirnya manusia bebas memilih repotnya masing-masing. Hidup survive dan menciptakan kelompok-kelompok yang dilatarbelakangi oleh kegemaran, kesamaan pikiran, sudut pandang, atau kebiasaan. Manusia terus berkembang dan menuai semua hasil yang ia kerjakan dengan senang hati.
***
Entah sejak kapan, internet kemudian hadir sebagai ruas utama hilangnya batasan-batasan yang awalnya membuat kita merasa sama, kokohnya sikap individualis, dan merangsang pertumbuhan dunia baru. Dunia ciptaan sekelompok orang adikuasa yang menentukan kebijakan dunia baru yang turut melibatkan kita sebagai objek yang memiliki peran penting.
Kita mungkin bisa membela diri dengan mengatakan “apa hubungannya perang di Palestina dengan saya” atau “mengapa saya mesti memikirkan kudeta politik di Mesir” secara sederhana tentu tidak ada hubungannya jika kita memposisikan diri sebagai “bukan bagian mereka” tapi tanpa sadar semua rutinitas manusia dan skandal yang terjadi memiliki benang merah yang jika ditarik akan ada hubungannya dengan kita.
Hubungan paling erat dari semua skandal dan kejadian itu adalah mampu mengubah pandangan kita terhadap hidup. Kita diburu ketakutan akan hilangnya pekerjaan meskipun sadar bahwa ada yang salah dari tempat kita kerja, mengapa kita mesti repot-repot ikut kerja bakti di lingkungan rumah, semua pasti akan kembali seperti semula. Pikiran-pikiran ini mengantarkan kita pada pandangan yang melihat dunia untuk hari ini saja. Tidak lagi melihat jauh ke depan dan mulai ragu dengan kekuatan mimpi dan cita-cita.
Kembali lagi pada persoalan kepentingan untuk memuluskan jalan bagi terciptanya dunia baru. Manusia akhirnya tanpa sadar menjadi bahan utama sebuah tatanan baru yang diciptakan melalui corong kebudayaan, politik, ekonomi, gaya hidup, hingga hal terkecil seperti buku bacaan. Manusia mulai tergila-gila pada kemudahan akses informasi dan komunikasi. Imingan menjadi orang kaya membuat semua orang berpikir untuk pekerjaan layak yang akan menguntungkan dirinya.
***
Entah kekuatan apa yang menciptakan kematian yang cantik ini. Kita merasa bahwa yang kita lakukan adalah proses mandiri, namun itulah sebenarnya inti dari sebuah rekayasa besar yang diciptakan oleh orang adikuasa. Membuat kita merasa nyaman dengan sekitar dan malas memikirkan hal-hal yang terjadi di luar sana.
Pernahkah kita menyadari bahwa setiap hari saat membuka akun sosial media seperti  facebook atau twitter kita diperhadapakn oleh pertanyaan “apa yang terjadi hari ini?” atau “apa yang sedang anda pikirkan?” kita didoktrin untuk terus memikirkan tentang “hari ini” saja. Tapi sekejam apapun sosial media membangun pikiran manusia, kita tidak bisa mengkambinghitamkannya dalam urusan ini. Tetap saja sosial media berhasil membantu banyak orang dalam kehidupan sehari-hari. Cara kitalah yang mesti sedikit diberikan ruang untuk merefleksi banyak hal.
Saya bermimpi suatu saat akan ada akun sosial media yang ketika dibuka, kita akan diperhadapkan oleh pertanyaan “seperti apa hidup anda 10 tahun yang lalu?” atau “sudah sejauh mana anda mempersiapkan masa depan keluarga anda?” dan pertanyaan itu membantu orang untuk bangun dari pengontrolan ini. Pertanyaan itu juga tiap hari akan berubah-ubah, tidak monoton dan mencoba membangun akal sehat manusia.

Seperti yang Nietzsche ingin katakan kepada kita bahwa membunuh Tuhan itu mustahil, tapi untuk mengalahkan ciptaannya pasti punya jalan sendiri. Sayapun berada diposisi yang sama dengan anda, mungkin senang berdunia maya namun pernahkah kita meluangkan satu hari dalam hidup kita untuk melakukan kebalikan dari semua yang rutin kita kerjakan. Mungkin jawabannya ada disitu. Media sosial baru.

0 komentar on "Menjemput Media Sosial Baru"

Posting Komentar