Riwayat Kumis dan Dialog Dini Hari

on 1.26.2015


Salvador Dali adalah seorang pelukis surealis yang aneh. Karyanya diagungkan karena memiliki daya imajinasi yang kuat. Pria yang lahir pada tanggal 11 Mei 1904 di Spanyol ini juga dikenal sebagai pemelihara kumis yang absurd. Ia membentuk kumisnya seperti pedang tipis yang melengkung ke atas.
Jenghis Khan diartikan sebagai kaisar semesta, julukan yang diberikan kepada Temujin – pemimpin militer Mongolia yang berhasil menyatukan bangsa Mongol. Dia melakukan pembelantaraan kekaisaran paling luas sepanjang sejarah manusia. Temujin juga terkenal dengan kumisnya. Bahkan keberhasilannya membangun kekaisaran Mongolia menjadikan kumis lebat yang ia miliki dilambangkan cerminan pria perkasa, kuat, dan berwibawa.
Riwayat kumis Salvador Dali dan Jenghis Khan juga termaktub dalam diri Adolf Hitler, Charlie Chaplin, Groucho Marx, dan Rolli Fingers. Mereka sederet pria yang menyimpan kisah tentang kumisnya yang unik.
Dalam sejarahnya, kumis kemudian menjadi simbol tekad dan kepercayaan diri seorang pria. Setidaknya itulah pengakuan Salvador Dali tentang kumisnya. Kumis ini adalah dua penjaga yang berdiri tegak menjaga pintu masuk ke dirinya yang sebenarnya.
***
Siapa yang pernah membayangkan bahwa ditemukannya alat pencukur kumis berhasil menciptakan industri dengan keuntungan sebesar US$ 1,1 Miliar. Fakta bahwa kumis menyimpan pengaruh yang kuat dibuktian oleh Martin Luther King, Jr. Dia dikenang sebagai salah satu pria Amerika berkumis yang paling berpengaruh dalam sejarah sebagaimana dikemukakan American Mustache Institute.
Atau fakta lain yang menyebutkan bahwa kumis memiliki daya magnetis. Itu membuat pria yang tekun memelihara kumis akan menyentuh kumisnya 760 kali perhari. Tapi fakta paling dugal tentang kumis datang dari India. Polisi di kota-kota besar India sering mendapat bonus jika menumbuhkan kumis, karena kumis dianggap simbol kejantanan dan kekuasaan. Yassalam.
Beberapa fakta di atas tercatat dalam buku Allan Paterkin - dokter dan penulis yang berbasis di Toronto, yang berjudul One Thousand Mustaches: A Cultural History of the Mo.
***
            Di sebuah warung kopi, saya melihat gambar walikota terpajang di dinding – mungkin sisa kampanye yang lupa dicabut atau sengaja dibiarkan oleh pemilik warung kopi tersebut. Wajah walikota tersenyum dan tidak memiliki kumis. Saya penasaran dan mencari tahu apakah memang walikota kita enggan menumbuhkan kumis atau hanya di gambar itu saja.
Dengan bantuan internet, saya menemukan banyak gambar wajah walikota - sama banyaknya dengan umbaran keluhan masyarakat tentang keamanan dan kenyamanan. Gambar itu diambil dari berbagai tempat dan aktivitas. Ada yang sedang serius berdoa, ada yang berwajah tegang sambil mengangkat jari telunjuk, ada yang tersenyum santun penuh wibawa. Tapi satu kesamaan dari gambar wajah walikota yang saya temukan, hampir semua tidak berkumis.
Saya tidak menemukan undang-undang yang menganjurkan walikota untuk memelihara kumis. Sama halnya ketika saya mencari aturan apakah setiap pria harus menumbuhkan kumisnya.
Manusia adalah animal symbolicum, demikian Professor Ernst Cassirer – seorang filsuf Yahudi Jerman, menjelaskan tentang manusia dan simbol. Menurut dia, gerak kehidupan dan kebudayaan tidak terlepas dari eksistensi simbol dan pemaknaan terhadapnya. Dalam perkembangannya hampir tidak mungkin masyarakat ada tanpa simbol-simbol.
Memelihara kumis seperti merawat umur perjuangan. Kumis dapat dijadikan simbol pembelaan terhadap sesuatu. Seperti yang dilakukan oleh The Beatles Pada tahun 1967, mereka mengenakan kumis di sampul album yang kedelapan, Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band. Hal itu dilakukan untuk menyembunyikan bibir bengkak Paul McCartney setelah terjatuh dari sepeda motor tahun 1966.
***
Kebanyakan kota besar di Indonesia, termasuk Makassar, tumbuh seperti anak durhaka yang panjang umur. Gedung menjulang menghimpit rumah-rumah kecil kita, jalan memanjang menghubungkan ketertinggalan yang memburu kemajuan semu, taman kota hilang, kejahatan mengincar kita di mana-mana, polusi semakin memenuhi dada yang telah sesak oleh harga bahan pokok yang mahal. Yang paling mengerikan adalah kenyataan kalau kita hidup di tengah kota yang tak lagi mengenal keluh kita.
Laju perkembangan kota ini memang mengerikan. Seperti lirik lagu Dialog Dini Hari yang berjudul Oksigen; Terbang melayang, ke awan, menghilang  Datang dan pergi sendiri, tak terkendali. Itulah kota kita. Tak terkendali!
Menyalahkan walikota atas semua kemalangan ini tentu tidak bijak. Tapi menjadi walikota adalah resiko. Dipaksa menerima beban adalah salah satu resiko yang menjadi tanggung jawab walikota.
Saya membayangkan jika setiap pria di kota ini bersatu menumbuhkan kumis sebagai simbol protes kepada walikota. Protes agar pembangunan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Bukan keinginan pengembang kota yang datang membangun dan meninggalkan sampah sosial yang tak bisa kita buang apa lagi mengolahnya menjadi manfaat.
 Jadi, setiap melihat kumis, walikota merasa bahwa pria itu bagian dari orang-orang yang berjuang agar kota ini bisa tumbuh sehat. Setidaknya, itu memberi alasan bagi walikota untuk selalu mencukur kumisnya atau ia memilih ikut memanjangkan kumis.


termuat di Kolom Literasi Tempo Makassar 26/01/2015

0 komentar:

Posting Komentar

1.26.2015

Riwayat Kumis dan Dialog Dini Hari

Diposting oleh Unknown di 04.47


Salvador Dali adalah seorang pelukis surealis yang aneh. Karyanya diagungkan karena memiliki daya imajinasi yang kuat. Pria yang lahir pada tanggal 11 Mei 1904 di Spanyol ini juga dikenal sebagai pemelihara kumis yang absurd. Ia membentuk kumisnya seperti pedang tipis yang melengkung ke atas.
Jenghis Khan diartikan sebagai kaisar semesta, julukan yang diberikan kepada Temujin – pemimpin militer Mongolia yang berhasil menyatukan bangsa Mongol. Dia melakukan pembelantaraan kekaisaran paling luas sepanjang sejarah manusia. Temujin juga terkenal dengan kumisnya. Bahkan keberhasilannya membangun kekaisaran Mongolia menjadikan kumis lebat yang ia miliki dilambangkan cerminan pria perkasa, kuat, dan berwibawa.
Riwayat kumis Salvador Dali dan Jenghis Khan juga termaktub dalam diri Adolf Hitler, Charlie Chaplin, Groucho Marx, dan Rolli Fingers. Mereka sederet pria yang menyimpan kisah tentang kumisnya yang unik.
Dalam sejarahnya, kumis kemudian menjadi simbol tekad dan kepercayaan diri seorang pria. Setidaknya itulah pengakuan Salvador Dali tentang kumisnya. Kumis ini adalah dua penjaga yang berdiri tegak menjaga pintu masuk ke dirinya yang sebenarnya.
***
Siapa yang pernah membayangkan bahwa ditemukannya alat pencukur kumis berhasil menciptakan industri dengan keuntungan sebesar US$ 1,1 Miliar. Fakta bahwa kumis menyimpan pengaruh yang kuat dibuktian oleh Martin Luther King, Jr. Dia dikenang sebagai salah satu pria Amerika berkumis yang paling berpengaruh dalam sejarah sebagaimana dikemukakan American Mustache Institute.
Atau fakta lain yang menyebutkan bahwa kumis memiliki daya magnetis. Itu membuat pria yang tekun memelihara kumis akan menyentuh kumisnya 760 kali perhari. Tapi fakta paling dugal tentang kumis datang dari India. Polisi di kota-kota besar India sering mendapat bonus jika menumbuhkan kumis, karena kumis dianggap simbol kejantanan dan kekuasaan. Yassalam.
Beberapa fakta di atas tercatat dalam buku Allan Paterkin - dokter dan penulis yang berbasis di Toronto, yang berjudul One Thousand Mustaches: A Cultural History of the Mo.
***
            Di sebuah warung kopi, saya melihat gambar walikota terpajang di dinding – mungkin sisa kampanye yang lupa dicabut atau sengaja dibiarkan oleh pemilik warung kopi tersebut. Wajah walikota tersenyum dan tidak memiliki kumis. Saya penasaran dan mencari tahu apakah memang walikota kita enggan menumbuhkan kumis atau hanya di gambar itu saja.
Dengan bantuan internet, saya menemukan banyak gambar wajah walikota - sama banyaknya dengan umbaran keluhan masyarakat tentang keamanan dan kenyamanan. Gambar itu diambil dari berbagai tempat dan aktivitas. Ada yang sedang serius berdoa, ada yang berwajah tegang sambil mengangkat jari telunjuk, ada yang tersenyum santun penuh wibawa. Tapi satu kesamaan dari gambar wajah walikota yang saya temukan, hampir semua tidak berkumis.
Saya tidak menemukan undang-undang yang menganjurkan walikota untuk memelihara kumis. Sama halnya ketika saya mencari aturan apakah setiap pria harus menumbuhkan kumisnya.
Manusia adalah animal symbolicum, demikian Professor Ernst Cassirer – seorang filsuf Yahudi Jerman, menjelaskan tentang manusia dan simbol. Menurut dia, gerak kehidupan dan kebudayaan tidak terlepas dari eksistensi simbol dan pemaknaan terhadapnya. Dalam perkembangannya hampir tidak mungkin masyarakat ada tanpa simbol-simbol.
Memelihara kumis seperti merawat umur perjuangan. Kumis dapat dijadikan simbol pembelaan terhadap sesuatu. Seperti yang dilakukan oleh The Beatles Pada tahun 1967, mereka mengenakan kumis di sampul album yang kedelapan, Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band. Hal itu dilakukan untuk menyembunyikan bibir bengkak Paul McCartney setelah terjatuh dari sepeda motor tahun 1966.
***
Kebanyakan kota besar di Indonesia, termasuk Makassar, tumbuh seperti anak durhaka yang panjang umur. Gedung menjulang menghimpit rumah-rumah kecil kita, jalan memanjang menghubungkan ketertinggalan yang memburu kemajuan semu, taman kota hilang, kejahatan mengincar kita di mana-mana, polusi semakin memenuhi dada yang telah sesak oleh harga bahan pokok yang mahal. Yang paling mengerikan adalah kenyataan kalau kita hidup di tengah kota yang tak lagi mengenal keluh kita.
Laju perkembangan kota ini memang mengerikan. Seperti lirik lagu Dialog Dini Hari yang berjudul Oksigen; Terbang melayang, ke awan, menghilang  Datang dan pergi sendiri, tak terkendali. Itulah kota kita. Tak terkendali!
Menyalahkan walikota atas semua kemalangan ini tentu tidak bijak. Tapi menjadi walikota adalah resiko. Dipaksa menerima beban adalah salah satu resiko yang menjadi tanggung jawab walikota.
Saya membayangkan jika setiap pria di kota ini bersatu menumbuhkan kumis sebagai simbol protes kepada walikota. Protes agar pembangunan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Bukan keinginan pengembang kota yang datang membangun dan meninggalkan sampah sosial yang tak bisa kita buang apa lagi mengolahnya menjadi manfaat.
 Jadi, setiap melihat kumis, walikota merasa bahwa pria itu bagian dari orang-orang yang berjuang agar kota ini bisa tumbuh sehat. Setidaknya, itu memberi alasan bagi walikota untuk selalu mencukur kumisnya atau ia memilih ikut memanjangkan kumis.


termuat di Kolom Literasi Tempo Makassar 26/01/2015

0 komentar on "Riwayat Kumis dan Dialog Dini Hari"

Posting Komentar